A. PENDAHULUAN
Dalam satu
dasawarsa terkahir, beberapa tragedi kemanusiaan yang memilukan
sekaligus mengkhawatirkan berlangsung
silih berganti di Indonesia.[1]
Serentetan peristiwa kerusuhan sosial (riots)
itu telah membelalakkan mata semua orang tentang apa yang sedang terjadi di
negara yang dulunya dikenal damai dan ‘adem ayem’ ini. Konflik sosial
yang sejatinya merupakan bagian dari a dinamic chance dan karenanya
bersifat positif -demikian menurut Lewis Coser[2]-
telah berubah menjadi amuk massa yang nggegirisi yang sulit diprediksi
kapan berakhirnya.[3]
Tidak hanya eskalasi konflik yang kian bertambah, sifat konflik pun berkembang
tidak hanya horizontal tetapi juga vertikal.
Banyak orang susah mencari penyebab
dari semua ini. Kerumitan mengurai penyebab konflik yang mendadak sontak
merebak di hampir semua tempat di tanah air berbuntut pada ketidakmampuan menemukan formula jitu
bagi sebuah resolusi konflik yang manjur. Sesuai dengan bentuk, jenis dan
eskalasi konflik yang memang beragam, beragam pula faktor penyebabnya. Penyebab
konflik dapat berupa faktor politik,
kesenjangan ekonomi, kesenjangan budaya, sentimen etnis dan agama. Hanya saja,
faktor ekonomi dan politik sering ditunjuk berperan paling dominan dibanding
dua faktor yang disebut terakhir. Kendati acap
terlihat di lapangan bahwa konflik yang ada kerap menggunakan
simbol-simbol agama misalnya pembakaran dan perusakan tempat-tempat ibadah,
penyerangan dan pembunuhan terhadap penganut agama tetentu, namun pertentangan
agama dan etnis ternyata hanyalah faktor ikutan saja dari penyebab konflik yang
lebih kompleks dengan latar belakang sosial, ekonomi dan politik yang pekat.
Meskipun demikian, tidak
ada salahnya (bahkan teramat penting untuk diabaikan) bagi umat beragama untuk
mengkaji dan menemukan cara yang efektif bagi penghayatan, pengamalan sekaligus
penyebaran ajaran agama di tengah masyarakat Indonesia yang plural ini. Ada beberapa alasan mengapa aktifitas
demikian terasa penting untuk dilakukan. Hal ini karena agama–disebabkan sempitnya pemahaman para pemeluknya secara
potensial memang berpeluang menyulut konflik. Maka wajar jika banyak ilmuwan
sekuler yang mengatakan bahwa agama adalah biang kerusuhan.[4]
Tampaknya sinyalemen seperti ini
terkesan berlebihan dan cenderung menghakimi. Tetapi satu hal yang pasti,
sebagaimana sering kita dengar dalam tesis lama dalam ilmu-ilmu sosial, bahwa
agama selain menjadi faktor pemersatu sosial, juga berpeluang menjadi unsur
konflik. Dua unsur yang tak terpisahkan yang oleh Schimmel diibaratkan seperti sisi mata uang yang sama dalam proses kohesi
dan konsensus.
Bertolak dari paparan di
atas, maka terdapat hal-hal penting-mendesak untuk lebih serius dikaji antara
lain; pluralitas masyarakat berikut potensi konflik yang menyertainya,
pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran serta sistem penyebaran agama atau
yang dalam Islam terkenal dengan istilah
“al-dakwah”. Pemahaman yang benar terhadap semua persoalan ini
pada gilirannya akan sangat bermanfaat sebagai salah satu upaya meretas problem
hubungan antar umat beragama di Indonesia yang hari-hari ini sering terkoyak.
B. Menyikapi Pluralitas
Identik dengan istilah ‘pluralisme’ yang berarti ‘beragam’, pendapat
orang tentang istilah ini juga beraneka ragam pula. Secara harfiah pluralisme
berarti jamak, beberapa, berbagai hal, keberbagaian atau banyak. Oleh karenanya
sesuatu dikatakan plural pasti terdiri
dari banyak hal jenis, pelbagai sudut pandang serta latar belakang. [5]
Istilah pluralisme sendiri sesungguhnya adalah istilah lama yang
hari-hari ini kian mendapatkan perhatian penuh dari semua orang. Dikatakan
istilah lama karena perbincangan mengenai pluralitas telah dielaborasi secara
lebih jauh oleh para pemikir filsafat Yunani secara konseptual dengan aneka
ragam alternatif memecahkannya. Para pemikir tersebut mendefinisikan pluralitas
secara berbeda-beda lengkap dengan beragam tawaran solusi menghadapi
pluralitas. Permenides menawarkan solusi yang berbeda dengan Heraklitos, begitu
pula pendapat Plato tidak sama dengan
apa yang dikemu-kakan Aristoteles.[6]
Hal itu berarti bahwa isu pluralitas sebenarnya setua usia manusia.
