Download

Menyoal Legitimasi Teologi Islam Terhadap Radikalisme


Melalui tema besar “Ideologi Pembebasan”, Sofy Meylinda Sari (yang akrab, masyhur dipanggil kak 'Ncop) mencoba mendedah Bab I dari proyek buku yang akan diluncurkan. Kali ini kak Sofy, membidik fenomena radikalisme yang dilegitimasi dengan pembenaran ideologi tertentu, Islam sebagai sampel. “Islam antara Persepsi, Distorsi, dan Esensi” demikian judul depan makalah itu. Hilmi, direktur SASC (Said Agil Siradj Center), memoderatori langsung acara; pun acara ini disebutnya sebagai penutup kegiatan SASC paska ujian term I.

Tepat 07 April 2010, bertempat di kediaman rekan Falahuddin Qudsi, yang berada di wilayah Ghamrah, acara dikemas dengan sistem berbeda dari kajian-kajian reguler SASC biasanya itu berlangsung meriah. Apalagi kajian kali ini bersamaan tasyakuran kang Falah, lengkap sudah.

Sofy membuka makalah dengan mengutip ungkapan Charless Kimbal, seorang antropolog Amerika, dalam bukunya When Religion Becames Evil bahwa paska tragedi WTC 11/10 2001 silam, kondisi umat Islam di dunia —terutama di Amerika dan sekutunya— secara tak langsung menjadi tertuduh sebagai pelaku kriminal, dengan alasan lugu: para pelakunya kebetulan beragama Islam.
Tak ayal, ideologi Islam pun kemudian diestimasi menyimpan ayat-ayat yang ‘berbau teror’. ”Namun fenomena paska runtuhnya WTC sungguh ajaib, karena ternyata Islam menjadi magnet yang menarik perhatian warga Amerika Serikat. Bahkan prediksi Kimbal, Islam pada paruh milenium ketiga akan melampaui populasi Yahudi sebagai agama terbesar kedua setelah Kristen,” tutur Sofy antusias.

Tapi bukan itu yang membuatnya gelisah. Dalam makalah tersebut, ia berusaha menelanjangi ideologi kaum fundamentalis, ekstrimis yang akhir-akhir ini cukup mencoreng wajah Islam, yang beranomali rahmatan lil 'alamin. Pemakalah menilai bahwa tindakan ekstrim-radikal yang kerap muncul dekade ini tak lepas dari faktor-faktor kompleks, diantaranya —dan ini yang paling menyulut perdebatan— teori Clash of Civilation yang digulirkan P. Huntington. Bagi pemakalah, teori ini memang debatable. Bahkan Akbar Ahmed dalam Islam Under Siege menulis bahwa konflik peradaban Barat dan Islam ini absurd, karena Barat bukan sebuah agama, bagaimana bisa dibenturkan dengan agama(?). “Kalaupun mau dibenturkan antara Barat dan Islam, maka itu bukan lawan yang sepadan. Ibarat anak kecil melawan orang dewasa,” tambahnya menguatkan.

Selain faktor di atas, Sofy sempat mengeksplorasi faktor-faktor sosial dan politik yang mengiringi budaya radikalis itu. Menurut beliau, kelaliman penguasa juga tak dapat diabaikan. Pemerintahan yang otoriter sangat mungkin menyuburkan aksi-aksi  radikalisme. Menyitir tulisan Karen Amstrong, umat Islam saat ini sejatinya masih merasa ‘jijik’ dengan terma sekulerisme dan terlalu bernafsu untuk kembali mendirikan khilafah. Dua faktor ini juga dominan mewarnai paradigma kaum muslimin hingga kemudian mengantar beberapa oknum untuk bertindak radikal.

Mendapat kesempatan pertama, Dian malinda, terlihat sudah tak sabar buru-buru angkat bicara. “Radikalisme yang mengatasnamakan Islam bermula dari pemahaman kaku terhadap teks-teks keagamaan. Namun saya tak sepakat dengan presentator jika mengkristalnya fenomena radikalisme tersebab oleh sikap tak tegas pemerintah setempat. Sebut saja Indonesia, bagi saya, pemerintah Indonesia sudah berupaya sepenuh hati untuk meminimalisir gerakan radikal.”kelak pendapat Dian ini banyak diamini oleh beberapa rekan yang lain, semisal Sela, Sita, dan Syarif dengan memberi beberapa catatan penting. Sela, sempat melontarkan ucapan Al-Jabiri mengenai bagaimana seharusnya kita berhadapan dengan teks secara proporsional: Menyikapi teks sebagai anak masa lalu yang harus direaktualisasi sehingga sesuai dengan problem, konteks, kebutuhan paling kini, sekarang.

