A.
PENDAHULUAN
Banyak para ‘ahli
dan pemuka agama telah berusaha dengan segala cara demi terciptanya hubungan
yang mesra dan harmonis diantara umat beragama, di negeri Indonesia yang terkenal sangat
pluralistik ini. Melalui tulisan-tulisan baik buku, majalah, jurnal bahkan
melalui seminar dan mimbar-mimbar ‘khutbah’—mereka senantiasa menyarankan akan
arti pentingnya kerjasama dan dialog antar umat beragama. Meskipun nampaknya, saran-saran mereka belum memiliki
‘efek’ yang begitu menggembirakan.
Seringnya konflik
dan pertikaian yang menggunakan ‘baju agama’, merebaknya aksi-aksi teroris,
pembakaran dan pengrusakan sarana dan tempat-tempat ibadah di negara kita, cukup
membuktikan kegagalan para penganjur ‘perdamaian’ tersebut. Untuk memperoleh
keberhasilan bagi terealisasinya tujuan mulia yaitu perdamaian dan persaudaraan
abadi di antara orang-orang yang pada realitasnya memang memiliki agama dan
iman berbeda, perlulah kiranya adanya keberanian mengajak mereka melakukan perubahan-perubahan di bidang
pendidikan—terutama sekali melalui kurikulumnya yang berbasis keanekaragaman.
Sebab, melalui kurikulum seperti ini, memungkinkan untuk bisa ‘membongkar’ teologi agama masing-masing yang
selama ini cenderung ditampilkan secara eklusif dan dogmatis. Sebuah teologi
yang biasanya hanya mengeklaim bahwa hanya agamanya yang bisa membangun
kesejahteraan duniawi dan mengantar manusia dalam surga Tuhan. Pintu dan kamar
surga itu pun hanya satu yang tidak bisa dibuka dan dimasuki kecuali dengan
agama yang dipeluknya.
Padahal
berteologi semacam itu, harus kita akui, sebagai sesuatu yang sangat
menghawatirkan dan dapat mengganggu
keharmonisan masyarakat agama-agama dalam era pluralistik sekarang. Suatu era
dimana seluruh masyarakat dengan segala unsurnya dituntut untuk dapat saling
tergantung dan menaggung nasib secara bersama-sama demi terciptanya perdamaian
abadi. Disinilah letak ‘tantangan’ bagi agama (termasuk Islam) untuk kembali
mendefenisikan dirinya ditengah agama-agama lain. Atau dengan meminjam
bahasanya John Lyden, seorang ahli agama-agama, adalah “what should one think about religions other than one’s own? Apa
yang harus dipikirkan oleh seorang muslim terhadap non-Muslim. Apakah masih
sebagai seorang musuh atau sebagai seorang sahabat. Bukankah pada hakikatnya
kita semua adalah sebagai seorang ‘saudara’ dan ‘sahabat’ dalam menghampiri
yang mutlak? Bahkan, Islam melalui Al-Qur’an dan Hadistnya juga mengajarkan
sikap-sikap toleran seperti ini bukan?
B.
LATAR BELAKANG
Entah kenapa
ketika mendengar kata “pluralisme”, sebagian dari kebanyakan umat Islam harus
menutup kuping mereka rapat-rapat. Seolah-olah pluralisme ini telah dianggap
oleh mereka, sebagai “hantu” yang perlu ditakuti dan dijauhi. Orang yang mencoba menjelaskan dan mewacanakannya pun
juga terkena imbasnya, tak sedikit dari mereka yang telah di hujat, dicaci maki
dan dikucilkan—tidak hanya dianggap sebagai antek-antek Barat, tetapi juga
telah “diklaim” sebagai calon penghuni neraka. Masyaallah..!
Saya memahami,
kenapa mereka sampai berbuat demikian. Karena kebanyakan dari mereka—saya
yakin—belum mengetahui secara komprehensif substansi pluralisme itu sendiri.