Sebelum pertimbangan-pertimbangan atau interrest-interrest yang
bersifat politis, ideologis dan ekonomis menyertai kehidupan seseorang, dalam kehidupan
praktis sehari-hari, umat manusia telah menjalani kehidupan yang pluralistik
secara alamiah dan wajar-wajar saja. Kehidupan mengalir apa adanya tanpa ada
prasangka dan perhitungan-perhitungan lain yang lebih rumit. Persoalan
menyeruak ketika berbagai kepentingan dan pertimbangan tadi menempel dalam pola
interaksi antar manusia. Apalagi jika kepentingan yang disebut di atas lebih
menonjol, maka gesekan dan konflik adalah sesuatu yang tak terelakkan.
Bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang sering disebut sebagai
bangsa paling majemuk
di dunia. Di negara dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa
ini, berdiam tidak kurang dari
300 etnis dengan identitas kulturalnya masing-masing, lebih dari
250 bahasa dipakai, beraneka adat
istiadat serta beragam agama di anut.
Kendati demikian kehidupan berjalan apa adanya selama bertahun-tahun.
Orang dengan suku berbeda dapat hidup rukun dengan suku lain yang berbeda adat,
bahasa, agama dan kepercayaan. Gesekan dan konflik memang kerap terjadi kerena
memang hal itu bagian dari dinamika masyarakat, namun semua gesekan yang ada
masih dalam tahap terkendali. Keadaan berubah ketika masyarakat pendukung tak
mampu menyikapi dan mengelola segala perbedaan dan konflik yang ada menjadi
“energi sosial” bagi pemenuhan kepentingan bersama.
Konflik sendiri
sebagaimana dipaparkan di bagian lain tulisan ini, merupakan keniscayaan.
Keberadaannya senantiasa mengiringi masyarakat plural. Hampir tidak mungkin
sebuah masyarakat yang plural tak terlibat dan mengalami konflik. Konflik di
sini memang tidak identik dengan kerusuhan dan pertikaian. Konflik bisa saja
tidak muncul kepermukaan karena diredam sebagaimana selama ini efektif
dimainkan oleh rezim pemerintah Orde Baru, tetapi keberadaannya tak akan hilang
sama sekali. Jika keadaan memungkinkan konflik terselubung (hidden conflict)
itu akan meledak seperti saat ini. Dengan kata lain, akibat tersumbatnya
konflik secara tidak proporsional maka akan lahir konflik yang distruktif dan
berpotensi disintegratif bagi kelangsungan sebuah bangsa.
Jika pluralisme itu given, sementara konflik adalah sesuatu
yang inhern di dalamnya.
Pertanyaan selanjutnya bagaimana mengelola pluralitas dan konflik yang ada sehingga menjadi sebuah energi
sosial bagi penciptaan tatanan bangsa yang lebih baik. Jawabannya tentu panjang
dengan melibatkan pengkajian seluruh faktor yang ada. Akan tetapi terkait
dengan kajian ini (memahami pluralitas),
ternyata menjaga kerukunan tidak cukup hanya memahami keanekaragaman
yang ada di sekitar kita secara apatis dan pasif. Memahami pluralisme meski melibatkan sikap
diri secara pluralis pula. Sebuah sikap penuh empati, jujur dan adil
menempatkan kepelbagaian, perbedaan pada tempatnya, yaitu dengan menghomati,
memahami dan mengakui eksistensi orang lain, sebagaimana menghormati dan
mengakui eksistensi diri sendiri.
Demikian juga dalam menyikapi pluralisme beragama. Sikap yang
seyogyanya dilakukan seseorang adalah dengan memahami dan menilai “yang”
(agama) lain berdasarkan standar mereka
sendiri serta memberi peluang bagi mereka untuk mengartikulasikan keyakinannya
secara bebas. Alwi Shihab memberi gabaran cukup baik dalam mengartikulasikan
pluralisme agama. Menurutnya,
“Pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja
mengakui keberadaan dan hak orang lain, tetapi juga terlibat dalam usaha
memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam
kebhinekaan”[7].
Melalui pemahaman tentang pluralisme yang benar dengan diikuti upaya mewujudkan
kehidupan yang damai seperti inilah akan tercipta toleransi antar umat beragama
di Indonesia.
Toleransi yang dimaksud tentu saja bukan toleransi negatif (negatif
tolerance) sebagaimana yang dulu pernah dijalankan oleh pemerintah orde
baru, tetapi toleransi yang benar adalah toleransi positif (positive
tolerance). Sikap toleran yang disebut pertama adalah sikap toleransi semu
dan penuh dengan kepura-puraan. Toleransi jenis pertama ini menganjurkan
seseorang untuk tidak menonjolkan agamanya di hadapan orang yang beragama
lain. Jika Anda Kristen, maka jangan menonjol-nonjolkan ke-Kristenan Anda di
hadapan orang Muslim, demikian pula sebaliknya.
Sementara toleransi yang tersebut kedua adalah toleransi yang
sesungguhnya, yang mengajak setiap umat beragama untuk jujur mengakui dan
mengekspresikan keberagamaannya tanpa ditutup-tutupi. Dengan demikian identitas
masing-masing umat beragama tidak tereliminasi, bahkan masing-masing agama
dengan bebas dapat mengembangkannya.
Inilah toleransi yang dulu pernah dianjurkan oleh Kuntowijoyo.[8]
Meskipun konsep toleransi positif seperti di atas terbilang konsep
lama, tetapi implemenetasinya bukanlah perkara mudah. Sebuah survey mutaakhir
yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN
Jakarta terhadap Sikap Komunitas Pendidikkan Islam dan Toleransi dan Pluralisme
memperlihatkan beberapa gambaran yang cukup mengkhawatirkan. Survey yang
dilakukan di awal tahun 2006 ini secara umum menunjukkan bahwa komunitas
pendidikkan Islam Indonesia memperlihatkan sikap kurang bahkan tidak toleran.[9]
Hal ini bisa dilihat dari besarnya responden (85,7%) yang tidak setuju anggota
keluarganya menikah dengan non-muslim, anggota keluarga boleh menikah dengan
non muslim, asal masuk Islam lebih dulu (88%). Sementara terhadap pertanyaan; dibanding umat lain, umat Islam
adalah sebaik-baik umat sebanyak 92,5%
karenanya non-Islam harus masuk agama Islam (58,7%). Tidak boleh mengucapkan
salam “assalamualaikum” dan selamat hari natal (“selamat natal”) kepada
non-Muslim (73,5%) dan setiap Muslim berkewajiban mendakwahkan agamanya kepada
orang-orang non muslim (73%).[10]
Adanya fakta seperti ini tentu merupakan sesuatu sangat memprihatinkan karena
hal ini terjadi di komunitas pendidikkan agama Islam. Artinya jika komunitas
pendidikkan saja -sebagai bagian dari transmisi ajaran Islam- menunjukkan sikap
demikian, maka bisa dibayangkan bagaimana dengan komunitas awam.
C.
Menuju Dakwah yang Arif dan Transformatif
Berbagai gambaran riil di lapangan menunjukkan bahwa merajut tali
kerukunan dan toleransi di tengah pluralitas agama memang bukan perkara mudah.
Beberapa faktor berikut jelas merupakan ancaman bagi tercapainya toleransi. Pertama,
sikap agresif para pemeluk agama dalam mendakwahkan agamanya. Kedua,
adanya organisasi-organisasi keagamaan yang cenderung berorientasi pada peningkatan
jumlah anggota secara kuantitatif ketimbang melakukan perbaikan kualitas
keimanan para pemeluknya. Ketiga, disparitas ekonomi antar para
penganut agama yang berbeda.[11]
Guna meminimalisir ancaman
seperti ini (terutama ancaman pertama dan kedua), maka mau tidak mau umat
Islam, demikian juga umat lain, dituntut untuk
menata aktifitas penyebaran atau dakwah agama secara lebih proporsional
dan dewasa.
Kedewasaan ini perlu mendapat perhatian semua pihak karena upaya
membina kerukunan umat beragama seringkali terkendala oleh adanya kenyataan
bahwa sosialisasi ajaran keagamaan di tingkat akar rumput lebih banyak dikuasai
oleh juru dakwah yang kurang peka terhadap kerukunan umat beragama. Semangat
berdakwah yang tinggi dari para pegiat dakwah ini seringkali dinodai dengan
cara-cara menjelek-jelekan milik (agama) orang lain.
Terkait dengan ini, beberapa hal berikut tampaknya merupakan
persoalan mendasar yang harus senantiasa diupayakan, jika Islam diharapkan menjadi rahmah untuk
seluruh alam. Ketiga hal itu adalah (1), penyiapan da’i yang arif sekaligus bersikap
inklusif, bukan eksklusif; (2), memilih materi dakwah yang menyejukkan dan
(3), dakwah berparadigma transformatif sebagai modal menuju kerjasama antar
umat beragama. Yang pertama, erat kaitannya dengan penyiapan kompetensi
personal seorang dai sedang sisanya kompetensi penunjang yang harus menjadi concern
seorang pendakwah atau muballigh.
Da’i yang Arif lagi Inklusif. Adalah
tugas setiap umat Islam untuk tidak hanya melaksanakan ajaran agamanya, tetapi
juga mendakwahkannya keada diri sendiri maupun orang lain di manapun dan kapan
pun. Dakwah sebagai upaya penyebaran ajaran Islam merupakan misi suci sebagai
bentuk keimanan setiap muslim akan kebenaran agama yang dianutnya. Al-Qur’an dalam surat Al-Nahl (16): 125 secara tegas menyebutkan, “Serulah
(manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
beragumentasilah dengan mereka dengan yang baik (pula). Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Demikian juga sebuah hadis yang sering kita dengar
secara eksplisit menyerukan agar kita menyampaikan kebenaran dari nabi meskipun
satu ayat (sedikit) serta beberepa beberpa dalil lain yang kompatible dengan
anjuran berdakwah.
Dari ayat di atas, satu hal yang pasti dan mesti digarisbawahi
adalah bahwa dakwah hendaknya dilakukan secara bijaksana dan penuh kedewasaan.
Kedewasaan sebagai umat yang akan mengantarkan keluhuran Islam di mata kelompok
lain serta menjadikan orang lain merasa
aman (secure) dan tak terancam dengan Islam. Agar tujuan mulia seperti
ini tercapai maka hal-hal berikut
seyogyanya dimiliki oleh seorang da’i dalam melakukan dakwah pada masyarakat
plural.
Pertama,
menyadari heterogenitas masyarakat sasaran dakwah (mad’u) yang
dihadapinya. Keragaman audiens sasaran dakwah menuntut metode dan materi serta
strategi dakwah yang beragam pula sesuai kebutuhan mereka. Nabi sendiri melalui
hadisnya menganjurkan pada kita untuk memberi nasehat, informasi kepada orang
lain sesuai tingkat kemampuan kognisinya (‘uqulihim).
Kedua,
dakwah hendaknya dilakukan dengan menafikan unsur-unsur kebencian.
Esensi dakwah mestilah melibatkan dialog bermakna yang penuh kebijaksanaan,
perhatian, kesabaran dan kasih sayang. Hanya dengan cara demikian audiens akan
menerima ajakan seorang dai dengan penuh kesadaran. Harus disadari oleh seorang
dai bahwa kebenaran yang ia sampaikan bukanlah satu-satunya kebenaran tunggal,
satu-satunya kebenaran yang paling absah. Karena, meskipun kebenaran wahyu
agama bersifat mutlak adanya, tetapi keterlibatan manusia dalam memahami dan
menafsirkan pesan-pesan agama selalu saja dibayang-bayangi oleh subyektifitas atau horizon kemanusiaan
masing-masing orang.
Ketiga, dakwah hendaknya dilakukan
secara persuasif, jauh dari sikap memaksa karena sikap yang demikian di samping
kurang arif juga akan berakibat pada keengganan orang mengikuti seruan sang
da’i yang pada akhirnya akan membuat misi suci dakwah menjadi gagal. “Dan
katakanlah, kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka, silahkan (secara
sukarela) siapa yang hendak beriman berimanlah dan siapa yang ingkar silahkan
(Qs. Al-Kahfi (18): 29); “Tiada paksaan dalam memeluk agama (Islam),
sesungguhnya telah jelas perbedaan antara yang benar dan yang sesat. (Qs.
Al-Baqoroh (2); 256).
Keempat, menghindari pikiran dan sikap menghina dan
men-jelek-jelekkan agama atau menghujat Tuhan yang menjadi keyakinan umat agama
lain. Dalam surat al-An’am (6); 108, Allah berfirman, “Dan janganlah kamu
memaki sesembahan yang mereka sembah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”. Tak ada salahnya jika etika
berdakwah sedikit meniru etika periklanan.
Salah satu etika yang jamak disepakai dalam kegiatan menawarkan sebuah produk ini adalah di
samping tidak memaksa konsumen untuk membeli produk tertentu, juga larangan menghina atau menjelek-jelekkan
produk lain. Jika hal itu dilakukan tentu
pihak–pihak yang dirugikan akan melakukan somasi, protes dan dapat
berakibat pada pengaduan pencemaran nama baik.
Kelima, menenggang perbedaan dan
menjauhi sikap ekstrimisme dalam bergama. Prinsip Islam dalam beragama adalah
sikap jalan tengah, moderat (umatan wasathon). Sejumlah ayat al-Qura’an
dan al-Hadis secara tegas menganjurkan umat Islam untuk mengambil jalan tengah,
menjauhi ekstrimisme, menghindari kekakuan atau kerigidan dalam
beragama. Sikap ekstrimisme biasanya akan berujung pada sikap kurang toleran,
mengklaim pendapat sendiri sebagai paling absah dan benar (truth claim) sementara yang
lain salah, sesat, bid’ah (heterodoks). Alwi Shihab (1989) mengungkapkan
pernyataan Abû Ishaq Al-Syatibi yang meyatakan, “Kurangnya pengetahuan
agama dan kesombongan adalah akar-akar bid’ah serta perpecahan umat, dan pada
akhirnya dapat menggiring kearah perselisihan internal dan perpecahan
perlahan-lahan”.[12]
Hal-hal di atas dan tentu saja ditambah dengan kompetensi personal
yang harus dimiliki seorang dai, jika dilaksanakan secara sungguh-sungguh maka
akan sangat berguna bagi upaya menjaga harmoni di antara semua penganut agama.
Sebagai tambahan, kompetensi personal yang harus dimiliki seorang da’i di atas
hanya dapat tercapai jika da’i tersebut tidak hanya mempunyai pengetahuan yang
banyak tentang agamanya, tetapi juga memiliki pemahaman yang benar dalam
menterjemahkan pesan-pesan moral agama Islam.
Di samping itu, tentu saja prinsip-prinsip Islam tentang pluralisme
dan penghargaan terhadapnya mestilah terinternalisasi secara baik dalam diri
setiap da’i. Prinsip Islam tentang pluralisme tergambar baik dalam landasan
etik-normatif yang terdokumentasi dalam al-Qur’an dan al-Hadis maupun rekaman
historis pengalaman Nabi Muhammad ketika mengalami perjumpaan dengan agama
lain.[13]
Contoh ayat-ayat al-Qur’an
yang dapat dijadikan landas tumpu terhadap penghargaan dan penyikapan yang
benar terhadap pluralisme misalnya, Qs.
Al-Baqoroh (2); 62 dan 148; dua ayat ini di samping mengandung kenyataan bahwa
pluralitas itu bagian dari Sunnat-u Allâh sekaligus juga melaui pluralitas
kita dituntut untuk berlomba dalam kebaikan. (fastabiq al-khairât).
Pluralisme juga merupakan kebijakan Tuhan yang berlaku dalam sejarah (Qs.
Al-Rum (30): 22 dan al-Baqarah (2): 213.
Artinya kenyataan pluralitas demikian adalah keinginan Allah sendiri,
karena jika Allah menghendaki, tentulah Dia menciptakan manusia dalam satu komunitas saja. Ide
semisal ini diulang-ulang di banyak
tempat dalam al-Qur’an dengan penekanan berbeda semisal pengujian kualitas
hamba terhadap pemberian-Nya (Qs.Al-Ma’idah (5): 48); peringatan bahwa mereka suka berselisih
pendapat (Qs. Hûd (11):118); pemberian petunjuk bagi mereka yang mau mengikuti
Tuhan (Qs. Al-Nahl (16): 93) dan memasukkan orang yang dikehendaki ke dalam
rahmat-Nya (Qs. Al- Syûrâ (42): 8).
Al-Qur’an juga
secara eksplisit mengajarkan bahwa pada dasarnya umat manusia adalah tunggal
(Qs. Al-Baqorah (2): 213; Yûnus (10): 19). Agama adalah ‘satu’ dalam dimensi
substantif dan esoterisnyanya. Namun penting dicatat bahwah “kesatuan bukan
berarti “keseragaman”. Meskipun dari luar tampak berbeda, namun dalam setiap
agama terdapat kesamaan yakni kesaman realitas tertinggi yang menjadi tujuan
akhirnya (ultimate goal; al-gardh) dari setiap agama. Oleh karena adanya
kesamaan inilah maka al-Qur’an mengajak seluruh umat beragama untuk mencari
titik temu atau yang lazim dikenal dengan istilah kalimat- un sawâ’ itu [14]
.
“Katakanlah olehmu (Muhammad): Wahai Ahl al-Kitâb! Marilah menuju
ketitik pertemuan (kalimat un sawâ’) antara kami dan kamu: yaitu
bahwa kita tidak menyembah selain Allâh dan tidak menyekutukan-Nya kepada apa
pun, dan bahwa sebaghian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai
“Tuhan-Tuhan” selain Allah”.
Ajakan untuk mencarai titik
temu di antara penganut agama di luar Islam yang sering disebut sebagai Ahl
al-Kitab[15],
memberi implikasi lanjut berupa keyakinan bahwa: siapa pun dapat memperoleh
“keselamatan” (salvation) asalkan ia beriman kepada Allah, kepada hari
kiamat dan berbuat baik. Karena bagi mereka semua, Allah telah menyediakan
pahala masing-masing, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula
bersedih hati. (Qs. Al-Baqoroh (2); 62 dan ayat yang mirip dengan ini (Qs.
al-Mâidah (5); 69).
Menarik untuk disebutkan, bahwa perhatian dan pengakuan Islam akan
agama lain seperti di atas sesungguhnya merupakan bagian dan sekaligus sayarat
bagi kesempurnaan keimanan seorang Muslim.[16]
Artinya jika seseorang ingin imannya sempurna maka wajib baginya mengakui dan
menghormati agama lain. Tidak lah mengherankan jika toleransi yang sedemikian
tinggi ini menjadi catatan tersendiri bagi para pengamat Isam semisal Cyril
Glasse yang menyatakan; “Kenyataan bahwa satu wahyu (Islam) menyebut
wahyu-wahyu lain sebagai absah adalah sebuah kejadian yang luar biasa dalam
sejarah agama-agama”.[17]
Jelas bahwa perhatian al-Qur’an terhadap adanya pluralitas tidak
hanya sebatas pengakuan atau akomodasi akan keberadaannya, tetapi juga
kedekatan dan saling menghormati (Qs. Al-Ma’idah (5): 82-83). Lebih dari itu,
penghargaan al-Qur’an terhadap agama lain, nabi-nabi lain berikut kitab-kitab
sucinya, juga bukan hanya sebatas penghormatan formalitas semata, melainkan
pengakuan akan kebenaran mereka juga. Bahkan Islam memandangnya bukan sebagai
“agama lain” yang harus ditoleransi tetapi sebagai agama yang benar-benar ada
secara hukum dan benar-benar agama wahyu dari Tuhan.[18]
Berangkat dari pandangan al-Qur’an yang khas tentang pluralisme ini,
sesunguhnya kita dapat menarik `ibrah bahwa pemahaman pluralisme tidak
cukup dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam,
berbeda-beda suku bangsa dan agamanya, yang justru terkesan menyiratkan adanay
fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian
sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of
diversity within the bonds of civility).[19]
Singkatnya, pluralisme tidak bisa dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negatif
good). Di mana pluralisme hanya digunakan untuk menghilangkan fanatisme (ta’âshû-biyah).[20]
Materi Dakwah yang
Menyejukkan. Setelah memiliki kompetensi (atau
lebih tepatnya etika dasar) personal
berikut internalisasi nilai-nilai atau prinsip pluralitas pada diri seorang
da’i, maka langkah selanjutnya yang harus diperhatikan oleh seorang da’i adalah
memilih materi dakwah. Memilih materi dakwah yang
dimaksud di sini adalah
dengan sebisa mungkin mengedepankan pesan-pesan agama yang memberi kesejukkan
dan sejauh mungkin menghindari provokasi massa ke arah yang destruktif.
Untuk memilih materi dakwah seperti termaksud di atas, di samping
ditentukan oleh apresiasi positif kepada
‘yang lain’, juga yang terpenting adalah kematangan para dai dalam memahami
pesan-pesan atau ide moral Islam secara keseluruhan. Sekedar ilustrasi
sederhana, mengapa kita suka menonjolkan ayat semisal “Tidak akan rela
orang-orang Yahudi dan Nasrani (terhadapmu) sampai kamu mengikuti agama mereka”
tanpa dibarengi dengan penjelasan terhadap konteks ayat tersebut, sementara
masih banyak ayat (pluralis) lainnya yang menghargai agama lain seperti
terungkap di atas. Atau contoh lain, kenapa hadis Nabi yang artinya, “Ucapkan
salam kepada orang lain baik yang kau kenal maupun yang tidak kau kenal (man
arofta wa man lam ta’rif)”[21]
justeru terdesak oleh larangan atau fatwa yang mengharamkan umat Islam
mengucapkan salam kepada orang (agama) lain.[22]
Fenomena keberagaman yang
lebih menggambarkan wajah kusut hubungan antar umat beragama ini memang tidak
hanya diakibatkan pilihan dai akan materi dakwahnya saja, tetapi juga oleh faktor lain. Salah satu di antaranya
adalah kurangnya pemahaman akan dialektika teks dan konteks yang berakibat pada
kesalahan pengamalan sekaligus penyebaran syariat Islam.[23]
Jika kesalahan ini masih sebatas pada praksis individual tentu tidak ada
masalah. Persoalan menjadi kompleks ketika kesalahan pemahaman ini
dikomunikasikan dan didakwahkan kepada publik secara luas. Sebabnya jelas,
syariat Islam yang kaya akan nilai-nilai dan prinsip-prinsip untuk kemaslahatan
manusia akan tereduksi hingga akhirnya hilang sama sekali.
Kemaslahatan adalah inti dari
syariat Islam. Al-Syatibi dengan sangat baik mendiskripsikan hal ini.
Menurutnya, agama tidak hanya memuat ajaran yang menekankan aspek peribadatan
atau ritual (ta‘âbudiyah) semata, tetapi juga membawa kemaslahatan bagi
manusia (al-maslahah al-‘âmmah).[24]
Dakwah Berparadigma Transformatif dan Urgensi Kerjasama. Orientasi dakwah yang lebih mengedepankan perbaikan kualitas
keimanan individual dengan tekanan hanya pada ketaatan menjalankan ritual
keagamaan telah mengabaikan satu dimensi penting dalam dakwah. Dimensi dakwah
yang terabaikan tersebut adalah pengembangan dan pemberdayaan masyarakat Islam
secara menyeluruh.[25]
Keterbelakangan, ketertinggalan dan keterpinggiran umat Islam dari percaturan
(peradaban) global dewasa ini adalah
beberapa realitas yang kurang tersentuh dalam materi dakwah. Dalam pengertian
bukan dakwah yang materi pembicaraannya hanya sekedar menggerutu, mengumpat dan menyalahkan umat atau orang
lain yang menjadikan Islam mundur, tetapi dakwah dimaknai secara lebih luas
dengan tekanan pada perbaikan kualitas sosial, pendidikkan dan ekonomi masyarakat.
Sudah waktunya orientasi dakwah diarahkan untuk sebisa mungkin
menyentuh persoalan sosial kemasyarakatan semisal perbaikan gizi anak-anak,
pelestarian lingkungan, bahaya penyalah-gunaan obat, pemberantasan korupsi,
penciptaan pemerintahan yang bersih (good governance), kemitrasejajaran
antara laki-laki dan perempuan dan
penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) serta perjuangan untuk mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan masyarakat secara lebih beradab. Dakwah
hendaknya ditujukan antara lain untuk
memecahkan kebutuhan mendasar manusia akan jaminan kesejahteraan yang merupakan
norma-norma keadilan sosial dan prinsip-prinsip persaudaraan dalam Islam.
Islam sendiri sering disebut sebagai agama pembebas. Banyak preseden
baik yang telah dilakukan oleh Nabi dan generasi awal Islam dalam
merealisasikan dakwah dalam pengertian seperti ini. Yakni dakwah yang mampu
menstransformasikan nilai-nilai Islam untuk kemaslahatan umat manusia secara
lebih luas. Beberapa seruan al-Qur’an dan dokumentasi sunnah rasul dalam
Hadis dengan sangat jelas mendorong umat Islam melakukan perbaikan secara
menyeluruh terhadap sistem sosial sejajar dengan penguatan tawhîd umat.
“Katakanlah: mari kubacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu.
Janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun; dan berbuat baiklah kepada ibu
bapakmu; janganlah membunuh anak-anakmu dengan dalih kemiskinan. Kami memberi
rizki kepadamu dan kepada mereka. Janganlah melakukan perbuatan keji yang
terbuka ataupun yang tersembunyi; jangan hilangkan nyawa yang diharamkan Allah
kecuali dengan adil dan menurut hukum. Demikianlah Dia memerintahkan kamu
supaya kamu mengerti”
“Janganlah kamu
dekati harta anak yatim, kecuali untuk memperbaikinya dengan cara yang lebih
baik, sampai ia mencapai usia dewasa. Penuhilah takaran dan timbangan dengan
adil; kami tidak membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya; dan jika
kamu berbicara, berbicaralah yang jujur, sekalipun mengenai kerabat; dan
penuhilah janji dengan Allah. Dia memerintahkan kamu supaya kamu ingat.[26]
D. Epilog
Sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah rahmah bagi sekalian alam,
pemberdayaan dan perbaikan kualitas hidup seperti yang dianjurkan oleh
al-Qur’an ini hendaknya dapat dinikmati oleh seluruh makhluk hidup tanpa
memandang perbedaan keyakinan dan agama yang ada. Oleh karena itu dengan
memanfaatkan potensi yang ada dalam dunia yang plural seperti ini, maka model
dakwah Islamiah akan lebih bermakna (meaningfull) jika dilakukan dengan
melibatkan kerjasama dengan semua pihak termasuk mereka yang berada di luar
Islam[27].
Banyak hal dapat dilakukan serta banyak persoalan terselesaikan
melalui kerjasama antar umat beragama. Problematika umat manusia di era modern
seperti kemiskinan dan bahaya kelaparan yang diakibatkan terutama oleh
ketidak-adilan, eksploitasi ekonomi, sosial, politik dan ketidakadilan ras,
gender juga ancaman konflik dan kerusakan ekosistem hanya dapat diselesaikan
melalui kerjasama dengan prinsip saling pengertian (mutual understanding)
di antara umat beragama. Dengan demikian, pluralitas, keragaman atau
kemajemukan yang telah menjadi keniscayaan ini dapat dimanfaatkan sebagai
“energi sosial” guna meretas problematika umat manusia. Insyâ Allâh..
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
M. Amin, Dinamika Islam Kultural : Pemetaan Atas Wacana Islam Kontemporer, Bandung:
Mizan, 2000)
Al-Faruqi,
“The Role of Islam in Global Interreligious Dependence” dalam Toward a
Global Conggress of the World an Religions, ed. Waren Lewis, (New York:
Bary Town, Univication Theological Seminary)
al-Syâtibi,
Abû Ishaq, dalam al-Muwafaqât fi Ushûl al-Syarî’ah, Jilid I.
(Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, tt)
Azra,
Azumardi, “Bingkai Teologi Kerukunan: Perspektif Islam” dalam Konteks
Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999)
Burhanuddin,
Jajat, & Subhan, Arif, eds., Sistem Siaga Dini terhadap Kerusuhan Sosial
(Jakarta: Balitbang Agama Depag RI dan PPIM, 2000)
Coser,
Lewis, The Function of Social Conflict, (New York: Free Press, 1965)
Coward,
Harold, Pluralisme, Tantangan Agama-agama, ter. (Yogyakarta: Kanisius,
1989)
Effendi,
Bachtiar, “Menyoal Pluralisme di Indonesia” dalam Living Together in Plural
Societies; Pengalaman Indonesia Inggris, ed. Raja Juli Antoni (Yogyakarta: Pustaka
Perlajar, 2002)
Elmirzanah,
Syafa’atun, et. al., Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi Bersama Antar
Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
Glasse,
Cyril, “Ahl al-Kitab”, dalam The Concise Enciclopaedia of Islam, (San
Francisco: Harper, 1991)
Lasyin,
Musa Syahin, Fath al-Mu’im: Syarh Shahih Muslim, Bagian I
(Kairo: Maktabah al-Jâmiat al-Azhârîyah, 1970)
Madjid,
Nurcholis, et. al., Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif
Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004)
Madjid,
Nurcholis, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam di
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995)
Rachman,
Budi Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta:
Paramadina, 2001)
Rahman,
Fazlur, Major Themes of The Qur’an (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980)
Wilson,
A. N. Againts Religion: Why We Should Try Live Without It, (London: Chatto and Windus,
1992)