Siti Maisaroh menimpali, mengkritisi beberapa komentar rekanita Dian dengan berucap, “Tapi sepanjang pengetahuan saya mengikuti perkembangan media, tak menemukan kemajuan yang berarti tentang peran pemerintah dalam memerangi fenomena radikalisme. Ini menegaskan perlu adanya solusi tepat.” Bagi Imay, begitu ia akrab disapa, ideologi bar-bar yang meracuni cara pandang mereka, ini akar dari tindakan radikal. Jadi tak ada jalan, langkah lain kecuali menjernihkan ideologi itu. Ia sempat menyebut beberapa negara Islam konservatif masa lalu yang ditengarai sebagai letupan-letupan awal radikalisme Islam: Ottoman yang mendaulat aliran Sunni sebagai madzhab resmi negara, atau Safawiyah-Iran yang mengadopsi faham Syiah sebagai madzhab negara.

Imay menambahkan bahwa kemunculan fundamentalisme bermula sejak transmisi konservatif ke modernitas. “Maka tak usah heran, kalau saya menjustifikasi beberapa pakar yang mengatakan bahwa golden age of Islam itu terjadi pada masa Abbasiyah. Karena saat itulah keharmonisan budaya Barat dan Timur dapat kita saksikan.” tutupnya tegas.

“Saya sependapat dengan beberapa statemen pemakalah, termasuk teori benturan peradaban Islam dan Barat yang absurd itu.” Ujar Aries, salah satu pegiat SASC yang baru bergabung, seraya merujuk pada salah seorang pentolan Insists, Fahmi Zarkasyi. Sementara Rifai mengidentifikasi munculnya beberapa aliran keislaman yang menjamur sejak abad 19 hingga sekarang, banyak yang memiliki misi kontra fundamentalisme ekstrim, termasuk di dalamnya feminisme.

Yazid, pegiat SASC yang enerjik, mencoba menghadirkan kronologi ilmiah mengenai mata rantai radikalisme. Ia berargumen bahwa mental labil anak muda yang dibalut dengan sikap eksklusif, cenderung menjerumuskan untuk bertindak radikal. Terbukti, hampir semua pelaku terorisme Internasional tercatat sebagai anak-anak muda, yang terlebih dahulu sudah mengalami pencucian otak. Tapi secara tegas, Yazid menampik bila ideologi Islam dituduh sebagai biangnya. “Ada ribuan ayat al-Qur’an yang menyeru pada sikap welas asih. Bila saat ini, wajah Islam terlihat buram maka yang paling bertanggung jawab adalah media.” Paparnya.

“Bagi saya, Ibnu Taimiyah adalah sosok paling bertanggung jawab di balik fenomena radikalisme Islam,” demikian komentar pembuka Imam Syadzili. Seruan mengangkat senjata terhadap pemimpin yang dzalim, seperti banyak menghiasi karya-karya Ibnu Taimiyah adalah saksi bisu. Sebagaimana di syariat Islam terdapat “syariat wasatiyah” (syariat yang seimbang) dalam akidah pun demikian. Namun lahirnya Ibnu taimiyah, membuat gagasan teologi Islam yang wasatiyah itu terputus. Di tangan Ibnu Taimiyah teologi (tauhid) Islam menjadi sangat menyeramkan. Ungkapan-ungkapan yang tak pantas bila diarahkan ke saudara sesama muslim: seperti bid’ah, fasiq, zindiq, dan kafir menjadi renyah di mulut siapa saja yang membaca karya Ibnu Taimiyah.

Paling krusial, masih menurut Imam, adalah spekulasi pihak non-Muslim yang beranggapan bahwa konsep Jihad merupakan sumber radikalisme Islam. “Ini tak benar, karena hampir semua madzhab fiqh sepakat bahwa tujuan Jihad adalah difa ‘an al-din (membela diri dan agama) bukan memerangi orang tak bersalah yang hidup berdampingan dengan kita”, Sanggah Imam. Kala menyudahi komentarnya sembari menawarkan ide menarik: seandainya kaum fundamentalis sudi mempelajari Tasawuf, niscaya mereka bisa lebih toleran dan humanis.

“Radikalisme Islam bagi saya berawal semenjak terjadinya perang Shiffin”, demikian kak Suud mengawali komentarnya. Rekan Suud mengkritik pemakalah yang dinilai tak berhasil mengidentifikasi kemunculan Ideologi yang "bid'ah" itu (radikal, bar-bar dan Fundamental), semerta meloncat ke masa Al-Maududi dan Sayid Quthb. Meski begitu, keputusan tahkim (arbItrasi) yang diambil ketika perang Shiffin masih ambigu. Sebab dalam tataran praksis, sistem yang dipakai bukan ‘La hukma illa lillah’ seperti ditulis banyak sejarawan Muslim tapi sistem sekuler. Keputusan itu terekam melalui jajak pendapat antara dua kelompok yang bertikai. Suud menyudahi komentarnya dengan mengultimatum agar kelompok radikal mau naqd dzat, instropeksi diri, dan bukan berbusa-busa mengklaim diri sebagai yang paling benar, paling suci dan paling berhak masuk Surga.