Disamping itu, mereka juga sudah terburu-buru untuk bersikap antipati dan penuh
kecurigaan, kalau pluralisme ini adalah produk Barat, yang pasti sesat dan
menyesatkan. Memang sih, tidak bisa dipungkiri dalam realitas kesejarahanya
pluralisme ini adalah berasal dari Barat. Tetapi kalau kemudian paham ini,
mampu memberikan kontribusi positif bagi terciptanya persahabatan dan
perdamaian bagi masyarakat agama, kenapa harus ditampik, inilah pertanyaanya.
Bukankah kalau
mau jujur, selama ini kita juga telah ikut merasakan dan menikmati
produk-produk barat akibat keunggulan IPTEK yang dimilikinya? Janganlah menutup
mata, kalau kita selama ini bisa berkomunikasi jarak jauh dengan HP, faximile
dan internet serta bisa bepergian keseluruh dunia (termasuk menunaikan ibadah
haji ke mekkah) dengan naik pesawat,
mobil dan kapal—adalah berkat Barat.
Dengan begitu, dapatlah dikatakan bahwa
sesuatu yang datang dari Barat ternyata tidak selamanya jelek dan bertentangan
dengan Islam. Semuanya sebenarnya
tergantung bagaimana cara kita menyikapi dan mempergunakanya. Sebagai contoh,
kalau kita tidak dapat secara arif dan bijaksana mempergunakan sains dan
teknologi, maka hal ini pastilah akan berimplikasi negatif bagi kehidupan
manusia, yaitu menyebabkan terjadinya krisis dalam berbagai bidang
kehidupan. Bukankah contoh seperti ini
juga berlaku bagi paham pluralisme?
Namun haruslah
diakui, bahwa Barat tentu saja bukanlah “segala-galanya”. Sehingga semua
pikiran, perilaku, budaya serta norma-norma kita harus berkiblat dengan Barat.
Kalau tidak mengikuti trend Barat, dikataka “ndeso” dan kampungan alias ketinggalan zaman. Karena memang pada
kenyataanya, terdapat dari tradisi dan kebudayaan yang berasal dari Barat yang
tidak sesuai dengan kultur Islam seperti; dari cara berpakaian yang banyak
mengundang syahwat, makanan dan minuman beralkohol, free sex. Alangkah baiknya kalau kita memang seselektif mungkin
untuk mencoba memilih dan memilah budaya Barat tersebut. Yang baik kita tiru,
dan yang tidak sesuai dengan Islam kita bung jauh-jauh.
Lebih baik memang, dan ini sudah saatnya,
kalau kita sesegera mungkin melakukan upaya-upaya menuju dialog antara Islam
dan barat. Sehingga melalui proses dialog ini, akan memungkinkan terciptanya
suasana saling belajar satu sama lain. Dialog juga akan memungkinkan diantara
keduanya untuk saling sharing
pemahaman tentang budaya masing-masing yang dimilikinya serta memberikan suatu
kritik yang kontrukstif demi terciptanya saling memahami dan menghormati. Kalau
hal seperti ini dapat dilakukan, saya yakin cita-cita menciptakan perdamaian
global akan tercapai. Tetapi kalau belum-belum sudah saling mengkafirkan satu
sama lain, lantas apa yang bakal terjadi? Pastilah kekacauan dan peperangan
seperti yang terjadi selama ini, akan selalu terulang kembali. Termasuk salah
satu yang perlu didialogkan antara barat dan Islam adalah gagasan perlunya
konsep pluralisme, sebuah konsep yang berasal dari Barat yang bertujuan untuk
menciptakan harmonisasi di antara agama-agama di dunia.
Apakah
sebenarnya pluralisme itu? kalau melacak dari beberapa sumber, dapatlah
didefenisikan bahwa pluralisme adalah sebuah paham tentang pluralitas. Paham,
bagaimana melihat keragaman dalam agama-agama, mengapa dan bagaimana memandang
agama-agama, yang begitu banyak dan beragam. Apakah hanya ada satu agama yang
benar atau semua agama benar.
C. PEMBAHASAN
1. Islam Dan Pluralisme
Dalam Islam berteologi secara inklusif dengan menampilkan
wajah agama secara santun dan ramah sangat dianjurkan. Islam bahkan
memerintahkan umat Islam untuk dapat berinteraksi terutama dengan agama Kristen
dan Yahudi dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat
intelektual/teologis secara bersama-sama dan dengan cara yang sebaik-baiknya
(QS al-Ankabut/29: 46), tentu saja tanpa harus menimbulkan prejudice atau kecurigaan di antara mereka.
Karena menurut al-Qur’an sendiri, sebagai sumber normatif
bagi suatu teologi inklusif. Karena bagi kaum muslimin, tidak ada teks lain
yang menempati posisi otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain Alqur’an.
Maka, Alqur’an merupakan kunci untuk menemukan dan memahami konsep persaudaraan
Islam-terhadap agama lain---pluralitas
adalah salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis
hukum Allah atau Sunnah Allah,
sebagaimana firman Allah SWT: “ Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui Lagi Maha Mengenal” (Al
Hujurat 49: 13).
Kalu kita
membaca dari ayat tersebut, secara kritis dan penuh keterbukaan, pastilah kita
akan menemukan suatu kesimpulan bahwa Allah SWT sendiri sebenarnya secara tegas
telah menyatakan bahwa ada kemajemukan di muka bumi ini. Perbedaan laki-laki dan perempuan, perbedaan suku bangsa;
ada orang Indonesia, Jerman, Amerika, orang Jawa, Sunda atau bule, adalah
realitas pluralitas yang harus dipandang secara positif dan optimis. Perbedaan
itu, harus diterima sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar
kenyataan itu. Bahkan kita disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut,
sebagai instrumen untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah SWT, dengan jalan
mengadakan interaksi sosial antara individu, baik dalam konteks pribadi atau
bangsa.
Kenapa kita
diperintah untuk saling mengenal dan berbuat baik sama orang lain, meskipun
berbeda agama, suku dan kulit dan dilarang untuk memperolok-olok satu sama
lain? Jawabannya adalah bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan, di
hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yang lain, dan mengapa
jalan manusia berbeda-beda dalam beragama: “Untuk
masing-masing dari kamu (umat manusia) telah kami tetapkan Hukum (Syari’ah) dan
jalan hidup (minhaj). Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah ia jadikan kamu
sekalian umat yang tunggal (monolitk). Namun
Ia jadikan kamu sekalian
berkenaan dengan hal-hal yang telah dikarunia-Nya kepada kamu. Maka berlombalah
kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada
Allah-lah tempat kalian semua kembali; maka Ia akan menjelaskan kepadamu
sekalian tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan” (Q.S. Al Maaidah:
48).
Bahkan konsep
unity in diversity, dalam Islam telah diakui keabsahanya dalam kehidupan ini.
Untuk mendukung pernyataan ini, kita dapat melacak kebenaranya dalam perjalanan
sejarah yang telah ditunjukkan oleh al-Qur’an, bahwa Islam telah memberi
karaketer positif kepada komunitas non-Muslim, Ini bisa dilihat, misalnya, dari
berbagai istilah eufemisme, mulai dari ahl
al-kitab, shabih bi ah al-kitab, din Ibrahim sampai dinan hanifan. Dan secara spesifik, Islam malahan mengilustrasikan
karakter para pemuka agama Kristen sebagai manusia dengan sifat rendah hati (la yastakbirun) serta pemeluk agama Nasrani sebagai kelompok
dengan jalinan emosional (aqrabahum
mawaddatan) terdekat dengan komunitas Muslim (Q.S. Al Maidah: 82).
Dalam kaitannya
yang langsung dengan prinsip untuk dapat menghargai agama lain dan dapat
menjalin persahabatan dan perdamaian dengan ‘mereka’ inilah Allah, di dalam
al-Qur’an, menegur keras Nabi Muhammad SAW ketika ia menunjukkan keinginan dan
kesediaan yang menggebu untuk memaksa manusia menerima dan mengikuti ajaran
yang disampaikanya, sebagai berikut: “Jika
Tuhanmu menghendaki, maka tentunya manusia yang ada di muka bumi ini akan
beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia, di luar kesediaan mereka
sendiri? (Q.S. Yunus: 99).
Dari ayat tersebut tergambar dengan jelas bahwa persoalan kemerdekaan beragama dan keyakinan menjadi “tanggungjawab” Allah SWT, dimana kita semua dituntut toleran terhadap orang yang tidak satu dengan keyakinan kita. Bahkan nabi sendiri dilarang untuk memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Maka dengan begitu, tidaklah dibenarkan “kita” menunjukkan sikap kekerasan, paksaan, menteror dan menakut-nakuti orang lain dalam beragama.
Apalagi kalau kita mau memahami secara benar, bahwa pada dasarnya menurut al-Qur’an, pokok pangkal kebenaran universal Yang Tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa, atau tauhid. Tugas para Rasul adalah menyampaikan ajaran tentang tauhid ini, serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk dan patuh hanya kepada-Nya saja (Q. S. al-Ambiya’: 92) dan justru berdasarkan paham tauhid inilah, al-Qur’an mengajarkan paham kemajemukan keagamaan. Dalam pandangan teologi Islam, sikap ini menurut Budy Munawar Rahman (2001: 15), dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada; bahwa semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama, dan persis karena alasan inilah al-Qur’an mengajak kepada titik pertemuan (kalimatun sawa’): “Katakanlah olehmu (Muhammad): Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukan-Nya kepada apapun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah” (Q.S. al-Maidah: 64).
Implikasi dari kalimatun sawa’
ini menurut Alqur’an adalah: siapapun dapat memperoleh “keselamatan” asalkan
dia beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat baik”. Jadi, dalam
prespektif ini, al-Qur’an tidak mengingkari kasahihan pengalaman transendensi
agama, semisal Kristen bukan? Islam malah mengetahui dan bahkan mengakui daya penyelamatan kaum lain (termasuk
Kristen) itu dalam hubunganya dengan lingkup monoteisme yang lebih luas:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan yang beragama Yahudi, Kristen, dan
Shabiin, barang siapa dari mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan
mengerjakan amal baik, maka mereka akan dapat ganjaran dari Tuhan mereka; dan
tidak ada ketakutan dan tidak ada duka cita atas mereka” (Q.S 2: 62).
Hal itu sejalan dengan ajaran bahwa
monoteisme merupakan dogma yang diutamakan dalam Islam. Monoteisme, yakni
percaya kepada Tuhan yang Maha Esa, dipandang jalan untuk keselamatan manusia.
Dalam al-Qur’an ayat 48 dan 116 surah al-Nisa’ menerangkan bahwa Allah tidak mengampuni dosa orang yang
mempersekutukan Tuhan tetapi mengampuni dosa selainya bagi barang siapa yang
dikehendaki Allah. Kedua ayat ini mengandung arti bahwa dosa dapat diampuni
Tuhan kecuali dosa sirk atau politeis. Inilah satu-satunya dosa yang tak dapat
diampuni Tuhan.
2. Islam Memerintahkan Untuk Bersikap ‘Toleran’ Kepada Agama lain
Sedangkan secara umum, pandangan Islam terhadap agama lain (Ahli Kitab—pen) sangat positif dan sangat kontruktif. Hal ini dapat dilihat dari nilai dan ajarannya yang memberikan peluang dan mendorong kepada umat Islam untuk dapat melakukan interaksi sosial, kerja sama dengan mereka. Tentang hal ini, Farid Asaeck (2000: 206-207)), telah menunjukkan bukti-bukti sebagai berikut; Pertama, Ahli Kitab, sebagai penerima wahyu, diakui sebagai bagian dari komunitas. Ditujukan kepada semua nabi, al-Qur’an mengatakan: “Dan sungguh inilah umatmu, umat yang satu” (QS al-Mu’miunun: 52). Sehingga konsep Islam tentang para pengikut Kitab Suci atau Ahli Kitab yaitu konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain, yang memiliki Kitab Suci dengan memberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
Kedua, dalam dua bidang sosial terpenting, makanan dan perkawinan, sikap murah hati al-Qur’an terlihat jelas, bahwa makanan “orang-orang yang diberi Alkitab” dinyatakan sebagai sah (halal) bagi kaum muslim dan makanan kaum muslim sah bagi mereka (QS al-Maidah: 5). Demikian juga, pria muslim diperkenankan mengawini “wanita suci dari Ahli Kitab” (QS al-Maidah: 5). Jika kaum Muslim diperkenankan hidup berdampingan dengan golongan lain dalam hubungan yang seintim hubungan perkawinan, ini menunjukkan secara eksplisit bahwa permusuhan tidak dianggap sebagai norma dalam hubungan Muslim-kaum lain.
Ketiga, dalam bidang hukum agama, norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nasrani diakui (QS al-Maidah: 47) dan bahkan dikuatkan oleh Nabi ketika beliau diseru untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka (QS al-Maidah: 42-43). Keempat, kesucian kehidupan religius penganut agama wahyu lainya ditegaskan oleh fakta bahwa izin pertama yang pernah diberikan bagi perjuangan bersenjata dimaksudkan untuk menjamin terpeliharanya kesucian ini, “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagai manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan sinagog-sinagog orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak di sebut nama Allah” (QS al-Hajj: 40).
Perintah Islam agar umatnya bersikap toleran, bukan hanya pada agama Yahudi dan Kristen, tetapi juga kepada agama-agama lain. Ayat 256 surat al-Baqarah mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam soal agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan dengan jelas dari jalan salah dan sesat. Terserahlan kepada manusia memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan benar yang akan membawa kepada kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang dikehendakinya. Kemerdekaan ini diperkuat oleh ayat 6 surah al-Kafirun yang mengatakan: Bagimulah agamamu dan bagiku agamaku.
Demikianlah beberapa prinsip dasar al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah pluralisme dan anjuran untuk dapat menunjukkan sikap saling menghormati, ramah dan bersahabat dengan agama Kristen, secara khusus. Dengan begitu, jauh-jauh hari, al-Qur’an sesungguhnya telah mensinyalir akan munculnya bentuk “truth claim” (Abdullah, 1999: 68). Baik itu dalam wilayah intern umat beragama maupun wilayah antar-umat beragama. Kedua-duanya, sama-sama tidak favourable dan tidak kondusif bagi upaya membangun tata pergaulan masyarakat pluralistik yang sehat.
Oleh
al-Qur’an, kecendrungan manusia untuk mengantongi “truth claim” yang potensial untuk ekplosif dan destruktif itu,
kemudian dinetralisir dalam bentuk anjuran untuk selalu waspada terhadap bahaya
ektrimitas dalam berbagai bentuknya. Dan manusia Muslim sendiri dituntut untuk
senantiasa merendahkan hati dan bersedia dengan “kebenaran” (al-haq) dan kesabaran (al-Shabar) dalam setiap langkah dalam
perjalanan hidupnya (surat
al-Ashr: 1-3).
Paling tidak, dalan dataran konseptual, al-Qur’an telah memberi resep atau arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi manusia Muslim untuk memecahkan masalah kemanusiaan universal, yaitu realitas pluralitas keberagamaan manusia dan menuntut supaya bersikap toleransi terhadap kenyataan tersebut demi tercapainya perdamaian di muka bumi. Karena Islam menilai bahwa syarat untuk membuat keharmonisan adalah pengakuan terhadap komponen-komponen yang secara alamiah berbeda.
Dengan begitu, dapat pula dikatakan konsepsi pluralisme dalam Islam sudah terbawa pada misi awal agama ini diturunkan, yakni membawa kasih terhadap seluruh alam tanpa batas-batas atau benturan-benturan dimensi apapun. Semua orang yang mengaku Islam haruslah menunjukkan sikap saling “mengasihi” kepada sesama manusia. Karena seseorang bisa disebut sebagai seorang muslim, menurut kanjeng nabi adalah Al-Muslimu man salima Al-muslimuna min lisanihi wa yadihi. Maksudnya adalah seorang muslim yang senantiasa menebarkan sikap damai dan rasa aman dihati masyarakatnya.
3. Kegagalan Pendidikan Agama
Berangkat dari
kesadaran adanya fenomena bahwa “satu Tuhan, banyak agama” merupakan fakta dan
realitas yang dihadapi manusia sekarang. Maka, manusia sekarang harus didorong
menuju kesadaran bahwa pluralisme memang sungguh-sungguh fitrah kehidupan
manusia.
Mendorong
setiap orang untuk dapat menghargai “keanekaragaman” adalah sangat penting
segera dilakukan, terutama sekali di negara Indonesia yang pluralistik ini.
Dampak krisis multi-dimensional yang melandanya, menyebabkan bangsa Indonesia
menghadapi berbagai problem sosial. Salah satu problem besar dimana peran agama
menjadi sangat dipertanyakan adalah konflik etnis, kultur dan religius, atau
yang lebih dikenal dengan SARA.
Kegagalan
agama dalam memainkan perannya sebagai problem solver bagi persoalan SARA erat
kaitanya dengan pengajaran agama secara eklusif. Maka, agar bisa keluar dari
kemelut yang mendera bangsa Indonesia
terkait persoalan SARA, adalah sudah saatnya bagi bangsa Indonesia untuk
memunculkan wajah pendidikan agama yang inklusif dan humanis.
Pada tataran teologis, dalam pendidikan agama perlu mengubah
paradigma teologis yang pasif, tektualis, dan eklusif. Menuju teologi yang saling menghormati,
saling mengakui eksistensi, berfikir dan bersikap positif, serta saling
memperkaya iman. Hal ini dengan tujuan untuk membangun interaksi umat beragama
dan antarumat beragama yang tidak hanya berkoeksistensi secara harmonis dan
damai, tetapi juga bersedia aktif dan pro-aktif kemanusiaan.
Sebenarnya masyarakat Indonesia telah lama akrab dengan
diktum Bhinneka Tunggal Ika. Namun sayangnya, konsep ini telah mengalami
pemelintiran makna dan bias interpretasi, terutama sepanjang pemerintahan Orde
Baru. Kebijakan sosial-politik saat itu cenderung uniformistik, sehingga
tampaknya budaya milik kelompok dominanlah yang diajarkan dan disalurkan oleh
sekolah dari satu generasi kepada generasi lainya.
Sekolah
pada saat itu juga ditengarai hanya merefleksikan dan menggemakan stereotip dan
prasangka antarkelompok yang sudah terbentuk dan beredar dalam masyarakat,
tidak berusaha menetralisisir dan menghilangkanya. Bahkan, ada indikasi bahwa
sekolah ikut mengembangkan prasangka dan mengeskalasi ketegangan antarkelompok
melalui perundang-undangan yang mengkotak-kotakkan penyampaiaan pendidikan
agama, isi kurikulum yang etnosentris, dan dinamika relasi sosial antarsekolah
yang segregatif (Khisbiyah, 2000: 156-157). Bukan tak mungkin segregasi sekolah
berdasarkan kepemelukan agama juga ikut memeperuncing prasangka dan proses
demonisasi antara satu kelompok dengan kelompok lainya, baik secara langsung
maupun atau tidak langsung .
Padahal, menurut S. Hamid Hasan, “keragaman
sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi adalah
suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Namun demikian,
keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik yang seharusnya menjadi
faktor yang diperhitungkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan
dokumen, sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum, nampaknya belum
dijadikan sebagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan kurikulum
pendidikan di negara kita” (Hasan, 2000: 511). Maka, akibatnya, wajar manakala
terjadi kegagalan dalam pendidikannya (termasuk pendidikan agama), terutama sekali
dalam menumbuhkan sikap-sikap untuk menghargai adanya perbedaan dalam
masyarakat.
Selain itu, Kautsar Azhari Noer (2001) menyebutkan, paling
tidak ada empat faktor penyebab kegagalan pendidikan agama dalam menumbuhkan
pluralisme. Pertama, penekananya pada proses transfer ilmu agama ketimbang pada
proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; kedua,
sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan
kurikulum” belaka, atau sebagai “pelengkap” yang dipandang sebelah mata;
ketiga, kurangnya penekanan pada penanaman nilai-nilai moral yang mendukung
kerukunan antaragama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong,
suka damai dan toleransi; dan keempat, kurangnya perhatian untuk perhatikan
untuk mempelajari agama-agama lain (Noer dalam Sumartana, 2001: 239-240).
Melihat realitas tersebut, bahkan ditambah dengan adanya
banyak konflik, kekerasan, dan bahkan kekejaman yang dijalankan atas nama
agama, sebagaimana tersebut di atas, seharusnyalah yang menjadi tujuan refleksi
atas pendidikan agama adalah mampu melakukan transformasi kehidupan beragama
itu sendiri dengan melihat sisi ilahi
dan sosial-budayanya. Pendidikan agama harus mampu menanamkan cara hidup
yang lebih baik dan santun kepada peserta didik. Sehingga sikap-sikap seperti
saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman agama dan budaya
dapat tercapai di tengah-tengah masyarakat plural.
4. Perlunya Pendidikan Pluralisme
Dengan menyadari bahwa masyarakat kita terdiri dari banyak suku
dan beberapa agama, jadi sangat pluralis. Maka, pencarian bentuk pendidikan
alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha
menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi
berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang
beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta
mengerjakan keterbukaan dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang
banyak ditawarkan oleh “banyak ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik
keagamaan dan menuju perdamaian abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan
“pendidikan pluralisme”.
Apakah
sebenarnya pendidikan pluralisme itu? Kalau kita melacak referensi tentang
pendidikan pluralisme, banyak sekali literatur mengenai pendidikan tersebut
atau sering dikenal orang dengan sebutan “pendidikan multikultural”. Namun
literatur-literatur tersebut menunjukkan adanya keragaman dalam pengertian
istilah. Sleeter (dalam Burnet, 1991: 1) mengartikan pendidikan multikultural
sebagai any set of proces by which
schools work with rather than against oppressed group. Banks, dalam bukunya Multicultural education: historical development, dimension, and
practice (1993) menyatakan bahwa meskipun tidak ada konsensus tentang itu
ia berkesimpulan bahwa di antara banyak pengertian tersebut maka yang dominan
adalah pengertian pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color.
Lebih jelasnya, menariklah kalau kita
memperhatikan suatu defenisi tentang
pendidikan pluralisme yang disampaikan Frans Magnez Suseno (dalam Suara
Pembaharuan, 23 September, 2000), yaitu suatu pendidikan yang mengandaikan kita
untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas
kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita sehingga kita mampu melihat
“kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun
kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk
perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.
Senada dengan
itu, Ainurrofiq Dawam menjelaskan defenisi pendidikan multikultural sebagai
proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya etnis, suku, dan aliran
(agama). Pengertian pendidikan multikultural yang demikian, tentu mempunyai
implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri
secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat.
Dengan demikian , pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan
setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia darimana pun dia
datangnya dan berbudaya apa pun dia. Harapanya, sekilas adalah terciptanya
kedamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan, kesejahteraan yang tidak dihantui manipulasi, dan
kebahagiaan yang terlepas dari jaring-jaring manipulasi rekayasa sosial.
Muhammad Ali
(dalam Kompas, 26 April 2002) menyebut pendidikan yang berorientasi pada proses
penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama sekaligus berwawasan multikultural,
seperti itu, dengan sebutan “pendidikan pluralis multikultural”.
Menurutnya, pendidikan semacam itu harus
dilihat sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan menaggulangi
konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa,
sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.
Memperhatikan
beberapa defenisi tentang pendidikan pluralisme tersebut di atas, secara
sederhana dapatlah pendidikan pluralisme didefenisikan sebagai pendidikan
untuk/tentang keragaman keagamaan dan kebudayaan dalam merespon perubahan
demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan. Pendidikan disini, dituntut untuk dapat merespon terhadap
perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak
bagi setiap kelompok.
D. KESIMPULAN
Kalau tujuan
akhir pendidikan adalah perubahan perilaku dan sikap serta kualitas seseorang,
maka pengajaran harus berlangsung sedemikian rupa sehingga tidak sekedar memberi
informasi atau pengetahuan melainkan harus menyentuh hati, sehingga akan
mendorongnya dapat mengambil keputusan untuk berubah. Pendidikan agama Islam,
dengan demikian, di samping bertujuan untuk memperteguh keyakinan pada
agamanya, juga harus diorientasikan untuk menanamkan empati, simpati dan
solidaritas terhadap sesama. Maka, dalam hal ini, semua materi buku-buku yang
diajarkannya tentunya harus menyentuh tentang
isu pluralitas. Dari sinilah kemudian kita akan mengerti urgensinya
untuk menyusun bentuk kurikulum pendidikan
agama berbasis pluralisme agama.
DAFTAR PUSTAKA
Afifi, al-Hadi,
Muhammad, (1964), al-Tarbiyah wa al-Taghoyyur al-Tsaqafi, Kairo: Maktabah
Angelo al-Mishriyyah.
Allen,
Dougles, 1978, Structure and Creativity
in Religion. The Houge the Netherlands:
Mountan Publisher.
Arkoun,
Mohammed, 2001, Islam Kontemporer: menuju
Dialog antar agama, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Abdullah, Amin,
M., (1999), Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Azra,
Azyumardi, 1998, Esai-esai Intelektual
Muslim dan Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisme Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Barnadib,
Imam, 1994, Filsafat Pendidikan: Sistem
dan Metode, Yogyakarta, Andi Ofset.
Basri, Ghazali
at al, (1991), An Integrated Education System In A Multifaith and Multi-Cultural
Country, Malaysia:
Muslim Yuth Movement Malaysia.
Basuki,
Singgih, A., (1999), “Kesatuan dan
Keragaman Agama Dalam Pandangan Hazrat Inayat Khan”, dalam Jurnal
Penelitian Agama, Nomor 21, TH. VIII Januari-April, h. 151.
Beck, Clive,
(1990), Better Schools: A Value Perspective,
Britain: The
Falmer Press, Taylor and Francis ICC.
Bogdan, Robert,
C. and Biklen, Knoop, Sari, Qualitative Research for Education, an Introduction
to Theory and Methode, Boston:
Allyn and Bacon, 1993: 2
Bulac, Ali,
1998, “The Medina Document”, dalam
Charles Kurzman (eds.), Liberal Islam, New
York: Oxford University Press.
Darmaningtyas,
(1999), Pendidikan Pada Dan Setelah
Krisis, Yogyakarta: 1999.
Dawam, Ainurrofiq, 2003, Emoh Sekolah, Yogyakarta:
Inspeal Ahimsa Karya Press.
Dewey, John,
1916, Democracy and Education, New York: Macmillan.
Durkheim, E.,
1961, Moral Education, New York: The Free
Press.
Effendy,
Bachtiar, 2001, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, Yogyakarta:
Galang Press.