“Pelaku radikalisme sering melegitimasi tindakannya pada ayat-ayat al-Qur’an secara serampangan,” ujar Falah lantang. Ia sempat mengutip pendapat Abdurrahman Al-Kawakibi dalam bukunya Nadzarîyat al-Isti’bad wa Thabâ’i al-Istibdâd bahwa pembacaan teks tanpa interaksi secara intens dengan realitas akan membentuk cara pandang yang sempit hingga berujung pada radikalisme. Tapi ia tak sepakat dengan Imam yang menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai aktor penting di balik isu-isu ektrimisme Islam. Baginya, Muhammad bin Abdul Wahhabl-ah —pendiri Wahhabiyah— yang lebih tepat disebut sebagai otak radikalisme Islam. Karena sosok ini telah banyak mereduksi konstruk pemikiran Ibnu Taimiyah untuk kepentingan pribadi dan kemudian dipolitisasi demi sebuah kekuasaan.

“Saya apresiatif dengan diksi makalah yang menari-menari, meski menyayangkan kenapa pemakalah tak mengeksplorasi faktor psikologi pelaku ekstrim secara lebih mendalam, padahal faktor ini termasuk yang paling dominan.” Mun’im membuka komentarnya. Ada banyak faktor psikis yang melatar belakangi aksi radikal: semisal perasaan terpinggirkan, frustasi baik terhadap person atau pemerintah. Salah satu bukti, lihat kasus Sayed Quthb, sebelum dipenjarakan pemerintah karya Quthb lebih toleran dan humanis. Namun selepas itu ia mulai menyerang pemerintah, bahkan dengan frontal, di setiap karya yang ditulisnya. Menjauh dari cara pandang konvensional, dan kehilangan jati diri.

“Sebenarnya pembahasan konprehensif mengenai radikalisme —baik atas nama agama, kelompok, dan rasisme— baru digagas selepas Perang Dunia II (PD). Berangkat dari sebuah data mencengangkan bahwa korban radikalisme di seluruh dunia melebihi angka korban PD,” tambah Mun’im. Bila jumlah korban PD mencapai 6 juta jiwa maka radikalisme 16 juta jiwa. Selain itu, Mun’im berusaha membesarkan hati umat Islam dengan menghadirkan fakta riset badan kriminal yang berpusat di Amerika, yaitu ekstrimisme yang terjadi dewasa ini hanya 20% yang pelakunya diidentifikasi Muslim, selebihnya non-Muslim. Ini menjadi bukti bahwa esensi ajaran Islam tak pernah menyeru pengikutnya pada tindakan kriminal.  

“Kalian terlalu fokus pada sub judul, sehingga lupa pada sisi epistemilogi. Fundamentalisme seakan diadili sebagai subjek ‘yang salah’,” Mas Yunus mengingatkan.  Mas Yunus memiliki indikasi bahwa fundamentalisme ekstrim diawali oleh sikap skeptis terhadap modernitas. Paska runtuhnya khilafah Islam di Turki, kaum Muslim sudah mulai menampakkan phobia pada modernitas. Ia kemudian semakin menggugus ke permukaan di kala para sejarawan Barat mulai menulis tentang Islam. Ketika kata “Islam” disebut, maka sepintas, cara pandang Barat terhadap Islam itu sangat berbeda dengan hakekat Islam itu sendiri. Ini tak aneh, mengingat potret awal yang kita tangkap akan didominasi oleh makna awal yang kita terima (meminjam istilah Ali Harb: ‘Amaliyat al-Tanâsh al-Mustamir), meski belakangan word view Barat terhadap Islam sudah mulai menemukan obyektifitasnya.

Budaya skeptis umat Islam dewasa ini tertangkap jelas ketika dihadapkan pada modernitas. Seandainya mereka (fundamentalis ekstrim) tak skeptis niscaya mereka mau membaca karya-karya Ibnu Sina, al-Farabi, Ibnu Rusyd dll. Mungkin kedangkalan pemahaman keagamaan merupakan salah satu faktor internal kaum Muslimin yang memberi celah bagi kaum ekstrimis Islam untuk melegitimasi tindakan-tindakannya, semisal memahami “rahmatan lil ‘alamîn” sebagai islamisasi semua aspek atau memaksa semua orang agar mau beragama Islam. Saat itu terminologi hermaneutis mendapatkan momentumnya, sehingga terma ‘alamin bisa dipahami secara benar tanpa ada tendensi keagamaan. Baginya, fundamentalisme Islam berbeda dengan fundamentalisme Barat, yang berawal dari inkuisisi Gereja. Sementara di Islam hanya merupakan reaksi beberapa kelompok yang diselimuti perasaan nyinyir menyaksikan kemajuan bangsa lain. Sehingga logika waras tak lagi berfungsi secara normal.

***
Hampir 6 jam lebih diskusi berjalan, diselingi makan malam bersama kemudian shalat ghaib buat putri Mas Aunul ‘Abid Syah yang wafat di tanah air, sebelum akhirnya ditutup oleh moderator. Kajian reguler kali ini sekaligus penutup dari sekian rentetan acara SASC menjelang ujian musim panas. Akhirnya seluruh anggota SASC mengucapkan selamat menyambut ujian term II dengan harapan bisa mengukir prestasi yang memuaskan. [Mun'im Kholil & Imam Syadzili]
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. EdiHaryanto - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger