Di Indonesia, belakangan
sejumlah cendekiawan Muslim mengimpor ide dan teori-teori pemikir Barat, yang
kebanyakan diambil dari tradisi Kristen. Di mana, Islam diposisikan seolah-olah
sebagai “agama yang kebenarannya belum final”
Oleh
DR.SyamsuddinArif,MA*
Dunia pemikiran Islam di Indonesia kini memasuki “wajah baru” menyusul membanjirnya arus pemikiran Barat dalam studi keislaman (Islamic studies). Berbagai perguruan tinggi, baik Islam maupun Kristen, menawarkan program Religious Islamic Studies yang banyak mengacu pada pola kajian Barat. Sekitar dua dekade lalu, banyak sarjana Islam mulai berbondong-bondong pergi ke Barat untuk belajar Islam.
Lepas dari soal pro-kontra keunggulan dan kelemahan “metode Barat”, dukungan dana dan fasilitas akademik yang baik menyebabkan gelombang sarjana Muslim yang belajar Islamic studies ke Barat, sulit dibendung. Setiap tahun, ratusan sarjana Muslim Indonesia menyerbu McGill University, University of Leiden, Chicago University, Melbourne University, Hamburg University, dan sebagainya.
Soal belajar memang bisa dimana saja. Yang penting adalah sikap dan daya kritis sarjana Muslim terhadap “sajian” Barat. Prof HM Rasjidi, misalnya, meskipun lulusan Sorbonne University, Prancis, ia mampu mengembangkan daya kritisnya terhadap gagasan-gagasan sekulerisasi. Prof Naquib al-Attas juga jebolan Barat (University of London), tetapi justru berhasil menyusun pola-pola kajian Islam untuk “menandingi” Barat.
Yang menjadi pertanyaan, perlukah mengambil metode kajian keislaman (Islamic studies) dari Barat? Para penyokong gagasan ini biasanya beralasan bahwa metode Barat diperlukan untuk mengembangkan dan memecahkan kebekuan studi Islam, khususnya di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam.
Diantaranya, dengan memperkenalkan metode penelitian empiris (seperti yang biasa dipakai dalam sosiologi dan antropologi agama), teori-teori baru, dan pemikiran-pemikiran kontemporer dalam ilmu sosial dan humaniora, seperti “teori interaksi simbol” (symbolic interaction)-nya Herbert Mead, teori tindakan komunikatif (theory of communicative action)-nya Habermas, “arkeologi ilmu” (archeology of knowledge)-nya Foucault, “strategi dekonstruksi”-nya Derrida, atau hermeneutiknya Gadamer —untuk menyebut sejumlah contoh saja.
Sebab, menurut Prof. Dr. Mastuhu, “Jika diamati secara mendalam, studi keislaman di IAIN dan di tanah air pada umumnya masih banyak didominasi oleh pendekatan normatif (dogmatis) dan kurang wawasan empiris-historis.” (Lihat: Tradisi Baru Penelitian Agama Islam. Bandung: Pusjarlit dan Penerbit Nuansa, 1998, hlm. x).
Karena itu, menurut para penyokong metode Barat, mempelajari dan menguasai gagasan-gagasan para pemikir Barat menjadi suatu “keharusan”.
Persoalannya, tentu bukan sekedar belajar. Bukan transfer pengetahuan semata, lalu selesai. Tetapi, sejauh mana para sarjana Muslim mampu menyadari berbagai konsekuensi dari alih metodologi dan impor pemikiran tersebut —terutama yang menyangkut masalah-masalah yang di dalam tradisi dikategorikan sebagai “yang sudah mapan” (tsawabit)— yang oleh Arkoun disebut sebagai “the unthinkable”, seperti persoalan-persoalan akidah, otentisitas al-Qur’an, kehujjahan hadits Nabi Muhammad Saw, dan sebagainya.
Pengalaman Kristen
Oleh
DR.SyamsuddinArif,MA*
Dunia pemikiran Islam di Indonesia kini memasuki “wajah baru” menyusul membanjirnya arus pemikiran Barat dalam studi keislaman (Islamic studies). Berbagai perguruan tinggi, baik Islam maupun Kristen, menawarkan program Religious Islamic Studies yang banyak mengacu pada pola kajian Barat. Sekitar dua dekade lalu, banyak sarjana Islam mulai berbondong-bondong pergi ke Barat untuk belajar Islam.
Lepas dari soal pro-kontra keunggulan dan kelemahan “metode Barat”, dukungan dana dan fasilitas akademik yang baik menyebabkan gelombang sarjana Muslim yang belajar Islamic studies ke Barat, sulit dibendung. Setiap tahun, ratusan sarjana Muslim Indonesia menyerbu McGill University, University of Leiden, Chicago University, Melbourne University, Hamburg University, dan sebagainya.
Soal belajar memang bisa dimana saja. Yang penting adalah sikap dan daya kritis sarjana Muslim terhadap “sajian” Barat. Prof HM Rasjidi, misalnya, meskipun lulusan Sorbonne University, Prancis, ia mampu mengembangkan daya kritisnya terhadap gagasan-gagasan sekulerisasi. Prof Naquib al-Attas juga jebolan Barat (University of London), tetapi justru berhasil menyusun pola-pola kajian Islam untuk “menandingi” Barat.
Yang menjadi pertanyaan, perlukah mengambil metode kajian keislaman (Islamic studies) dari Barat? Para penyokong gagasan ini biasanya beralasan bahwa metode Barat diperlukan untuk mengembangkan dan memecahkan kebekuan studi Islam, khususnya di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam.
Diantaranya, dengan memperkenalkan metode penelitian empiris (seperti yang biasa dipakai dalam sosiologi dan antropologi agama), teori-teori baru, dan pemikiran-pemikiran kontemporer dalam ilmu sosial dan humaniora, seperti “teori interaksi simbol” (symbolic interaction)-nya Herbert Mead, teori tindakan komunikatif (theory of communicative action)-nya Habermas, “arkeologi ilmu” (archeology of knowledge)-nya Foucault, “strategi dekonstruksi”-nya Derrida, atau hermeneutiknya Gadamer —untuk menyebut sejumlah contoh saja.
Sebab, menurut Prof. Dr. Mastuhu, “Jika diamati secara mendalam, studi keislaman di IAIN dan di tanah air pada umumnya masih banyak didominasi oleh pendekatan normatif (dogmatis) dan kurang wawasan empiris-historis.” (Lihat: Tradisi Baru Penelitian Agama Islam. Bandung: Pusjarlit dan Penerbit Nuansa, 1998, hlm. x).
Karena itu, menurut para penyokong metode Barat, mempelajari dan menguasai gagasan-gagasan para pemikir Barat menjadi suatu “keharusan”.
Persoalannya, tentu bukan sekedar belajar. Bukan transfer pengetahuan semata, lalu selesai. Tetapi, sejauh mana para sarjana Muslim mampu menyadari berbagai konsekuensi dari alih metodologi dan impor pemikiran tersebut —terutama yang menyangkut masalah-masalah yang di dalam tradisi dikategorikan sebagai “yang sudah mapan” (tsawabit)— yang oleh Arkoun disebut sebagai “the unthinkable”, seperti persoalan-persoalan akidah, otentisitas al-Qur’an, kehujjahan hadits Nabi Muhammad Saw, dan sebagainya.
Pengalaman Kristen
Patut dicatat, suatu ide atau teori tidaklah muncul begitu saja, tanpa sejumlah asumsi dan presuposisi. Demikian pula gagasan pemikiran, tidak bisa terlepas dari konteks peradaban di mana teori itu dilahirkan. Suatu teori juga seringkali merupakan refleksi dari pergolakan dan krisis intelektual sang pemikir.
Pemikiran Imam al-Ghazali dan Ibnu Taymiyyah, misalnya, mencerminkan pergumulan intelektual dalam Islam. Sedangkan pemikiran Augustine, Aquinas, Pascal, dan Heidegger adalah beberapa contoh kasus pergolakan pemikiran dalam sejarah Kristen.
Tanpa menafikan hal-hal yang sifatnya universal dalam setiap pemikiran, tidak dapat dinafikan sama sekali adanya perbedaan-perbedaan prinsipil yang melandasi dan melatarbelakangi suatu gagasan. Misalnya, dalam ajaran Islam, Tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah saja (laa ilaaha illa Allah). Ini berbeda dengan doktrin trinitas dalam Kristen — bahwa ada Tuhan Bapak, Tuhan Anak (Yesus), dan Roh Kudus.
Pergumulan teologi dalam Kristen bisa dijadikan contoh kasus. Untuk menjelaskan teologi “three-in-one” yang cukup pelik ini, St Anselm harus menulis Cur Deus Homo, St Augustine menulis de Trinitate dan mengumandangkan slogan: “Credo ut intellegam” (aku percaya supaya aku bisa mengerti). Ungkapan senada dilontarkan oleh Tertullian: “Credo quia absurdum!” (aku beriman justru karena doktrin tersebut tidak masuk akal).
Dalam kamus Latin-inggris, ‘absurdum’ diartikan: irrational, senseless, against reason or common sense, clearly false or foolish, dan ridiculuous.
Mengakui betapa sulitnya mencerna apalagi mengimani teologi semacam itu, St Jerome menyatakan: “De mysterio Trinitatis recta confessio est ignoratio scientia” (misteri trinitas hanya dapat diimani dengan mengakui bahwa kita tidak bisa memahaminya). (baca: Proem ad 1.xviii in Isaias, dalam Patrologiae Latinae Cursus Completus, ed. Abbé Jacques-Paul Migne. Paris: Imprimerie Catholique, 1844-55).
Nah, dari kasus pergumulan teologi Kristen inilah muncul gagasan yang menyatakan perlunya menjembatani dan mempertemukan antara iman dan akal. Dan memang, sejarah intelektual Kristen adalah serangkaian upaya mencairkan konflik “faith” versus “reason”, konflik antara “dogma” dan “filsafat”, “agama” dan “sains”, dan seterusnya. Karena itu bisa difahami mengapa Siger de Brabant dikecam, Bruno di-eksekusi, Galileo di-immurasi (dibakar), dan Spinoza dikucilkan (ex-communicated).
Juga bisa dimaklumi mengapa Nietzsche memproklamirkan kematian Tuhan dan menyanjung Anti-Christ, lalu Feuerbach mengkritik doktrin trinitas (Dalam: Das Wesen des Christentums. Berlin: Akademie Verlag, 1956, Bab XXIV).
Bahkan Russell merasa perlu menjelaskan mengapa ia sampai murtad dari agamanya, antara lain:
“Saya katakan sungguh-sungguh bahwa agama Kristen, sebagai yang diorganisasi oleh gereja-gerejanya, telah dan masih merupakan musuh prinsipil bagi perkembangan moral dunia.” (Lihat: Why I am not a Christian. London: Routledge, 1992, hlm. 25)
Hal yang sama tidak terjadi dalam Islam —kecuali ada oknum-oknum yang sok ikut-ikutan Nietzche, misalnya, supaya dianggap filosof hebat. Karena itu, orang Islam semestinya tidak asal meminjam pendekatan studi agama yang diterapkan di Barat.
Berbeda dengan kitab suci al-Qur‘an bukan hanya diyakini sebagai Kalamullah tapi juga tidak diragukan lagi otentisitas (keaslian)nya, status Bibel masih diperdebatkan, karena sejarah penulisan dan proses transmisinya yang cukup complicated. (Lihat: Bruce M Metzger, The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption and Restoration. Oxford: Clarendon Press, 1968; dan The Cambridge History of the Bible. Cambridge: Cambridge University Press, 1969)
Karena itu tidak mengherankan bila kemudian Textus Receptus Bible diabaikan, dan timbul studi kritik teks, Quellenuntersuchungen, hermeneutika dan sebagainya. Ini diikuti dengan gagasan sekularisasi, yang muncul sebagai reaksi terhadap dominasi dan intervensi Gereja, gerakan reformasi yang dipelopori Luther, dan aliran liberal yang mengkritik dogmatisme iman Kristiani, menyerukan perlunya mencari ‘historical Jesus’ dan menolak doktrin ke-serbasempurnaan-an (impeccability) Paus. (Lihat: Kenneth S. Latourette, A History of Christianity. San Francisco: Harper & Row, 1975)
Jadi, apakah orang Islam sebaiknya ikut-ikutan memperlakukan al-Qur’an sebagaimana orang Kristen memperlakukan Bibel?
Hikmah
Mungkin ada yang berpendapat, “Mengapa tidak?” Bukankah Rasulullah Saw menyuruh kaum Muslimin mengambil hikmah dari mana pun sumbernya? Betul. Persoalannya, harus tahu membedakan antara emas dan besi berkarat, antara shampo dan oli, antara yang bermanfaat dan yang merusak.
Jangan karena terpikat dengan iklan oli, lalu digunakan untuk mencuci rambut. Ketika kaum Muslimin di zaman Bani Umayyah dan sesudahnya menerjemahkan dan mempelajari karya-karya filosof dan saintis Yunani, mereka tidak lantas menjadi skeptik, agnostik atau atheis, tidak melecehkan Nabi Muhammad Saw dan syari‘at yang dibawanya, dan tidak menjadi sekular atau liberal.
Contohnya banyak. Untuk menjadi seorang saintis yang manfaatnya terasa hingga zaman sekarang, al-Biruni tidak perlu menjadi seorang sekular atau liberal.
Mengingat fakta-fakta tersebut di atas, sangat disesalkan bila sejumlah cendekiawan Muslim mengimpor begitu saja ide-ide dan teori-teori para pemikir Barat, lalu menerapkannya untuk mengutak-atik Islam. Seraya mereka mengabaikan asumsi-asumsi teologis yang terkandung dalam pemikiran tersebut serta dampak negatif yang ditimbulkannya.
Lebih parah, jika gagasan-gagasan impor tersebut dijadikan panduan untuk mencari kebenaran dalam Islam. Islam diposisikan seolah-olah juga “agama yang kebenarannya belum final”.
Mereka mencari pencerahan (Aufklarung) dan penerangan (enlightenment) dalam kegelapan. Tak ubahnya orang yang berjalan dalam gelap-gulita sambil berusaha mendapatkan sepercik api (kamatsalil-ladzii istawqada naaran, Al-Baqarah:17).
Mereka akan jatuh, terperosok atau —kalaupun bisa jalan— tersesat. Perjalanan mencari kebenaran semacam itu tak akan kunjung selesai. Mereka terus search dan tidak akan berhenti re-search kebenaran, karena setiap kali kebenaran datang, mereka relatifkan atau bahkan mereka tolak sama sekali.
* Penulis adalah PhD di International Institute for Islamic Thought and Civilization-International Islamic University (ISTAC-IIUM), Kuala Lumpur.
Diabolisme Intelektual
Diábolos adalah 'iblis. Sebagaimana kita ketahui, ia dikutuk dan
dihalau karena menolak perintah Tuhan dan bersujud kepada Adam. Tapi dia bukan
atheist atau ragu pada Tuhan
Oleh Dr. Syamsuddin
Arif,MA *
Diábolos adalah Iblis dalam
bahasa Yunani kuno, menurut A. Jeffery dalam bukunya the Foreign Vocabulary
of the Qur'an, cetakan Baroda
1938, hlm. 48. Maka istilah "diabolisme" berarti pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian
padanya. Dalam kitab suci al-Qur'an dinyatakan bahwa Iblis termasuk bangsa
jin (18:50), yang
diciptakan dari api (15:27).
Sebagaimana kita ketahui, ia dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan
untuk bersujud kepada Adam. Apakah Iblis atheist? Tidak. Apakah ia agnostik? Tidak. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan.
Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak kenal
Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Lalu mengapa ia dilaknat dan disebut
'kafir'? Di sinilah letak persoalannya.
Kenal dan tahu saja, tidak
cukup. Percaya dan mengakui saja, tidak cukup. Mereka yang kafir dari kalangan
Ahli Kitab pun kenal dan tahu persis siapa dan bagaimana terpercayanya
Rasulullah SAW, sebagaimana orangtua mengenali anak kandungnya sendiri (ya'rifunahu kama
ya'rifuna abna'ahum). Namun tetap saja mereka enggan masuk Islam.
Jelaslah bahwa pengetahuan,
kepercayaan, dan pernyataan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan,
harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah, menurut dan
melaksanakan perintah. "Knowledge
and recognition should be followed by acknowledgement and submission,
" tegas Profesor Naquib al-Attas.
Kesalahan Iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang (aba, QS 2:34, 15:31,
20:116), menganggap dirinya hebat (istakbara, QS 2:34, 38:73, 38:75), dan melawan perintah Tuhan (fasaqa
?an amri rabbihi, QS 18:50).
Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut
sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berprilaku seperti yang
dicontohkannya.
Iblis adalah 'prototype'
intelektual 'keblinger'. Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur'an, sejurus
setelah ia divonis, Iblis mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan
dibebaskan untuk sementara waktu, ia pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke
jalannya, dengan segala cara.
"Hasutlah siapa saja yang
kau bisa dari kalangan mereka dengan seruanmu. Kerahkan seluruh pasukanmu,
kavalri maupun infantri. Menyusuplah dalam urusan keuangan dan keluarga mereka.
Janjikan mereka [kenikmatan dan keselamatan]!" Demikian difirmankan kepada
Iblis (QS 17:64).
Maka Iblis pun bertekad: "Sungguh akan kuhalangi mereka dari
jalan-Mu yang lurus. Akan kudatangi mereka dari arah depan dan belakang, dari
sebelah kanan dan kiri mereka!" (QS 7:16-17). Maksudnya,
menurut Ibnu ?Abbas ra, Iblis bertekad untuk menyesatkan orang dengan menebar
keraguan, membuat orang ragu dan lupa pada akhirat, alergi dan anti terhadap
kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan cuek
berbuat dosa, ragu dan bingung soal agama (Lihat: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an
al-?Az?im, cetakan Beirut, al-Maktabah al-?As?riyyah, 1995, vol. 2, hlm. 190).
Tidak sulit untuk mengidentifikasi cendekiawan bermental Iblis. Sebab, ciri-cirinya telah cukup diterangkan dalam al-Qur'an
sebagai berikut. Pertama,
selalu membangkang dan membantah
(6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah mau
menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir'aun berikut hulu-balangnya, zulman wa 'uluwwan,
meskipun dan padahal hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha
anfusuhum).
Maka selalu dicarinya argumen
untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya. Sebab,
yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan
karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti
dan tunduk pada kebenaran itu. Jadi jangan heran bila selalu saja ada
cendekiawan yang meskipun nota bene Muslim, namun sifatnya seperti itu.
Ideologi dan opini pemikirannya yang liar lebih ia pentingkan dan ia
pertahankan ketimbang kebenaran dan aqidah Islamnya.
Dalam tradisi keilmuan Islam,
sikap membangkang semacam ini disebut juga al-'inadiyyah
(Lihat: Abu Hafs Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w. 537
H/1142 M), al-'Aqa'id,
dalam Majmu? min Muhimmat al-Mutun, Kairo: al-Matba'ah
al-Khayriyyah, 1306 H, hlm. 19).
Kedua, intelektual diabolik
bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arrogans). Pengertian takabbur
ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
(no.147): "Sombong ialah menolak yang haq dan meremehkan orang lain (al-kibru batarul-haqq wa ghamtu
n-nas)".
Akibatnya, orang yang mengikuti
kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur'an atau hadis Nabi SAW
dianggapnya dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis, konservatif dan
lain sebagainya.
Sebaliknya, orang yang
berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan skeptis, menghujat al-Qur'an
maupun Hadis, meragukan dan menolak kebenarannya, justru disanjung sebagai
intelektual kritis, reformis dan sebagainya, meskipun terbukti zindiq, heretik dan
bermental Iblis.
Mereka bermuka dua, menggunakan standar ganda (2:14).
Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan
dungu (sufaha').
Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur'an : "Akan Aku palingkan mereka yang arogan
tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyaksikan setiap
ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan
kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan
kesesatan, mereka justru menelusurinya" (7:146).
Ciri yang ketiga ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran
(talbis wa kitman al-haqq).
Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan dikemas
sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq.
Sebaliknya, yang haq digunting
dan di'preteli' sehingga kelihatan seperti batil. Ataupun dicampur-aduk
dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara yang benar dan yang salah.
Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan
terkecoh.
Contohnya seperti yang
dilakukan oleh para pengasong gagasan inklusivisme dan pluralisme agama. Mereka
mengutip ayat-ayat al-Qur'an (2:62 dan 5:69) untuk menjustifikasi pemikiran
liarnya, untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa mempedulikan konteks siyaq, sibaq dan lihaq maupun tafsir bi l-ma'tsur dari
ayat-ayat tersebut.
Sama halnya yang dilakukan oleh
para orientalis Barat dalam kajian mereka terhadap al-Qur'an dan Hadis. Mereka
mempersoalkan dan membesar-besarkan perkara-perkara kecil, mengutak-atik yang
sudah jelas dan tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (tahrif) sumber-sumber
yang ada. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyakan mereka adalah
Yahudi dan Nasrani yang karakternya telah dijelaskan dalam al-Qur'an 3:71,
"Ya ahla l-kitab lima talbisuna l-haqq bi
l-batil wa taktumu l-haqq wa antum ta'lamun?" Yang sangat
mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh mereka yang zahirnya
Muslim.
Karena watak dan peran yang
dilakoninya itu, Iblis disebut juga Setan (syaytan),
kemungkinan dari bahasa Ibrani 'syatan', yang artinya lawan atau musuh (Lihat:
W. Gesenius, Lexicon
Manuale Hebraicum et Chaldaicum in Veteris Testamenti Libros).
Dalam al-Qur'an memang ditegaskan bahwa setan adalah musuh nyata manusia (12:5,
17:53 dan 35:6). Selain
pembangkang ('asiyy),
setan berwatak jahat, liar, dan kurang ajar (marid dan marid). Untuk
menggelincirkan (istazalla),
menjerumuskan (yughwi)
dan menyesatkan (yudillu)
orang, setan juga memakai strategi. Caranya dengan menyusup dan mempengaruhi (yatakhabbat),
merasuk dan merusak (yanzagh),
menaklukkan (istahwa)
dan menguasai (istah'wadza),
menghalang-halangi (yasudd)
dan menakut-nakuti (yukhawwif),
merekomendasi (sawwala)
dan menggiring (ta'uzz),
menyeru (yad'u)
dan menjebak (yaftin),
menciptakan imej positif untuk kebatilan (zayyana
lahum a'malahum),
membisikkan hal-hal negatif ke dalam hati dan pikiran seseorang (yuwaswis),
menjanjikan dan memberikan iming-iming (ya'iduhum
wa yumannihim), memperdaya dengan tipu muslihat (dalla bi-ghurur),
membuat orang lupa dan lalai (yunsi),
menyulut konflik dan kebencian (yuqi'u
l-'adawah wa l-baghda'), menganjurkan perbuatan maksiat dan
amoral (ya'mur bi
l-fahsya' wa l-munkar) serta menyuruh orang supaya kafir (qala li l-insani-kfur).
Nah, trik-trik inilah yang juga
dipraktekan oleh antek-antek dan konco-konconya dari kalangan cendekiawan dan
ilmuwan. Mereka disebut awliya' al-syaytan (4:76), ikhwan al-syaytan
(3:175), hizb
al-syaytan (58:19) dan junudu Iblis (26:94). Mereka menikam
agama dan mempropagandakan pemikiran liar atas nama hak asasi manusia (HAM),
kebebasan berekspresi, demokrasi, pembaharuan, pencerahan ataupun penyegaran.
Semua ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru atau pertama kali
terjadi, seperti segera diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah
pemikiran Islam. Semuanya merupakan repetisi dan
reproduksi belaka. History
repeats itself, kata pepatah bule. Hanya pelakonnya yang beda,
namun karakter dan perannya sama saja. Ada Fir'aun dan ada Musa as. Muncul
Suhrawardi al-Maqtul, tetapi ada Ibn Taymiyyah. Lalu lahir Hamzah
Fansuri, namun datang ar-Raniri, dan seterusnya.
Al-Qur'an pun telah
mensinyalir: "Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya berargumentasi,
menghujat Allah tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang durhaka. Telah
ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan, maka
akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka" (22:3-4). Maka kaum
beriman diingatkan agar senantiasa menyadari bahwa "sesungguhnya
setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret kalian ke dalam
pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang yang musyrik"
(6:121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau berijtihad. Berpendapat
boleh saja, asal dengan ilmu dan adab. Wallahu
a'lam.
*Penulis
adalah peneliti INSISTS, kini menempuh program doktor keduanya di Universitas Frankfurt, Jerman
MELAWAN "Setan JIL" DI SARANGNYA
Oleh : Erros Jafar 20 Apr, 05 -
7:21 am
http://swaramuslim.net/EBOOK/more.php?id=1293_0_11_0_M
Pengantar Redaksi:
Pada tanggal 16 April 2005
lalu, berlangsung acara bedah buku di
UIN (alias IAIN) Jakarta. Buku yang
dibedah berjudul “Ada Pemurtadan di IAIN” karya Hartono
Ahmad Jaiz. Pemrakarsa acara tersebut adalah anak-anak JIL.
Hartono Ahmad Jaiz, sempat terkejut dengan banyaknya audiens
yang menghadiri acara ini. Jumlahnya seribu
lebih. Dan yang lebih mengagetkan lagi, massa yang banyak itu justru berasal dari luar UIN,
yaitu mereka yang kontra JIL. Tentu saja kehadiran mereka itu
membuat komunitas JIL (dan anak-anak UIN pro JIL) menjadi ciut.
Sayangnya, atau culasnya, moderator yang pro JIL tidak memberi kesempatan kepada audiens untuk
terlibat dalam tanya
jawab. Meski demikian, kedua ‘pakar’ JIL
kedodoran menghadapi Hartono Ahmad Jaiz dan Muhammad At-Tamimi.
Kehadiran audiens yang kontra JIL dengan jumlah yang tak terduga
itu, nampaknya menunjukkan bahwa generasi muda Islam kita memang masih banyak
yang waras. Kedua,
menunjukkan bahwa kontribusi para aktivis Islam di internet yang
turut mensosialisasikan adanya acara
tersebut, ternyata cukup efektif.
Ketiga, ini merupakan pertolongan Allah SWT.
Sayangnya, ketika ‘cendekiawan dan misionaris JIL’ ini keok -bahkan di sarangnya sendiri- tidak
ada satu pun media massa
yang mempublikasikannya. Oleh karena itu, merupakan kewajiban kita untuk
mempublikasikan laporanpandangan mata di bawah ini yang disusun oleh akh
Abu Qori.
Mau Menyanggah Malah Kejeblos
Maksud hati mau menepis dan menyanggah isi buku Ada Pemurtadan di IAIN, tetapi yang
terjadi justru sebaliknya. Para misionaris JIL itu malah
terperosok ke dalam kubangan yang
mereka sediakan sendiri. Forum bedah buku yang semula diharapkan dapat
‘membantai’ Hartono Ahmad Jaiz malah menjadi ajang pembuktian bahwa di IAIN memang ada pemurtadan. Hujjah-hujjah yang diajukan para misionaris
JIL itu justru secara tidak langsung malah meneguhkan adanya proses pemurtadan di IAIN.
Acara bedah buku karya Hartono Ahmad Jaiz itu berlangsung di
Masjid Kampus UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta, Sabtu 16 April
2005 bertepatan dengan tanggal 7 Rabi’ul Awwal
1426 Hijriah.
Tak dinyana, acara yang sepi promosi ini ternyata dihadiri 1000-an peserta, sebagian besar justru berasal dari luar kampus UIN. Sehingga, perhelatanyang semula dirancang bertempat di Fak
Ushuluddin dan Filsafat, karena tidak mampu menampung audiens, dipindahkan ke
Masjid, khususnya di lantai 2 dan 3.
Pembicara empat orang. Dua pembicara yang
membuktikan adanya pemurtadan di IAIN
adalah Hartono Ahmad Jaiz (penulis buku
yang dibedah) dan Muhammad At-Tamimi dari Purwakarta Jawa Barat. Sedangkan dua
pembicara lainnya -yang tampaknya
membawa misi untuk menepis danya pemurtadan di IAIN namun justru hujjah-hujjahnya menggunakan pemahaman, materi, dan metode orang murtad- adalah Ulil Abshar
Abdalla kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) dan Abdul Muqsith Ghazali MA
dosen/alumni UIN Jakarta yang juga termasuk penyusun CDL KHI (Counter Draft
Legal Kompilasi Hukum Islam) pimpinan
Dr Musdah Mulia yang telah dicabut
Menteri Agama karena isinya meresahkan dan bertentangan dengan Islam.
Acara berlangsung seru,
ada pekik Allahu Akbar dan tepuk tangan bertalu-talu, meski moderator
sudah mengingatkan agar tidak bertepuk
tangan di dalam masjid. Materi, pemahaman, dan metode yang ditempuh
Muqsith dan Ulil justru menambah bukti
bahwa apa-apa yang ditulis di dalam
buku Ada Pemurtadan di IAIN
terbitan Pustaka Al-Kautsar Jakarta
setebal 280 halaman itu,
memang benar adanya.Karena, hujjah-hujjah dan metode dua
pembicara yang pro IAIN dalam membantah buku itu memang diambil dari materi dan pemahaman
kelompok ataupun tokoh yang sudah dinyatakan
kekufurannya oleh para ulama. Atau,
mereka menggunakan pemahaman mereka sendiri yang tanpa dasar, lalu sampai berani menolak
hadits yang shahih, dan hukum Allah swt
dalam Al-Qur’an. Di samping itu masih
disertai dengan kebohongan-kebohongan
untuk memberikan cap-cap sangat buruk
kepada penulis buku. Akibatnya, ketika
kebohongan-kebohongan itu dibalikkan oleh penulis buku, maka terkuaklah
kesempurnaan bahwa produk dan
bahkan dosen IAIN yang dijagokan untuk membela IAIN justru lebih buruk dari yang telah ditulis
di buku itu.
Artinya, isi buku Ada
Pemurtadan di IAIN tidak lebih seram dibanding dengan kenyataan yang
ditemukan di lapangan, melalui forum
bedah buku tersebut. Membela pemurtadan
dengan pemahaman kufur Jalan yang ditempuh Muqsith dan Ulil dalam membela IAIN ketika bedah buku itu adalah:
1. Berbohong dalam rangka memberikan stigma sangat buruk kepada penulis buku.
2. Membela kemurtadan atau kekufuran dengan faham kekufuran, dan justru
ditawarkan kepada penulis buku agar mempelajarinya. Bahkan mereka meng-klaim
bahwa di IAIN tidak ada pemurtadan, yang
terjadi sesungguhnya adalah proses adalah pluralisasi penafsiran. Dan yang dijadikan hujjah adalah penafsiran
orang-orang yang sudah divonis oleh para
ulama sebagai kafir ataupun zindiq
yaitu Ikhwanus Shofa’ dan Ibnu ‘Arabi tokoh tasawuf sesat berfaham wihdatul
adyan (menyamakan semua agama) dan
wihdatul wujud (satunya alam dengan Tuhan).
3. Melecehkan penulis -yang banyak mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi-
dengan tuduhan terlalu ‘memberhalakan’
huruf-huruf Al-Qur’an. Tuduhanitu didibalikkan oleh penulis: karena
penulis mengikuti Al-Qur’an, maka pada
hari Jum’at ia pun melaksanakan shalat
Jum’at; sedangkan Ulil, justru leha-leha berseminar dengan orang Kristen
membahas tentang Tuhan di hari Jum’at dari jam 10 hingga 13 dan tidak shalat Jum’at, tandas Hartono Ahmad
Jaiz sambil mengangkat Majalah Gatra
edisi 26 Februari 2005 yang memberitakan bahwa Ulil tidak Shalat Jum’at.
4. Memberi cap buruk kepada penulis sebagai
orang yang melanggar prinsip-prinsip dasar Al-Qur’an, karena penulis tak
membolehkan nikah beda agama. Penulis menguraikan tentang dosen-dosen IAIN, Dr Zainun Kamal dan Dr Kautsar Azhari Noer,
yang menikahkan wanita muslimah dengan
lelaki Nasrani, dan lelaki muslim dengan wanita Konghucu. Pernikahan itu
bertentangan dengan Al-Qur’an surat Al-Mumtahanah (60)
ayat 10 dan Al-Baqarah (2) ayat 221.
Muqsith yang alumni dan dosen UIN Jakarta justru membela dosen-dosen IAIN
yang melanggar ayat-ayat itu dan
malahan memberi cap buruk kepada penulis
buku. Maka, Muhammad At-Tamimi dengan tegas menyatakan penolakan terhadap ayat
itu sebagai sikap orang gila yang berbicara agama tetapi dengan dalih “menurut saya".
5. Gagal memberikan cap
buruk tentang akhlaq penulis dan isi buku, karena tuduhan-tuduhan Muqsith dan Ulil itu tak sesuai fakta, maka lebih
drastis lagi, Muqsith membela ajakan dzikir dengan lafal anjing hu akbar,
dengan mengemukakan bahwa dzikir dengan
lafal anjing hu akbar pun kalau niatnya… (tidak jelas suara Muqsith karena suara
hadirin gemuruh) maka bisa meninggikan maqamnya ( maqam di sisi Iblis…).
Ungkapan itu menjadikan para hadirin berteriak gemuruh, menyiratkan kejengkelan karena justru keluar betul keaslian produk
IAIN yang diangkat jadi dosen ternyata seburuk itu pemikirannya dan
keyakinannya. Bagaimana lagi para
mahasiswa asuhannya nanti.??
6. Ulil berani menolak hadits shohih, walaupun dirinya mengakui bahwa
hadits itu shohih, hanya karena keberanian
menurut dirinya. Ulil juga mengakui bahwa
dirinya menulis di Kompas, tidak ada hukum Tuhan. Maka Muhamad At-Tamimi
menyebut Ulil sebagai orang gila pertama
dan Muqsith orang gila kedua. Karena Allah swt
telah menurunkan wahyu tetapi ditolak dan disebut tidak ada hukum Tuhan.
Ini jelas murtad, kufur. Berbohong atau
memutar balikkan Kebohongan yang
dilontarkan, di antaranya Muqsith mengemukakan bahwa penulis buku ini sampai
menulis: Si jompo Sinta Nuriyah.
“Penulis ini akhlaqnya masih akhlaq
orang beriman atau tidak. Kalau orang beriman
tentunya tidak menulis seperti itu,” kata Muqsith.
Kebohongan itu dijawab oleh Hartono Ahmad Jaiz (penulis), bahwa di
buku Ada Pemurtadan di IAIN ini tidak ada tulisan yang bunyinya si
jompo. Yang ada hanyalah penjelasan
tentang keadaan, yaitu yang sudah jompo. Lantas, lanjut Hartono, “yang tidak
berakhlaq itu yang mengubah perkataan ini atau siapa?” Dan juga, “orang yang mengajak berdzikir dengan lafal
anjing hu akbar (di IAIN Bandung)
malah dibela. Kemudian orang yang tidak
menulis si jompo dikatakan menulis si jompo
dan dianggap tidak berakhlaq. Ini yang tak berakhlaq dan imannya perlu
dipertanyakan itu siapa.” Kebohongan
yang kedua namun tidak sempat dibantah
karena sempitnya waktu, adalah perkataan Muqsith bahwa Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kubro
(karangan As-Sya’roni) disebutkan,
menurut pendapat Imam Ahmad, aurat wanita itu hanyalah qubul dan dubur
(kemaluan depan dan belakang).
Perlu dikemukakan dalam
tulisan ini, Muqsith yang dosen dan
alumni UIN Jakarta
itu apakah ingin
mengkampanyekan agar wanita-wanita di bumi ini bertelanjang atau
bagaimana, yang jelas dia dalam membela IAIN itu telah menyembunyikan
sesuatu.
Dalam kitab Mizanul Kubro
itu ada wanita merdeka (al-hurroh) dan wanita budak (al-ammah). Aurat wanita
merdeka adalah seluruh tubuhnya, kecuali mukanya dan kedua telapak tangannya, menurut pendapat
Malik, Syafi’i, dan Ahmad dalam salah satu dari dua riwayatnya. Menurut Abu
Hanifah, seluruh tubuh wanita adalah
aurat kecuali mukanya, dua telapak tangannya, dan dua telapak kakinya. Riwayat
lain dari Ahmad, (seluruh tubuh wanita adalah aurat) kecuali mukanya saja. (Al-Mizanul Kubro Juz 1, halaman 170,
cetakan I, Darul Fikr Beirut, dalam hal
syarat sahnya sholat tentang menutup
aurat). Aurat wanita budak (al-ammah) dalam
sholat adalah antara pusarnya dan lututnya seperti aurat laki-laki. Ini menurut pendapat Malik, Syafi’i, dan
salah satu riwayat dari Ahmad; dan riwayat yang lain bahwa auratnya (wanita budak/al-ammah) adalah qubul
dan dubur saja. (ibid). Dalam Kitab
Mizanul Kubro itu dijelaskan, yang
diamalkan oleh salafus sholih adalah
yang pertama (aurat budak wanita, antara pusar dan lutut) karena tidak adanya syahwat untuk
melihat budak wanita di luar sholat,
lebih-lebih ketika sholat.
(ibid).
Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kubro bab shalat itu dikutip pendapatnya bahwa aurat wanita
merdeka (al-hurrah) adalah seluruh
tubuhnya kecuali muka dan dua telapak
tangannya atau bahkan seluruh tubuh
kecuali muka saja
Perlu dijelaskan
kebohongan Muqsith dengan kenyataan,bahwa wanita sekarang, pengertiannya ya
wanita yang disebut al-hurroh itu. Lalu kok bisa-bisanya Muqsith Ghozali dosen dan alumni UIN Jakarta ini
mengatakan bahwa Imam Ahmad dalam Kitab
Mizanul Kibro, berpendapat bahwa aurat wanita itu hanyalah qubul dan dubur.
Itulah cara berbohong untuk mengkampanyekan agar wanita sekarang yang sebagian
mereka sudah memperlihatkan pusarnya itu
agar lebih bertelanjang lagi.
Kebohongan ketiga, Muqsith
menganggap Hartono Ahmad Jaiz melanggar
prinsip-prinsip dasar Al-Qur’an, karena Hartono mengharamkan nikah beda
agama. Perkataan itu sendiri sudah
menyembunyikan sesuatu. Dalam buku itu
sudah ditulis, yang dipersoalkan adalah wanita muslimah dinikahi lelaki kafir,
Non Islam,Yahudi-Nasrani dan lainnya.
Juga lelaki Muslim menikahi wanita Konghucu. Lalu Muqsith mengatakan bahwa tidak ada ayat yang mengharamkan nikah
beda agama. Itu juga menyembunyikan ayat, hingga dibantah dengan seru oleh seorang pemuda/mahasiswa
secara spontan dengan mengacungkan Al-Qur’an. Kalau Muqsith tidak menolak Al-Qur’an,
tentunya mau mengakui, Ayatnya sudah
jelas, QS 60: 10, QS 2: 221, dan tentang kafirnya Ahli Kitab dalam Surat Al-Bayyinah ayat 6.
Dengan cara menyembunyikan
ayat, hingga justru menghalalkan nikah beda agama (seperti yang telah disebutkan itu) adalah satu
bukti justru adanya faham yang
dihembuskan dari UIN Jakarta adalah yang
menentang ayat Al-Qur’an itu. Membela kekufuran dengan kekufuran Lebih nyata
lagi ketika Muqsith membela IAIN dengan faham kekufuran. Yaitu kilah bahwa
IAIN tidak mengadakan pemurtadan tetapi pluralisasi
penafsiran.
Lalu yang diangkat
sebagai contoh adalah faham Ikhwanus Shofa’ yang tidak perlu melaksanakan
yang fardhu-fardhu/wajib-wajib dan cukup
dengan bertasbih.
Hartono Ahmad Jaiz membalikkan kepada Muqsith, justru faham yang
tidak perlu mengerjakan yang
fardhu-fardhu/wajib-wajib itulah yang sebenar-benarnya kekafiran.
Dan itu sudah dikemukakan kekafirannya dalam Kitab Tafsir Al-Qurthubi dan Imam
Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’
Al-Fatawa.
Yang dimaksud Hartono itu
adalah apa yang ditulis Imam Al-Qurthubi
yang dimulai dengan menukil ulasan gurunya, al-Imam Abu al-’Abbas, mengenai
golongan ahli kebatinan yang dihukumi sebagai zindiq yaitu: “Mereka itu
berkata: Hukum-hukum syara’ yang umum adalah untuk para nabi dan orang awam.
Adapun para wali dan golongan khusus
tidak memerlukan nas-nas (agama),
sebaliknya mereka hanya dituntut dengan apa yang terdapat dalam hati
mereka. Mereka berhukum berdasarkan apa
yang terlintas dalam fikiran mereka.”
Golongan ini juga berkata:
“Ini disebabkan kesucian hati mereka
dari kekotoran dan keteguhannya maka
terjelmalah kepada mereka ilmu-ilmu ilahi, hakikat-hakikat ketuhanan,
mereka mengikuti rahasia-rahasia alam, mereka mengetahui hukum-hukum yang
detil, maka mereka tidak memerlukan hukum-hukum yang bersifat umum, seperti
yang berlaku kepada Khidir. Mencukupi
baginya (Khidir) ilmu-ilmu yang terbuka
(tajalla) kepadanya dan tidak memerlukan apa yang ada pada kefahaman Musa.”
Golongan ini juga menyebut: “Mintalah fatwa dari hatimu sekalipun engkau telah diberikan fatwa oleh para
penfatwa.”
Selanjutnya al-Qurtubi
mengulas dakwaan-dakwaan ini dengan berkata: “Kata guru kami r.a.: Ini adalah perkataan
zindiq dan kufur, dibunuhlah siapa pun yang
mengucapkannya dan dia tidak diminta taubatnya, karena dia telah ingkar
terhadap apa yang diketahui dari
syariat. Sesungguhnya Allah telah menetapkan jalan-Nya dan melaksanakan hikmah-Nya bahwa
hukum-hukum-Nya tidak diketahui melainkan melalui perantaraan rasul-rasul yang
menjadi para utusan antara Allah dan
makhluk-Nya. Mereka adalah penyampai risalah dan perkataan-Nya serta pengurai syariat dan
hukum-hukum. Allah
memilih mereka untuk itu dan mengkhususkan
urusan ini hanya untuk mereka.”
“Telah menjadi ijma’
salaf dan khalaf bahwa tidak ada jalan mengetahui hukum-hukum Allah
yang berhubungan dengan suruhan dan larangan-Nya walaupun sedikit, melainkan melalui para Rasul. Maka siapa yang
berkata “Disana ada cara lain untuk
mengetahui suruhan dan larangan Allah tanpa melalui para rasul atau tidak memerlukan para rasul” maka dia adalah
kafir, dihukum bunuh tidak diminta
bertaubat, dan tidak diperlukan untuk tanya jawab dengannya (al-Jami’ li
Ahkam al-Quran jilid 11, halaman 40-41, cetakan
Dar al-Fikr, Beirut).
Gejala Pemurtadan di IAIN
Hartono Ahmad Jaiz
menguraikan gejala-gejala pemurtadan di AIN, di antaranya buku Harun
Nasution untuk IAIN berjudul Islam
Dipandang dari Berbagai Aspeknya
menyatakan bahwa agama monotheisme itu Islam,
Kristen (Protestan dan Katolik), dan Hindu. Juga buku Sejarah
Pembaharuan Pemikiran Islam tulisan Harun
Nasution untuk IAIN diantara isinya menyebut Rifaat At-Tahtawi (Mesir) sebagai pembaharu, dan
bahkan dalam makalah dosen IAIN di bawah
bimbingan Harun Nasution di SPS (Studi
Purna Sarjana) di IAIN Jogja 1977, Rifaat At-Tahtawi yang menghalalkan
dansa-dansa laki perempuan disebut sebagai pembuka pintu ijtihad. Ini adalah penyesatan. Mana ada pembaru dalam
Islam menghalalkan yang haram. Padahal
dalam hadits, ada potensi zina bagi mata, tangan, mulut, hati dan dibenarkan
atau dibohongkan oleh farji/ kemaluan kata
Hartono.
Hal itu dibantah Abdul
Muqsith Ghozali dengan kitab I’anatut
Tholibin terbitan Toha Putra Semarang, dengan
dibacakan tentang definisi zina, lalu Muqsith mengatakan, kalau hasyafah (kemaluan
lali-laki) ditekuk maka bukan zina. Begitu juga dengan tangan. Hartono
menjawab, “bagaimana ini, tentang zina, tangan
punya potensi zina itu saya mengutip hadits Nabi saw. Kenapa hadits Nabi dibantah pakai kitab
I’anatut Tholibin? Ya seperti inilah
keluaran dari IAIN,” tegas Hartono
dengan menuding Muqsith yang di sebelah
kanannya.
Attamimi dengan suara
lantang menantang Ulil Abshar Abdalla yang menolak hadits, yang walaupun shohih
di kitab Bukhori, namun menurut Ulil
tidak sesuai, maka ulil menolaknya.
Contohnya hadis tentang orang sholat jadi batal karena adanya yang lewat yaitu
anjing, orang perempuan, dan
khimar/keledai. Kata Ulil, “di sini
perempuan disamakan dengan anjing dan keledai. Jadi saya tolak, walaupun itu
ada di Kitab Shohih Bukhori,” kata
Ulil.
Kata At-Tamimi, “apakah
anda ini ahli hadits? Apa keahlian anda. Dalam
hal ilmu agama ini tidak bisa hanya dengan perkataan ‘pendapat saya’. Di
ilmu teknik dunia saja tidak bisa dengan ‘pendapat saya’ . Memang anda ahli
apa? Apakah ahli hadits? Saya tantang anda bicara tentang hadits. Bahkan
kumpulkan seluruh orang JIL, cukup saya
hadapi sendirian. Tidak bisa bicara
agama kok ‘menurut saya’, ‘menurut saya’. Bukan hanya perempuan yang
disamakan dengan binatang, semua laki-laki yang tidak percaya kepada
Al-Qur’an dan As-sunnah seperti anda ini
dinyatakan dalam Al-Qur’an seperti binatang,” seru At-Tamimi dengan
lantang, disambut dengan suara gemuruh
hadirin.
Dua orang yang membela
IAIN dan ingin merobohkan fakta pada buku Ada Pemurtadan di IAIN itu setelah
gagal memberikan cap-cap buruk karena dibalikkan dengan telak, maka justru menolak hukum Allah
(sebagian ditentang, dan bahkan
dinyatakan tidak ada hukum Tuhan), dan menolak hadits walaupun diakui shahih.
Di situ justru pada
dasarnya mereka menampakkan tambahan bukti yang ada pada ungkapan-ungkapan
mereka sebagai alumni, dosen dan pembela IAIN bahwa sebenarnya IAIN memang jelas ada pemurtadan.
Jadi, mereka mau menepis Adanya pemurtadan di IAIN tetapi justru terperosok
pada penguatan bahwa memang benar ada
pemurtadan di IAIN secara sistematis. Itu tentu
saja sangat berbahaya.
Buku Ada Pemurtadan di IAIN dibedah pertama kali di Islamic
Book Fair di Istora Senayan Jakarta,
Ahad 27 Maret 2005. Pembicara Dr Roem Rowi dosen pasca sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, dosen tafsir; dan
penulis buku Hartono Ahmad Jaiz. Hadirin sekitar 500 orang. Dr Roem Rowi
mengakui, di IAIN dia mengajar tafsir, namun mahasiswanya dirusak oleh
pemikiran-pemikiran yang diajarkan dalam
materi pemikiran Islam (dan sejarah kebudayaan Islam), yang itu justru materi
kuliah dasar, semua mahasiswa harus
ikut.
Sehingga, ketika
ditanya peserta bedah buku, ke mana untuk mendidikkan anak di perguruan tinggi yang islami, Dr Roem
Rowi tidak memberikan rekomendasi, hanya menunjuk di antaranya Universitas
Islam Internasional di Malaysia. Sedangkan ketika ditanya tentang kurikulum,
seberapa peran menteri agama dalam membuat kurikulum di IAIN, Roem Rowi
menjawab, menteri agama masa lalu ya hanya mengikuti Dr Harun Nasution. “Seakan
perkataan Harun Nasution itu qoululloh (firman
Alloh) bagi menteri agama yang lalu,” ujar Roem Rowi yang meraih gelar doktornya dari Universitas
al-Azhar Mesir ini.
Disebut Ada Pemurtadan di
IAIN, menurut buku itu, karena kurikulumnya, materi kuliahnya, sistem pengajarannya,
cara mengajarnya, dan dosen-dosennya banyak yang tidak sesuai dengan sistem
pemahaman Islam yang benar. Tidak merujuk kepada Al-Qur’an, As-Sunnah, dengan
manhaj salafus shalih. Tetapi yang dijadikan
mata kuliah dasar justru sejarah pemikiran Islam dan sejarah kebudayaan
Islam, yang semuanya bukan dasar Islam, dan disampaikan tidak secara ilmu
islami, tidak merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan sistem pemahaman yang benar. Diajarkan secara liar,
yaitu tanpa sanad (pertalian riwayat) hingga boleh berkomentar apa saja sampai menghina para
sahabat sekalipun. Akibatnya, alumni IAIN tidak bisa membedakan
antara madzhab-madzhab (yang perbedaannya itu dalam wilayah furu’/ cabang, jadi
boleh saja) dengan sekte-sekte sesat
(firoq dhollah) yang sudah berbeda dengan hal pokok yang benar. Bahkan sampai
tak bisa membedakan antara mukmin dengan
kafir, ketika diajari tasawuf falsafi
dan apa yang disebut filsafat Islam (semuanya
dalam materi kuliah sejarah pemikiran Islam dalam mata kuliah dasar).
Akibatnya, mereka menyamakan semua agama. Itulah sebenar-benarnya pemurtadan
secara sistematis lewat jalur perguruan
tinggi Islam se-Indonesia baik negeri maupun swasta. Maka kurikulum, sistem
pengajaran, materi, metode, dan dosen
pengajarnya perlu ditinjau ulang.
Pembelajaran
dosen-dosen IAIN ke Barat untuk studi Islam pun perlu dihentikan, menurut penulis buku, karena itu
menjadi sumber utama pemurtadan tersebut.
Usai bedah buku di UIN Jakarta, hadirin pun berjama’ah shalat dhuhur, tanpa ada dosen ataupun
mahasiswa UIN yang maju jadi imam, hingga Ustadz Mustofa Aini seorang hadirin alumni Universitas Islam
Madinah maju untuk mengimami setelah agak lama ditunggu-tunggu tak ada yang
maju.
Ulil, Muqsith dan sebagian besar
panitia dari BEM Fak Usuhuluddin dan Filsafat UIN Jakarta
tidak tampak ikut shalat berjama’ah. Mereka berada di mihrab sebelah
imaman. Kemudian Ulil diiringi para panitia turun dan pulang setelah
hadirin yang shalat berjama’ah telah
bubar pulang.
“Kampus Islam tidak mencerminkan Islam,” keluh di antara yang
hadir.
Komentar: 2 Auliya Iblis
besar telah tercampakkan namun tidak mau bertaubat, malah kian merajalela
mencari pengikut sebanyak-banyaknya
Menyoroti
Studi Teks Al-Qur’an di Barat
Sungguh disayangkan lahirnya sarjana Islam penganut orientalis dan
harus membuang energi untuk mengorek-orek otentisitas Al-Qur'an. Perkara yang
sudah selesai jelas dan tuntas
Oleh
DR.Syamsuddin Arif,MA *
Beberapa waktu lalu seorang
staf Paramadina menulis catatan di media yang isinya mengkritik buku Profesor
Muhammad Mustafa Azami, The
History of the Qur'anic Text: from Revelation to Compilation (2003).
Menurut dia, Profesor Azami "tidak masuk ke jantung perdebatan diskursif
yang berkembang di Barat, sehingga gagal merespons secara intelektual isu-isu
penting dalam studi kaum orientalis tentang Al-Qur'an."
Staf Paramadina ini agaknya belum membaca buku tersebut secara
keseluruhan, sehingga terkesan tidak adil dan tergesa-gesa dalam memberikan
penilaiannya. Ia gagal menangkap
objektif utama karya Azami, yang dimaksudkan untuk menjawab tiga pertanyaan
penting (hlm. 12): Pertama, apa yang dimaksud dengan Al-Qur’an? Kedua,
apabila suatu saat ditemukan lagi naskah tulisan tangan (manuskrip) berisi
sebagian atau seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, namun berbeda dengan versi yang
sudah ada, apakah dampak penemuan itu terhadap teks Al-Qur’an? Dan ketiga, soal
otoritas. Siapakah yang berhak dan layak untuk mengatakan sesuatu mengenai
Al-Qur’an, Islam dan segala aspeknya? Jadi, tujuan utama Azami adalah
menjelaskan sejarah kompilasi dan kodifikasi Al-Qur’an, ketimbang memberikan
"respons mendalam dan menyelami korpus kesarjanaan Barat".
Al-Qur’an dalam Studi Barat
Memang benar bahwa korpus
kesarjanaan Barat mengenai Al-Qur’an cukup beragam. Tidak semua orientalis
berniat jahat hendak menghancurkan Islam dengan menebarkan keraguan terhadap
Al-Qur’an dan hadits. Ada
juga yang konon bermaksud "baik" dan nampak simpati kepada Islam.
Beberapa nama pun disebutnya sebagai counter
examples. Menurut hemat saya, justru disinilah peneliti Paramadina
itu kelihatan lugu (naïve).
Jika Profesor Azami melewatkan begitu saja kritik Fred Donner dan William
Graham atas tesis Wansbrough, hal itu karena tulisan kedua orientalis tersebut
memang tidak diperhitungkan sama sekali pun oleh kalangan spesialis studi
Al-Qur’an di Barat sendiri.
Sama seperti Montgomery Watt,
Alford Welch atau Kenneth Cragg yang konon banyak menulis karya simpatik, sikap
lunak itu justru mengurangi validitas dan kredibilitas karya-karya mereka
dimata para koleganya: Kalau para orientalis tersebut memang meyakini kenabian
Muhammad SAW, mengakui kebenaran Islam dan keaslian Al-Qur’an , mengapa mereka tidak masuk Islam saja?
Kalau cuma sekedar wacana dan basa-basi (lip
service), apalagi jika motivasinya demi menjaga hubungan diplomatik
dengan negara-negara Islam, maka itu merupakan pelacuran intelektual. Bahwa
para orientalis itu masih bertahan dengan agamanya masing-masing, semestinya
membuka mata kita agar tidak bersikap lugu dan polos dalam menyikapi tulisan
sarjana islamologi Barat.
Membaca korpus orientalis
seputar Al-Qur’an memang tidak mudah. Disamping penguasaan pelbagai bahasa (Eropa
dan Semitik), terutama sekali diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang
menyeluruh dan mendalam atas khazanah intelektual Islam itu sendiri, bukan tahu
sepotong-sepotong atau setengah-setengah.
Jika modal kita pas-pasan, amat besar kemungkinan terpukau oleh
statemen-statemen yang sekilas meyakinkan, namun sesungguhnya rapuh secara
metodologis maupun epistemologis.
Tulisan-tulisan sarjana Barat
mengenai Al-Qur'an, dari mulai Nöldeke dalam Geschichte des Qorans, Mingana
dengan artikelnya "The
Transmission of the Kur’an", Jeffery dengan Materials for the History of the
Text of the Qur’an, Burton dalam "Linguistic Errors in the Qur’an,"
hingga Wansbrough dalam Qur'anic
Studies, dan terakhir Luxenberg dengan bukunya Die syro-aramäische
Lesart des Koran, semuanya bertolak dari
skeptisisme terhadap status Al-Qur'an sebagai dukumen sejarah. Bagi mereka
Muhammad SAW itu seorang impostor, bukan nabi, Al-Qur'an itu hasil karangan
Muhammad serta tim redaksi sesudahnya, bukan verbum dei .
Nah, presuposisi dan skeptisisme
inilah yang memandu riset dan studi mereka. Akibatnya, mereka seringkali
mengabaikan data yang tidak mendukung asumsi-asumsinya dan memanipulasi
bukti-bukti yang ada demi membenarkan teori-teorinya (abuse of evidence).
Skeptisisme para sarjana Barat tersebut juga berakibat fatal
secara epistemologis. Studi mereka berawal dari
keraguan dan berakhir dengan keraguan pula. Mereka meragukan kebenaran dan
membenarkan keraguan. Walhasil, meskipun bukti-bukti yang ditemukan membatalkan
hipotesanya, tetap saja mereka akan menolaknya, karena sesungguhnya yang mereka
cari bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Apa yang membenarkan praduga yang
dikehendaki itulah yang dicari dan, jika perlu, diada-adakan. Sebaliknya,
segala yang menyalahi dan tidak mendukung presuposisi dan misi yang ingin
dicapainya akan dimentahkan dan dimuntahkan. Hal ini diakui sendiri oleh
Herbert Berg: "the
results of their work is dictated by their presuppositions"
dan karenanya "the data are made to fit the theory." (Lihat: The
Development of Exegesis in Early Islam (Richmond:
Curzon Press, 2000), hlm. 3 dan 223).
Isu Integritas Teks al-Qur’an
Bahwa diskusi tentang
integritas teks Al-Qur’an bukan monopoli kesarjanaan Barat, tapi sudah terjadi
pada periode-periode sangat awal dalam Islam adalah benar adanya. Informasi
seputar sejarah preservasi, kompilasi, kodifikasi dan transmisi Al-Qur’an telah
direkam dan dibahas oleh para ulama terdahulu, dari Abu ‘Ubayd al-Qasim ibn
Sallam (w. 224H) dalam kitabnya Fadha’il
al-Qur’an, Imam al-Baqillani (w. 403H) dalam al-Intishar li-Naqli l-Qur’an,
hingga Imam as-Suyuthi (w. 911H) dalam al-Itqan
fi ‘Ulumi l-Qur’an, untuk menyebut beberapa saja sebagai contoh.
Kitab-kitab tersebut dapat dengan mudah diperoleh dan boleh dibaca oleh
siapapun.
Demikian pula adanya berbagai
varian bacaan (qira’at)
yang hingga kini masih terus dipelajari dan dihafal. Justru itulah Azami bebas
menulis bukunya itu. Jadi memang bukan merupakan hal yang tabu untuk diketahui
atau didiskusikan. Dari mana lagi para sarjana Barat memperoleh hampir seluruh
data-data untuk studinya itu selain dari karya-karya para ulama Islam? Namun jika sumber datanya sama, mengapa
kesimpulan para sarjana Barat itu berbeda dengan kesimpulan para ulama Islam?
Jawabnya karena point of departure dan metodologinya memang berbeda. Yang
disebut pertama bertolak dari prasangka dan praduga, berjalan dengan
kecurigaan, dan berakhir dengan keraguan. Seperti Sisyphus dalam mitologi
Yunani kuno, yang dihukum oleh para dewa untuk mendorong bongkahan batu ke puncak
bukit, lalu membiarkannya jatuh untuk kemudian didorongnya lagi, demikian
terus-menerus.
Persoalan yang dikemukakan
mengenai sejumlah ayat yang konon ‘missing’
sebelum Al-Qur’an dikumpulkan, perbedaan antara mushaf Ubayy
dan Ibn Mas’ud, dan lain sebagainya sebenarnya telah cukup dijelaskan oleh
Azami dalam bukunya itu (lihat bab 6-13). Saya khawatir justru pengkritik itu
yang sengaja melewatkan begitu saja penjelasan panjang lebar yang dikemukakan
Azami. Satu hal yang cukup memprihatinkan adalah ungkapan ‘serampangan’ diakhir
tulisannya bahwa Sayyidina Umar dan sabahat terkemuka dikatakan mengeluh
setelah peresmian teks standar Usmani, tanpa menyatakan serta terlebih dahulu
meneliti sumber dan kesahihan ‘keluhan’ tersebut. Sebab, Sayyidina ‘Umar ra
telah lama wafat ketika Khalifah Utsman ra menggarap proyek kodifikasi dan
standardisasi mushaf Al-Qur’an .
Disamping itu, menurut Imam Ibn
Katsir (w. 774H), tidak lama setelah kodifikasi dan standardisasi kedua itu
rampung, tim ahli yang terdiri dari para penghafal al-Qur’an itu kemudian
menyerahkan dan membacakan mushaf standard itu kehadapan para Sahabat Nabi saw,
termasuk Khalifah ‘Utsman ra (tsumma
quri’at ‘alâ s-Shahabah bayna yaday ‘Utsmân) (Lihat: Ibn Katsir, Fadhâ’il al-Qur’ân,
dalam Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm,
7 jilid, Beirut, 1966, 7:450). Laporan
umum dan terbuka ini sangat penting, untuk menjamin kesahihan dan kemutawatiran
al-Qur’an. Setelah semua ahli dari kalangan Sahabat itu setuju dan sepakat,
maka ditulislah beberapa naskah acuan untuk dikirim ke kota-kota Kufah, Basrah,
Damaskus, Mekkah, Mesir, Yaman, Bahrain, dan al-Jazirah. Dan sebuah naskah
disimpan oleh Khalifah ‘Utsman ra di Madinah (Lihat: Imâm Abu ‘Amr ad-Dânî, al-Muqni‘,
hlm.19 dan al-Ya‘qubi,
Târikh, I:170).
Sungguh amat disayangkan jika
kaum Muslim kini harus terbuang energinya untuk mengorek-orek perkara yang
sudah selesai jelas dan tuntas. Jauh lebih baik jika mereka berusaha memahami,
mengamalkan dan ‘membumikan’ Al-Qur’an ketimbang menggugat historisitas dan
otentisitasnya.
* Penulis adalah doktor bidang
pemikiran Islam. Kini sedang studi program Phd keduanya di Orientalisches
Seminar, Universitas Frankfurt Jerma
Kritik Reinterpretasi dan Liberalisasi Penafsiran
Kalangan JIL mengatakan al-Qur’an merupakan refleksi budaya
primitif. Karena itu harus ditafsir ulang. Imam al-Ghazali mengatakan, penafsir
al-Qur'an yang hanya menggunakan akal, tempatnya neraka
Dr. Syamsuddin Arif, M.A
*)
Akhir-akhir ini kerap terdengar seruan perlunya penafsiran ulang alias reinterpretasi al-Qur’an dan ajaran Islam. Alasan yang sering dikemukakan antara lain karena kitab suci ini dikatakan merupakan refleksi dari dan reaksi terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat Arab Jahiliyah abad ke-7 Masehi yang primitif dan patriarkis. Karena itu, ayat-ayat al-Qur’an yang terkesan ‘menindas’ wanita, seperti membolehkan poligami, menekankan superioritas suami, mengatur pembagian warisan, ataupun yang terkesan tidak manusiawi (barbarian), seperti ayat-ayat jihad/qital dan hukum pidana (hudud), seperti soal potong tangan, qishash dan rajam, semua ini perlu ditinjau dan ditafsirkan kembali agar sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan nilai-nilai demokrasi, perlu direinterpretasikan agar sesuai dengan denyut nadi peradaban manusia modern yang sedang dan terus berubah.
Lebih jauh dari itu, sebagaimana diserukan oleh seorang aktivis JIL belum lama ini, Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa penafsiran al-Qur’an dan ajaran Islam oleh ulama atau golongan tertentu bukanlah yang paling benar dan mutlak. Setiap orang dan golongan dihimbau agar menghargai hak orang dan golongan lain untuk menafsirkan al-Qur’an dan ajaran Islam “berdasarkan sudut pandangnya sendiri”. Tulisan ini bermaksud mengkritisi gagasan perlunya reinterpretasi al-Qur’an dan liberalisasi tafsir tersebut secara metodologis dan epistemologis.
Kritik Metodologis
Para penyeru gagasan reinterpretasi al-Qur’an umumnya tidak menyadari bahwa apa yang mereka kerjakan sebenarnya sangat rawan secara metodologis. Menafsirkan al-Qur’an bukanlah perkara ringan dan sepele. Tidak sembarang orang bisa dan bebas melakukannya. Nabi Muhammad SAW, yang kepadanya kitab suci itu diwahyukan, pernah bersabda: “Siapa saja yang mengatakan sesuatu mengenai al-Qur’an tanpa landasan ilmu (bi-ghayri ‘ilm) atau dengan opininya sendiri (bi-ra’yihi), maka ia telah memesan tempat duduknya di neraka” (HR Imam Tirmidzi). Itulah sebabnya mengapa tokoh sekaliber Abu Bakr as-Siddiq ra tidak mau banyak komentar ketika ditanya mengenai tafsir suatu ayat. Jangankan melakukan re-interpretasi, membuat interpretasi saja beliau tidak berani (Lihat: H. Birkeland, Old Muslim Opposition against the Interpretation of the Koran, Oslo: Norske Videnskaps Akademi, 1955).
Apakah ini berarti kita tidak boleh menafsirkan atau menafsirkan kembali al-Qur’an? Jawabannya tentu saja negatif. Interpretasi dan reinterpretasi dibolehkan asalkan dengan ilmu dan tidak berdasarkan opini semata-mata. Buktinya khazanah intelektual Islam sangat kaya dengan pelbagai kitab tafsir hasil ijtihad para ulama dari abad ke abad. Diriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah mendoakan Ibn ‘Abbas agar dianugrahkan ilmu untuk memahami al-Qur’an. Memang terbukti akhirnya saudara sepupu beliau ini dikenal paling banyak tahu dan ahli dalam menafsirkan al-Qur’an. Dalam hadis lain dikatakan bahwa al-Qur’an itu dzu wujuuh, mengandung banyak aspek, makna, intensi, pendekatan dan sudut pandang, sehingga bisa dipahami dan ditafsirkan macam-macam. Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa setiap lafaz dari al-Qur’an itu beraspek ganda: zahir dan batin, tersurat dan tersirat, literal dan non-literal. Semua keterangan ini menunjukkan bahwa pada prinsipnya al-Qur’an boleh saja ditafsirkan.
Jika menafsirkan al-Qur’an tidak dilarang, pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Apa batasan prasyarat “harus dengan ilmu dan tidak dengan opini” dalam hadis tersebut di atas? Kapan seseorang dianggap layak untuk menafsirkan al-Qur’an? Dan kapan suatu interpretasi dikatakan atas dasar opini? Mengenai kualifikasi apa saja yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, literatur ulumul Qur’an dan usul fiqih sudah cukup menjelaskannya. Untuk layak menafsirkan al-Qur’an, anda harus menguasai bahasa Arab dan literatur hadis secara mendalam dan komprehensif, tidak setengah-setengah atau sepotong-sepotong. Jika prasyarat ini sudah terpenuhi, anda disarankan mengikuti prosedur yang berlaku: menafsirkan suatu ayat dengan ayat lain, dan atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan Sunnah/hadis Rasulullah SAW, dan atau menafsirkannya dengan keterangan para mufassirin dari kalangan Sahabat, Tabi‘in, dan para ulama salaf. Demikian ditegaskan oleh Imam as-Suyuti dalam kitabnya, at Tahbir fi ‘Ilmi t-Tafsir (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 128-9.
Lalu kapan suatu interpretasi dikatakan berdasarkan opini pribadi? Menurut Imam al-Ghazali, jenis penafsiran yang dilarang dan dikecam ada tiga. Pertama, jika anda menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan linguistik dsb semata-mata, tanpa menghiraukan keterangan hadis dan riwayat sahih. Kedua, jika anda sengaja melompati dan menafikan tafsir literal seraya membuat tafsiran allegoris, seperti golongan Batiniyah yang mengatakan bahwa kata-kata ‘api’ (naar) dalam QS 21:69 itu maksudnya kemarahan Raja Namrud, bukan “si jago merah”. Ketiga, apabila sebelum menafsirkan al-Qur’an anda sudah terlebih dulu mempunyai gagasan, teori, pemikiran, ideologi, keyakinan atau tujuan tertentu, lantas al-Qur’an anda tafsirkan sesuai dengan dan menurut apa yang ada di kepala anda itu. Ini sama dengan meletakkan gerbong di depan lokomotif (putting the chariot before the horse). Cara-cara menafsirkan al-Qur’an semacam ini masuk dalam kategori tafsir dengan opini yang pelakunya diancam api neraka, terlepas dari maksud dan niat baiknya, disadari ataupun tidak, sengaja maupun tanpa sengaja (Lihat: Ihya’ ‘Ulumiddin, Kairo, 1967, I:378-83).
Dalam konteks ini para penyeru reinterpretasi perlu mencermati lagi dua buah hadis terkait sebagai berikut: “Siapa saja yang menyatakan sesuatu tentang al-Qur’an berdasarkan opininya sendiri, kalaupun pendapatnya itu betul, maka sesungguhnya ia telah melakukan kesalahan (fa ashaaba faqad akhtha’a)” (HR Imam Abu Dawud, no.3652), dan kedua: “Seorang hakim yang telah melakukan ijtihad, jika kesimpulan ijtihadnya betul, maka untuknya dua pahala. Namun jika kesimpulannya salah, maka baginya satu pahala” (HR Imam Bukhari dan Muslim). Keterangan Nabi SAW ini sangat logis. Yang dinilai disini bukan hanya hasilnya, tetapi juga cara kerjanya. Jika keduanya betul, diberikan poin 2. Jika metodenya betul, walaupun hasilnya keliru, diberikan poin 1 (dapat pahala dan tidak berdosa). Jika prosedur penafsirannya sudah salah, meskipun kesimpulannya betul (secara kebetulan!), maka poinnya 0 (pahalanya hangus untuk menebus kesalahannya). Apalagi jika keduanya salah, maka poinnya -2 (dosanya dua kali lipat).
Kritik Epistemologis
Persoalan mendasar yang juga luput dari wacana liberalisasi tafsir adalah seputar status dan validitas suatu penafsiran. Ungkapan seorang pemikir liberal, misalnya, bahwa penafsiran al-Qur’an dan ajaran Islam oleh ulama atau golongan tertentu bukanlah yang paling benar dan mutlak, adalah pendapat yang sangat rapuh secara epistemologis. Demikian juga seruan agar setiap orang dan golongan berani menafsirkan al-Qur’an dan ajaran Islam “berdasarkan sudut pandangnya sendiri” serta mau menghargai hak orang dan golongan lain untuk membuat interpretasi sendiri. Jika dicermati secara seksama, ungkapan-ungkapan semacam ini hanya menunjukkan kerancuan berpikir yang tak disadari (paralogism) dan kekeliruan yang disengaja untuk mengecoh dan menyesatkan orang lain (sophism). Semuanya lahir dari sikap skeptis dan bermuara pada relativisme epistemologis.
Memang betul, ketika menafsirkan kitab suci, kita tidak boleh mengklaim itu bahwa kita benar-benar telah memahami maksud firman Tuhan. Tidak boleh merasa seolah-olah kita telah menangkap maksud kata-kata Tuhan yang sebenarnya. Itulah sebabnya mengapa para ulama salaf selalu mengakhiri fatwa dan karya mereka dengan kalimat: “Namun Tuhan lebih dan paling mengetahui apa yang benar” (wa Allahu a‘lam bi-s shawaab). Kalimat ini sering disalahpahami. Para ulama salaf mengatakan ini bukan karena mereka ragu-ragu atau skeptis, bukan pula karena mereka menganut relativisme. Dalam masalah keilmuan, ulama salaf sangat tekun, teliti dan teguh berpendirian dan berargumentasi, sebagaimana dapat dilihat dalam literatur fiqih. Kalimat tersebut mereka ucapkan semata-mata karena ‘adab kepada Tuhan’ yang ilmuNya meliputi segala sesuatu. Adapun dengan sesama manusia, sikap yang ditunjukkan adalah kesanggupan menerima dan mengikuti kebenaran, dan bukan menampik atau mempertahankan kebalikannya.
Apakah mungkin semua penafsiran harus diterima? Jawabnya tergantung, apakah penafsiran tersebut dikemukakan oleh seorang ahli yang telah diakui kepakarannya, atau oleh seorang mufassir amatir yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Saya lebih bisa menerima tafsir Imam al-Qurthubi ketimbang interpretasi seorang Mernissi atau Shahrour. Seruan tokoh liberal agar Umat Islam merelatifisir setiap penafsiran, menurut saya, adalah na’if dan tidak realistis. Na’if karena seruan tersebut akan berbalik seperti bumerang, merelatifisir dan menggugurkan pendapatnya sendiri (self-defeating). Tidak realistis karena pada kenyataannya memang tidak semua penafsiran bisa diterima, dan tidak semua penafsiran harus ditolak. Penafsiran yang dipandu oleh ideologi tertentu dan interpretasi yang dipaksakan untuk menjustifikasi suatu kepentingan tentu sulit untuk diterima.
Gagasan liberalisasi tafsir juga tidak realistis dan perlu dicurigai. Orang yang menyeru agar setiap orang dan golongan dibebaskan untuk membuat penafsiran sendiri sebenarnya tidak menyadari bahwa tidak semua orang layak dan berhak melakukannya, termasuk dirinya sendiri. Bahkan perlu dicurigai jangan-jangan seruan itu sejatinya justru tuntutan agar dirinya yang masih belum atau tidak layak itu pun diberikan hak untuk melakukan penafsiran. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika pramugari berlagak menjadi pilot. Kata peribahasa Jawa, Aja rumangsa bisa, ning bisa rumangsa, (jangan sot tahu, tapi tahu dirilah, red).
Penulis adalah Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman
Akhir-akhir ini kerap terdengar seruan perlunya penafsiran ulang alias reinterpretasi al-Qur’an dan ajaran Islam. Alasan yang sering dikemukakan antara lain karena kitab suci ini dikatakan merupakan refleksi dari dan reaksi terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat Arab Jahiliyah abad ke-7 Masehi yang primitif dan patriarkis. Karena itu, ayat-ayat al-Qur’an yang terkesan ‘menindas’ wanita, seperti membolehkan poligami, menekankan superioritas suami, mengatur pembagian warisan, ataupun yang terkesan tidak manusiawi (barbarian), seperti ayat-ayat jihad/qital dan hukum pidana (hudud), seperti soal potong tangan, qishash dan rajam, semua ini perlu ditinjau dan ditafsirkan kembali agar sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan nilai-nilai demokrasi, perlu direinterpretasikan agar sesuai dengan denyut nadi peradaban manusia modern yang sedang dan terus berubah.
Lebih jauh dari itu, sebagaimana diserukan oleh seorang aktivis JIL belum lama ini, Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa penafsiran al-Qur’an dan ajaran Islam oleh ulama atau golongan tertentu bukanlah yang paling benar dan mutlak. Setiap orang dan golongan dihimbau agar menghargai hak orang dan golongan lain untuk menafsirkan al-Qur’an dan ajaran Islam “berdasarkan sudut pandangnya sendiri”. Tulisan ini bermaksud mengkritisi gagasan perlunya reinterpretasi al-Qur’an dan liberalisasi tafsir tersebut secara metodologis dan epistemologis.
Kritik Metodologis
Para penyeru gagasan reinterpretasi al-Qur’an umumnya tidak menyadari bahwa apa yang mereka kerjakan sebenarnya sangat rawan secara metodologis. Menafsirkan al-Qur’an bukanlah perkara ringan dan sepele. Tidak sembarang orang bisa dan bebas melakukannya. Nabi Muhammad SAW, yang kepadanya kitab suci itu diwahyukan, pernah bersabda: “Siapa saja yang mengatakan sesuatu mengenai al-Qur’an tanpa landasan ilmu (bi-ghayri ‘ilm) atau dengan opininya sendiri (bi-ra’yihi), maka ia telah memesan tempat duduknya di neraka” (HR Imam Tirmidzi). Itulah sebabnya mengapa tokoh sekaliber Abu Bakr as-Siddiq ra tidak mau banyak komentar ketika ditanya mengenai tafsir suatu ayat. Jangankan melakukan re-interpretasi, membuat interpretasi saja beliau tidak berani (Lihat: H. Birkeland, Old Muslim Opposition against the Interpretation of the Koran, Oslo: Norske Videnskaps Akademi, 1955).
Apakah ini berarti kita tidak boleh menafsirkan atau menafsirkan kembali al-Qur’an? Jawabannya tentu saja negatif. Interpretasi dan reinterpretasi dibolehkan asalkan dengan ilmu dan tidak berdasarkan opini semata-mata. Buktinya khazanah intelektual Islam sangat kaya dengan pelbagai kitab tafsir hasil ijtihad para ulama dari abad ke abad. Diriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah mendoakan Ibn ‘Abbas agar dianugrahkan ilmu untuk memahami al-Qur’an. Memang terbukti akhirnya saudara sepupu beliau ini dikenal paling banyak tahu dan ahli dalam menafsirkan al-Qur’an. Dalam hadis lain dikatakan bahwa al-Qur’an itu dzu wujuuh, mengandung banyak aspek, makna, intensi, pendekatan dan sudut pandang, sehingga bisa dipahami dan ditafsirkan macam-macam. Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa setiap lafaz dari al-Qur’an itu beraspek ganda: zahir dan batin, tersurat dan tersirat, literal dan non-literal. Semua keterangan ini menunjukkan bahwa pada prinsipnya al-Qur’an boleh saja ditafsirkan.
Jika menafsirkan al-Qur’an tidak dilarang, pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Apa batasan prasyarat “harus dengan ilmu dan tidak dengan opini” dalam hadis tersebut di atas? Kapan seseorang dianggap layak untuk menafsirkan al-Qur’an? Dan kapan suatu interpretasi dikatakan atas dasar opini? Mengenai kualifikasi apa saja yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, literatur ulumul Qur’an dan usul fiqih sudah cukup menjelaskannya. Untuk layak menafsirkan al-Qur’an, anda harus menguasai bahasa Arab dan literatur hadis secara mendalam dan komprehensif, tidak setengah-setengah atau sepotong-sepotong. Jika prasyarat ini sudah terpenuhi, anda disarankan mengikuti prosedur yang berlaku: menafsirkan suatu ayat dengan ayat lain, dan atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan Sunnah/hadis Rasulullah SAW, dan atau menafsirkannya dengan keterangan para mufassirin dari kalangan Sahabat, Tabi‘in, dan para ulama salaf. Demikian ditegaskan oleh Imam as-Suyuti dalam kitabnya, at Tahbir fi ‘Ilmi t-Tafsir (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 128-9.
Lalu kapan suatu interpretasi dikatakan berdasarkan opini pribadi? Menurut Imam al-Ghazali, jenis penafsiran yang dilarang dan dikecam ada tiga. Pertama, jika anda menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan linguistik dsb semata-mata, tanpa menghiraukan keterangan hadis dan riwayat sahih. Kedua, jika anda sengaja melompati dan menafikan tafsir literal seraya membuat tafsiran allegoris, seperti golongan Batiniyah yang mengatakan bahwa kata-kata ‘api’ (naar) dalam QS 21:69 itu maksudnya kemarahan Raja Namrud, bukan “si jago merah”. Ketiga, apabila sebelum menafsirkan al-Qur’an anda sudah terlebih dulu mempunyai gagasan, teori, pemikiran, ideologi, keyakinan atau tujuan tertentu, lantas al-Qur’an anda tafsirkan sesuai dengan dan menurut apa yang ada di kepala anda itu. Ini sama dengan meletakkan gerbong di depan lokomotif (putting the chariot before the horse). Cara-cara menafsirkan al-Qur’an semacam ini masuk dalam kategori tafsir dengan opini yang pelakunya diancam api neraka, terlepas dari maksud dan niat baiknya, disadari ataupun tidak, sengaja maupun tanpa sengaja (Lihat: Ihya’ ‘Ulumiddin, Kairo, 1967, I:378-83).
Dalam konteks ini para penyeru reinterpretasi perlu mencermati lagi dua buah hadis terkait sebagai berikut: “Siapa saja yang menyatakan sesuatu tentang al-Qur’an berdasarkan opininya sendiri, kalaupun pendapatnya itu betul, maka sesungguhnya ia telah melakukan kesalahan (fa ashaaba faqad akhtha’a)” (HR Imam Abu Dawud, no.3652), dan kedua: “Seorang hakim yang telah melakukan ijtihad, jika kesimpulan ijtihadnya betul, maka untuknya dua pahala. Namun jika kesimpulannya salah, maka baginya satu pahala” (HR Imam Bukhari dan Muslim). Keterangan Nabi SAW ini sangat logis. Yang dinilai disini bukan hanya hasilnya, tetapi juga cara kerjanya. Jika keduanya betul, diberikan poin 2. Jika metodenya betul, walaupun hasilnya keliru, diberikan poin 1 (dapat pahala dan tidak berdosa). Jika prosedur penafsirannya sudah salah, meskipun kesimpulannya betul (secara kebetulan!), maka poinnya 0 (pahalanya hangus untuk menebus kesalahannya). Apalagi jika keduanya salah, maka poinnya -2 (dosanya dua kali lipat).
Kritik Epistemologis
Persoalan mendasar yang juga luput dari wacana liberalisasi tafsir adalah seputar status dan validitas suatu penafsiran. Ungkapan seorang pemikir liberal, misalnya, bahwa penafsiran al-Qur’an dan ajaran Islam oleh ulama atau golongan tertentu bukanlah yang paling benar dan mutlak, adalah pendapat yang sangat rapuh secara epistemologis. Demikian juga seruan agar setiap orang dan golongan berani menafsirkan al-Qur’an dan ajaran Islam “berdasarkan sudut pandangnya sendiri” serta mau menghargai hak orang dan golongan lain untuk membuat interpretasi sendiri. Jika dicermati secara seksama, ungkapan-ungkapan semacam ini hanya menunjukkan kerancuan berpikir yang tak disadari (paralogism) dan kekeliruan yang disengaja untuk mengecoh dan menyesatkan orang lain (sophism). Semuanya lahir dari sikap skeptis dan bermuara pada relativisme epistemologis.
Memang betul, ketika menafsirkan kitab suci, kita tidak boleh mengklaim itu bahwa kita benar-benar telah memahami maksud firman Tuhan. Tidak boleh merasa seolah-olah kita telah menangkap maksud kata-kata Tuhan yang sebenarnya. Itulah sebabnya mengapa para ulama salaf selalu mengakhiri fatwa dan karya mereka dengan kalimat: “Namun Tuhan lebih dan paling mengetahui apa yang benar” (wa Allahu a‘lam bi-s shawaab). Kalimat ini sering disalahpahami. Para ulama salaf mengatakan ini bukan karena mereka ragu-ragu atau skeptis, bukan pula karena mereka menganut relativisme. Dalam masalah keilmuan, ulama salaf sangat tekun, teliti dan teguh berpendirian dan berargumentasi, sebagaimana dapat dilihat dalam literatur fiqih. Kalimat tersebut mereka ucapkan semata-mata karena ‘adab kepada Tuhan’ yang ilmuNya meliputi segala sesuatu. Adapun dengan sesama manusia, sikap yang ditunjukkan adalah kesanggupan menerima dan mengikuti kebenaran, dan bukan menampik atau mempertahankan kebalikannya.
Apakah mungkin semua penafsiran harus diterima? Jawabnya tergantung, apakah penafsiran tersebut dikemukakan oleh seorang ahli yang telah diakui kepakarannya, atau oleh seorang mufassir amatir yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Saya lebih bisa menerima tafsir Imam al-Qurthubi ketimbang interpretasi seorang Mernissi atau Shahrour. Seruan tokoh liberal agar Umat Islam merelatifisir setiap penafsiran, menurut saya, adalah na’if dan tidak realistis. Na’if karena seruan tersebut akan berbalik seperti bumerang, merelatifisir dan menggugurkan pendapatnya sendiri (self-defeating). Tidak realistis karena pada kenyataannya memang tidak semua penafsiran bisa diterima, dan tidak semua penafsiran harus ditolak. Penafsiran yang dipandu oleh ideologi tertentu dan interpretasi yang dipaksakan untuk menjustifikasi suatu kepentingan tentu sulit untuk diterima.
Gagasan liberalisasi tafsir juga tidak realistis dan perlu dicurigai. Orang yang menyeru agar setiap orang dan golongan dibebaskan untuk membuat penafsiran sendiri sebenarnya tidak menyadari bahwa tidak semua orang layak dan berhak melakukannya, termasuk dirinya sendiri. Bahkan perlu dicurigai jangan-jangan seruan itu sejatinya justru tuntutan agar dirinya yang masih belum atau tidak layak itu pun diberikan hak untuk melakukan penafsiran. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika pramugari berlagak menjadi pilot. Kata peribahasa Jawa, Aja rumangsa bisa, ning bisa rumangsa, (jangan sot tahu, tapi tahu dirilah, red).
Penulis adalah Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman
Dekonstruksi Aqidah Islam
Wawancara Ulil Abshar Abdalah dengan Jalaludin Rachmat berjudul
“Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”, mengatakan, istilah "kafir"
sudah tidak relevan. Baca Catatan Akhir Pekan DR.Adian Husaini,MA ke-24 Kamis (25 September 2003) banyak
berita menarik yang muncul berbagai website media massa. Hampir semua media menampilkan berita
tentang kerusuhan di Sumbawa Besar yang menewaskan satu orang dan mencederai 11
lainnya. Koran Berbahasa Inggris The
Jakarta Post
masih memuat poling calon presiden oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan
Denny JA, yang mengunggulkan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
calon presiden RI 2004-2009. Dari Israel
muncul berita menarik: 9 orang pilot Israel terancam dipecat karena
menolak menembaki penduduk sipil Palestina.
Berita pembangkangan pilot Israel ini juga dimuat oleh situs
Harian Republika dan juga Islamonline.net.
Berita tentang pilot Israel ini cukup menarik. Koran Haaretz, melaporkan peristiwa ini cukup detail. Pekan lalu, 27 mantan pilot Israel membuat pernyataan menolak melakukan aksi di wilayah Palestina. Dari 27 orang itu, 9 pilot masih aktif di AU Israel. Ke-9 orang itulah yang kini diskors dan terancam dipecat, jika mereka menolak mencabut pernyataan yang telah mereka sebarluaskan ke media massa. Para pilot Israel itu menyatakan, serangan udara di wilayah Palestina merupakan tindakan illegal dan amoral. Di antara pilot pembangkang itu adalah Brigadir Jenderal (Purn) Yiftah Spector, komandan squadron dalam Perang tahun 1973.
Mereka menyatakan, mereka akan menolak terlibat dalam serangan udara terhadap penduduk Palestina di wilayah itu. "We, both veteran and active pilots, who have served and who still serve the state of Israel, are opposed to carrying out illegal and immoral orders to attack, of the type Israel carries out in the territories," begitu pernyataan mereka. Berita-berita seperti ini segera menarik media internasional, karena merupakan perlawanan dari dalam tubuh zionis Israel sendiri.
Berita-berita itu dari sudut jurnalistik memang menarik – dalam arti, mudah menarik minat pembaca untuk mengikutinya. Namun, disamping berita-berita seputar perkembangan sosial, politik dalam negeri, dan politik internasional, ada berita-berita dan tulisan-tulisan yang sebenarnya sangat perlu mendapatkan perhatian serius dan terus-menerus oleh kaum Muslimin di Indonesia adalah berita-berita dan artikel-artikel yang muncul si website Jaringan Islam Liberal (JIL). Mengapa?
Sebab: Pertama, berita-berita dan artikel-artikel itu disiarkan secara luas oleh berbagai media massa. Selain melalui jaringan Koran Jawa Pos di berbagai daerah, berita-berita di website ini juga disiarkan melalui jaringan radio satelit Kantor Berita Radio 68H, yang kini dipancarteruskan oleh radio Emsa 91,45 FM Bandung; Anisa Tritama 92, 15 FM Garut; FM Merak 93,55 FM Banten; Unisi 104,75 Jogyakarta; TOP 89,7 FM Semarang; PAS 101,2 Pati; Elviktor 94,6 FM Surabaya; Sonya 106,5 FM Medan; Suara Andalas 103 FM Lampung; Gema Hikmah Ternate, 103 FM Maluku Utara; Suara Selebes 100,2 FM Gorontalo; SPFM 103,7 FM Makassar, Ujung Pandang; Nusantara Antik 105,8 FM Banjarmasin; Mandalika 684 AM Lombok; DMS 100,9 FM Ambon, Maluku; Volare 103 FM Pontianak; Bulava 100,2 FM Poso; Elbayu 954 AM Gresik, Jawa Timur; Suara Padang 102,3 FM Sumatera Barat. Daftar radio ini terus diusahakan untuk bertembah lagi.
Kedua, berita dan artikel itu ditulis dan diucapkan oleh orang-orang yang memiliki otoritas, baik secara kelembagaan Islam maupun kepakaran atau latar belakang pendidikan. Dalam situasi pertarungan opini secara bebas, maka kedua factor tersebut memegang perenan penting untuk “memenangkan” pertarungan opini di Indonesia. Opini akan membentuk image, dan jika image itu ditanamkan secara terus menerus, maka akan membentuk satu persepsi di tengah masyarakat.
Kamis (25-9-2003) itu ada sejumlah artikel yang muncul di website islamlib.com, diantaranya: “Depolitisasi Syariat Islam”, “Hermeneutika Ayat-ayat Perang”, “Teori Konspirasi selalu Meneror Kebenaran”, “Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”, dan sebagainya. Yang perlu kita cermati kali ini adalah tulisan yang berjudul “Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”, yang merupakan wawancara Ulil Abshar Abdalla dengan Dr. Djalaludin Rachmat dari Bandung. Djalaludin Rahmat ditanya: “Lantas bagaimana dengan konsepsi tentang orang kafir yang sering diteriakkan juga oleh mereka yang merasa berjuang di jalan Allah itu; apakah konsep ini sudah tepat penggunaannya?
Jawabnya: “Konsep tentang kafir masih tetap relevan, karena sebagai istilah, dia ada di dalam Alqur’an dan Sunnah. Hanya saja, mungkin kita harus merekonstruksi maknanya lagi --bukan mendekonstruksi. Saya berpendapat, kata kafir dan derivasinya di dalam Alqur’an selalu didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Dalam Alqur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.
Saya ingin mencontohkan makna kafir dalam redaksi Alqur’an. Misalnya disebutkan bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam Alqur’an disebutkan, “immâ syâkûran waimmâ kafûrâ (bersukur ataupun tidak bersukur); lain syakartum la’azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd (kalau engkau bersukur, Aku akan tambahkan nikmatku, kalau engkau ingkar (nikmat) sesungguhnya azabku amat pedih). Di sini kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya. Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.
Tanya Ulil Abshar lagi: Jadi, orang yang perangai sosialnya buruk meskipun seorang muslim bisa juga disebut orang kafir?
Djalaludin Rahmat: Betul. Saya sudah mengumpulkan ayat-ayat Alqur’an tentang konsep kafir. Dari situ ditemukan, kata kafir juga dihubungkan dengan kata pengkhianat, dihubungkan dengan tindak kemaksiatan yang berulang-ulang, atsîman aw kafûrâ. Kafir juga bermakna orang yang kerjanya hanya berbuat dosa, maksiat.
Selain itu, orang Islam pun bisa disebut kafir, kalau dia tidak bersyukur pada anugerah Tuhan. Dalam surat Al-Baqarah misalnya disebutkan, “Innalladzîna kafarû sawâ’un ‘alaihim aandzartahum am lam tundzirhum lâ yu’minûn.” Artinya, bagi orang kafir, kamu ajari atau tidak kamu ajari, sama saja. Dia tidak akan percaya. Walaupun agamanya Islam, kalau ndableg nggak bisa diingetin menurut Alqur’an disebut kafir. Nabi sendiri mendefinisikan kafir (sebagai lawan kata beriman) dengan orang yang berakhlak buruk. Misalnya, dalam hadis disebutkan, “Tidak beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya lelap dalam kelaparan.”)
Itulah wawancara antara Ulil dengan Djalaluddin Rahmat. Kita bisa melihat, bagaimana aneh dan ganjilnya penjelasan Djalaluddin Rahmat tentang konsep kafir dalam Islam itu. Memang, secara etimologis, orang yang tidak bersyukur bisa disebut kafir. Allah berfirman, jika jika seorang bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat-Nya, dan jika dia kufur, maka sesuangguhnya azab Allah sangat pedih. Tetapi, dalam ayat-ayat lainnya, al-Quran juga menggunakan kata kufur untuk orang-orang non Muslim dan orang-orang yang menyimpang aqidahnya. Misalnya, surat al-Bayyinah menjelaskan, bahwa sesungguhnya orang-orang kafir, dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin, mereka akan masuk ke dalam neraka jahannam. Surat al-Maidah ayat 72-75 juga menjelaskan, sungguh telah kafirlah orang-orang yang menyatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga; atau yang menyatakan, bahwa Allah SWT itu sama dengan Isa Ibnu Maryam.
Bahkan, al-Quran juga memuat satu surat khusus, yaitu surat Al-Kafirun, yang dengan tegas menyatakan, “Hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.” Jadi, ayat ini jelas berkaitan dengan aqidah, yaitu aspek peribadahan. Oleh sebab itu, sangatlah aneh, jika seorang pakar yang terkenal, seperti Djalaluddin Rahmat menyatakan: “Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.” Apalagai, dia katakana: “Dalam Alqur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.”
Al-Quran yang manakah yang dikaji oleh Djalaluddin Rahmat? Ribuan ulama Islam telah menulis tafsir dan mereka tidak pernah berbeda pendapat tentang istilah “kafir” untuk sebutan bagi orang non-muslim. Di dalam al-Quran surat Mumtahanah ayat 10, disebutkan tentang dalil larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan orang-orang kafir. Dalam ayat ini ada redaksi “Falaa tarji’uuhunna ilal kuffaar”. Janganlah kamu kembalikan wanita-wanita muslimah yang berhijrah itu kepada kuffar. Karena, wanita-wanita muslimah itu tidak halal bagi kaum kuffar itu dan kaum kuffar itu pun tidak halal bagi mereka (laa hunna hillun lahum, wa laa hum yahilluuna lahunn). Kata kuffaar dalam ayat itu jelas menunjuk kepada identitas idelogis, yaitu orang non-muslim. Bukan orang muslim yang perangainya buruk.
Pendapat Djalaluddin Rahmat tentang “kafir” itu lebih jauh dari pendapat Nurcholish Madjid. Dalam bukunya, “Islam Agama Peradaban” (2000) Nurcholish Madjid menyatakan, bahwa Ahlul Kitab tidak tergolong Muslim, karena mereka tidak mengakui, atau bahkan menentang kenabian dan Kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. dan ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi al-Quran mereka disebut "kafir", yakni, "yang menentang", atau "yang menolak", dalam hal ini menentang atau menolak Nabi Muhammad s.a.w. dan ajaran beliau, yaitu ajaran agama Islam.
Jika dicermati, tampaknya, kaum Muslim saat ini memang didesak hebat untuk meninggalkan istilah “kafir” sebagai sebutan bagi orang-orang non-muslim. Di Indonesia masalah itu sudah sering mulai dilontarkan. Tokoh-tokoh dari kalangan NU seperti Ulil Abshar Abdalla, menyatakan, bahwa: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. (GATRA, edisi 21 Desember 2002), “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. (Kompas, 18 November 2002).” Dari kalangan pimpinan Muhammadiyah, Dr. Abdul Munir Mulkhan, menyatakan: “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya.”
Di Malaysia, pernah ramai ungkapan seorang menteri beragama Hindubernama Sammy Vellu, yang menyatakan keberatan disebut sebagai kafir. Dalam sebuah kuliah umum yang dihadiri kalangan akademisi dan eksekutif di Gedung Asia Pacific Develompent Center, Kuala Lumpur, tanggal 16 Agustus 2003, Prof. Dr. Syed Muhammad Nuquib al-Attas, ditanya: apakah masih boleh digunakan sebutan kafir kepada kaum non-Muslim, karena hal itu dianggap mengganggu keharmonisan hubungan antar pemeluk agama? Ketika itu, Prof. Al-Attas menjawab, bahwa istilah itu adalah istilah dalam al-Quran, dan ia tidak berani mengubah istilah itu. Namun, dengan catatan, sebutan itu bukan berarti digunakan untuk menunjuk-nunjuk dan memanggil kaum non-Muslim, “Hai kafir!” Kaum Muslim cukup memahami, bahwa mereka kafir, mereka bukan muslim.
Sosok pemikir Muslim seperti Al-Attas kini mulai banyak diperbincangkan di dunia internasional. Ia dikenal sangat gigih dalam memperjuangkan proses Islamisasi dan menolak sekularisasi Barat. Meskipun lulusan Islamic Studies di McGill University kanada dan University of London, al-Attas sejak tahun 1970-an sudah mengingatkan kaum Muslimin, bahwa tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah Barat. Dalam bukunya “Risalah untuk Kaum Muslimin” yang terbit pertama tahun 1973, ia sudah menyatakan, bahwa antara Islam dan Barat terjadi konfrontasi yang abadi, yang ia sebut sebagai “permanent confrontation”. Sosok dan kiprah al-Attas bisa disimak dalam Dialog Jumat Republika, Jumat, 27 September 2003.
Apa yang dilakukan kelompok Islam Liberal dengan melakukan dekonstruksi terhadap istilah “kafir” akan memiliki dampak yang serius terhadap aqidah Islam. Dan ini adalah proyek puluhan tahun dari para orientalis Barat. Sejumlah orientalis sudah lama menggulirkan gagasan istilah “Islam” dengan I besar dan “islam” dengan i kecil. Nurcholish Madjid, dalam pidatonya di TIM tahun 1992, juga menggulirkan gagasan islam sebagai ‘unorganized religion”. Bahwa, Islam lebih tepat dimaknai sebagai agama dalam pengertian “berserah diri” kepada Tuhan. Dengan makna seperti itu, siapa pun, asal berserah diri kepada Tuhan dapat dikatakan sebagai “muslim”.
Kini, istilah “kafir” bagi kaum non-Muslim, juga mulai digempur. Mengapa? hal ini tidak lain merupakan refleksi dari sejarah dan pengalaman kaum Kristen terhadap agama mereka sendiri. Berbeda dengan Islam, Kristen dan Yahudi adalah agama sejarah. Nama agama ini pun muncul dalam sejarah. Jesus tidak pernah memberi nama agama yang dibawanya. Istilah Kristen, berasal dari nama Kristus (Yunani: Kristos), yang artinya Juru Selamat (dalam bahasa Ibarni disebut sebagai Messiah). “Nasrani” menunjuk pada nama tempat, Nazareth. Yahudi (Judaisme) bahkan baru abad ke-19 muncul sebagai istilah untuk menyebut satu agama. Dalam bukunya berjudul, Judaism, Pilkington, menceritakan, bahwa pada tahun 1937, rabbi-rabbi di Amerika sepakat untuk mendefinisikan: “Judaism is the historical religious experience of the Jewish people.” Jadi, agama Yahudi, adalah agama sejarah. Penamaan, tata cara ritualnya, dibentuk oleh sejarah. Agama Kristen juga begitu, karena Yesus memang tidak meninggalkan tata cara ritual atau teologi seperti yang dikenal sekarang.
Ini sangat berbeda dengan Islam. Nama agama ini diberikan oleh Allah. Kata “Islam”, selain memiliki makna berserah diri, adalah nama agama. Surat Ali Imran ayat 19 dan 85 jelas-jelas menunjuk pada makna Islam sebagai nama agama, sebagai “proper name”. Jadi, bukan nabi Muhammad saw yang memberi nama agama ini. Maka, pada abad-abad ke-18 dan 19, para orientalis berusaha keras untuk menyebut Islam dengan “Mohammedanism”. Tetapi, upaya mereka gagal. Selain itu, sejak awal, Islam sudah merupakan agama yang sempurna. Islam sudah selesai. Allah menegaskan: “Al-yauma akmaltu lakum diinakum”. Berbeda dengan agama lain, tata cara ritual Islam sudah selesai sejak masa nabi Muhammad saw. Teologi dan ritualitas islam tidak dibentuk oleh sejarah. Dari contoh sederhana ini saja, jelas menunjukkan, Islam memang berbeda dengan agama lain. Sebagai insitusi agama, islam adalah institusi yang sah di mata Allah. Kaum Muslim yakin kan hal ini.
Karena itulah, Islam memang mengenal perbedaan antara Muslim dan non-Muslim; antara Muslim dan kafir. Dengan itu bukan berarti orang yang lahir sebagai Muslim otomatis selamat, karena orang yang secara formal menyatakan sebagai Muslim, belum tentu akan selamat di Hari Kiamat, jika ia bodoh, ingkar terhadap ajaran Allah, atau munafik. Soal sorga dan neraka akan dibuktikan nanti di Akhirat. Tetapi, bagi seorang Muslim, keyakinan, bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di mata Allah, adalah bagian prinsip dari keimanan Islam. Jika orang lain ragu dengan agamanya sendiri, mengapa keraguan ini diikuti oleh sebagian kaum Muslim?
Selama beratus-ratus tahun menjajah Indonesia secara fisik, Belanda tidak berhasil mengubah atau meruntuhkan “bangunan” atau “epistemology” Islam. Struktur ajaran Islam yang prinsipal, seperti bangunan “Islam-kafir” tidak berhasil diusik. Di kawasan Melayu, siapa yang keluar dari Islam, dan memeluk agama lain, tidak diakui lagi sebagai bagian dari Melalyu. Begitu yang terjadi di Minang, Aceh, Madura, Betawi, Sunda, dan sebagainya. Kini, di era hegemoni Barat, justru dari kalangan Muslim sendiri yang bergiat meruntuhkan bangunan pokok Islam.
Hal-hal seperti ini perlu mendapat perhatian yang sangat serius dari kalangan Muslim. Sebab, dampaknya akan dapat dilihat pada sekitar 10-20 tahun mendatang. Kita akan melihat, bagaimana akhir pertarungan pemikiran ini pada masa-masa itu. Apa yang akan terjadi, dan apakah upaya dekonstruksi bangunan Islam ini akan berhasil? Semoga Allah SWT melindungi kaum Muslim. Amin.
(Catatan Akhir Pekan Ke-24 DR.Adian Husaini, MA , 27 September 2003 dari Kuala Lumpur, Malaysia).
Berita tentang pilot Israel ini cukup menarik. Koran Haaretz, melaporkan peristiwa ini cukup detail. Pekan lalu, 27 mantan pilot Israel membuat pernyataan menolak melakukan aksi di wilayah Palestina. Dari 27 orang itu, 9 pilot masih aktif di AU Israel. Ke-9 orang itulah yang kini diskors dan terancam dipecat, jika mereka menolak mencabut pernyataan yang telah mereka sebarluaskan ke media massa. Para pilot Israel itu menyatakan, serangan udara di wilayah Palestina merupakan tindakan illegal dan amoral. Di antara pilot pembangkang itu adalah Brigadir Jenderal (Purn) Yiftah Spector, komandan squadron dalam Perang tahun 1973.
Mereka menyatakan, mereka akan menolak terlibat dalam serangan udara terhadap penduduk Palestina di wilayah itu. "We, both veteran and active pilots, who have served and who still serve the state of Israel, are opposed to carrying out illegal and immoral orders to attack, of the type Israel carries out in the territories," begitu pernyataan mereka. Berita-berita seperti ini segera menarik media internasional, karena merupakan perlawanan dari dalam tubuh zionis Israel sendiri.
Berita-berita itu dari sudut jurnalistik memang menarik – dalam arti, mudah menarik minat pembaca untuk mengikutinya. Namun, disamping berita-berita seputar perkembangan sosial, politik dalam negeri, dan politik internasional, ada berita-berita dan tulisan-tulisan yang sebenarnya sangat perlu mendapatkan perhatian serius dan terus-menerus oleh kaum Muslimin di Indonesia adalah berita-berita dan artikel-artikel yang muncul si website Jaringan Islam Liberal (JIL). Mengapa?
Sebab: Pertama, berita-berita dan artikel-artikel itu disiarkan secara luas oleh berbagai media massa. Selain melalui jaringan Koran Jawa Pos di berbagai daerah, berita-berita di website ini juga disiarkan melalui jaringan radio satelit Kantor Berita Radio 68H, yang kini dipancarteruskan oleh radio Emsa 91,45 FM Bandung; Anisa Tritama 92, 15 FM Garut; FM Merak 93,55 FM Banten; Unisi 104,75 Jogyakarta; TOP 89,7 FM Semarang; PAS 101,2 Pati; Elviktor 94,6 FM Surabaya; Sonya 106,5 FM Medan; Suara Andalas 103 FM Lampung; Gema Hikmah Ternate, 103 FM Maluku Utara; Suara Selebes 100,2 FM Gorontalo; SPFM 103,7 FM Makassar, Ujung Pandang; Nusantara Antik 105,8 FM Banjarmasin; Mandalika 684 AM Lombok; DMS 100,9 FM Ambon, Maluku; Volare 103 FM Pontianak; Bulava 100,2 FM Poso; Elbayu 954 AM Gresik, Jawa Timur; Suara Padang 102,3 FM Sumatera Barat. Daftar radio ini terus diusahakan untuk bertembah lagi.
Kedua, berita dan artikel itu ditulis dan diucapkan oleh orang-orang yang memiliki otoritas, baik secara kelembagaan Islam maupun kepakaran atau latar belakang pendidikan. Dalam situasi pertarungan opini secara bebas, maka kedua factor tersebut memegang perenan penting untuk “memenangkan” pertarungan opini di Indonesia. Opini akan membentuk image, dan jika image itu ditanamkan secara terus menerus, maka akan membentuk satu persepsi di tengah masyarakat.
Kamis (25-9-2003) itu ada sejumlah artikel yang muncul di website islamlib.com, diantaranya: “Depolitisasi Syariat Islam”, “Hermeneutika Ayat-ayat Perang”, “Teori Konspirasi selalu Meneror Kebenaran”, “Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”, dan sebagainya. Yang perlu kita cermati kali ini adalah tulisan yang berjudul “Kafir itu Label Moral, bukan Aqidah”, yang merupakan wawancara Ulil Abshar Abdalla dengan Dr. Djalaludin Rachmat dari Bandung. Djalaludin Rahmat ditanya: “Lantas bagaimana dengan konsepsi tentang orang kafir yang sering diteriakkan juga oleh mereka yang merasa berjuang di jalan Allah itu; apakah konsep ini sudah tepat penggunaannya?
Jawabnya: “Konsep tentang kafir masih tetap relevan, karena sebagai istilah, dia ada di dalam Alqur’an dan Sunnah. Hanya saja, mungkin kita harus merekonstruksi maknanya lagi --bukan mendekonstruksi. Saya berpendapat, kata kafir dan derivasinya di dalam Alqur’an selalu didefinisikan berdasarkan kriteria akhlak yang buruk. Dalam Alqur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.
Saya ingin mencontohkan makna kafir dalam redaksi Alqur’an. Misalnya disebutkan bahwa orang yang kafir adalah lawan dari orang yang berterima kasih. Dalam Alqur’an disebutkan, “immâ syâkûran waimmâ kafûrâ (bersukur ataupun tidak bersukur); lain syakartum la’azîdannakum walain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd (kalau engkau bersukur, Aku akan tambahkan nikmatku, kalau engkau ingkar (nikmat) sesungguhnya azabku amat pedih). Di sini kata kafir selalu dikaitkan dengan persoalan etika, sikap seseorang terhadap Tuhan atau terhadap manusia lainnya. Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.
Tanya Ulil Abshar lagi: Jadi, orang yang perangai sosialnya buruk meskipun seorang muslim bisa juga disebut orang kafir?
Djalaludin Rahmat: Betul. Saya sudah mengumpulkan ayat-ayat Alqur’an tentang konsep kafir. Dari situ ditemukan, kata kafir juga dihubungkan dengan kata pengkhianat, dihubungkan dengan tindak kemaksiatan yang berulang-ulang, atsîman aw kafûrâ. Kafir juga bermakna orang yang kerjanya hanya berbuat dosa, maksiat.
Selain itu, orang Islam pun bisa disebut kafir, kalau dia tidak bersyukur pada anugerah Tuhan. Dalam surat Al-Baqarah misalnya disebutkan, “Innalladzîna kafarû sawâ’un ‘alaihim aandzartahum am lam tundzirhum lâ yu’minûn.” Artinya, bagi orang kafir, kamu ajari atau tidak kamu ajari, sama saja. Dia tidak akan percaya. Walaupun agamanya Islam, kalau ndableg nggak bisa diingetin menurut Alqur’an disebut kafir. Nabi sendiri mendefinisikan kafir (sebagai lawan kata beriman) dengan orang yang berakhlak buruk. Misalnya, dalam hadis disebutkan, “Tidak beriman orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya lelap dalam kelaparan.”)
Itulah wawancara antara Ulil dengan Djalaluddin Rahmat. Kita bisa melihat, bagaimana aneh dan ganjilnya penjelasan Djalaluddin Rahmat tentang konsep kafir dalam Islam itu. Memang, secara etimologis, orang yang tidak bersyukur bisa disebut kafir. Allah berfirman, jika jika seorang bersyukur, maka Allah akan menambah nikmat-Nya, dan jika dia kufur, maka sesuangguhnya azab Allah sangat pedih. Tetapi, dalam ayat-ayat lainnya, al-Quran juga menggunakan kata kufur untuk orang-orang non Muslim dan orang-orang yang menyimpang aqidahnya. Misalnya, surat al-Bayyinah menjelaskan, bahwa sesungguhnya orang-orang kafir, dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin, mereka akan masuk ke dalam neraka jahannam. Surat al-Maidah ayat 72-75 juga menjelaskan, sungguh telah kafirlah orang-orang yang menyatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga; atau yang menyatakan, bahwa Allah SWT itu sama dengan Isa Ibnu Maryam.
Bahkan, al-Quran juga memuat satu surat khusus, yaitu surat Al-Kafirun, yang dengan tegas menyatakan, “Hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.” Jadi, ayat ini jelas berkaitan dengan aqidah, yaitu aspek peribadahan. Oleh sebab itu, sangatlah aneh, jika seorang pakar yang terkenal, seperti Djalaluddin Rahmat menyatakan: “Jadi, kata kafir adalah sebuah label moral, bukan label akidah atau keyakinan, seperti yang kita ketahui.” Apalagai, dia katakana: “Dalam Alqur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja.”
Al-Quran yang manakah yang dikaji oleh Djalaluddin Rahmat? Ribuan ulama Islam telah menulis tafsir dan mereka tidak pernah berbeda pendapat tentang istilah “kafir” untuk sebutan bagi orang non-muslim. Di dalam al-Quran surat Mumtahanah ayat 10, disebutkan tentang dalil larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan orang-orang kafir. Dalam ayat ini ada redaksi “Falaa tarji’uuhunna ilal kuffaar”. Janganlah kamu kembalikan wanita-wanita muslimah yang berhijrah itu kepada kuffar. Karena, wanita-wanita muslimah itu tidak halal bagi kaum kuffar itu dan kaum kuffar itu pun tidak halal bagi mereka (laa hunna hillun lahum, wa laa hum yahilluuna lahunn). Kata kuffaar dalam ayat itu jelas menunjuk kepada identitas idelogis, yaitu orang non-muslim. Bukan orang muslim yang perangainya buruk.
Pendapat Djalaluddin Rahmat tentang “kafir” itu lebih jauh dari pendapat Nurcholish Madjid. Dalam bukunya, “Islam Agama Peradaban” (2000) Nurcholish Madjid menyatakan, bahwa Ahlul Kitab tidak tergolong Muslim, karena mereka tidak mengakui, atau bahkan menentang kenabian dan Kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. dan ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi al-Quran mereka disebut "kafir", yakni, "yang menentang", atau "yang menolak", dalam hal ini menentang atau menolak Nabi Muhammad s.a.w. dan ajaran beliau, yaitu ajaran agama Islam.
Jika dicermati, tampaknya, kaum Muslim saat ini memang didesak hebat untuk meninggalkan istilah “kafir” sebagai sebutan bagi orang-orang non-muslim. Di Indonesia masalah itu sudah sering mulai dilontarkan. Tokoh-tokoh dari kalangan NU seperti Ulil Abshar Abdalla, menyatakan, bahwa: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. (GATRA, edisi 21 Desember 2002), “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. (Kompas, 18 November 2002).” Dari kalangan pimpinan Muhammadiyah, Dr. Abdul Munir Mulkhan, menyatakan: “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya.”
Di Malaysia, pernah ramai ungkapan seorang menteri beragama Hindubernama Sammy Vellu, yang menyatakan keberatan disebut sebagai kafir. Dalam sebuah kuliah umum yang dihadiri kalangan akademisi dan eksekutif di Gedung Asia Pacific Develompent Center, Kuala Lumpur, tanggal 16 Agustus 2003, Prof. Dr. Syed Muhammad Nuquib al-Attas, ditanya: apakah masih boleh digunakan sebutan kafir kepada kaum non-Muslim, karena hal itu dianggap mengganggu keharmonisan hubungan antar pemeluk agama? Ketika itu, Prof. Al-Attas menjawab, bahwa istilah itu adalah istilah dalam al-Quran, dan ia tidak berani mengubah istilah itu. Namun, dengan catatan, sebutan itu bukan berarti digunakan untuk menunjuk-nunjuk dan memanggil kaum non-Muslim, “Hai kafir!” Kaum Muslim cukup memahami, bahwa mereka kafir, mereka bukan muslim.
Sosok pemikir Muslim seperti Al-Attas kini mulai banyak diperbincangkan di dunia internasional. Ia dikenal sangat gigih dalam memperjuangkan proses Islamisasi dan menolak sekularisasi Barat. Meskipun lulusan Islamic Studies di McGill University kanada dan University of London, al-Attas sejak tahun 1970-an sudah mengingatkan kaum Muslimin, bahwa tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah Barat. Dalam bukunya “Risalah untuk Kaum Muslimin” yang terbit pertama tahun 1973, ia sudah menyatakan, bahwa antara Islam dan Barat terjadi konfrontasi yang abadi, yang ia sebut sebagai “permanent confrontation”. Sosok dan kiprah al-Attas bisa disimak dalam Dialog Jumat Republika, Jumat, 27 September 2003.
Apa yang dilakukan kelompok Islam Liberal dengan melakukan dekonstruksi terhadap istilah “kafir” akan memiliki dampak yang serius terhadap aqidah Islam. Dan ini adalah proyek puluhan tahun dari para orientalis Barat. Sejumlah orientalis sudah lama menggulirkan gagasan istilah “Islam” dengan I besar dan “islam” dengan i kecil. Nurcholish Madjid, dalam pidatonya di TIM tahun 1992, juga menggulirkan gagasan islam sebagai ‘unorganized religion”. Bahwa, Islam lebih tepat dimaknai sebagai agama dalam pengertian “berserah diri” kepada Tuhan. Dengan makna seperti itu, siapa pun, asal berserah diri kepada Tuhan dapat dikatakan sebagai “muslim”.
Kini, istilah “kafir” bagi kaum non-Muslim, juga mulai digempur. Mengapa? hal ini tidak lain merupakan refleksi dari sejarah dan pengalaman kaum Kristen terhadap agama mereka sendiri. Berbeda dengan Islam, Kristen dan Yahudi adalah agama sejarah. Nama agama ini pun muncul dalam sejarah. Jesus tidak pernah memberi nama agama yang dibawanya. Istilah Kristen, berasal dari nama Kristus (Yunani: Kristos), yang artinya Juru Selamat (dalam bahasa Ibarni disebut sebagai Messiah). “Nasrani” menunjuk pada nama tempat, Nazareth. Yahudi (Judaisme) bahkan baru abad ke-19 muncul sebagai istilah untuk menyebut satu agama. Dalam bukunya berjudul, Judaism, Pilkington, menceritakan, bahwa pada tahun 1937, rabbi-rabbi di Amerika sepakat untuk mendefinisikan: “Judaism is the historical religious experience of the Jewish people.” Jadi, agama Yahudi, adalah agama sejarah. Penamaan, tata cara ritualnya, dibentuk oleh sejarah. Agama Kristen juga begitu, karena Yesus memang tidak meninggalkan tata cara ritual atau teologi seperti yang dikenal sekarang.
Ini sangat berbeda dengan Islam. Nama agama ini diberikan oleh Allah. Kata “Islam”, selain memiliki makna berserah diri, adalah nama agama. Surat Ali Imran ayat 19 dan 85 jelas-jelas menunjuk pada makna Islam sebagai nama agama, sebagai “proper name”. Jadi, bukan nabi Muhammad saw yang memberi nama agama ini. Maka, pada abad-abad ke-18 dan 19, para orientalis berusaha keras untuk menyebut Islam dengan “Mohammedanism”. Tetapi, upaya mereka gagal. Selain itu, sejak awal, Islam sudah merupakan agama yang sempurna. Islam sudah selesai. Allah menegaskan: “Al-yauma akmaltu lakum diinakum”. Berbeda dengan agama lain, tata cara ritual Islam sudah selesai sejak masa nabi Muhammad saw. Teologi dan ritualitas islam tidak dibentuk oleh sejarah. Dari contoh sederhana ini saja, jelas menunjukkan, Islam memang berbeda dengan agama lain. Sebagai insitusi agama, islam adalah institusi yang sah di mata Allah. Kaum Muslim yakin kan hal ini.
Karena itulah, Islam memang mengenal perbedaan antara Muslim dan non-Muslim; antara Muslim dan kafir. Dengan itu bukan berarti orang yang lahir sebagai Muslim otomatis selamat, karena orang yang secara formal menyatakan sebagai Muslim, belum tentu akan selamat di Hari Kiamat, jika ia bodoh, ingkar terhadap ajaran Allah, atau munafik. Soal sorga dan neraka akan dibuktikan nanti di Akhirat. Tetapi, bagi seorang Muslim, keyakinan, bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar di mata Allah, adalah bagian prinsip dari keimanan Islam. Jika orang lain ragu dengan agamanya sendiri, mengapa keraguan ini diikuti oleh sebagian kaum Muslim?
Selama beratus-ratus tahun menjajah Indonesia secara fisik, Belanda tidak berhasil mengubah atau meruntuhkan “bangunan” atau “epistemology” Islam. Struktur ajaran Islam yang prinsipal, seperti bangunan “Islam-kafir” tidak berhasil diusik. Di kawasan Melayu, siapa yang keluar dari Islam, dan memeluk agama lain, tidak diakui lagi sebagai bagian dari Melalyu. Begitu yang terjadi di Minang, Aceh, Madura, Betawi, Sunda, dan sebagainya. Kini, di era hegemoni Barat, justru dari kalangan Muslim sendiri yang bergiat meruntuhkan bangunan pokok Islam.
Hal-hal seperti ini perlu mendapat perhatian yang sangat serius dari kalangan Muslim. Sebab, dampaknya akan dapat dilihat pada sekitar 10-20 tahun mendatang. Kita akan melihat, bagaimana akhir pertarungan pemikiran ini pada masa-masa itu. Apa yang akan terjadi, dan apakah upaya dekonstruksi bangunan Islam ini akan berhasil? Semoga Allah SWT melindungi kaum Muslim. Amin.
(Catatan Akhir Pekan Ke-24 DR.Adian Husaini, MA , 27 September 2003 dari Kuala Lumpur, Malaysia).
Keculasan Pembela Aminah Wadud
Seperti yang telah kita duga, tingkah nyeleneh Aminah Wadud menjaring banyak pengikut. Di Amerika, beberapa tokoh wanita liberal telah mengikuti jejak Wadud untuk menjadi imam shalat Jumat di gereja.
Di Indonesia, adegan tak bermutu itu tengah disosialisasikan dan dicarikan dukungan. Tentu, di antara pendukungnya ada yang menyandang gelar Kyai Haji, ustadz maupun cendikiawan muslim.
Licik!
Ada cara licik yang dilakukan para pendukung Wadud untuk menggiring opini kaum muslimin. Mereka sengaja memfokuskan fenomena Wadud hanya sebatas pro kontra dalam masalah wanita menjadi imam bagi laki-laki. Bukan tidak disengaja, karena mereka mendapatkan hadits Ummu Waraqah –seperti yang akan kita kupas nanti insya Allah- yang menurut mereka bisa dijadikan dalil. Paling tidak mereka berusaha mengetengahkan kepada publik bahwa tidak semua ulama dahulu melarang wanita menjadi imam bagi laki-laki. Secara otomatis publik akan menganggap bahwa totalitas tindakan Wadud itu masih khilafiyah di kalangan ulama. Sengaja mereka tidak menyinggung sisi lain kenyelenehan Wadud dalam peristiwa yang menghebohkan itu. Karena untuk membelanya mereka bakal kewalahan mencarikan dalilnya. Mereka melupakan atau tepatya pura-pura lupa akan penyimpangan nyata Wadud dalam kasus tersebut.
Penyimpangan Wadud
Pertama, Aminah Wadud menjadi khathib shalat Jum’at. Silakan mereka cari, adakah riwayat yang menyebutkan bahwa salah satu istri nabi menjadi khathib bagi shalat Jum’at yang di hadiri para shahabat? Sengaja pembahasan yang menukik dalam masalah ini dihindari para pendukung Wadud.
Kedua, bercampurnya makmum laki-laki dan perempuan dalam satu shaf. Bisakah mereka menunjukkan bukti yang membenarkan hal ini? Bahkan yang ada adalah hadits yang menentang tindakan Wadud ini. Abu Malik a berkata,
"Bahwa Nabi saw. menjadikan shaf laki-laki dewasa di depan anak-anak, dan anak-anak di belakang mereka. Lalu di belakang anak-anak adalah shaf wanita, jadi shaf wanita di belakang anak-anak." (HR Ahmad)
Ketiga, Wadud melakukan shalat di gereja. Ini adalah tindakan yang sangat konyol. Tidak ada riwayat secuilpun yang menyebutkan bahwa Nabi atau shahabat, tabi’in ataupun para ulama penerus yang melakukan Jumatan di gereja. Taruhlah Wadud beralasan tiga masjid sekitar menolak usulannya, kalau bukan karena ingin ‘waton suloyo’, tentu dia tidak akan menjadikan gereja sebagai alternatif kedua. Mungkin bisa di rumah, gedung sekolah atau bahkan lapangan.
Keempat, muadzin dilakukan oleh seorang wanita. Tak ada satupun dalil yang shahih bahkan dha’if yang membenarkannya. Inipun sengaja tidak disinggung oleh para pendukung Wadud karena takut ketahuan boroknya.
Wanita Mengimami Pria
Poin terakhir ini membuka peluang bagi pembela Wadud untuk berdalil. Hadits yang dianggap mengesahkan bolehnya wanita menjadi imam bagi kaum laki-laki adalah hadits Abdurrahman bin Khallad yang berkata,
"Rasulullah mengunjungi Ummu Waraqah di rumahnya lalu memerintahkan seseorang untuk menjadi muadzin yang adzan di rumahnya, dan beliau memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya. Abdurrahman menambahkan, aku melihat muadzinnya adalah seorang laki-laki yang sudah tua." (HR Abu Dawud)
Jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat bahwa hadits ini menunjukkan bolehnya seorang wanita menjadi imam bagi kaum wanita. Hadits ini tidak menunjukkan kebolehan wanita menjadi imam kaum laki-laki. Di situ hanya disebutkan bahwa nabi memerintahkan seseorang untuk adzan di rumah Ummu Waraqah, tidak tersurat bahwa laki-laki itu akhirnya ikut shalat bersama Ummu Waraqah. Jika laki-laki itu adzan hal ini tidak secara otomatis dan pasti dia shalat di situ, karena adzan dan shalat adalah dua hal yang berbeda. Seorang wanita tidak disyari’atkan adzan, tetapi ia disyari’atkan untuk menjadi imam shalat.
Tetapi kita tidak memungkiri adanya pendapat dari sedikit ulama terkemuka yang menjadikan hadits itu sebagai dasar tentang bolehnya wanita menjadi imam bagi makmum yang terdapat orang laki-laki di dalamnya, seperti pendapat Imam ath-Thabari dan Abu Tsaur al-Muzni. Tetapi, bukan sembarang laki-laki yang boleh bermakmum kepada wanita. Seperti disebutkan dalam hadits di atas,
"Dan beliau memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya."
Tampak dalam hadits tersebut Nabi hanya memerintahkan menjadi imam bagi penghuni rumahnya, bukan untuk laki-laki umum. Lalu siapa yang menjadi penghuni rumah Ummu Waraqah? Al-Hafizh menyebutkan, "Yang tampak adalah beliau menjadi imam bagi budak laki-laki dan budak perempuannya." Begitulah adanya, seperti yang dituturkan pula oleh Abdurrrahman bin Khalad bahwa beliau memiliki satu budak laki-laki dan satu budak wanita. Beliau mengatakan kepada keduanya, "Kalian akan merdeka setelah kematianku." Lalu keduanya sepakat untuk membunuh beliau agar bisa cepat merdeka.
Walhasil, kalaupun diterima bahwa wanita boleh menjadi imam laki-laki, maka laki-laki itu itu adalah budaknya, bukan sembarang laki-laki. Atau laki-laki tersebut sudah sangat tua sehingga susah ke masjid, seperti diindikasikan dalam perkataan perawi tersebut, "aku melihat muadzinnya adalah seorang laki-laki yang sudah tua (syaikhan kabiiran)." Tidak ada keterangan sedikitpun yang menyebutkan bahwa ada wanita pada zaman Nabi menjadi imam di masjid bagi jamaah laki-laki.
Dengan demikian jelaslah kecurangan pendapat para pembela Wadud yang liberal itu. Wallahu a’lam bishawab (Abu Umar A.)
Seperti yang telah kita duga, tingkah nyeleneh Aminah Wadud menjaring banyak pengikut. Di Amerika, beberapa tokoh wanita liberal telah mengikuti jejak Wadud untuk menjadi imam shalat Jumat di gereja.
Di Indonesia, adegan tak bermutu itu tengah disosialisasikan dan dicarikan dukungan. Tentu, di antara pendukungnya ada yang menyandang gelar Kyai Haji, ustadz maupun cendikiawan muslim.
Licik!
Ada cara licik yang dilakukan para pendukung Wadud untuk menggiring opini kaum muslimin. Mereka sengaja memfokuskan fenomena Wadud hanya sebatas pro kontra dalam masalah wanita menjadi imam bagi laki-laki. Bukan tidak disengaja, karena mereka mendapatkan hadits Ummu Waraqah –seperti yang akan kita kupas nanti insya Allah- yang menurut mereka bisa dijadikan dalil. Paling tidak mereka berusaha mengetengahkan kepada publik bahwa tidak semua ulama dahulu melarang wanita menjadi imam bagi laki-laki. Secara otomatis publik akan menganggap bahwa totalitas tindakan Wadud itu masih khilafiyah di kalangan ulama. Sengaja mereka tidak menyinggung sisi lain kenyelenehan Wadud dalam peristiwa yang menghebohkan itu. Karena untuk membelanya mereka bakal kewalahan mencarikan dalilnya. Mereka melupakan atau tepatya pura-pura lupa akan penyimpangan nyata Wadud dalam kasus tersebut.
Penyimpangan Wadud
Pertama, Aminah Wadud menjadi khathib shalat Jum’at. Silakan mereka cari, adakah riwayat yang menyebutkan bahwa salah satu istri nabi menjadi khathib bagi shalat Jum’at yang di hadiri para shahabat? Sengaja pembahasan yang menukik dalam masalah ini dihindari para pendukung Wadud.
Kedua, bercampurnya makmum laki-laki dan perempuan dalam satu shaf. Bisakah mereka menunjukkan bukti yang membenarkan hal ini? Bahkan yang ada adalah hadits yang menentang tindakan Wadud ini. Abu Malik a berkata,
"Bahwa Nabi saw. menjadikan shaf laki-laki dewasa di depan anak-anak, dan anak-anak di belakang mereka. Lalu di belakang anak-anak adalah shaf wanita, jadi shaf wanita di belakang anak-anak." (HR Ahmad)
Ketiga, Wadud melakukan shalat di gereja. Ini adalah tindakan yang sangat konyol. Tidak ada riwayat secuilpun yang menyebutkan bahwa Nabi atau shahabat, tabi’in ataupun para ulama penerus yang melakukan Jumatan di gereja. Taruhlah Wadud beralasan tiga masjid sekitar menolak usulannya, kalau bukan karena ingin ‘waton suloyo’, tentu dia tidak akan menjadikan gereja sebagai alternatif kedua. Mungkin bisa di rumah, gedung sekolah atau bahkan lapangan.
Keempat, muadzin dilakukan oleh seorang wanita. Tak ada satupun dalil yang shahih bahkan dha’if yang membenarkannya. Inipun sengaja tidak disinggung oleh para pendukung Wadud karena takut ketahuan boroknya.
Wanita Mengimami Pria
Poin terakhir ini membuka peluang bagi pembela Wadud untuk berdalil. Hadits yang dianggap mengesahkan bolehnya wanita menjadi imam bagi kaum laki-laki adalah hadits Abdurrahman bin Khallad yang berkata,
"Rasulullah mengunjungi Ummu Waraqah di rumahnya lalu memerintahkan seseorang untuk menjadi muadzin yang adzan di rumahnya, dan beliau memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya. Abdurrahman menambahkan, aku melihat muadzinnya adalah seorang laki-laki yang sudah tua." (HR Abu Dawud)
Jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat bahwa hadits ini menunjukkan bolehnya seorang wanita menjadi imam bagi kaum wanita. Hadits ini tidak menunjukkan kebolehan wanita menjadi imam kaum laki-laki. Di situ hanya disebutkan bahwa nabi memerintahkan seseorang untuk adzan di rumah Ummu Waraqah, tidak tersurat bahwa laki-laki itu akhirnya ikut shalat bersama Ummu Waraqah. Jika laki-laki itu adzan hal ini tidak secara otomatis dan pasti dia shalat di situ, karena adzan dan shalat adalah dua hal yang berbeda. Seorang wanita tidak disyari’atkan adzan, tetapi ia disyari’atkan untuk menjadi imam shalat.
Tetapi kita tidak memungkiri adanya pendapat dari sedikit ulama terkemuka yang menjadikan hadits itu sebagai dasar tentang bolehnya wanita menjadi imam bagi makmum yang terdapat orang laki-laki di dalamnya, seperti pendapat Imam ath-Thabari dan Abu Tsaur al-Muzni. Tetapi, bukan sembarang laki-laki yang boleh bermakmum kepada wanita. Seperti disebutkan dalam hadits di atas,
"Dan beliau memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya."
Tampak dalam hadits tersebut Nabi hanya memerintahkan menjadi imam bagi penghuni rumahnya, bukan untuk laki-laki umum. Lalu siapa yang menjadi penghuni rumah Ummu Waraqah? Al-Hafizh menyebutkan, "Yang tampak adalah beliau menjadi imam bagi budak laki-laki dan budak perempuannya." Begitulah adanya, seperti yang dituturkan pula oleh Abdurrrahman bin Khalad bahwa beliau memiliki satu budak laki-laki dan satu budak wanita. Beliau mengatakan kepada keduanya, "Kalian akan merdeka setelah kematianku." Lalu keduanya sepakat untuk membunuh beliau agar bisa cepat merdeka.
Walhasil, kalaupun diterima bahwa wanita boleh menjadi imam laki-laki, maka laki-laki itu itu adalah budaknya, bukan sembarang laki-laki. Atau laki-laki tersebut sudah sangat tua sehingga susah ke masjid, seperti diindikasikan dalam perkataan perawi tersebut, "aku melihat muadzinnya adalah seorang laki-laki yang sudah tua (syaikhan kabiiran)." Tidak ada keterangan sedikitpun yang menyebutkan bahwa ada wanita pada zaman Nabi menjadi imam di masjid bagi jamaah laki-laki.
Dengan demikian jelaslah kecurangan pendapat para pembela Wadud yang liberal itu. Wallahu a’lam bishawab (Abu Umar A.)
Tragedi
Adopsi Peradaban Barat
Adopsi peradaban dan kebudayaan
Barat adalah sesuatu yang lumrah. Faktanya, ilmuwan banyak terkooptasi oleh
peradaban Barat. Bahkan memaksakannya sebagai pandangan hidup
Hamid Fahmy Zarkasyi, MA, Phil *
Suatu hal lumrah jika kebudayaan yang mundur akan belajar dari kebudayaan yang maju. Dan adalah alami jika suatu kebudayaan yang terbelakang mengadopsi konsep-konsep kebudayaan yang lebih maju. Tidak ada kebudayaan di dunia ini yang berkembang tanpa proses interaksi dengan kebudayaan asing. Ketika peradaban Islam unggul dibanding peradaban Eropa, misalnya, mereka telah meminjam konsep-konsep penting dalam Islam.
Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua kebudayaan dapat mengambil semua konsep dari kebudayaan lain. Setiap kebudayaan memiliki identitas, nilai, konsep dan ideologinya sendiri-sendiri yang disebut dengan worldview (pandangan hidup).
Suatu kebudayaan dapat meminjam konsep-konsep kebudayaan lain karena memiliki pandangan hidup. Namun suatu kebudayaan tidak dapat meminjam sepenuhnya (mengadopsi) konsep-konsep kebudayaan lain, sebab dengan begitu ia akan kehilangan identitasnya.
Peminjaman konsep dari suatu kebudayaan mengharuskan adanya proses integrasi dan internalisasi konseptual. Namun dalam proses itu, unsur-unsur pokoknya berperan sebagai filter yang menentukan diterima tidaknya suatu konsep. Hal ini berlaku dalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam, yaitu ketika Islam meminjam khazanah pemikiran Yunani, India, Persia, dan lain-lain. Pelajaran yang penting dicatat dalam hal ini bahwa ketika para ulama meminjam konsep-konsep asing, mereka berusaha mengintegrasikan konsep-konsep asing ke dalam pandangan hidup Islam dengan asas pandangan hidup Islam. Memang, proses ini tidak bisa berlangsung sekali jadi. Perlu proses koreksi-mengoreksi dan itu berlangsung dari generasi ke generasi.
Di era modern dan post-modern sekarang ini, pemikiran dan kebudayaan Barat mengungguli kebudayaan-kebudayaan lain, termasuk peradaban Islam. Namun tradisi pinjam-meminjam yang terjadi telah bergeser menjadi proses “adopsi”, yakni mengambil penuh konsep-konsep asing, khususnya Barat, tanpa proses adaptasi atau integrasi. Apa yang dimaksud dengan konsep di sini bukan dalam kaitannya dengan sains dan teknologi yang bersifat eksak, tetapi lebih berkaitan dengan konsep keilmuan, kebudayaan, sosial, dan bahkan keagamaan.
Dalam konteks pembangunan peradaban Islam sekarang ini, proses adaptasi pemikiran merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Namun sebelum melakukan hal itu diperlukan suatu kemampuan untuk menguasai pandangan hidup Islam dan sekaligus Barat, esensi peradaban Islam dan kebudayaan Barat. Dengan demikian, seorang cendekiawan dapat berlaku adil terhadap keduanya.
Adil, artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya atau dalam hal ini didahului dengan mengambil sesuatu dari tempat asalnya. Jika ini didasarkan pada asumsi bahwa konsep-konsep dalam peradaban asing (baca: Barat) adalah hikmah Islam yang hilang, maka seseorang pemikir Muslim harus terlebih dahulu mempelajari tempat asal hikmah tersebut dan tempat dimana hikmah itu hilang, sebelum mengambilnya kembali.
Esensi Kebudayaan Barat
Kebudayaan Barat (Western Civilization) berkembang mewarisi unsur-unsur kebudayaan Yunani Kuno, Romawi, dan unsur-unsur lain dari budaya bangsa-bangsa Eropa, khususnya Jerman, Inggris, dan Prancis. Sebagian penulis, seperti Samuel Huntington, memasukkan agama (religion)--dalam hal ini Kristen--sebagai unsur penting yang membentuk kebudayaan Barat. Demikian ditulis dalam buku populernya The Clash of Civilizations and Remaking of World Order (1996).
Mungkin itulah di antara sebabnya mengapa Huntington yang dalam bukunya itu lebih banyak menguraikan soal kebudayaan dalam dimensi politis, mencoba menyeret konflik antara Islam dengan Kristen. Namun, kesimpulan Huntington itu patut diragukan. Kristen di Barat, faktanya, lebih banyak terkooptasi oleh peradaban Barat (westernized). Berbagai konsep teologi dan upacara ritual Kristen bahkan sudah menjadi “Barat”. Pusat agama ini pun bukan lagi di tempat kelahirannya (Palestina), tetapi sudah berpindah ke Barat. Di Barat sendiri kalangan agamawan Kristen juga suka dengan asumsi “Barat itu Kristen”.
Barat dengan filsafat dan kebudayaannya memiliki karakternya tersendiri. Menurut Profesor Naquib al-Attas, peradaban Barat memiliki sejumlah ciri. Pertama, berdasarkan filsafat dan bukan agama. Kedua, filsafat itu menjelma menjadi humanisme yang meneriakkan dengan lantang prinsip dikotomi sebagai nilai dan kebenaran. Ketiga, berdasarkan pandangan hidup yang tragis. Artinya, manusia adalah tokoh dalam drama kehidupan di dunia. Pahlawannya adalah tokoh-tokoh yang bernasib tragis.
Prinsip tragedi ini disebabkan oleh kekosongan kepercayaan (iman) dan karenanya mereka memandang kehidupan secara dikotomis. Konsep ini berujung pada keresahan jiwa, selalu mencari sesuatu yang tiada akhir, mencari suatu kebenaran tanpa asas kebenaran atau prinsip kebenaran mutlak. (al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ISTAC, 2001).
Itulah Barat yang filsafat, sainstek, dan ekonominya sedang merajai pentas sejarah dunia. Budayanya menyebar bagai gelombang melalui berbagai gerakan kultural; filsafatnya dipahami secara luas melalui pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia; sains dan teknologinya dikagumi dan ditiru bagi pembangunan sarana dan prasarana kehidupan manusia.
Gelombang kebudayaan Barat yang disebut dengan modernisme itu pada mulanya mencerminkan gaya hidup elitis, tapi kini disebut dengan postmodernisme yang bersifat populis. Secara konseptual dampaknya dahsyat. Ia tidak saja mampu mengubah konsep sejarah secara agressif, tapi juga mengubah sikap orang terhadap agama menjadi skeptis. Agama dan kitabnya diposisikan hanya sebagai suatu bentuk “narasi besar” (grand narrative) yang kering, profan, dan dapat dipermainkan melalui bahasa dan imajinasi liar yang mencampuradukkan realitas dan fantasi. Postmodernisme sebenarnya tidak lain dari sekularisme yang tampil dengan wajah baru yang “pusat gravitasinya” adalah pandangan hidup Barat (Western worldview).*
Cengkeraman Orientalis
Dalam bidang pemikiran Islam, pengaruh p andangan hidup Barat dapat ditelusuri melalui sejarah panjang orientalisme yang sebenarnya tidak lepas dari misi kolonialisme dan kristenisasi. Bahkan awalnya dapat ditelusuri dari proses transmisi khazanah pemikiran Islam ke Barat melalui penerjemahan karya-karya filosof Muslim pada abad ke-8 dan 9 ke dalam bahasa Latin. Tokoh-tokohnya adalah para teolog Kristen seperti Charles Bernet, Peter Pivortim, Robert Charter, Bruno, dan lain-lain.
Itu pula yang terjadi dalam penerjemahan Al-Qur`an ke dalam bahasa Latin. Ini dimulai pada tahun 1143 M oleh Robertus Retasensis atas arahan Peter the Venerable, Kepala Gereja Clugny. Pekerjaan ini segera diikuti oleh penerjemahan dan penulisan buku-buku Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan sains. Khazanah ilmu pengetahuan Islam ini ditransfer ke dalam alam pikiran Barat dan tanpa menyebut sumbernya.
Bahkan Thomas Aquinas jelas-jelas terbukti menjiplak beberapa fragmen pemikiran Al-Farabi hanya dengan mengedit beberapa kata. David Hume memodifikasi doktrin kausalitas Al-Ghazzali menjadi bersifat atheistik.
Terjadilah proses westernisasi (pem-Barat-an) besar-besaran, persis seperti ketika ulama-ulama Islam mentransfer beberapa pemikiran Yunani dengan proses Islamisasinya. Ini berarti bahwa orang-orang Barat-Kristen itu memahami Islam berdasarkan pandangan hidup mereka. Usaha pembaratan itu meliputi konsep-konsep dan istilah penting dan bahkan pembaratan nama-nama Islam. Nama Ibn Sina diubah menjadi Avicenna, Ibn Rushd menjadi Averroes, Al-Ghazzali menjadi Algazel, Al-Jabr menjadi Algebra, dan banyak lagi.
Hal di atas hanyalah sedikit contoh betapa Islam yang ditransfer ke Barat telah diubah atau dipahami secara berbeda dari aslinya. Tidak mengherankan jika dari karya-karya mereka itu Islam digambarkan dengan sangat negatif. Dan ciri-ciri itu masih tetap melekat pada karya-karya para orientalis di zaman modern ini. Lihat saja karya-karya seperti Approach to the History of the Interpretation of the Qur'an oleh Andrew Rippin, Qur'anic Studies: Sources and Methods of Interpretation oleh John Wansbrough, The Origin of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht; Islamic Creed oleh MW Watt, dan lain-lain.
Sebagai contoh adalah buku Islamic Fundamentalism and Modernity tulisan Watt. Ia menyatakan bahwa agar terbebas dari kesalahan dan kepalsuan, dan untuk memposisikan secara benar Islam di tengah dunia kontemporer, maka rekonstruksi intelektual pandangan hidup Islam adalah suatu keharusan. Rekonstruksi pandangan hidup Islam adalah pernyataan berunsur pembaharuan dan boleh jadi menarik minat cendekiawan Muslim. Namun sejatinya ia penuh bias.
Lebih jauh Watt mengatakan, “… dan untuk itu hal-hal yang tidak penting dan sekunder dalam masalah keimanan harus dibuang.” Ternyata , apa yang bagi Watt tidak penting itu adalah pengingkaran Al-Qur`an tentang penyaliban dan kematian di tiang salib, dianggap kesalahan sejarah dan tidak penting.
Richard Bell, penulis Introduction to the Qur`an, membuat susunan Al-Qur`an sesuai dengan turunnya ayat-ayat itu dan kemudian mengkritik bahwa Al-Qur`an adalah karangan Nabi Muhammad. Alasannya, susunan yang sekarang ini atas perintah Muhammad, bukan berdasarkan pada kronologi diwahyukannya.
Sekarang ini, framework (cara pandang) orientalis terhadap Islam yang seperti itu sangat dominan dalam program kajian Islam di beberapa universitas Barat.
Padahal di situlah banyak calon sarjana Muslim belajar. Pemikiran para orientalis dengan framework seperti itu kemudian dijadikan referensi yang sederajat dengan ulama-ulama dalam tradisi Islam.
Demikianlah selanjutnya, bola salju cengkeraman cara pandang ini terus bergulir bersama angin westernisasi, sekularisasi, dan liberalisasi dalam bidang-bidang lain. Warna orientalis itu nampak pada beberapa cendekiawan Muslim alumni lembaga pendidikan Barat atau murid alumni Barat. Pendekatan kajian Islam yang bersifat dikotomis memisahkan antara yang historis dan normatif, antara tekstual dan kontekstual, subjektif-objektif, ideal-real adalah asli cara pandang Barat.
Kondisi di aras berengaruh pada tataran konsep berupa timbulnya tumpang tindih antara konsep Islam dan Barat yang bermuara pada kebingungan intelektual (intellectual confusion). Sebagai contoh, demokrasi dianggap sama dengan syura, al-din disamakan dengan religi, masyarakat madani dianggap sama dengan civil society, insan kamil disamakan dengan warga negara yang baik, tajdid dianggap sama dengan modernisasi/rasionalisasi, dan sebagainya.
Tidak cukup hanya sebatas pengacauan konsep, kini Barat maju beberapa langkah lagi dengan memperkenalkan ide pluralisme agama (religious pluralism), kesatuan transendental agama-agama (transcendent unity of religions), yang didukung oleh konsep global ethic dan dipacu oleh dialog antar-agama, gender, feminisme, dan lain-lain.
Framework Islam
Contoh di atas hanyalah simplifikasi persoalan dan dapat dijelaskan lebih komprehensif. Memang masalahnya tidak sederhana, karena orientalisme itu telah mentradisi dan kebanyakan tulisan mereka memenuhi standard kersarjanaan modern yang diakui.
Tugas kaum Muslim sekarang di samping merespon mereka secara akademis dengan sikap kritis, juga mengembangkan cara pandang kita sendiri. Meski tetap harus bersikap apresiatif dan bahkan dapat memanfaatkan hasil-hasil riset para orientalis itu yang positif. Lebih-lebih dalam men-takhrij suatu makhtutat (manuskrip) yang kini masih sangat jarang dilakukan sarjana-sarjana Muslim, padahal jumlah makhtutat itu ada ratusan ribu. Yang penting di sini adalah perlunya kesadaran dalam diri kita bahwa ummat Islam dengan pandangan hidupnya memiliki cara pandang yang berbeda dari para orientalis.
Mengkaji Islam dengan cara pandang Islam sendiri tidak cukup dengan artikel-artikel atau wacana-wacana lepas dan dialog serta seminar di media massa yang hanya bersifat gagasan awal yang belum siap secara konseptual.
Ia memerlukan suatu kerja ilmiah yang serius dalam suatu lembaga kajian yang profesional-akademis, yang di dalamnya dikaji esensi pandangan hidup Islam, tradisi-tradisi intelektualnya yang telah berkembang puluhan abad lamanya, dan konsep-konsep pemikiran ulama dalam berbagai bidang yang telah berhasil membentuk bangunan peradaban yang kokoh itu. Dari situ dengan sikap kreatif dan progesif dapat dikembangkan cara pandang pemikiran Islam yang sarat dengan konsep-konsep baru dalam berbagai bidang yang dihajatkan oleh ummat saat ini.
Perlu pula dikaji esensi dan karakter kebudayaan Barat yang kini menjadi fenomena yang persuasif dalam cara berpikir ummat Islam. Esensi kebudayaan Barat yang berasaskan pada filsafat itu perlu dibedakan dengan peradaban Islam yang berlandaskan pada wahyu.
Perbedaan dan pembedaan Islam dan Barat perlu dilakukan secara konsisten, agar dapat mengenali asal-usul suatu konsep dan pemikiran, untuk kemudian mengetahui proses ilmiah selanjutnya, apakah harus diadopsi atau ditolak. Inilah yang disebut dengan proses Islamisasi yang sesungguhnya.
Islamisasi pada level epistemologis berarti pengislaman cara berpikir kita dalam memahami objek ilmu (al-ma'lum) dengan meletakkan realitas dan kebenaran dalam suatu kesatuan tauhidi. Pada level kultural dapat berbentuk adaptasi pemikiran luar dengan cara pandang hidup Islam. Jika ini dikembangkan di kalangan cendekiawan Muslim, maka kita tidak perlu lagi bersikap anti pemikiran Barat pada dataran emosi, tapi cenderung kritis pada level intelektual.
* Penulis adalah Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) dan Pemimpin Redaksi Jurnal Islamia. Makalah disampaikan dalam Diskusi dan Tasyakuran Dr Syamsuddin Arif di Hotel Sofyan Cikini, Jakarta, tanggal 31 Juli 2004.
Hamid Fahmy Zarkasyi, MA, Phil *
Suatu hal lumrah jika kebudayaan yang mundur akan belajar dari kebudayaan yang maju. Dan adalah alami jika suatu kebudayaan yang terbelakang mengadopsi konsep-konsep kebudayaan yang lebih maju. Tidak ada kebudayaan di dunia ini yang berkembang tanpa proses interaksi dengan kebudayaan asing. Ketika peradaban Islam unggul dibanding peradaban Eropa, misalnya, mereka telah meminjam konsep-konsep penting dalam Islam.
Akan tetapi, tidak berarti bahwa semua kebudayaan dapat mengambil semua konsep dari kebudayaan lain. Setiap kebudayaan memiliki identitas, nilai, konsep dan ideologinya sendiri-sendiri yang disebut dengan worldview (pandangan hidup).
Suatu kebudayaan dapat meminjam konsep-konsep kebudayaan lain karena memiliki pandangan hidup. Namun suatu kebudayaan tidak dapat meminjam sepenuhnya (mengadopsi) konsep-konsep kebudayaan lain, sebab dengan begitu ia akan kehilangan identitasnya.
Peminjaman konsep dari suatu kebudayaan mengharuskan adanya proses integrasi dan internalisasi konseptual. Namun dalam proses itu, unsur-unsur pokoknya berperan sebagai filter yang menentukan diterima tidaknya suatu konsep. Hal ini berlaku dalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam, yaitu ketika Islam meminjam khazanah pemikiran Yunani, India, Persia, dan lain-lain. Pelajaran yang penting dicatat dalam hal ini bahwa ketika para ulama meminjam konsep-konsep asing, mereka berusaha mengintegrasikan konsep-konsep asing ke dalam pandangan hidup Islam dengan asas pandangan hidup Islam. Memang, proses ini tidak bisa berlangsung sekali jadi. Perlu proses koreksi-mengoreksi dan itu berlangsung dari generasi ke generasi.
Di era modern dan post-modern sekarang ini, pemikiran dan kebudayaan Barat mengungguli kebudayaan-kebudayaan lain, termasuk peradaban Islam. Namun tradisi pinjam-meminjam yang terjadi telah bergeser menjadi proses “adopsi”, yakni mengambil penuh konsep-konsep asing, khususnya Barat, tanpa proses adaptasi atau integrasi. Apa yang dimaksud dengan konsep di sini bukan dalam kaitannya dengan sains dan teknologi yang bersifat eksak, tetapi lebih berkaitan dengan konsep keilmuan, kebudayaan, sosial, dan bahkan keagamaan.
Dalam konteks pembangunan peradaban Islam sekarang ini, proses adaptasi pemikiran merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Namun sebelum melakukan hal itu diperlukan suatu kemampuan untuk menguasai pandangan hidup Islam dan sekaligus Barat, esensi peradaban Islam dan kebudayaan Barat. Dengan demikian, seorang cendekiawan dapat berlaku adil terhadap keduanya.
Adil, artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya atau dalam hal ini didahului dengan mengambil sesuatu dari tempat asalnya. Jika ini didasarkan pada asumsi bahwa konsep-konsep dalam peradaban asing (baca: Barat) adalah hikmah Islam yang hilang, maka seseorang pemikir Muslim harus terlebih dahulu mempelajari tempat asal hikmah tersebut dan tempat dimana hikmah itu hilang, sebelum mengambilnya kembali.
Esensi Kebudayaan Barat
Kebudayaan Barat (Western Civilization) berkembang mewarisi unsur-unsur kebudayaan Yunani Kuno, Romawi, dan unsur-unsur lain dari budaya bangsa-bangsa Eropa, khususnya Jerman, Inggris, dan Prancis. Sebagian penulis, seperti Samuel Huntington, memasukkan agama (religion)--dalam hal ini Kristen--sebagai unsur penting yang membentuk kebudayaan Barat. Demikian ditulis dalam buku populernya The Clash of Civilizations and Remaking of World Order (1996).
Mungkin itulah di antara sebabnya mengapa Huntington yang dalam bukunya itu lebih banyak menguraikan soal kebudayaan dalam dimensi politis, mencoba menyeret konflik antara Islam dengan Kristen. Namun, kesimpulan Huntington itu patut diragukan. Kristen di Barat, faktanya, lebih banyak terkooptasi oleh peradaban Barat (westernized). Berbagai konsep teologi dan upacara ritual Kristen bahkan sudah menjadi “Barat”. Pusat agama ini pun bukan lagi di tempat kelahirannya (Palestina), tetapi sudah berpindah ke Barat. Di Barat sendiri kalangan agamawan Kristen juga suka dengan asumsi “Barat itu Kristen”.
Barat dengan filsafat dan kebudayaannya memiliki karakternya tersendiri. Menurut Profesor Naquib al-Attas, peradaban Barat memiliki sejumlah ciri. Pertama, berdasarkan filsafat dan bukan agama. Kedua, filsafat itu menjelma menjadi humanisme yang meneriakkan dengan lantang prinsip dikotomi sebagai nilai dan kebenaran. Ketiga, berdasarkan pandangan hidup yang tragis. Artinya, manusia adalah tokoh dalam drama kehidupan di dunia. Pahlawannya adalah tokoh-tokoh yang bernasib tragis.
Prinsip tragedi ini disebabkan oleh kekosongan kepercayaan (iman) dan karenanya mereka memandang kehidupan secara dikotomis. Konsep ini berujung pada keresahan jiwa, selalu mencari sesuatu yang tiada akhir, mencari suatu kebenaran tanpa asas kebenaran atau prinsip kebenaran mutlak. (al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ISTAC, 2001).
Itulah Barat yang filsafat, sainstek, dan ekonominya sedang merajai pentas sejarah dunia. Budayanya menyebar bagai gelombang melalui berbagai gerakan kultural; filsafatnya dipahami secara luas melalui pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia; sains dan teknologinya dikagumi dan ditiru bagi pembangunan sarana dan prasarana kehidupan manusia.
Gelombang kebudayaan Barat yang disebut dengan modernisme itu pada mulanya mencerminkan gaya hidup elitis, tapi kini disebut dengan postmodernisme yang bersifat populis. Secara konseptual dampaknya dahsyat. Ia tidak saja mampu mengubah konsep sejarah secara agressif, tapi juga mengubah sikap orang terhadap agama menjadi skeptis. Agama dan kitabnya diposisikan hanya sebagai suatu bentuk “narasi besar” (grand narrative) yang kering, profan, dan dapat dipermainkan melalui bahasa dan imajinasi liar yang mencampuradukkan realitas dan fantasi. Postmodernisme sebenarnya tidak lain dari sekularisme yang tampil dengan wajah baru yang “pusat gravitasinya” adalah pandangan hidup Barat (Western worldview).*
Cengkeraman Orientalis
Dalam bidang pemikiran Islam, pengaruh p andangan hidup Barat dapat ditelusuri melalui sejarah panjang orientalisme yang sebenarnya tidak lepas dari misi kolonialisme dan kristenisasi. Bahkan awalnya dapat ditelusuri dari proses transmisi khazanah pemikiran Islam ke Barat melalui penerjemahan karya-karya filosof Muslim pada abad ke-8 dan 9 ke dalam bahasa Latin. Tokoh-tokohnya adalah para teolog Kristen seperti Charles Bernet, Peter Pivortim, Robert Charter, Bruno, dan lain-lain.
Itu pula yang terjadi dalam penerjemahan Al-Qur`an ke dalam bahasa Latin. Ini dimulai pada tahun 1143 M oleh Robertus Retasensis atas arahan Peter the Venerable, Kepala Gereja Clugny. Pekerjaan ini segera diikuti oleh penerjemahan dan penulisan buku-buku Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan sains. Khazanah ilmu pengetahuan Islam ini ditransfer ke dalam alam pikiran Barat dan tanpa menyebut sumbernya.
Bahkan Thomas Aquinas jelas-jelas terbukti menjiplak beberapa fragmen pemikiran Al-Farabi hanya dengan mengedit beberapa kata. David Hume memodifikasi doktrin kausalitas Al-Ghazzali menjadi bersifat atheistik.
Terjadilah proses westernisasi (pem-Barat-an) besar-besaran, persis seperti ketika ulama-ulama Islam mentransfer beberapa pemikiran Yunani dengan proses Islamisasinya. Ini berarti bahwa orang-orang Barat-Kristen itu memahami Islam berdasarkan pandangan hidup mereka. Usaha pembaratan itu meliputi konsep-konsep dan istilah penting dan bahkan pembaratan nama-nama Islam. Nama Ibn Sina diubah menjadi Avicenna, Ibn Rushd menjadi Averroes, Al-Ghazzali menjadi Algazel, Al-Jabr menjadi Algebra, dan banyak lagi.
Hal di atas hanyalah sedikit contoh betapa Islam yang ditransfer ke Barat telah diubah atau dipahami secara berbeda dari aslinya. Tidak mengherankan jika dari karya-karya mereka itu Islam digambarkan dengan sangat negatif. Dan ciri-ciri itu masih tetap melekat pada karya-karya para orientalis di zaman modern ini. Lihat saja karya-karya seperti Approach to the History of the Interpretation of the Qur'an oleh Andrew Rippin, Qur'anic Studies: Sources and Methods of Interpretation oleh John Wansbrough, The Origin of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht; Islamic Creed oleh MW Watt, dan lain-lain.
Sebagai contoh adalah buku Islamic Fundamentalism and Modernity tulisan Watt. Ia menyatakan bahwa agar terbebas dari kesalahan dan kepalsuan, dan untuk memposisikan secara benar Islam di tengah dunia kontemporer, maka rekonstruksi intelektual pandangan hidup Islam adalah suatu keharusan. Rekonstruksi pandangan hidup Islam adalah pernyataan berunsur pembaharuan dan boleh jadi menarik minat cendekiawan Muslim. Namun sejatinya ia penuh bias.
Lebih jauh Watt mengatakan, “… dan untuk itu hal-hal yang tidak penting dan sekunder dalam masalah keimanan harus dibuang.” Ternyata , apa yang bagi Watt tidak penting itu adalah pengingkaran Al-Qur`an tentang penyaliban dan kematian di tiang salib, dianggap kesalahan sejarah dan tidak penting.
Richard Bell, penulis Introduction to the Qur`an, membuat susunan Al-Qur`an sesuai dengan turunnya ayat-ayat itu dan kemudian mengkritik bahwa Al-Qur`an adalah karangan Nabi Muhammad. Alasannya, susunan yang sekarang ini atas perintah Muhammad, bukan berdasarkan pada kronologi diwahyukannya.
Sekarang ini, framework (cara pandang) orientalis terhadap Islam yang seperti itu sangat dominan dalam program kajian Islam di beberapa universitas Barat.
Padahal di situlah banyak calon sarjana Muslim belajar. Pemikiran para orientalis dengan framework seperti itu kemudian dijadikan referensi yang sederajat dengan ulama-ulama dalam tradisi Islam.
Demikianlah selanjutnya, bola salju cengkeraman cara pandang ini terus bergulir bersama angin westernisasi, sekularisasi, dan liberalisasi dalam bidang-bidang lain. Warna orientalis itu nampak pada beberapa cendekiawan Muslim alumni lembaga pendidikan Barat atau murid alumni Barat. Pendekatan kajian Islam yang bersifat dikotomis memisahkan antara yang historis dan normatif, antara tekstual dan kontekstual, subjektif-objektif, ideal-real adalah asli cara pandang Barat.
Kondisi di aras berengaruh pada tataran konsep berupa timbulnya tumpang tindih antara konsep Islam dan Barat yang bermuara pada kebingungan intelektual (intellectual confusion). Sebagai contoh, demokrasi dianggap sama dengan syura, al-din disamakan dengan religi, masyarakat madani dianggap sama dengan civil society, insan kamil disamakan dengan warga negara yang baik, tajdid dianggap sama dengan modernisasi/rasionalisasi, dan sebagainya.
Tidak cukup hanya sebatas pengacauan konsep, kini Barat maju beberapa langkah lagi dengan memperkenalkan ide pluralisme agama (religious pluralism), kesatuan transendental agama-agama (transcendent unity of religions), yang didukung oleh konsep global ethic dan dipacu oleh dialog antar-agama, gender, feminisme, dan lain-lain.
Framework Islam
Contoh di atas hanyalah simplifikasi persoalan dan dapat dijelaskan lebih komprehensif. Memang masalahnya tidak sederhana, karena orientalisme itu telah mentradisi dan kebanyakan tulisan mereka memenuhi standard kersarjanaan modern yang diakui.
Tugas kaum Muslim sekarang di samping merespon mereka secara akademis dengan sikap kritis, juga mengembangkan cara pandang kita sendiri. Meski tetap harus bersikap apresiatif dan bahkan dapat memanfaatkan hasil-hasil riset para orientalis itu yang positif. Lebih-lebih dalam men-takhrij suatu makhtutat (manuskrip) yang kini masih sangat jarang dilakukan sarjana-sarjana Muslim, padahal jumlah makhtutat itu ada ratusan ribu. Yang penting di sini adalah perlunya kesadaran dalam diri kita bahwa ummat Islam dengan pandangan hidupnya memiliki cara pandang yang berbeda dari para orientalis.
Mengkaji Islam dengan cara pandang Islam sendiri tidak cukup dengan artikel-artikel atau wacana-wacana lepas dan dialog serta seminar di media massa yang hanya bersifat gagasan awal yang belum siap secara konseptual.
Ia memerlukan suatu kerja ilmiah yang serius dalam suatu lembaga kajian yang profesional-akademis, yang di dalamnya dikaji esensi pandangan hidup Islam, tradisi-tradisi intelektualnya yang telah berkembang puluhan abad lamanya, dan konsep-konsep pemikiran ulama dalam berbagai bidang yang telah berhasil membentuk bangunan peradaban yang kokoh itu. Dari situ dengan sikap kreatif dan progesif dapat dikembangkan cara pandang pemikiran Islam yang sarat dengan konsep-konsep baru dalam berbagai bidang yang dihajatkan oleh ummat saat ini.
Perlu pula dikaji esensi dan karakter kebudayaan Barat yang kini menjadi fenomena yang persuasif dalam cara berpikir ummat Islam. Esensi kebudayaan Barat yang berasaskan pada filsafat itu perlu dibedakan dengan peradaban Islam yang berlandaskan pada wahyu.
Perbedaan dan pembedaan Islam dan Barat perlu dilakukan secara konsisten, agar dapat mengenali asal-usul suatu konsep dan pemikiran, untuk kemudian mengetahui proses ilmiah selanjutnya, apakah harus diadopsi atau ditolak. Inilah yang disebut dengan proses Islamisasi yang sesungguhnya.
Islamisasi pada level epistemologis berarti pengislaman cara berpikir kita dalam memahami objek ilmu (al-ma'lum) dengan meletakkan realitas dan kebenaran dalam suatu kesatuan tauhidi. Pada level kultural dapat berbentuk adaptasi pemikiran luar dengan cara pandang hidup Islam. Jika ini dikembangkan di kalangan cendekiawan Muslim, maka kita tidak perlu lagi bersikap anti pemikiran Barat pada dataran emosi, tapi cenderung kritis pada level intelektual.
* Penulis adalah Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) dan Pemimpin Redaksi Jurnal Islamia. Makalah disampaikan dalam Diskusi dan Tasyakuran Dr Syamsuddin Arif di Hotel Sofyan Cikini, Jakarta, tanggal 31 Juli 2004.
Teror Kata Berkedok "Kasih"
Teror kata berkedok 'kasih'
terbukti ampuh menaklukkan kekuatan Islam dibanding teror fisik berkekuatan
'cluster bomb'
oleh : Adian Husaini *
"Aku datang untuk menemui ummat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan kekuatan tapi dengan logika, tidak dalam benci tapi dalam cinta."
Henry Martyn, missionaris
Perang Salib telah gagal, begitu kata Henry Martyn. Karena itu, untuk "menaklukkan" dunia Islam perlu resep lain: gunakan "kata, logika, dan kasih". Bukan kekuatan senjata atau kekerasan.
Hal senada dikatakan misionaris lain, Raymond Lull, "Saya melihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci, dan berpikir bahwa mereka dapat menguasainya dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai apa yang mereka pikir bisa diperoleh."
Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan darah dan air mata, tetapi dengan cinta kasih dan doa. Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris redaksi Church Missionary Society, tidak ada figur yang lebih heroik dalam sejarah Kristen dibandingkan Raymond Lull. Lull adalah misionaris pertama dan mungkin terbesar yang menghadapi para pengikut Muhammad.
Ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di Timur Tengah, dalam buku Islam: A Challenge to Faith (1907). Buku yang berisi resep untuk "menaklukkan" dunia Islam itu disebut Zwemmer sebagai "beberapa kajian tentang kebutuhan dan kesempatan di dunia para pengikut Muhammad dari sudut pandang missi Kristen".
Bagi para missionaris, mengkristenkan kaum Muslim adalah keharusan. Dalam laporan tentang Konferensi Seabad Misi-misi Protestan Dunia (Centenary Conference on the Protestant Missions of the World) di London (1888), tercatat ucapan Dr George F Post, "Kita harus menghadapi Pan-Islamisme dengan Pan-Evangelisme. Ini merupakan pertarungan hidup dan mati." Selanjutnya, dia berpidato, "... kita harus masuk ke dalam Arabia; kita harus masuk ke Sudan; kita harus masuk ke Asia Tengah; dan kita harus mengkristenkan orang-orang ini atau mereka akan berbaris mengarungi gurun-gurun, dan mereka akan menyapu laksana api melahap kekristenan kita dan melahapnya."
Kasus Turki Utsmani
Kekuatan "kata" dan "kasih" model Henry Martyn perlu dicatat secara serius. Perang pemikiran ini biasanya dijalankan dengan sangat halus, berwajah manis (seperti penampilan Paul Wolfowitz yang murah senyum). Tetapi cara ini justru lebih manjur, tanpa disadari si Korban.
Ahmad Wahib, yang kini dibangkit-bangkitkan lagi oleh sejumlah kalangan, bisa jadi merupakan "korban teror" sehingga dia jadi ragu tentang kebenaran Islam. Banyak cendekiawan Muslim yang jadi korban setelah menerima pemikiran dan berbagai fasilitas. Anehnya, mereka merasa "tercerahkan" sehingga bersemangat mengadopsi dan menyebarkan "pemikiran yang dianggap baru" kepada kaum Muslimin. Padahal Allah telah memperingatkan dalam Al-Quran Surat Al-Hijr ayat 39:
"Iblis berkata: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya."
Kaum Yahudi juga sangat mafhum akan kekuatan teror "kata" dan "kasih". Begitu dahsyat sehingga mampu menghancurkan imperium besar (Utsmani) yang telah berusia hampir 700 tahun. Bagi Zionis, Turki Utsmani adalah penghalang utama mewujudkan negara Yahudi di Palestina.
Bagi Kristen-Eropa, Turki Utsmani adalah ancaman serius. Pendiri Kristen-Protestan, Martin Luther, menyatakan, "Kekuatan anti-Kristus adalah Paus dan Turki sekaligus". Bernard Lewis menggambarkan, begitu takutnya sampai ada doa agar Tuhan menyelamatkan mereka dari kejahatan Paus dan Turki (Islam and the West, 1993).
Turki Ustmani sulit digulung dengan kekuatan senjata, tapi bisa ditekuk dari dalam oleh kelompok Turki Muda (The Young Turk) dengan "kata-kata". Setelah 1908, praktis kekuasaan di Ustmani sudah dipegang oleh kelompok ini, melalui organisasi Committee anda Union Progress (CUP) yang beranggotakan para cendekiawan Turki yang telah ter-Barat-kan (westernized). Tiga Presiden Tukri modern (sampai tahun 1960) adalah aktivis SUP.
Bagi mereka, Barat (Eropa) adalah "kiblat" untuk mencapai kemajuan. Abdullah Cevdet, seorang pendiri CUP, mengatakan, "Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawar maupun durinya sekaligus."
Dalam buku The Young Turk in Position yang diterbitkan Oxford Univeristy Press (1955), cendekiawan Turki M. Sukru Hanioglu mencatat bahwa kelompok ini berideologi positivesme, materialisme, dan nasionalisme. Hebatnya CUP juga memiliki kader-kader di tentara Ustmani, yang kemudian memegang kekuasaan Turki Modern. Salah satunya adalah Musthafa Kemal Ataturk.
Menurut Prof. Halil Inalcik, "Revolusi Kemal Atatturk" mengambil konsep sosial Darwinsm. Karena itu, setelah berkuasa, Ataturk mem-Barat-kan Turki sepenuhnya, sampai soal-soal pakaian dan bahasa. Soal khilafah, Atatturk berpendapat, "Gagasan satu kekhalifahan, yang menjalankan otoritas religius bagi seluruh umat Islam, adalah gagasan yang diambil dari khayalan, bukan dai kenyataan."
Gerakan SUP di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 sangat penting dicermati, karena mereka mampu menggunakan "kata-kata" untuk melumpuhkan :"kekuasaan" Sultan Utsmani. Terutama, dengan kolaborasi dengan gerakan Zionis, setelah Kongfres Zionis Pertama (1897). Cevdet dan sejumlah aktivis CUP memang simpatisan Yahudi dan gerakan Zionis.
Freedom and Liberation
Tokoh-tokoh CUP juga berkolaborasi dengan Freemansonry di Turki. Menurut Dr. Sukru Hanioglu, dosen Universitas Islambul, saat itu aktivis Freemansonry memiliki hubungan erat dengan kelompok The Ottoman Freedom Society (Osmanli Hurriet Cemiyati) yang dibentuk tahun 1906. Tokoh Freemanson, Celanthi Scalieri, adalah pendiri loji The Lights of the East (Envar-I Sarkiye) yang beranggotakan sejumlah politisi, jurnalis, dan agamawan terkemuka (seperti Ali Sefkati, pemimpin redaksi Koran Istiqlal, dan Pangeran Muhammad Ali Halim, pemimpin Freemansonry Mesir).
Di sinilah nucleus faksi Turki Muda lahir. Gagasan utamanya mengelaborasikan kata Freedom (kemerdekaan/kebebasan) dan Liberation (pembebasan). Gerakan Scalieri mendapat dukungan sejumlah negara kuat, terutama Inggris. Itu bias dipahami, karena sejak ratusan tahun, Utsmani dianggap sebagai ancaman bagi Kristen Barat. Pengaruh Freemansonry terhadap gerakan liberal dan kebebasan Turki sangat kuat, sehingga Sukltan pun tidak berdaya.
Gerakan pembebasan di Turki ini mendapat inspirasi kuat dari dua peristiwa besar, yaitu Revolusi Prancis dan kemerdekaan Amerika Serikat. A New Encyclopedia of Fremansonry (1996) mencatat bahwa George Washington, Thomas Jefferson, John Hancoc, dan Benjamin Franklin adalah aktivis Freemansonry. Begitu juga tokoh gerakan pembebasan Amerika Latin, Simon Bolivar, dan Jose Rizal di Filipina.
Ide pokok Freemansonry adalah ,Liberty, Egality and Fraternity?. Di bawah jargon inilah, jutaan orang "tertarik" untuk melakukan apa yang disebut sebagai "kemerdekaan sejati bagi seluruh rakyat dari tirani politik maupun tirani sistem kerohanian".
Tampaknya waktu itu Sultan Abdul Hamid II diposisikan sebagai "kekuatan tiran". Dalam konteks gerakan pembebasan pemikiran, yang diposisikan sebagai tirani sistem kerohanian adalah ?teks-teks Al-Quran dan Sunnah?, juga khazanah-khazanah Islam klasik karya ulama Islam terkemuka. Masih ditelusuri lebih jauh, seberapa jauh hubungan antara gerakan liberal dalam konteks pemikiran Islam dengan gerakan Freemasonry. Yang jelas, Rene Guenon, guru Frithjof Schuon (pelopor gagasan pluralisme) misalnya, adalah aktivis Freemasonry.
Juga masih diselidiki, adakah misalnya pengaruh aktivitas Jamaluddin Al-Afghani di Freemasonry dengan pemikiran Muhammad Abduh atau tafsir al-Manar-nya Rasyid Ridla Yang jelas, jargon-jargon pembebasan dari ?teks?, dan dekonstruksi tafsir Quran (lalu menggantinya dengan metode hermeneutika yang banyak digunakan dalam tradisi Bibel), cukup sering terungkap.
Bahkan, bagi Mohamed Arkoun misalnya, Mushaf Utsmani diposisikan sebagai "tiran" yang perlu dipersoalkan. Kata Arkoun, "persoalannya, berkaitan dengan proses historis pengumpulan Al-Quran menjadi mushaf resmi kian lama kian tidak masuk akal di bawah tekanan resmi khalifah, karena Al-Quran telah digunakan sejak permulaan negara Islam untuk melegitimasi kekuasaan dan menyatukan ummat."
Kekuatan ,kata dan 'kasih" terbukti ampuh dalam menaklukkan kekuatan-kekuatan Islam, yang biasanya disimbolkan dengan ungkapan tidak simpatik seperti "ortodoks", "beku", "berorientasi masa lalu", dan "emosional". Kolaborasi cendekiawan Turki, Kristen-Eropa, dan Zionis-Yahudi berhasil menggulung Turki Utsmani. Ironisnya, dua dari empat orang yang menyerahkan surat pemecatan Sultan Abdul Hamid II (1909) adalah non-Muslim. Salah satunya, Emmanuel Karasu (tokoh Yahudi).
Teror fisik seperti cluster bomb-nya Amerika dalam invasi di Iraq, mudah memancing reaksi besar. Ratusan ribu aktivis Islam turun ke jalan, menentang serangan AS ke Irak. Namun kalau menghadapi teror "kata" berselubung "kasih", kaum Muslimin biasanya terlambat sadar. Dampaknya pun biasanya memakan waktu lama. Ummat Islam akan tenang-tenang saja meskipun setiap detik diteror dengan kata-kata indah itu. Bisa melalui media massa, atau ucapan tokoh-tokoh ummat sendiri. Apakah sejarah masih akan berulang untuk kaum Muslim Indonesia? Wallahu a?lam.*
Penulis adalah doktor di International Institute for Islamic Thought and Civilization-International Islamic University (ISTAC-IIU), Kuala Lumpur
oleh : Adian Husaini *
"Aku datang untuk menemui ummat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan kekuatan tapi dengan logika, tidak dalam benci tapi dalam cinta."
Henry Martyn, missionaris
Perang Salib telah gagal, begitu kata Henry Martyn. Karena itu, untuk "menaklukkan" dunia Islam perlu resep lain: gunakan "kata, logika, dan kasih". Bukan kekuatan senjata atau kekerasan.
Hal senada dikatakan misionaris lain, Raymond Lull, "Saya melihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci, dan berpikir bahwa mereka dapat menguasainya dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai apa yang mereka pikir bisa diperoleh."
Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan darah dan air mata, tetapi dengan cinta kasih dan doa. Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris redaksi Church Missionary Society, tidak ada figur yang lebih heroik dalam sejarah Kristen dibandingkan Raymond Lull. Lull adalah misionaris pertama dan mungkin terbesar yang menghadapi para pengikut Muhammad.
Ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di Timur Tengah, dalam buku Islam: A Challenge to Faith (1907). Buku yang berisi resep untuk "menaklukkan" dunia Islam itu disebut Zwemmer sebagai "beberapa kajian tentang kebutuhan dan kesempatan di dunia para pengikut Muhammad dari sudut pandang missi Kristen".
Bagi para missionaris, mengkristenkan kaum Muslim adalah keharusan. Dalam laporan tentang Konferensi Seabad Misi-misi Protestan Dunia (Centenary Conference on the Protestant Missions of the World) di London (1888), tercatat ucapan Dr George F Post, "Kita harus menghadapi Pan-Islamisme dengan Pan-Evangelisme. Ini merupakan pertarungan hidup dan mati." Selanjutnya, dia berpidato, "... kita harus masuk ke dalam Arabia; kita harus masuk ke Sudan; kita harus masuk ke Asia Tengah; dan kita harus mengkristenkan orang-orang ini atau mereka akan berbaris mengarungi gurun-gurun, dan mereka akan menyapu laksana api melahap kekristenan kita dan melahapnya."
Kasus Turki Utsmani
Kekuatan "kata" dan "kasih" model Henry Martyn perlu dicatat secara serius. Perang pemikiran ini biasanya dijalankan dengan sangat halus, berwajah manis (seperti penampilan Paul Wolfowitz yang murah senyum). Tetapi cara ini justru lebih manjur, tanpa disadari si Korban.
Ahmad Wahib, yang kini dibangkit-bangkitkan lagi oleh sejumlah kalangan, bisa jadi merupakan "korban teror" sehingga dia jadi ragu tentang kebenaran Islam. Banyak cendekiawan Muslim yang jadi korban setelah menerima pemikiran dan berbagai fasilitas. Anehnya, mereka merasa "tercerahkan" sehingga bersemangat mengadopsi dan menyebarkan "pemikiran yang dianggap baru" kepada kaum Muslimin. Padahal Allah telah memperingatkan dalam Al-Quran Surat Al-Hijr ayat 39:
"Iblis berkata: Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya."
Kaum Yahudi juga sangat mafhum akan kekuatan teror "kata" dan "kasih". Begitu dahsyat sehingga mampu menghancurkan imperium besar (Utsmani) yang telah berusia hampir 700 tahun. Bagi Zionis, Turki Utsmani adalah penghalang utama mewujudkan negara Yahudi di Palestina.
Bagi Kristen-Eropa, Turki Utsmani adalah ancaman serius. Pendiri Kristen-Protestan, Martin Luther, menyatakan, "Kekuatan anti-Kristus adalah Paus dan Turki sekaligus". Bernard Lewis menggambarkan, begitu takutnya sampai ada doa agar Tuhan menyelamatkan mereka dari kejahatan Paus dan Turki (Islam and the West, 1993).
Turki Ustmani sulit digulung dengan kekuatan senjata, tapi bisa ditekuk dari dalam oleh kelompok Turki Muda (The Young Turk) dengan "kata-kata". Setelah 1908, praktis kekuasaan di Ustmani sudah dipegang oleh kelompok ini, melalui organisasi Committee anda Union Progress (CUP) yang beranggotakan para cendekiawan Turki yang telah ter-Barat-kan (westernized). Tiga Presiden Tukri modern (sampai tahun 1960) adalah aktivis SUP.
Bagi mereka, Barat (Eropa) adalah "kiblat" untuk mencapai kemajuan. Abdullah Cevdet, seorang pendiri CUP, mengatakan, "Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawar maupun durinya sekaligus."
Dalam buku The Young Turk in Position yang diterbitkan Oxford Univeristy Press (1955), cendekiawan Turki M. Sukru Hanioglu mencatat bahwa kelompok ini berideologi positivesme, materialisme, dan nasionalisme. Hebatnya CUP juga memiliki kader-kader di tentara Ustmani, yang kemudian memegang kekuasaan Turki Modern. Salah satunya adalah Musthafa Kemal Ataturk.
Menurut Prof. Halil Inalcik, "Revolusi Kemal Atatturk" mengambil konsep sosial Darwinsm. Karena itu, setelah berkuasa, Ataturk mem-Barat-kan Turki sepenuhnya, sampai soal-soal pakaian dan bahasa. Soal khilafah, Atatturk berpendapat, "Gagasan satu kekhalifahan, yang menjalankan otoritas religius bagi seluruh umat Islam, adalah gagasan yang diambil dari khayalan, bukan dai kenyataan."
Gerakan SUP di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 sangat penting dicermati, karena mereka mampu menggunakan "kata-kata" untuk melumpuhkan :"kekuasaan" Sultan Utsmani. Terutama, dengan kolaborasi dengan gerakan Zionis, setelah Kongfres Zionis Pertama (1897). Cevdet dan sejumlah aktivis CUP memang simpatisan Yahudi dan gerakan Zionis.
Freedom and Liberation
Tokoh-tokoh CUP juga berkolaborasi dengan Freemansonry di Turki. Menurut Dr. Sukru Hanioglu, dosen Universitas Islambul, saat itu aktivis Freemansonry memiliki hubungan erat dengan kelompok The Ottoman Freedom Society (Osmanli Hurriet Cemiyati) yang dibentuk tahun 1906. Tokoh Freemanson, Celanthi Scalieri, adalah pendiri loji The Lights of the East (Envar-I Sarkiye) yang beranggotakan sejumlah politisi, jurnalis, dan agamawan terkemuka (seperti Ali Sefkati, pemimpin redaksi Koran Istiqlal, dan Pangeran Muhammad Ali Halim, pemimpin Freemansonry Mesir).
Di sinilah nucleus faksi Turki Muda lahir. Gagasan utamanya mengelaborasikan kata Freedom (kemerdekaan/kebebasan) dan Liberation (pembebasan). Gerakan Scalieri mendapat dukungan sejumlah negara kuat, terutama Inggris. Itu bias dipahami, karena sejak ratusan tahun, Utsmani dianggap sebagai ancaman bagi Kristen Barat. Pengaruh Freemansonry terhadap gerakan liberal dan kebebasan Turki sangat kuat, sehingga Sukltan pun tidak berdaya.
Gerakan pembebasan di Turki ini mendapat inspirasi kuat dari dua peristiwa besar, yaitu Revolusi Prancis dan kemerdekaan Amerika Serikat. A New Encyclopedia of Fremansonry (1996) mencatat bahwa George Washington, Thomas Jefferson, John Hancoc, dan Benjamin Franklin adalah aktivis Freemansonry. Begitu juga tokoh gerakan pembebasan Amerika Latin, Simon Bolivar, dan Jose Rizal di Filipina.
Ide pokok Freemansonry adalah ,Liberty, Egality and Fraternity?. Di bawah jargon inilah, jutaan orang "tertarik" untuk melakukan apa yang disebut sebagai "kemerdekaan sejati bagi seluruh rakyat dari tirani politik maupun tirani sistem kerohanian".
Tampaknya waktu itu Sultan Abdul Hamid II diposisikan sebagai "kekuatan tiran". Dalam konteks gerakan pembebasan pemikiran, yang diposisikan sebagai tirani sistem kerohanian adalah ?teks-teks Al-Quran dan Sunnah?, juga khazanah-khazanah Islam klasik karya ulama Islam terkemuka. Masih ditelusuri lebih jauh, seberapa jauh hubungan antara gerakan liberal dalam konteks pemikiran Islam dengan gerakan Freemasonry. Yang jelas, Rene Guenon, guru Frithjof Schuon (pelopor gagasan pluralisme) misalnya, adalah aktivis Freemasonry.
Juga masih diselidiki, adakah misalnya pengaruh aktivitas Jamaluddin Al-Afghani di Freemasonry dengan pemikiran Muhammad Abduh atau tafsir al-Manar-nya Rasyid Ridla Yang jelas, jargon-jargon pembebasan dari ?teks?, dan dekonstruksi tafsir Quran (lalu menggantinya dengan metode hermeneutika yang banyak digunakan dalam tradisi Bibel), cukup sering terungkap.
Bahkan, bagi Mohamed Arkoun misalnya, Mushaf Utsmani diposisikan sebagai "tiran" yang perlu dipersoalkan. Kata Arkoun, "persoalannya, berkaitan dengan proses historis pengumpulan Al-Quran menjadi mushaf resmi kian lama kian tidak masuk akal di bawah tekanan resmi khalifah, karena Al-Quran telah digunakan sejak permulaan negara Islam untuk melegitimasi kekuasaan dan menyatukan ummat."
Kekuatan ,kata dan 'kasih" terbukti ampuh dalam menaklukkan kekuatan-kekuatan Islam, yang biasanya disimbolkan dengan ungkapan tidak simpatik seperti "ortodoks", "beku", "berorientasi masa lalu", dan "emosional". Kolaborasi cendekiawan Turki, Kristen-Eropa, dan Zionis-Yahudi berhasil menggulung Turki Utsmani. Ironisnya, dua dari empat orang yang menyerahkan surat pemecatan Sultan Abdul Hamid II (1909) adalah non-Muslim. Salah satunya, Emmanuel Karasu (tokoh Yahudi).
Teror fisik seperti cluster bomb-nya Amerika dalam invasi di Iraq, mudah memancing reaksi besar. Ratusan ribu aktivis Islam turun ke jalan, menentang serangan AS ke Irak. Namun kalau menghadapi teror "kata" berselubung "kasih", kaum Muslimin biasanya terlambat sadar. Dampaknya pun biasanya memakan waktu lama. Ummat Islam akan tenang-tenang saja meskipun setiap detik diteror dengan kata-kata indah itu. Bisa melalui media massa, atau ucapan tokoh-tokoh ummat sendiri. Apakah sejarah masih akan berulang untuk kaum Muslim Indonesia? Wallahu a?lam.*
Penulis adalah doktor di International Institute for Islamic Thought and Civilization-International Islamic University (ISTAC-IIU), Kuala Lumpur
Membungkam Lolongan Para Thaghut Penyeru Pluralisme dan
Inklusivisme
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu
menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya
beliau bersabda:
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad
di tangan-Nya! Tidaklah mendengar dariku seseorang dari umat ini2 baik orang
Yahudi maupun orang Nashrani, kemudian ia mati dalam keadaan ia tidak beriman
dengan risalah yang aku bawa, kecuali ia menjadi penghuni neraka.”
Hadits yang mulia di atas
diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya no. 153 dan diberi judul bab
oleh Al-Imam An-Nawawi “Wujubul Iman bi Risalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam ila Jami’in Nas wa Naskhul Milali bi Millatihi” (Wajibnya seluruh
manusia beriman dengan risalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
terhapusnya seluruh agama/ keyakinan yang lain dengan agamanya).
Hadits ini menunjukkan
terhapusnya seluruh agama dengan diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Seluruh manusia (dan jin) yang menemui zaman pengutusan beliau sampai
hari kiamat wajib untuk menaati beliau. Di sini Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam hanya menyebut Yahudi dan Nashrani karena mereka berdua memiliki
kitab (yang diturunkan dari langit). Hal ini diinginkan sebagai peringatan bagi
selain keduanya, sehingga lazimnya apabila mereka (Yahudi dan Nashrani) saja
harus tunduk dan menaati beliau, maka selain keduanya yang tidak memiliki kitab
lebih pantas lagi untuk tunduk. (Syarah Shahih Muslim lin Nawawi, 2/188, Darur
Rayyan 1407 H)
Agama ini mengajarkan kepada
umat Islam untuk mengatakan bahwa agama selainnya adalah kafir, sehingga dalam
keyakinan Islam, agama lain tidak bisa dibenarkan keberadaannya. Hal ini telah
dinyatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Dan salah satu tujuan diutusnya Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam
adalah menghapuskan agama selain Islam, sehingga yang ada hanyalah Islam,
walaupun Islam masih memberikan batasan-batasan hukum kepada yang lainnya yang
dikenal dengan hukum bagi ahludz dzimmah.
Islam sendiri membagi muamalah
antara penganutnya dengan orang kafir menjadi empat: kafir harbi, kafir
musta’min, kafir mu’ahad dan kafir dzimmi, sehingga setiap golongan
diperlakukan sesuai dengan golongannya. Inilah toleransi positif dan benar yang
sesuai dengan ketetapan agama Allah serta tidak diragukan kebenarannya,
sehingga batillah seruan para thaghut pluralis yang menyatakan bahwa toleransi
seperti ini, tanpa ada dalil dari Kitabullah dan Sunnah, sebagai toleransi
dalam penafsiran negatif sebagaimana tertera dalam buku mereka Pluralitas
Agama: Kerukunan dalam Keberagaman, hal. 13, Penerbit Buku Kompas, 2001. Maka
sebagai konsekuensi toleransi ini, mereka harus menerima pengkafiran kaum
muslimin terhadap agama lain dan penganutnya.
Agama Islam Menghapus Seluruh
Ajaran Agama Sebelumnya
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
mengutus para nabi dan rasul untuk menegakkan hujjah-Nya di muka bumi, sehingga
tidak ada alasan bagi para hamba bila enggan beriman setelah itu. Dan tidak ada
satu umat pun melainkan telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan
dan pembawa kabar gembira, sejak rasul yang pertama, Nuh 'alaihissalam, dan
ditutup oleh Nabi dan Rasul yang terakhir Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Seruan semua utusan Allah tersebut adalah satu, yaitu:
“Beribadahlah kalian kepada
Allah dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl: 36)
Agama para nabi dan rasul
tersebut satu yaitu Islam, karena pengertian Islam secara umum adalah beribadah
kepada Allah dengan apa yang Dia syariatkan sejak Allah mengutus para rasul
sampai datangnya hari kiamat. Sebagaimana Allah sebutkan hal ini dalam banyak
ayat, yang semuanya menunjukkan bahwasa syariat-syariat terdahulu (umat sebelum
kita) seluruhnya adalah Islam (tunduk) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Seperti firman Allah menyebutkan doa Nabi Ibrahim 'alaihissalam:
“Wahai Rabb kami, jadikanlah
kami berdua orang yang tunduk berserah diri kepadamu (muslim) dan jadikanlah
anak turunan kami sebagai umat yang tunduk berserah diri (muslim) kepadamu.”
(Al-Baqarah: 128)
Adapun Islam dengan makna yang
khusus adalah agama yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang menghapuskan seluruh ajaran nabi dan rasul terdahulu, sehingga
orang yang mengikuti beliau berarti telah berislam, sedangkan yang menolak
beliau bukan orang Islam. Pengikut para rasul adalah muslimin di zaman rasul
mereka. Maka Yahudi adalah muslimin di zaman Nabi Musa 'alaihissalam, dan
Nashrani adalah muslimin di zaman Nabi ‘Isa 'alaihissalam, jika mereka
benar-benar mengikuti syariat rasul mereka. Adapun setelah Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, lalu mereka tidak mau beriman kepada
beliau maka mereka bukan muslimin (baca: orang Islam). (Syarh Tsalatsatil
Ushul, Al-Imam Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 20-21, Dar Ats-Tsurayya, 1417 H)
Agama Islam inilah yang
diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Dia tidak menerima agama selainnya:
“Sesungguhnya agama (yang
diterima) di sisi Allah adalah agama Islam.” (Ali Imran: 19)
“Siapa yang mencari agama
selain agama Islam maka tidak akan diterima agama itu darinya dan di akhirat
dia termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
Al-Hafidz Ibnu Katsir
rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan bahwa tidak ada
agama yang diterima di sisi-Nya selain agama Islam, dengan mengikuti para rasul
dalam pengutusannya pada setiap masa, sampai ditutup oleh Nabi dan Rasul yang
akhir Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian Allah menutup seluruh
jalan kepada-Nya kecuali dari sisi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dengan begitu, siapa pun yang bertemu dengan Allah setelah diutusnya Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan beragama selain syariat yang beliau bawa
dan ajarkan, maka tidak diterima agama tersebut darinya.” (Tafsir Ibnu Katsir,
2/19, Maktabah Taufiqiyah, tanpa tahun)
Agama Islam inilah yang Allah
anugerahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan umat beliau,
dan Allah nyatakan sebagai agama yang diridhai-Nya:
“Pada hari ini telah Aku
sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas
kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)
Dalam ayat yang mulia di atas,
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan bahwa agama Islam yang dibawa oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada seluruh manusia adalah agama
yang sempurna, mencakup seluruh perkara yang cocok diterapkan di setiap zaman,
setiap tempat dan setiap umat. Islam adalah agama yang sarat dengan ilmu,
kemudahan, keadilan dan kebaikan. Islam adalah pedoman hidup yang jelas,
sempurna dan lurus untuk seluruh bidang kehidupan. Islam adalah agama dan
negara (daulah), di dalamnya terdapat manhaj yang haq dalam bidang hukum,
pengadilan, politik, kemasyarakatan dan perekonomian serta segala perkara yang
dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan dunia mereka, dan dengan Islam nantinya
mereka akan bahagia di kehidupan akhirat. (Dinul Haq, Abdurrahman bin Hammad
Alu Muhammad, hal. 35, diterbitkan oleh Wazaratusy Syu’unil Islamiyah
Al-Mamlakah Al-’Arabiyyah As-Su’udiyyah, 1420 H)
Dengan demikian, wajib bagi
setiap orang yang mengaku mengikuti agama para rasul, apakah itu Yahudi ataupun
Nashrani, untuk beriman dan tunduk kepada agama Islam yang dibawa oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bila
mereka enggan dan berpaling, berarti mereka adalah orang-orang kafir walaupun
mereka mengaku beriman kepada Nabi Musa dan Nabi Isa 'alaihimassalam. Dan pada
hakikatnya mereka tidak dipandang beriman kepada Nabi Musa dan Nabi ‘Isa
'alaihimassalam sampai mereka mau beriman kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam. (Dinul Haq, hal. 33)
Pemaksaan Para Thaghut
Pluralisme- Inklusivisme agar Agama Lain Juga Diterima sebagai Suatu Kebenaran
Agama Islam adalah kebenaran
mutlak, adapun selain Islam adalah kekufuran. Siapa
pun yang enggan untuk beragama dengan Islam yang diajarkan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia kafir. Namun kebenaran mutlak ini
ditolak oleh para thaghut pluralis dan inklusif Paramadina, JIL dan yang
lainnya dengan memaksakan agar Islam jangan merasa benar sendiri tapi perlu
melihat kebenaran pada agama lain. Seperti tulisan Budhy Munawar Rahman,
pengajar filsafat di Universitas Paramadina Jakarta, yang dimuat dalam situs
www.Islamlib.com, 13 Januari 2002, berjudul Memudarnya Kerukunan Hidup
Beragama, Agama-agama Harus Berdialog dan juga di harian Republika, 24 Juni
2000, berjudul Mengembalikan Kerukunan Umat Beragama. Dalam tulisannya, ia
memaksakan teologi pluralis dengan melihat agama-agama lain sebanding dengan
agama Islam, dan juga terhadap ayat Allah yang menunjukkan agama yang Allah
terima dan Allah ridhai hanyalah agama Islam (Ali Imran: 19 dan 85). Diajaknya
orang-orang untuk membaca ayat ini dengan semangat inklusif, semangat agama
universal dengan memaknakan Islam sebagai agama yang penuh kepasrahan kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala sehingga semua agama bisa dimasukkan ke dalamnya
asalkan berpasrah diri kepada Allah.
Demikian juga Muhammad Ali,
dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang membuat tulisan di harian
Republika (14 Maret 2002) berjudul Hermenetika dan Pluralisme Agama. Ia
mengajak orang agar tidak memahami ayat Allah dalam surat Ali Imran ayat 19 dan
85 dalam bingkai teologi eksklusif yakni keyakinan bahwa jalan kebenaran dan
jalan keselamatan bagi manusia hanyalah dapat dilalui melalui jalan Islam. Tapi
ayat ini harus dipahami dengan teologi pluralis dan teologi inklusif.
Juga Nurcholish Madjid, tokoh
mereka yang sangat rajin mengumbar teologi sesatnya, ia menganggap banyak agama
yang benar, tidak hanya Islam (Teologi Inklusif Cak Nur karya Sukidi, Kompas,
2001). Saat memberi kata pengantar buku Pluralitas Agama Kerukunan dalam
Keragaman, hal. 6 (Penerbit Buku Kompas, 2001), Nurcholish mengucapkan kalimat
yang seolah itu benar namun sebenarnya batil: “Kendatipun cara, metode atau jalan
keberagamaan menuju Tuhan berbeda-beda, namun Tuhan yang hendak kita tuju
adalah Tuhan yang sama, Allah Yang Maha Esa.” Kalimat ini menunjukkan ia
mengakui keberadaan semua agama dan menyejajarkannya satu sama lain sehingga
Islam sama dengan Nashrani, Hindu, Buddha, Majusi, Shinto, Konghuchu!! Karena
semua agama itu menuju Tuhan walau jalan yang ditempuh berbeda (Ulil Abshar
Abdalla; Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, Kompas, 18 Nov. 2002 dan situs islamlib.com).
Wal’iyadzu billah.
Orang-orang ini enggan untuk
mengibarkan bendera permusuhan dengan kaum kafirin dari kalangan Yahudi dan
Nashrani, dan enggan pula menganggap salah agama selain Islam. Di antara
sebabnya, ketika mereka berhadapan dengan ayat Allah:
“Orang-orang Yahudi dan
Nashrani tidak akan ridha kepadamu sampai engkau mau mengikuti agama mereka.”
(Al-Baqarah: 120)
Maka disimpulkan oleh Quraisy
Shihab bahwa ayat di atas dikhususkan kepada orang-orang Yahudi dan umat
Nashrani tertentu yang hidup pada zaman Nabi, dan bukan kepada umat Nashrani
dan Yahudi secara keseluruhan (Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, hal.
26). Sementara diijinkannya memerangi orang kafir bukan diperuntukkan terhadap
umat Nashrani dan yang semacamnya yang termasuk Ahli Kitab.
Buku Fiqih Lintas Agama Ingin Memberangus Islam
Para thaghut ini sangat
menentang syariat Islam karena menurut mereka akan mendiskreditkan penganut
agama lain dan juga mereka beranggapan hukum Islam itu menzalimi kaum wanita,
bertentangan dengan HAM, tidak manusiawi seperti hukum rajam, dibolehkannya
perbudakan dan masalah waris (Islam Liberal Paradigma Baru Wacana dan Aksi
Islam Indonesia, Zuly Qodir, hal. 187-192, Pustaka Pelajar, 2003, dan
tulisan-tulisan di www.islamlib.com). Kerja sesat mereka tidak sampai di situ.
Dengan beraninya mereka membatalkan hukum Islam dengan logika mereka yang
dangkal, kemudian lahirlah buku buhul-buhul setan karya mereka seperti Fiqih
Lintas Agama (FLA) yang diterbitkan Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan
yayasan kafirin The Asia Foundation yang berpusat di Amerika. Dalam buku yang
sangat jauh dari ilmiah ini, mereka menggugat hukum Islam yang kata mereka
terkesan eksklusif dan merasa benar sendiri. Mereka permainkan ayat-ayat
Al-Qur’an (hal. 20-21, 49, 214, 249), menolak hadits-hadits Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam yang tidak sesuai dengan semangat pluralisme inklusivisme
mereka (hal. 70-71), mencaci maki Abu Hurairah radhiallahu 'anhu,
shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang membawakan hadits
tersebut (hal. 70), mengecam para imam salaf seperti Al-Imam Syafi’i
(hal. 5, 167-168) dan memanipulasi ucapan ulama seperti Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah dan ditarik-tarik agar menyepakati kemauan mereka (seperti pada
hal. 55). Bahkan mereka mengusung hak kafirin untuk menghadang syariat
Islam dan membela orang kafir mati-matian, sehingga mereka pun
menyatakan boleh mengucapkan salam kepada non muslim (hal. 66-78), boleh
mengucapkan selamat Natal dan selamat hari raya agama lain (hal. 78-85), boleh
menghadiri perayaan hari-hari besar agama lain (hal. 85-88), bolehnya doa
bersama antar pemeluk agama yang berbeda (hal. 89-107), bolehnya wanita
muslimah menikah dengan laki-laki kafir (hal. 153-165), bolehnya orang kafir
mewarisi harta seorang muslim (waris beda agama) (hal. 165-167), serta sejumlah
kesesatan dan kekufuran berfikir lainnya. Betapa para thaghut penulis buku
yang sesat ini memperjuangkan mati-matian teologi pluralisme, ajaran
mempersamakan semua agama, seolah teologi ini tak dapat ditawar, sehingga
syariat Islam yang tidak toleran dengan teologi ini berusaha mereka kebiri.
Betapa tidak tolerannya buku
sesat ini terhadap aqidah Islamiyyah yang menetapkan kebenaran hanya pada agama
Islam, sementara di luar Islam adalah agama kekafiran. Betapa tidak tolerannya
buku buhul-buhul setan ini terhadap ketetapan syariat Islam, bahkan berupaya
memberangus dan membumihanguskan syariat Islam yang diturunkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Sebaliknya buku ini sangat toleran kepada musuh-musuh
Islam!!! Untuk menggiring kaum muslimin agar menerima agama di luar Islam dan
tidak memandang Yahudi dan Nashrani sebagai musuh, mereka mengatakan: “Segi
persamaan yang sangat asasi antara semua kitab suci adalah ajaran Ketuhanan
Yang Maha Esa. Hal ini berbeda dengan persoalan kaum musyrik yang pada zaman Nabi
tinggal di kota
Makkah. Kepada mereka inilah dialamatkan firman Allah: “Katakan (Muhammad): Aku
tidak menyembah yang kamu sembah dan kamu pun tidak menyembah yang aku sembah…”
Ayat yang sangat menegaskan perbedaan konsep “sesembahan” ini ditujukan kepada
kaum musyrik Quraisy dan bukan kepada ahli kitab.” (FLA, hal. 55-56)
Demikianlah lolongan para
thaghut tersebut, yang pada intinya ingin menyatakan bahwa kebenaran tidak
hanya pada Islam saja sehingga jangan merasa benar sendiri. Lolongan ini
sebetulnya hanya mengikuti dan melanjutkan pendahulunya, Harun Nasution, yang
telah lebih dulu menyatakan dengan lolongannya: “Mencoba melihat kebenaran yang
ada di agama lain.” (Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran,
hal.275, Mizan, 1998). Sehingga perlu dan wajib bagi kita untuk membungkam
lolongan mulut kotor para thaghut pluralis ini yang sudah memakan banyak korban
akibat mendengarkan lolongan mereka, dengan kita mendatangkan kebenaran dari
Islam berupa nash-nash yang di dalamnya mengandung kebenaran dan hujjah.
Yahudi dan Nashrani Kafir
Selama-lamanya
Adapun Yahudi dan Nashrani
tidak kita sangsikan bahwa mereka adalah orang-orang kafir sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Sesungguhnya telah kafirlah
orang-orang yang berkata: Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam,
padahal Al-Masih sendiri berkata: Wahai Bani Israil, beribadahlah kalian kepada
Tuhanku dan Tuhan kalian. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan sesuatu
dengan Allah, maka pasti Allah mengharamkan surga kepadanya dan tempatnya ialah
neraka. Dan tidak ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolongpun.
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: Allah adalah salah satu dari
tuhan yang tiga (trinitas), padahal sekali-kali tidak ada sesembahan yang
berhak untuk disembah selain sesembahan yang satu. Jika mereka tidak berhenti
dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang kafir di antara mereka akan
ditimpa siksaan yang pedih.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman tentang Yahudi:
“Dan orang-orang Yahudi berkata:
Hati kami tertutup. Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena
keingkaran mereka, maka sedikit sekali mereka yang mau beriman. Dan setelah
datang kepada mereka Al-Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada
mereka (yaitu berita dari Taurat akan datangnya Rasul terakhir beserta
ciri-cirinya), padahal sebelumnya mereka biasa memohon kedatangan Nabi untuk
mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka
apa yang mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah lah
atas orang-orang yang ingkar tersebut. Alangkah buruknya perbuatan mereka yang
menjual diri mereka sendiri dengan mereka mengkafiri apa yang telah diturunkan
Allah karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya
di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka di atas kemurkaan
yang telah mereka dapatkan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang
menghinakan. Apabila dikatakan kepada mereka: Berimanlah kepada Al-Qur’an yang
diturunkan Allah, mereka berkata: Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan
kepada kami. Dan mereka kafir kepada Al-Qur’an yang diturunkan sesudahnya,
sedang Al-Qur’an adalah kitab yang haq, yang membenarkan apa yang ada pada
mereka. Katakanlah: Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar
kalian itu orang-orang yang beriman?”
Demikian pula pernyataan
Rasulullah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana hadits yang telah disebutkan di atas
beserta penjelasannya.
Yahudi dan Nashrani memiliki
kitab yang diturunkan dari langit (kitab samawi), Taurat dan Injil, sehingga
mereka digelari ahlul kitab. Akan tetapi, karena mereka enggan beriman kepada
Al-Qur’an dan enggan tunduk kepada syariat yang dibawa oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam maka mereka kafir. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
“Orang-orang kafir dari ahlul
kitab dan musyrikin mengatakan bahwa mereka tidak akan meninggalkan agama
mereka sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (Al-Bayyinah: 1)
Allah Subhanahu wa Ta'ala
menegaskan kembali tentang kekafiran ahlul kitab dan bahwa mereka itu adalah
penghuni jahannam:
“Sesungguhnya orang-orang kafir
dari ahlul kitab dan musyrikin tempat mereka adalah di dalam neraka jahannam,
mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk.” (Al-Bayyinah:
6)
Adapun kitab mereka sendiri
telah diubah-ubah dengan tangan mereka3 dan hal ini menambah kekufuran mereka,
sehingga bagaimana mereka akan dapat beriman dengan keimanan yang benar
terhadap kitab yang diturunkan kepada mereka? Allah Subhanahu wa Ta'ala
menyatakan:
“Maka kecelakaan yang besarlah
bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri (karangan
mereka) lalu mereka katakan: Ini dari Allah, dengan maksud untuk memperoleh
keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi
mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan
yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah:
79)
Yahudi dan Nashrani adalah
Orang-orang yang Dimurkai Allah dan Disesatkan
Orang-orang Yahudi dinyatakan
oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai Al-Maghdhubu ‘alaihim (yang dimurkai
Allah) dan Nashrani sebagai Adh-Dhallun (yang tersesat), sebagaimana dinyatakan dalam ayat terakhir Surat Al-Fatihah:
“Tunjukkanlah kami kepada jalan
yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka,
bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalannya orang-orang
yang sesat.” (Al-Fatihah: 6-7)
Diterangkan oleh Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan dari sahabat ‘Adi ibnu
Hatim4 radhiallahu 'anhu di dalam hadits yang panjang, beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Yahudi itu adalah
yang dimurkai dan Nashara adalah orang-orang yang disesatkan.”
Imam ahli tafsir dan ahli
hadits, Ibnu Abi Hatim, berkata: “Saya tidak mendapatkan perselisihan di antara
ahli tafsir bahwasanya al-maghdhub ‘alaihim (di dalam ayat itu) adalah Yahudi
dan adh-dhallun adalah Nashara, dan yang mempersaksikan perkataan para imam
tersebut adalah hadits ‘Adi bin Hatim.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/40)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata: “Kekafiran Yahudi pada prinsipnya karena mereka tidak mengamalkan
ilmu mereka. Mereka mengetahui kebenaran namun tidak mengikutinya, baik dalam
ucapan atau perbuatan, ataupun sekaligus dalam ucapan dan perbuatan. Sementara
kekafiran Nashrani dari sisi amalan mereka yang tidak didasari ilmu, sehingga
mereka bersungguh-sungguh melaksanakan berbagai macam ibadah tanpa didasari
syariat dari Allah, serta berbicara tentang Allah tanpa didasari ilmu.”
(Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, hal.23, Darul Anshar 1423 H). Lihat pula
keterangan dan pendalilan beliau yang lebih panjang mengenai dimurkainya Yahudi
dan disesatkannya Nashrani dalam kitab tersebut (hal. 22-24).
Demikian sesungguhnya keadaan
Yahudi dan Nashrani, sehingga setiap kali shalat kaum muslimin meminta
perlindungan dari mengikuti jalan keduanya (jalannya Yahudi dan Nashrani)
ketika mereka membaca ayat di dalam surat
Al-Fatihah tersebut.
Yahudi dan Nashrani adalah Kaum
yang Terlaknat
Yahudi dan Nashrani telah
dikafirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya melaknat mereka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Allah telah melaknat
orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil.”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
“Laknat Allah atas kaum Yahudi
dan Nashrani.” (HR. Al-Bukhari no. 435 dan Muslim no. 531)
Dengan penjelasan di atas,
bahwa Yahudi dan Nashrani adalah kaum yang kafir, dimurkai dan terlaknat,
dapatkah agama Islam disamakan dengan agama Yahudi dan Nashrani, terlebih lagi
dengan agama selain keduanya yang tidak memiliki kitab samawi (kitab dari
langit)? Dan jelas agama Islam tidak boleh dibangun di atas teologi
inklusif, bahkan harus dibangun di atas keyakinan eksklusif bahwa hanya Islam
agama yang benar, adapun selainnya adalah salah!
Surat Al-Kafirun Tidak
Ditujukan kepada Musyrikin Arab Semata
Mereka mengatakan bahwa isi surat Al-Kafirun hanya ditujukan
kepada orang-orang musyrik, bukan kepada ahlul kitab. Demikianlah yang mereka
inginkan agar bisa mengeluarkan ahlul kitab dari vonis kafir, sementara ulama
dari kalangan ahli tafsir tidak ada yang mengatakan seperti ucapan mereka. Lalu
dari mana mereka mendapatkan dalil dengan ucapan mereka tersebut? Surat
Al-Kafirun tidak membatasi bahwa kekufuran hanya ditujukan kepada musyrikin
Arab. Bahkan Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Firman Allah
“Katakanlah (Ya Muhammad) wahai orang-orang kafir…”, ini mencakup seluruh orang
kafir di muka bumi, walaupun sasaran pembicaraan dalam ayat ini adalah
orang-orang kafir Quraisy.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/397)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah
mengatakan di dalam kitab Shahih beliau mengatakan ayat lakum dinukum adalah
kekufuran dan ayat waliya din adalah Islam (Shahih Al-Bukhari bersama
penjelasannya Fathul Bari, 8/902, Darul Hadits, 1419 H). Al-Imam Asy-Syafi’i
mengatakan: “Kekufuran itu agama yang satu.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/398).
Demikian pula pandangan Al-Imam Ahmad, Abu Hanifah dan Dawud. (Al-Jami’ li
Ahkamil Qur’an, Lil Imam Al-Qurthubi, 2/65, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, 1413 H)
Yahudi dan Nashrani Selamanya
Tidak akan Ridha kepada Islam
Demikianlah makna dzahir yang
ada pada ayat 120 surat
Al-Baqarah. Yahudi dan Nashrani tidak akan ridha selama-lamanya terhadap Islam.
Inilah yang Allah katakan tentang mereka tanpa ada perkecualian.
Al-Imam Ath-Thabari tberkata
ketika menafsirkan ayat tersebut: “Wahai Muhammad, orang Yahudi dan Nashrani
tidak akan ridha kepadamu selama-lamanya, karena itu tinggalkanlah upaya untuk
mencari keridhaan dan kesepakatan mereka. Sebaliknya hadapkanlah dirimu
sepenuhnya untuk mencari keridhaan Allah di dalam mendakwahi mereka kepada
kebenaran yang engkau diutus karenanya. Sesungguhnya apa yang engkau dakwahkan
tersebut, sungguh merupakan jalan menuju persatuan (ijtima’) denganmu di atas
kedekatan hati dan agama yang lurus. Tidak ada jalan bagimu untuk mencari
keridhaan mereka dengan mengikuti agama mereka, karena agama Yahudi bertentangan
dengan agama Nashrani, demikian pula sebaliknya, dan tidak mungkin kedua agama
ini bisa bersatu dalam individu manusia pada satu keadaan. Yahudi dan Nashrani
tidak mungkin bersatu untuk meridhaimu kecuali bila engkau bisa menjadi seorang
Yahudi sekaligus Nashrani, akan tetapi tidak mungkin hal ini terjadi padamu
selama-lamanya, karena engkau adalah individu yang satu dan tidak mungkin
terkumpul padamu dua agama yang saling berlawanan dalam satu keadaan. Dengan
demikian, bila tidak ada jalan yang memungkinkan untuk mengumpulkan kedua agama
itu padamu dalam satu waktu, maka tidak ada jalan bagimu untuk mencari
keridhaan kedua golongan tersebut. Bila demikian keadaannya, maka berpeganglah
engkau dengan petiunjuk Allah yang dengannya ada jalan untuk menyatukan
manusia.” (Jamiul Bayan ‘an Ta’wil Ayi Al-Qur’an, Lil Imam Ath-Thabari, hal.
1/517, Darul Fikr, 1405 H).
Adapun penyimpulan bahwa ini
adalah pengkhususan bagi Yahudi dan Nashrani pada masa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, perlu mendatangkan dalil khusus dari Kitabullah dan As
Sunnah yang menyatakan hal itu. Sementara kita ketahui, Yahudi dan Nashrani
pada zaman sekarang jauh lebih jelek daripada Yahudi dan Nashrani pada zaman
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena penyimpangan mereka pada masa
itu lebih sedikit dibandingkan pada hari ini, mereka semakin jauh dan semakin
menyimpang dari agama mereka. Lihat perubahan dan penyimpangan yang mereka
lakukan terhadap kitab mereka yang menjadi sebab jauhnya mereka dari kebenaran
dalam Mukhtashar Kitab Idzharul Haq, oleh Al-Imam Syaikh Rahmatullah ibn
Khalilir Rahman Al-Hindi yang diringkas oleh Dr. Muhammad Al-Malkawi,
diterbitkan oleh Wazaratus Syu’unil Islamiyyah Al-Mamlakah Al-‘Arabiyyah
As-Su’udiyyah, 1416 H .
Di samping itu, anggapan bahwa
Yahudi dan Nashrani tidak diperangi karena mereka ahlul kitab dan yang
diperangi adalah agama kekufuran yang lain adalah jelas anggapan yang salah dan
batil. Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan jelas menyatakan:
“Perangilah orang-orang yang
tidak mau beriman kepada Allah dan hari akhir dan tidak mengharamkan apa yang
telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta tidak beragama dengan agama
yang benar, dari kalangan ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani).” (At-Taubah: 29)
Hilangnya Al-Wala wal Bara
Dianutnya teologi pluralis
inklusif oleh sebagian orang disebabkan tidak adanya Al-Wala dan Al-Bara pada
diri mereka. Al-Wala adalah memberikan loyalitas, kecintaan dan
persahabatan, sedangkan Al-Bara adalah lawannya yaitu menjauhi, menyelisihi,
membenci dan memusuhi.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan
Al-Fauzan rahimahullah (seorang ulama besar terkemuka, anggota Majlis Kibarul
‘Ulama, juga Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) berkata: “Termasuk pokok aqidah Islamiyyah yang
wajib bagi setiap muslim untuk menganutnya adalah berwala dengan sesama muslim
dan bara (memusuhi) musuh-musuh Islam. Ia mencintai dan berloyalitas dengan
orang yang bertauhid dan mengikhlaskan agama untuk Allah dan sebaliknya
membenci dan memusuhi orang yang berbuat syirik. Yang demikian ini merupakan
millahnya (jalan) Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan orang-orang yang mengikuti
beliau, sementara kita diperintah untuk mencontoh Nabi Ibrahim 'alaihissalam
sebagaimana Allah berfirman:
“Sungguh telah ada bagi kalian contoh
teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya kerika
mereka mengatakan kepada kaum mereka (yang kafir musyrik): Sesungguhnya kami
berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah. Kami
mengingkari kalian dan telah tampak permusuhan dan kebencian antara kami dan
kalian selama-lamanya sampai kalian mau beriman kepada Allah saja.”
(Al-Mumtahanah: 4)
Memiliki sikap Al-Wala dan
Al-Bara merupakan agama Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai
kekasih-kekasih (teman dekat), karena sebagian mereka adalah kekasih bagi
sebagian yang lainnya. Dan siapa di antara kalian yang berwala dengan mereka
maka ia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51)
Ayat di atas menyebutkan
keharaman untuk berwala dengan ahlul kitab secara khusus, sementara keharaman
berwala dengan orang kafir secara umum, Allah nyatakan dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman
janganlah kalian menjadikan musuh-musuh-Ku dan musuh kalian sebagai kekasih,
penolong dan teman dekat.” (Al-Mumtahanah: 1)
Bahkan Allah mengharamkan
seorang mukmin untuk berwala dengan orang-orang kafir walaupun orang kafir itu
adalah kerabatnya yang paling dekat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman
janganlah kalian menjadikan bapak-bapak kalian dan saudara-saudara kalian
sebagai kekasih apabila mereka lebih mencintai kekufuran daripada keimanan, dan
siapa di antara kalian yang berwala kepada mereka maka mereka itu adalah
orang-orang dzalim.” (At-Taubah: 23)
“Engkau (wahai Nabi) tidak akan
mendapati orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih
sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya walaupun orang
tersebut adalah bapak-bapak mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara
mereka atau karib kerabat mereka.” (Al-Mujadalah: 22)
Beliau melanjutkan: “Sungguh
(kita dapati pada hari ini) kebanyakan manusia jahil/bodoh terhadap pokok yang
agung ini, sampai-sampai aku mendengar dari sebagian orang yang dikatakan
berilmu dan melakukan dakwah dalam satu siaran berbahasa Arab, ia berkata
tentang Nashrani bahwa mereka adalah saudara kita. Sungguh betapa jelek dan
bahayanya kalimat ini!”
Sebagaimana Allah mengharamkan
berwala dengan orang-orang kafir musuh aqidah Islamiyyah, sebaliknya Allah
mewajibkan kita untuk berwala dan mencintai kaum mukminin. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
“Hanyalah wali
(kekasih/penolong) kalian adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman
yang mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat dan mereka ruku kepada Allah.
Barangsiapa yang berwala kepada Allah, rasul-Nya dan orang-orang beriman maka
sesungguhnya tentara Allah itulah yang menang.” (Al-Maidah: 55)
“Muhammad adalah Rasulullah dan
orang-orang yang bersama beliau amat keras terhadap orang –orang kafir dan
saling berkasih sayang di antara sesama mereka.” (Al-Fath: 29)
“Hanyalah orang-orang mukmin
itu bersaudara.” (Al-Wala wal Bara fil Islam, hal. 3-6, Darul Wathan, 1411 H)
Karena tidak adanya sikap
Al-Wala dan Al-Bara yang tepat, mereka bergaul bebas dengan kaum kafirin, para
orientalis misionaris Barat bahkan mereka bangga ketika mereka dapat menimba
ilmu di negeri Barat yang notabene kafir! (Asyiknya Belajar Islam di Barat,
wawancara bersama Luthfi Assyaukanie, www.islamlib.com, 8/3/2004). Semoga Allah melindungi
kita dan kaum muslimin secara umum dari makar yang dilakukan oleh para thaghut
kaki tangan iblis ini.
Wallahul musta’an.
Wallahu ta’ala a’lam
bish-shawab.
1 Yayasan Wakaf Paramadina
dengan bukunya Fiqih Lintas Agama, Jaringan Islam Liberal dan seluruh penyeru
pluralitas agama yang tergabung dalam organisasi, LSM, atau individu, mereka
adalah para Thaghut Pluralis dan Inklusif antek-antek Zionis Salibis.
Thaghut adalah segala sesuatu
yang diikuti, ditaati ataupun dibadahi secara berlebihan dan melampaui batas.
(Al-Ushuluts Tsalatsah, hal. 15, Darul Wathan 1414 H)
Pluralisme adalah pemahaman
yang memandang semua agama sama meskipun dengan jalan yang berbeda namun menuju
satu tujuan: Yang Absolut, Yang terakhir, Yang Riil. Inklusivisme adalah
pemahaman yang mengakui bahwa dalam agama-agama lain terdapat juga suatu
tingkat kebenaran (demikian keterangan mereka dalam Fiqih Lintas Agama, hal.
65, Paramadina, Juni 2004).
2 Umat yang ada di zaman beliau
dan setelah zaman beliau sampai hari kiamat (Syarah Shahih Muslim lin Nawawi,
2/188)
3 Lihat beberapa bentuk perubahan
dan penyimpangan yang mereka lakukan dalam Mukhtashar Kitab Idzharul Haq oleh
Al-Imam Asy-Syaikh Rahmatullah ibn Khalilir Rahman Al-Hindi yang diringkas oleh
Dr. Muhammad Al-Malkawi, Wazaratus Syu’unil Islamiyyah Mamlakah Al-‘Arabiyyah
Su’udiyyah, 1416 H.
4 Diriwayatkan oleh Al-Imam
At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 4029 dan dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani
dalam Shahihul Jami’ no.8202 dan dalam komentar beliau terhadap Syarah
Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah no .811
Penulis
: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al Atsari
Gender Equality versi
Aminah Wadud
Satu lagi kejutan konyol dari kalangan Islam Liberal. Kali ini dilakukan Aminah Wadud, . Hari Jumat, 18 Maret 2005 lalu, dia menobatkan diri sebagai imam shalat Jum’at yang dilakukan di Gereja Katedral St. John Manhattan, New York. Diikuti sekitar seratus makmum laki-laki dan perempuan yang berjajar sejajar dan campur baur. Adzan pun dikumandangkan dengan merdu oleh seorang wanita tak berjilbab.
Satu lagi kejutan konyol dari kalangan Islam Liberal. Kali ini dilakukan Aminah Wadud, . Hari Jumat, 18 Maret 2005 lalu, dia menobatkan diri sebagai imam shalat Jum’at yang dilakukan di Gereja Katedral St. John Manhattan, New York. Diikuti sekitar seratus makmum laki-laki dan perempuan yang berjajar sejajar dan campur baur. Adzan pun dikumandangkan dengan merdu oleh seorang wanita tak berjilbab.
Kontan, tindakan wts (baca: waton suloyo=asal beda) itu mendapat kecaman keras dari para ulama dan umat Islam sedunia. Bahkan sebuah media di Mesir menyebut Wadud sebagai ‘wanita sakit jiwa.’ Pun begitu, tidak sedikit yang merespon baik. Bahkan, begitu melihat berita tersebut, seorang dosen salah satu perguruan tinggi Islam di Indonesia meminta istrinya untuk mengimaminya shalat wajib di rumah.
Kenylenehan itu bukan yang pertama dalam komunitas mereka, dan statemen berikutnya yang lebih konyol tinggal menunggu waktu. Motto yang jadi pedoman mereka, ‘bul zam-zam fatu’raf’, kencingilah zam-zam, niscaya kamu akan terkenal.
Memperjuangkan ‘Gender Equality’
Tak perlu kita bahas tinjauan fikihnya karena telah jelas dalilnya. Tak seorang pun ulama sependapat dengan tata cara baru itu. Masalahnya, Aminah Wadud yang dosen pengkajian Islam itu lebih yakin akan kebenaran teori gender equality (kesetaraan gender) sekuler dari pada aturan dari Allah Yang Maha Tahu lagi Maha Bijak.
Konsep itu menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala bidang. Termasuk urusan ibadah yang tata caranya sudah ‘paket’ dari Allah dan Rasul-Nya. Kalau laki-laki boleh jadi presiden, mengapa wanita tidak? Kalau laki-laki bisa menjadi imam bagi kaum wanita, mengapa tidak sebaliknya? Begitu seterusnya.
Bisa jadi sebagai konsekuensi penalaran itu akhirnya Wadud bersuamikan empat, sebab jika laki-laki boleh beristri empat, mengapa wanita tidak?
Teori ini merupakan skenario yang dirancang untuk menghapus syariat Islam secara total. Karena –dengan kemahaadilan dan keemahabijakan Allah- Islam telah menggariskan aturan main yang khusus bagi kaum laki-laki atau perempuan, di samping ada pula di antaranya yang sama persis.
Hasadan ‘Inda Anfusihim
Di samping persoalan wawasan dan pola pikir, tindakan Wadud dan kroni-kroninya juga dipengaruhi oleh faktor kejiwaan. Mereka semacam memiliki dendam dan hasad kepada kaum laki-laki, atau bahkan kepada aturan Islam yang dianggapnya telah berlaku diskriminatif terhadap kaum Hawa. Dan memang, faktor utama orang-orang kafir menolak Islam adalah hasadan ‘inda anfusihim’, kedengkian di hati mereka, meskipun mereka tahu bahwa Islamlah yang terbaik. Allah berfirman:
“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. al-Baqarah: 109)
Kedengkian mereka sangat tampak dari masih sepihaknya aspek yang diperjuangkan. Yakni dalam perkara yang menurut mereka menguntungkan kaum hawa. Jika mereka konsekuen menyuarakan kesetaraan gender, mengapa mereka tidak menuntut agar wanita yang haidh tetap diperbolehkan puasa dan shalat? Mengapa mereka tidak menuntut pencabutan hak cuti bagi wanita hamil? Atau sekali-kali mereka mengkampanyekan kaum istri jadi kondektur, tukang becak atau mencangkul di sawah, biarlah suami yang menimang bayinya di rumah.
Hanya Berorientasi Dunia
Konsep ‘Gender Equality’ hanya melihat dimensi duniawi, nihil dari dimensi ilahiyah dan ukhrawiyah. Posisi dan lapangan duniawi seperti jabatan presiden, direktur, pegawai menjadi tolok ukur tinggi rendahnya martabat wanita. Sedangkan Islam mendudukkan orang yang paling bertakwa sebagai pemilik martabat tertinggi, baik laki-laki maupun wanita, meskipun dia seorang wanita yang miskin dan buruk rupa. Maka anugerah jannah diberikan Allah bukan berdasarkan status sosialnya di dunia, tetapi karena iman dan amal shalihnya. Allah berfirman,
“Dan barangsiapa mengerjakan amal yang shalih baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk jannah.” (QS. al-Mukmin: 40)
Ini juga tidak mengandung pengertian bahwa Islam memuliakan wanita di akhirat namun menindasnya di dunia. Allah Yang Mahaadil memberikan porsi tugas dan kewenangan bagi wanita sesuai dengan perangkat dan fitrah yang sesuai dengan tugas tersebut. Akal sehat bisa meraba adanya perbedaan yang ketara antara laki-laki dan wanita, baik secara fisiologis maupun psikologis. Wajar jika perbedaan itu membawa konsekuensi perbedaan tugas dan wewenang antara keduanya.
Wadud Versus Asma’
Sebagai penutup, penulis suguhkan sebuah kisah yang bisa membuka mata hati dan akal kita, betapa jauh perbedaan generasi shahabiyat dengan Wadud cs dalam menuntut persamaan hak laki-laki dan wanita.
Suatu ketika Asma’ binti Yazid bin Sakan menghadap Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah utusan para wanita yang berada di belakangku, mereka sepakat dengan apa yang aku katakan dan sependapat dengan pendapatku. Sesungguhnya Allah Ta’ala mengutus Anda kepada laki-laki dan juga wanita. Kami pun beriman dan mengikuti Anda. Sedangkan kami para wanita terbatas gerak-geriknya, kami mengurus rumah tangga dan menjadi tempat menumpahkan syahwat bagi suami-suami kami, kamilah yang mengandung anak-anak mereka. Namun Allah memberikan keutamaan kepada kaum laki-laki dengan shalat jamaah, mengantar jenazah, dan berjihad. Jika mereka keluar untuk berjihad, kamilah yang menjaga hartanya dan memelihara anak-anaknya, maka apakah kami medapatkah pahala sebagaimana yang mereka dapatkan?”
Mendengar tuntutan Asma’ tersebut, Nabi menoleh kepada para sahabat seraya bersabda, “Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang agamanya yang lebih bagus dari pertanyan ini?” Kemudian beliau bersabda, “Pergilah wahai Asma’ dan beritahukan kepada para wanita di belakangmu bahwa perlakuan baik kalian terhadap suami dan upaya kalian mendapat ridha darinya serta ketaatan kalian kepadanya, berpahala sama dengan apa yang engkau sebutkan tadi.” Wallahu a’lam (Ustadz Abu Umar Abdillah)
Melihat Wajah Barat dan
'Copy-paste' nya?
Oleh : Erros Jafar
06 Jul, 05 - 12:40 am
Wajah asli peradaban Barat merupakan ramuan dari unsur-unsur Yunani Kuno, Kristen, dan tradisi paganisme Eropa. Meski Barat telah sekular-liberal, sentimen keagamaan Kristen terus mewarnai.
Ada buku menarik yang perlu anda baca minggu-minggu ini. Buku itu berjudul, "Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Liberalisme-Sekularisme", karya saudara Adian Husaini. Setidaknya, ini adalah buku penting yang bisa anda jadikan pegangan untuk melihat wajah asli Barat beserta 'copy-paste' nya sekarang ini.
Sebagaimana bisa disimak dalam buku ini, peradaban Barat sejatinya merupakan ramuan dari unsur-unsur Yunani Kuno, Kristen, dan tradisi paganisme Eropa.
Meskipun Barat telah menjadi sekular-liberal, namun sentimen-sentimen keagamaan Kristen terus mewarnai kehidupan mereka. Jika dalam masa kolonialisme klasik mereka mengusung jargon “Gold, Gospel, dan Glory”, maka di era modern, dalam beberapa hal, semboyan itu tidak berubah.
Jika dianalisis secara mendalam, serbuan AS terhadap Irak tahun 2003 dan dukungannya yang terus-menerus terhadap Israel, juga tidak terlepas dari unsur “Gold, Gospel, dan Glory”.
Meskipun berbeda dalam banyak hal, unsur-unsur Barat sekular-liberal kadang bisa bertemu dengan kepentingan “misi Kristen”, atau “sentimen Kristen.”
Di masa klasik dulu, seorang misonaris legendaris Henry Martyn, menyatakan, “Saya datang menemui umat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan pasukan tapi dengan akal sehat, tidak dengan kebencian tapi dengan cinta.” Ia berpendapat, bahwa Perang Salib telah gagal.
Karena itu, untuk “menaklukkan” dunia Islam, dia mengajukan resep: gunakan “kata, logika, dan cinta”. Bukan kekuatan senjata atau kekerasan. Misionaris lainnya, Raymond Lull, juga menyatakan hal senada, “Kulihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci di seberang lautan; dan
kupikir mereka akan merebutnya dengan kekuatan senjata; tapi akhirnya semua hancur sebelum mereka mendapatkan apa yang tadinya ingin mereka rebut.”
Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris editor di “Church Missionary Society”, tidak ada figur yang lebih heroik dalam sejarah Kristen dibandingkan Raymond Lull. Lull, kata Stock, adalah “misionaris pertama bahkan terhebat bagi kaum Mohammedans”.
Itulah resep Lull, Islam tidak dapat ditaklukkan dengan “darah dan air mata”, tetapi dengan “cinta kasih” dan doa.
Bagi para misionaris Kristen ini, mengkristenkan kaum Muslim adalah satu keharusan. Jika tidak, maka dunia pun akan diislamkan. Dalam laporan tentang “Centenary Conference on the Protestant Missions of the World” di London tahun 1888, tercatat ucapan Dr. George F. Post, “Kita harus menghadapi Pan-Islamisme dengan Pan-Evangelisme. Ini pertarungan hidup dan mati.”
Selanjutnya, dia berpidato: “..kita harus masuk ke Arabia; kita harus masuk ke Sudan; kita harus masuk ke Asia Tengah; dan kita harus meng-Kristenkan orang-orang ini atau mereka akan berbaris melewati gurun-gurun pasir mereka, dan mereka akan mereka akan menyapu seperti api yang melahap ke-Kristenan kita dan menghancurkannya.
Ringkasnya, misionaris ini menyatakan: Kristenkan orang Islam, atau mereka akan mengganyang Kristen!”
Kekuatan “kata” yang dipadu dengan “kasih” seperti yang diungkapkan Henry Martyn perlu mendapat catatan serius. Konon, “orang Jawa” – sebagaimana huruf Jawa -- akan mati jika “dipangku”.
Jika seseorang dibantu, dibiayai, diberi perhatian yang besar (kasih), maka hatinya akan luluh. Pendapatnya bisa goyah. Bisa, tapi tidak selalu.
Simaklah kasus Ahmad Wahib dan Nurcholish Madjid, bagaimana pemikiran dan keyakinan mereka berubah. Simaklah, sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, bagaimana kekuatan ide “freedom” dan “liberalisme” mampu menggulung sebuah imperium besar bernama Turki Utsmani.
Ketika kaum Muslim tidak lagi memahami Islam dengan baik, tidak meyakini Islam, dan menderita penyakit mental minder terhadap peradaban Barat, maka yang terjadi kemudian adalah upaya imitasi terhadap apa saja yang dikaguminya. Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki Muda menyatakan, “Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa.
Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus.”
Sekularisme dan liberalisme di Barat telah memukau banyak umat manusia. Gerakan pembebasan (Liberation movement) di berbagai dunia mendapat inspirasi kuat dari dua peristiwa besar, yaitu “Revolusi Perancis” dan “kemerdekaan AS”. A New Encyclopedia of Freemasonry (1996), mencatat bahwa George Washington, Thomas Jefferson, John Hancock, Benjamin Franklin adalah para aktivis Free Masonry.
Begitu juga tokoh gerakan pembebasan Amerika Latin Simon Bolivar dan Jose Rigal di Filipina. Ide pokok Freemasonry adalah “Liberty, Equality, and Fraternity”.
Di bawah jargon inilah, jutaan orang “tertarik” untuk melakukan apa yang disebut sebagai “kemerdekaan abadi semua bangsa dari tirani politik dan agama”. Dalam Revolusi Perancis, jargon Freemasonry itu juga menjadi jargon resmi.
Dalam konteks Utsmani ketika itu, Sultan Abdulhamid II diposisikan sebagai “kekuatan tiran”. Dalam konteks gerakan pembebasan pemikiran, tampaknya, yang diposisikan sebagai “ecclesiastical tyranny” adalah “teks-teks Al-Quran dan Sunnah”, juga khazanah-khazanah Islam klasik karya para ulama Islam terkemuka.
Perlu ditelusuri lebih jauh, seberapa jauh hubungan antara gerakan liberal dalam konteks pemikiran Islam dengan gerakan Freemasonry. Rene Guenon, guru dari Frithjof Schuon, (pelopor gagasan pluralisme), misalnya, adalah aktivis Freemasonry.
Adakah misalnya pengaruh aktivitas Afghani di Freemasonry dengan pemikiran Abduh atau tafsir al-Manarnya Rasyid Ridla? Masih perlu diteliti. Yang jelas, jargon-jargon pembebasan dari “teks”, dekonstruksi tafsir Quran (lalu menggantinya dengan metode hermenuetika yang banyak digunakan dalam tradisi Bible), dan sebagainya, cukup sering terungkap.
Kekuatan “kata” dan “kasih” terbukti ampuh dalam sejarah dalam menggulung kekuatan-kekuatan Islam, yang biasanya disimbolkan dengan ungkapan-ungkapan tidak simpatik, seperti “ortodoks”, “beku”, dan “berorientasi masa lalu”, “emosional”.
Sejarah menunjukkan, kolaborasi cendekiawan Turki, Kristen Eropa, dan Zionis Yahudi berhasil menggulung Turki Utsmani. Ironisnya, dua dari empat orang yang menyerahkan surat pemecatan Sultan Abdulhamid II pada 1909, adalah non-Muslim. Salah satunya, Emmanuel Karasu (tokoh Yahudi).
Pada zaman kelahiran kembali (Renaissance) Barat dan zaman Reformasi (Reformation) Barat, pencitraan buruk terus berlanjut. Marlowes Tamburlaine menuduh al-Quran sebagai “karya setan”. Martin Luther menganggap Muhammad sebagai orang jahat dan mengutuknya sebagai anak setan.
Pada zaman Pencerahan Barat, Voltaire menganggap Muhammad sebagai fanatik, ekstremis, dan pendusta yang paling canggih. Biografi Rasulullah Saw beserta al-Quran terus menjadi target. Snouck Hurgronje mengatakan: "Pada zaman skeptik kita ini, sangat sedikit sekali yang di atas kritik, dan suatu hari nanti kita mungkin mengharapkan untuk mendengar bahwa Muhammad tidak pernah ada.”
Harapan Hurgronje ini selanjutnya terealisasikan dalam pemikiran Klimovich, yang menulis sebuah artikel diterbitkan pada tahun 1930 dengan berjudul "Did Muhammad Exist?" Dalam artikel tersebut, Klimovich menyimpulkan bahwa semua sumber informasi tentang kehidupan Muhammad adalah buatan belaka. Muhammad adalah “fiksi yang wajib” karena selalu ada asumsi “setiap agama harus mempunyai pendiri”. Sikap para orientalis seperti itu tidak bisa disederhanakan kategorisasinya menjadi orientalis klasik yang berbeda dengan orientalis kontemporer.
Orientalis kontemporer tetap mengusung gagasan orientalis klasik sekalipun dengan kadar, cara dan strategi yang berbeda. Intinya sama saja yaitu mengingkari kenabian Muhammad dan kebenaran al-Quran.
Penolakan seperti itu adalah loci communes (common places) dalam pemikiran para orientalis. Ini bisa dimengerti karena eksistensi agama mereka tergugat dengan munculnya Islam. Karena hal ini juga, wajar jika kajian mereka kepada Rasulullah Saw dan al-Quran tidak dibangun dari keimanan, sebagaimana sikap seorang Muslim.
Para orientalis yang mengkaji bidang teologi dan filsafat Islam sejak D.B. MacDonald, Alfred
Gullimaune, Montgomery Watt, atau sebelumnya hingga Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard J. McCarthy, Harry A. Wolfson, Shlomo Pines, dan lain-lain mempunyai framework yang hampir sama.
Di antara asumsi yang umum mereka pegang erat-erat adalah bahwa filsafat, sains, dan hal-hal yang rasional tidak ada akarnya dalam Islam. Islam hanyalah "carbon copy" dari pemikiran Yunani.
Padahal diskursus filsafat di Ionia tidak ada apa-apanya dibandingkan wacana yang bersifat metafisis pada awal tradisi pemikiran Islam yang berkembang di zaman Nabi dan sahabat. Artinya para orientalis tidak mau mengakui bahwa pandangan hidup Islam adalah unsur utama berkembangnya peradaban Islam.
Buku ini merupakan salah satu karya terbaik Adian Husaini. Studi Doktornya di ISTAC-IIUM, makin menambah kedalaman pemikiran Adian dalam membedah “kulit dan jeroan” Peradaban Barat. Tidak heran, bila buku dengan cover berwajah klasik ini, sarat dengan referensi-referensi ilmiah baik karya ilmuwan klasik maupun kontemporer.
Karena itu buku ini sangat layak dijadikan referensi dalam meneropong tingkah laku kebijakan dan politik Barat di dunia saat ini. Sehingga kita tidak terperosok jauh mengambil dan memuja Barat dalam segala hal.
Pemikiran Barat tentu tidak semuanya kita tolak mentah-mentah. Ada hal-hal yang baik, misalnya dalam hal sains dan teknologi, yang bisa kita ambil dari Barat.
Akhirnya kita ingat kata-kata Sayid Qutb adopsi pemikiran : "Dalam bidang ekonomi, seseorang tidak boleh memaksakan diri berutang sebelum ia meninjau terlebih dahulu kekayaan yang dimilikinya, masih cukupkah atau memang tidak mencukupi. Demikian pula halnya dengan negara, suatu negara tidak boleh mengimpor barang dari negara lain sebelum ia meninjau kekayaan yang dimilikinya, dan juga kemampuan yang ada padanya…
Becermin dari hal ini, kita bisa bertanya, 'Tidakkah kekayaan jiwa, kekayaan pemikiran, dan kekayaan hati itu bisa dibangun, sebagaimana halnya dengan kekayaan material yang ada pada diri manusia?'
Pasti dapat! Apalagi kita yang berada di Mesir, dan yang berada di negara-negara Islam. Kekayaan dan modal semangat serta konsep kita belum akan ambruk sepanjang kita tidak berpikir untuk mengimpor prinsip-prinsip dan ideologi, serta meminjam sistem dan aturan dari negara-negara di balik awan dan di seberang lautan."
Walhasil, pembahasan Barat oleh Adian dalam buku ini cukup lengkap, mulai dari siapa yang disebut Barat, pandangan Barat terhadap agama, perselingkuhan Barat dengan zionisme, pandangan Barat terhadap Islam-fundamenlisme--terorisme, benturan peradaban, invasi Barat dalam pemikiran Islam dan the end of the West. (ghazali nahdia izzadina/Hidayatullah).
RESENSI
Dari Peluncuran Buku 'Wajah Peradaban Barat': Invansi Barat Hancurkan Peradaban Islam
Setelah sekian lama Barat mencampakkan agama (Kristen-Katholik) jauh dari percaturan kehidupan (politik, sosial, budaya dan sebagainya), akhir-akhir ini Barat mulai 'sadar' atas kekeliruannya memeluk sekularisme dan liberalisme sebagai pedoman hidup mereka.
Menurut peneliti sosiologi politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. Yudi Latif, arus balik ini ditandai dengan lahirnya gerakan-gerakan neofundamentalis dan neokonservatif di negara-negara Barat, seperi Jerman, Prancis, Belanda. Bahkan gejala ini juga marak di jantung peradaban Barat, Amerika Serikat (AS).
"Ada arus balik di Barat. Di AS ada trend desekularisasi. Mereka ingin kembali ke gereja," ujar Yudi saat menjadi pembahas peluncuran buku karya kandidat doktor program Islamic Civilazation di International Institute of Islamic Thought and Civilization International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) Adian Husaini yang berjudul "Wajah Peradaban Barat", di Istora Senayan, Jakarta, Jum'at (1/7).
Tanda-tanda desekularisasi itu juga dapat dikenali dengan kemenangan-kemenangan partai-partai berbasis agama. Partai Kristen hampir menguasai negara-negara Eropa yang punya pengaruh kuat di Barat maupun di dunia internasional, sebut saja misalnya, Perancis, Jerman dan Italia.
Padahal, lanjut Pembantu Rektor III Universitas Paramadina itu, sejak abad XVIII sampai awal abad XXI, Barat dalam kungkungan hegemoni sekularisme dan liberalisme. Pada masa inilah Barat mengklaim diri sebagai sumber kehormatan dan kemajuan.
Dan pada saat itu pula umat Islam dipecah-pecah kekuatannya melalui mesin imperalisme dan kolonialisme Barat. "Mereka datang ke negeri-negeri Islam bukan hanya memburu golden (kekayaan) tapi juga mengajarkan gospel (Injil)," terangnya. Lebih dari itu para imperalis itu juga mengkotak-kotak wilayah-wilayah negara-negara Islam. Dan mereka berhasil.
"Di masa inilah banyak masjid dan rumah orang Islam di bakar. Indonesia juga mengalami teritorialisasi," sambungnya. Padahal, sebelum itu, Muslim Indonesia, Malaysia, Mesir, Arab Saudi, Thailand, Singapura sehari-harinya mereka berbicara dengan bahasa yang sama ketika berada di Mesir. Tapi lantaran ulah adu domba bangsa-bangsa Eropa itu maka umat Islam terpecah belah. Kaum muslimin tak lagi menjadi "Global Islamic Community," imbuhnya.
Adian sendiri dalam bukunya berpendapat, pada masa jaya-jayanya sekularisme dan liberalisme, Barat pun menghina dan melecehkan Islam. "Martin Luther menuduh Nabi Muhammad sebgai orang jahat dan mengutuknya sebagai anak setan, Voltaire menganggapnya sebagai orang fanatik dan ektrimis," ujarnya.
Selain, dua nama itu masih ada ratusan inteletual Barat yang mencela Al-Qur'an, Nabi Muhammad, Islam dan umat Islam itu sendiri. Sebut saja mislnya, Snouck Hurgronje, Rene Guenon, Eugene Stock, George F. Post dan lain-lainnya.
"Bagi para misionaris Kristen ini, mengkristenkan kaum muslimin adalah suatu keharusan," terang Adian yang juga mendapatkan master ilmu politik dari Universitas Jayabaya itu.
Karena itu pula tidak aneh jika George F. Post dalam acara Centenary Conference on the Protestant Missions of the Word menyatakan, "Kita harus menghadapi Pan-Islamisme dengan Pan-Evaneglisme. Ini pertarungan hidup dan mati."
Menurut Adian, dengan memahami Barat dengan baik maka akan mudah membantu kita dalam memahami problema yang muncul di kalangan kaum muslimin, yang memang disebabkan oleh invasi peradaban Barat dalam pemikiran dan peradaban Islam. (sdn/eramuslim)
Sekali Lagi, Kecaman untuk Tulisan Ulil di Kompas
Oleh: Ust. Hartono Ahmad Jaiz
AlDakwah.org--Mengenai masalah tulisan Ulil di Kompas, kecaman terhadap Ulil
Abshar Abdalla dari yang mengkafirkan, menghalalkan darahnya, dan suara-suara
kencang dari berbagai kalangan Muslim pun mencuat. Fatwa hukuman mati yang
telah ditujukan kepada penghujat Islam yakni Pendeta Suradi dan H Amos yang
dikeluarkan FUUI (Forum Ulama Ummat Islam) pimpinan KH Athi'an Ali M Da'i di
Bandung 2001 pun tinggal merujuknya kembali. Dan hal semacam itu diamini pula
oleh ulama NU (Nahdlatul Ulama) di antaranya KH Luthfi Bashori alumni Makkah
yang tinggal di Malang Jawa Timur.
Fatwa yang tadinya untuk
penghujat Islam dari kalangan Nasrani itu ketika mencuat ke masyarakat dan arah
sasarannya kali ini adalah penghujat Islam namun dari kalangan JIL (Jaringan
Islam Liberal), maka secepat kilat seorang profesor yang sudah berpengalaman
dalam memelihara dan mendukung aliran-aliran dan faham sesat, yaitu Profesor
Dawam Rahardjo, mengambil langkah seribu untuk membela Ulil Abshar Abdalla.
Dia berbicara di televisi
sejadi-jadinya, dan menulis di majalah sebisa-bisanya agar Ulil jangan sampai
dipites (dipegang kepalanya sampai mati) oleh orang. Dawam sangat khawatir
kalau sampai terjadi peristiwa yang merugikan penyebaran kesesatan, sebagaimana
ketika tokoh sekuler di Mesir Faraj Faudah sedang menggemakan missi
sekularisasinya, sehingga dibunuh orang yang anti sekulerisme.
Pembunuhan terhadap tokoh
sekuler di Mesir 10 tahun lalu itu tampaknya sangat terngiang di telinga Dawam
Rahardjo, sehingga ia sangat khawatir kalau hal yang sama menimpa salah satu
yang ia anggap "asuhannya", yang kali ini adalah Ulil Abshar Abdalla.
Apalagi kalau mengingat kesaksian Syeikh Muhammad Al-Ghazali di Mesir selaku
saksi ahli Hukum Islam di pengadilan dalam kasus dibunuhnya tokoh sekuler itu,
beliau mengatakan bahwa sekuler itu hukumnya murtad, maka darahnya halal.
(Lihat buku Hartono Ahmad Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta). Tentu
saja para pendukung kesesatan seperti Dawam Rahardjo sangat ketar-ketir (sangat
khawatir). Sebab, yang hanya sekuler saja sudah dibunuh, apalagi yang sampai
menyamakan Islam dengan agama kemusyrikan, menafikan hukum Tuhan dan
melontarkan aneka hujatan terhadap Islam.
Rasa kekhawatiran yang memuncak
dari para pendukung kesesatan itu agak menurun ketika mereka mendengar bahwa
Ulil Abshar Abdalla diadukan ke polisi. Dari mulut Ulil sendiri terlontar
kata-kata yang menunjukkan rasa leganya, ketika ada khabar bahwa FUUI akan
mengadukannya ke pihak polisi. Kelegaan Ulil itu tampaknya sementara memang
jadi kenyataan, karena sudah berbulan-bulan dari diadukannya itu sampai tulisan
ini dibuat, ternyata belum ada berita perkembangan yang berarti. Bukan karena
kurang gigihnya para pengadu, namun sebagaimana sudah diketahui umum, banyak
hal yang kalau menyangkut didhaliminya Islam dan Ummat Islam maka pengaduan
tinggal pengaduan. Barangkali kelegaan Ulil yang sempat ia lontarkan itu
berdasarkan pengalamannya pula, di samping faktor-faktor lain yang tak perlu
dikemukakan di sini.
Maka sekali lagi, justru
kematian yang mengancam diri Ulil itulah yang sangat dia khawatirkan bersama
para pendukung kesesatannya. Sampai-sampai Ulil mengkhawatirkan kalau dirinya
tiba-tiba dibunuh orang gara-gara kenekadannya dalam menohok Islam itu, dengan
ia sebut "fatwa mati" untuk dirinya itu jangan-jangan jadi bola liar
yang lari ke sana-sini, lalu benar-benar menimpa dirinya.
Memang takut mati adalah salah
satu ciri dari orang-orang yang berhadapan dengan Islam, bahkan yang kurang berani berjuang menegakkan Islam ataupun
mereka yang cinta dunia. Sebagaimana orang-orang Yahudi yang telah berani
memain-mainkan aturan dari Allah pun mereka bungkam ketika ditantang Allah agar
meminta mati apabila mereka merasa benar. Demikian pula Ulil Abshar Abdalla,
ketika ditantang mubahalah (saling berdo'a agar dilaknat Allah bagi yang
berdusta) dalam satu seminar di Bandung, maka dia mengelak, bahkan beralasan
kalau mubahalah itu berarti mengajak goblog, karena mubahalah itu dari kata
bahlul yaitu goblog, kata Fauzan Al-Anshari ketika menceritakan pengalamannya
berdiskusi menghadapi Ulil di Bandung.(dasar bodoh asal kata mubahalah aza gak
tau....liat kebodohan ulil)
Kenyataannya, Ulil diancam
mati, takut. Diajak mubahalah, mengelak dengan alasan yang dibuat-buat.
Diadukan ke polisi, dia gembira. Di balik gembiranya itu dia tetap saja merusak
pemahaman Islam dengan aneka celotehnya. Sementara itu "bak-bak
sampah" tempat penampungan celotehannya telah siap menampungnya, di
antaranya Yayasan Paramadina Jakarta pimipinan Dr Nurcholish Madjid, media
massa seperti Kompas, media massa sekuler yang sering sinis terhadap Islam
seperti Tempo, Jawa Pos dengan 56-an koran-koran daerah di bawahnya (Radar …),
pemancar radio 68H dengan 200-an radio swasta se-Indonesia yang merelaynya,
website JIL Islamlib.com yang senantiasa menyuarakan faham liberalnya maupun
lembaga-lembaga lainnya yang siap jadi penampung dan penyalur kenyelenehan dan
kesesatannya. Makanya Ulil optimis, karena ada lembaga-lembaga yang menurut dia
relatif bisa menerima lontaran-lontarannya, terutama adalah orang-orang
IAIN-IAIN (Institut Agama Islam Negeri) dan STAIN-STAIN (Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri, dulunya cabang IAIN, lalu mereka berdiri sendiri-sendiri).
Pemandangannya jadi terbelah
dua. Ulil bersama para pendukungnya (ada lembaga, ada media massa, ada manusia-manusia yang sinis
terhadap Islam dan semacamnya, bahkan musuh Islam benar-benar) berada di satu
gerumbul. Di belahan lain adalah ummat Islam bersama tokoh-tokohnya yang aneka
macam (ada yang disebut garis keras, moderat, lunak, dan sebagainya). Di saat
serangan terhadap Islam dibomkan oleh Ulil dan konco-konconya, maka ummat
terbelah-belah, bingung. Lalu tokoh-tokoh Islam ada yang gigih menanggapinya,
ingin menghabisinya. Ada
yang biasa-biasa saja, dan ada yang malah ikut-ikutan dan mendukung
kesesatannya. Sehingga para musuh Islam bersorak-sorai kegirangan, karena telah
bisa menciptakan musuh Islam dari kalangan Islam sendiri. Lalu ketika tokoh
Islam yang ingin menghabisi perusak Islam itu menempuh jalan yang dianggap
baik, yaitu secara prosedur yang berlaku, maka entah kenapa Ulil dan para
pendukungnya itu jadi lega. Saya tidak bisa menguraikannya. Hanya bisa
menggambarkan kondisinya terbelah dua seperti tersebut. Hanya saja ada sekilas
keterangan yang dikemukakan ketua FUUI (Forum Ulama Ummat Islam) seperti dumat
di koran Pikiran Rakyat Bandung sebagai berikut:
Singapura-tiga nama
Dalam ceramahnya yang diselingi
dengan teriakan takbir berkali-kali oleh hadirin, K.H. Athian Ali M Da'i, M.A.
mengatakan, gerakan provokasi pemikiran dan pemurtadan akidah islamiah yang
dilakukan oleh pihak-pihak dalam "jaringan iblis laknatullah"
sesungguhnya didanai oleh sebuah lembaga yang berasal dari Amerika Serikat
(AS).
Tokoh jaringan tersebut bersama
seorang cendekiawan terkenal dan seorang rektor sebuah universitas Islam di
Jakarta merupakan orang-orang yang harus 'dirawat' oleh pemerintah. Instruksi
untuk 'merawat' ketiga tokoh Islam tersebut disampaikan langsung oleh seorang
tokoh pemerintahan Singapura tatkala bertemu dengan sejumlah pejabat pemerintah
Indonesia
beberapa waktu lalu," kata K.H. Athian Ali. Upaya provokasi pemikiran dan
pemurtadan akidah islamiah tersebut dilakukan secara sistematis melalui
berbagai jalur dan sarana yang ada di tengah kaum Muslimin. Oleh karena itu,
sejak beberapa bulan ini di sejumlah perguruan tinggi negeri dan Islam mulai
bermunculan fakta sejumlah mahasiswa dan dosen yang mengikuti aliran pemikiran
para tokoh dan kontributor "jaringan iblis laknatullah". (Pikiran
Rakyat, 20 Maret 2003).
Beramai-ramai Menghujat
al-Quran
Babak baru perkembangan liberalisme pemikiran adalah penghujatan
Al-Qur'an. Seorang dosen IAIN bahkan menulis "Edisi Kritis al-Quran."
Baca CAP ke-97 Adian Husaini
Umat Islam Indonesia sekarang memasuki babak
baru yang sangat menentukan masa depannya. Arus sekularisasi dan liberalisasi
yang kini diusung dan digelindingkan sendiri oleh sejumlah tokoh, kampus, dan
organisasi Islam, telah menemukan bentuknya yang mendekati apa yang terjadi di
dunia Kristen. Gagasan liberalisasi yang ratusan tahun lalu digelindingkan di
dunia Yahudi dan Kristen kini dipaksakan kepada Islam. Maka, apa yang selama
ini tidak pernah terpikirkan oleh umat Islam, sekarang sudah mulai harus
dipikirkan.
Salah satu isu penting yang
digelindingkan kaum liberal adalah masalah isu otentisitas al-Quran. Kaum
Liberal – yang menganut paham pluralisme agama – tampaknya tidak rela, kalau
kaum Muslim masih saja mengklaim, hanya agamanya saja yang benar, dan hanya
Kitab Sucinya (al-Quran) saja yang benar. Sesuai paham pluralisme agama, maka
semua agama harus didudukkan pada posisi yang sejajar, sederajat, tidak boleh
ada yang mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling benar sendiri. Begitu
juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok agama yang
mengklaim hanya kitab sucinya saja yang suci.
Maka, proyek liberalisasi Islam
tidak akan lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian al-Quran. Mereka berusaha
keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum Muslim, bahwa al-Quran adalah
Kalamullah, bahwa al-Quran adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, bebas dari
kesalahan. Mereka mengabaikan bukti-bukti al-Quran yang menjelaskan tentang
otentisitas al-Quran, dan kekeliruan dari kitab-kitab agama lain.
Kata seorang yang aktif menjadi
penyebar paham liberal di Indonesia: "Tapi, bagi saya, all scriptures are
miracles, semua kitab suci adalah mukjizat. (Jawa Pos, 11 Jan. 2004).
Jadi, orang tersebut tidak mau
mengakui bahwa al-Quran adalah satu-satunya Mukjizat yang masih tersisa di
zaman akhir ini, yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Padahal, begitu banyak
ayat al-Quran yang menjelaskan tentang otentisitas al-Quran dan tindakan kaum
Yahudi dan Kristen yang telah mengubah kitab sucinya sendiri, sehingga menurut
al-Quran, kitab suci mereka itu sekarang menjadi tidak suci lagi. Misalnya,
Allah SWT berfirman: "Sebagian dari orang-orang Yahudi mengubah
kalimat-kalimat dari tempatnya." (An Nisa: 46)
Juga firman-Nya: "Maka apakah
kamu ingin sekali supaya mereka beriman karena seruanmu, padahal sebagian
mereka ada yang mendengar firman Allah, lalu mengubahnya sesudah mereka
memahaminya, sedangkan mereka mengetahuinya." (al-Baqarah:75)
Dan firman-Nya: "Sungguh
celakalah orang-orang yang menulis al-kitab dengan tangan mereka, lalu mereka
katakan: "Ini adalah dari Allah." (mereka lakukan itu) untuk mencari
keuntungan sedikit. Sungguh celakalah mereka karena aktivitas mereka menulis
kitab-kitab (yang mereka katakan dari Allah itu), dan sungguh celakalah mereka
akibat tindakan mereka. (al-Baqarah:79)
Itulah penjelasan al-Quran
tentang kitab-kitab kaum Yahudi dan Kristen. Semestinya, sebagai orang yang
mengaku Muslim, tentu ayat-ayat al-Quran itu menjadi pegangan hidup dan pedoman
berpikirnya. Sebab, al-Quran adalah landasan utama keimanan seorang Muslim.
Jika tidak mau mengakui kebenaran al-Quran, untuk apa mengaku Muslim!
Konsistensi berpikir semacam ini sangat penting, sehingga tidak memunculkan
kerancuan dan ketidakjujuran dalam beragama. Bagi kaum Kristen yang percaya
Injil, tentu akan menolak al-Quran. Itu sudah normal dan wajar. Aneh, kalau
seorang tetap mengaku Kristen, tetapi pada saat yang sama juga mengaku percaya
kepada kenabian Muhammad saw dan kebenaran al-Quran.
Maka, adalah aneh dan keluar
dari logika normal, kalau ada yang mengaku Muslim tetapi mengingkari kesucian
al-Quran dan sekaligus juga mengimani kesucian kitab-kitab agama lain saat ini,
yang sudah jelas-jelas banyak bagiannya bertentangan dengan al-Quran. Apalagi menyatakan
bahwa semua kitab suci agama-agama lain adalah mukjizat. Sungguh pernyataan
yang tidak masuk akal. Apakah Kitab Suci aliran kebatinan Darmo Gandul dan
Gatholoco juga mukjizat?
Tetapi, rupanya, para penyebar
dan pengasong ide-ide liberalisme di kalangan kaum Muslim, tidak berhenti
sampai di situ. Mereka kini aktif menulis berbagai buku dan artikel yang
mencoba menggoyahkan keyakinan kaum Muslim terhadap kesucian al-Quran. Seorang
dosen Ulumul Quran di satu IAIN di Indonesia menulis satu makalah berjudul
"Edisi Kritis al-Quran", yang isinya menyatakan: "Uraian dalam
paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses
pemantapan teks dan bacaan al-Qur'an, sembari menegaskan bahwa proses tersebut
masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun
pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena
itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu
upaya penyuntingan edisi kritis al-Qur'an."
Jadi, si dosen itu ingin
meyakinkan kepada kita, bahwa al-Quran kita saat ini masih bermasalah, tidak
kritis, sehingga perlu diedit lagi. Dosen itu pun menulis sebuah buku serius
berjudul "Rekonstruksi Sejarah al-Qur'an" yang juga meragukan
keabsahan dan kesempurnaan Mushaf Utsmani. Dia tulis dalam bukunya
(2005:379-381): "Terdapat berbagai laporan tentang eksistensi
bagian-bagian terhentu al-Quran yang tidak direkam secara tertulis ke dalam
mushaf oleh komisi Zayd, dan karena itu menggoyahkan otentisitas serta integritas
kodifikasi Utsman…Dengan demikian, pandangan dunia tradisional telah melakukan
sakralisasi terhadap suatu bentuk tulisan yang lazimnya dipandang sebagai
produk budaya manusia."
Jadi, sekali lagi, penulis buku
itu mencoba meyakinkan bahwa mushaf Utsmani masih bermasalah, dan tidak layak
disucikan. Yang ironis, buku ini diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Quraish
Shihab, tanpa memberikan kritik yang berarti. Dalam pengantarnya, Quraish
menulis, "Kasarnya, ada sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa
ayat atau susunan ayat al-Quran dari surat al-Fatihah sampai surat
al-Nas."
Penulis lain, seorang calon
doktor dari satu Universitas di Australia yang juga rajin mengasongkan paham
liberalisme, menulis sebuah catatan: "Sebagian besar kaum Muslim meyakini
bahwa Al-Quran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya
(lafdhan) maupun maknanya (ma'nan).
Keyakinan semacam itu
sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal
al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi
doktrin-doktrin Islam."
Ada lagi
sebuah tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta
(Dulu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), yang secara terang-terangan juga
menghujat Mushaf Utsmani. Tesis itu sudah diterbitkan dalam sebuah buku
berjudul: "Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan", dan diberi kata
pengantar dua orang doctor dalam bidang studi Islam, dosen di pascasarjana UIN
Yogyakarta. Di dalam buku ini, misalnya, kita bisa menikmati hujatan terhadap
al-Quran seperti kata-kata berikut ini:
"Setelah kita kembalikan
wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegemoni
budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang
terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang
lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang dimainkan
Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dulu
menempatkan Mushaf Utsmani itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata lain,
Mushaf itu tidak sacral dan absolute, melainkan profan dan fleksibel. Yang
sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih
dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkekenankan bermain-main
dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang
melingkupi perasaan dan pikiran kita."
Fenomena menghujat al-Quran
seperti dilakukan oleh para sarjana dari kalangan Muslim semacam ini adalah
fenomena baru dalam sejarah Islam Indonesia. Selama 350 tahun dijajah
Belanda, fenomena semacam ini tidak pernah ada. Hal semacam ini sudah begitu
lumrah dalam tradisi Kristen. Kritik terhadap Bibel sudah menjadi hal biasa.
Mereka sudah mengembangkan satu bidang ilmu yang dikenal dengan nama
"Biblical Criticism".
Tradisi Kristen semacam ini
sekarang dibawa masuk ke dalam tradisi Islam oleh orang-orang dari kalangan
Muslim sendiri, yang terpengaruh oleh tradisi Kristen. Jika kita simak sebuah
buku berjudul "Penafsiran Alkitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci
Kepausan" (Yogyakarta: Kanisius, 2003),
tampak bagaimana pengaruh studi Bibel telah merasuk ke dalam studi al-Quran di
perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Para penyerang al-Quran
sebenarnya hanya menjiplak ide-ide dan bukti-bukti yang disodorkan oleh para
orientalis Yahudi dan Kristen. Bisa jadi, mereka juga mengambil fakta-fakta
yang telah ditulis oleh para ulama Muslim. Tetapi, dianalisis dalam perspektif
sesuai kepentingan orientalis. Jauh sebelumnya, pada tahun 1927, Alphonse
Mingana, pendeta Kristen asal Iraq dan guru besar di Universitas Birmingham
Inggris, sudah mengimbau bahwa "sudah tiba saatnya sekarang untuk
melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan
terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen
yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the
Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic
of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures)."
Imbauan pendeta Kristen dan
tokoh studi Islam itulah yang kini diikuti oleh begitu banyak sarjana dari
kalangan Muslim. Fenomena penyerangan terhadap al-Quran ini harusnya menjadi
perhatian paling serius oleh para ulama dan cendekiawan Muslim. Ini adalah
bentuk kemungkaran yang sangat besar. Sebab, mereka telah membongkar satu asas
keyakinan kaum Muslim yang paling asas, yaitu tentang kesucian al-Quran.
Mungkin para penghujat al-Quran itu sedang khilaf. Mungkin ia merasa menemukan sesuatu
yang hebat sehingga merasa dirinya lebih hebat dari para Imam dan ulama Islam
terkemuka. Mungkin juga mereka sekedar iseng, karena motif-motif tertentu.
Atau, mungkin juga ia merasa menemukan kebenaran.
Terlepas dari semua itu,
buku-buku atau artikel yang mereka terbitkan, tidak boleh dibiarkan begitu
saja. Cendekiawan muslim wajib menjawabnya dengan cara-cara ilmiah yang lebih
baik dari karya-karya mereka. Tentu saja ini bukan tugas yang ringan, dan
memerlukan biaya yang sangat besar. Sebab, harus mengumpulkan
literatur-literatur yang sangat banyak. Sayangnya, dalam Kongres Umat Islam
yang baru lalu, masalah ini tidak disentuh. Padahal, masalah ini jauh lebih
serius daripada masalah bencana alam, pornografi, dan sebagainya. Bukankah
Rasulullah saw sudah berpesan, jika kita melihat kemungkaran, maka ubahlah
dengan tangan, lisan, atau hati. Yang menjadi problem besar saat ini adalah
ketika para cendekiawan Muslim sendiri tidak paham, bahwa saat ini telah
terjadi kemungkaran yang besar semacam ini. Wallahu a’lam. (Jakarta, 29 April 2005/Hidayatullah.com).
Agama
oleh Hamid Fahmy Zarkasyi *
Defenisi agama di Barat terus menjadi polemik. Di Indonesia, para santri sudah mengatakan, "Semua Agama Sama". Boleh jadi, besuk akan ada kiai yang mengatakan, "Yesus Tuhan kita juga"
Di pinggir jalan kota Manchester Inggris terdapat papan iklan besar bertuliskan kata-kata singkat ’s like Religion”. iklan itu tidak ada hubungannya dengan agama atau kepercayaan apapun. Di situ terpampang gambar seorang pemain bola dengan latar belakang ribuan supporter nya yang fanatic. Saya baru tahu kalau itu iklan klub sepakbola setelah membaca tulisan di bawahnya Manchester United Sepak bola dengan supporter fanatik itu biasa, tapi tulisan it’s lake religion itu cukup mengusik pikiran saya. Kalau iklan itu dipasang di jalan Thamrin Jakarta ummat beragama pasti akan geger. Ini pelecehan terhadap agama. Tapi di Barat agama bisa difahami seperti itu.
Agama adalah fanatisme, kata para sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan My religion is song, sex, sand and champagne juga masih dianggap waras. Mungkin ini yang disinyalir al-Qur’an ara’ayta man ittakhadna ilaahahu hawaahu (QS.25:43).
Pada dataran diskursus akademik, makna religion di Barat memang problematik. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal. Mereka tetap tidak mampu menjangkau hal-hal yang khusus.
Jikapun mampu mereka terpaksa menafikan agama lain. Ketika agama didefinisikan sebagai kepercayaan, atau kepercayaan kepada yang Maha Kuasa (Supreme Being), kepercayaan primitif di Asia menjadi bukan agama. Sebab agama primitif tidak punya kepercayaan formal, apalagi doktrin.
F. Schleiermacher kemudian mendefinisan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah “rasa ketergantungan yang absolut” (feeling of absolute dependence). Demikian pula Whitehead, agama adalah “apa yang kita lakukan adalah kesendirian”. Di sini faktor-faktor terpentingnya adalah emosi, pengalaman, intuisi dan etika. Tapi definisi ini hanya sesuai untuk agama primitif yang punya tradisi penuh dengan ritus-ritus, dan tidak cocok untuk agama yng punya stuktur keimanan, ide-ide dan doktrin-doktrin.
Tapi bagi sosiolog dan antropolog memang begitu. Bagi mereka religion sama sekali bukan seperangkat ide-ide, nilai atau pengalaman yang terpisah dari matrik kultural. Bahkan, kata mereka, beberapa kepercayaan, adat istiadat atau ritus-ritus keagamaan tidak difahami kecuali dengan matrik kultural tersebut. Emile Durkheim malah yakin bahwa masyarakat itu sendiri sudah cukup sebagai faktor penting bagi rasa berkebutuhan dalam jiwa. (Lihat The Elementary Forms of the Religious Life, New York, 1926, 207). Tapi bagi pakar psikologi agama justeru harus diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor sosial dan intelektual.
Para psikolog Barat nampaknya trauma dengan makna agama yang doktriner, sehingga tidak peduli dengan aspek ekstra-sosial, ekstra-sosiologis ataupun ekstra psikologis. Aspek immanensi lebih dipentingkan daripada aspek transendensi.
Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan religion karena konsep Tuhan yang bermasalah. Agama Barat –Kristen– kata Amstrong dalam History of God justeru banyak bicara Yesus Kristus ketimbang Tuhan.
Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi Tuhan. Dalam hal ini kesimpulan Profesor al-Attas sangat jitu ‘Islam, sebagai agama, telah sempurna sejak diturunkan’. Konsep Tuhan, agama, ibadah, manusia dan lain-lain telah jelas. Konsep-konsep selanjutnya hanyalah penjelasan dari konsep-konsep itu tanpa merubah konsep asalnya. Sedang di Barat konsep Tuhan mereka sejak awal bermasalah sehingga perlu direkayasa agar bisa diterima akal manusia.
Kita mungkin akan tersenyum membaca judul buku yang baru terbit di Barat, Tomorrow’s God (Tuhan Masa Depan), karya Neale Donald Walsch. Tuhan agama-agama yang ada tidak lagi cocok untuk masa kini. Tuhan haruslah seperti apa yang digambarkan oleh akal modern. Manusia makhluk berakal (rational animal) terpaksa menggusur manusia makhluk Tuhan. Pada puncaknya nanti manusialah yang menciptakan Tuhan dengan akalnya.
Kata-kata Socrates: ”Wahai warga Athena! Aku percaya pada Tuhan, tapi tidak akan berhenti berfilsafat”, bisa berarti “Saya beriman tapi saya akan tetap menggambarkan Tuhan dengan akal saya sendiri”. Wilfred Cantwell Smith nampaknya setuju. Dalam makalahnya berjudul Philosophia as One of the Religious Tradition of Mankind, ia mengkategorikan tradisi intelektual Yunani sebagai agama. Akhirnya, sama juga mengamini Nietzche bahwa Tuhan hanyalah realitas subyektif dalam fikiran manusia, alias khayalan manusia yang tidak ada dalam realitas obyektif. Konsep Tuhan inilah yang justeru menjadi lahan subur bagi atheisme. Sebab Tuhan bisa dibunuh.
Jika Imam Al-Ghazzali dikaruniai umur hingga abad ini mungkin ia pasti sudah menulis berjilid-jilid Tahafut.
Sekurang-kurangnya ia akan menolak jika Islam dimasukkan ke dalam devinisi religion versi Barat dan Allah disamakan dengan Tuhan spekulatif. Jika konsep Unmoved Mover Aristotle saja ditolak, kita bisa bayangkan apa reaksi al-Ghazzali ketika mengetahui tuhan di Barat kini is not longer Supreme Being (Tidak lagi Maha Kuasa).
Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Bukti Tuhan ‘harus’ mengikuti peraturan akal manusia. Ia ‘tidak boleh’ menjadi tiran, ‘tidak boleh’ ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Tuhan yang ikut mengatur alam semesta adalah absurd. Tuhan yang personal dan tiranik itulah yang pada abad ke19 ‘dibunuh’ Nietzche dari pikiran manusia. Tuhan Pencipta tidak wujud pada nalar manusia produk kebudayaan Barat. Agama disana akhirnya tanpa Tuhan atau bahkan Tuhan tanpa Tuhan.
Disini kita baru faham mengapa Manchester United dengan penyokongnya itu like religion. Malu mengatakan it’s really religion but without god.
Kini di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya cendikiawan Muslim mulai ikut-ikutan risih dengan konsep Allah Maha Kuasa (Supreme Being). Tuhan tidak lagi mengatur segala aspek kehidupan manusia. Bahkan kekuasaan Tuhan harus dibatasi. Benteng pemisah antara agama dan politik dibangun kokoh. Para kyai dan cendekiawan Muslim seperti berteriak ”politik Islam no” tapi lalu berbisik “berpolitik yes”…”money politik la siyyana”
Tapi ketika benteng pemisah agama dan politik dibangun, tiba-tiba tembok pemisah agama-agama dihancurkan. “Ini proyek besar bung!” kata fulan berbisik. “Ini zaman globalisasi” kata Profesor pakar studi Islam. Santri-santri diajari berani bilang “ya Akhi tuhan semua agama itu sama, yang beda hanya namaNya”.
”Gus! maulud Nabi sama saja dengan maulud Isa atau Natalan”. Mahasiswa Muslimpun diajari logika realitas “jangan ada yang menganggap agamanya paling benar”. Para ulama diperingati “jangan mengatasnamakan Tuhan”. Kini semua orang “harus” menerima pluralitas dan pluralisme sekaligus, pluralisme seperi juga sekularisme dianggap hukum alam. Samar-samar seperti ada suara besar mengingatkan “kalau Anda tidak pluralis pasti anda teroris”.
Kini agar menjadi seorang pluralis kita tidak perlu meyakini kebenaran agama kita. Kata-kata Hamka “yang bilang semua agama sama berarti tidak beragama” mungkin dianggap kuno. Kini yang laris manis adalah konsep global theology—nya F. Schuon. Semua agama sama pada level esoteris. Di negeri Muslim terbesar di dunia ini, lagu-lagu lama Nietzche tentang relativisme dan nihilisme dinyanyikan mahasiswa Muslim dengan penuh emosi dan semangat. “Tidak ada yang absolut selain Allah” artinya ‘tidak ada yang tahu kebenaran selain Allah’. Syari’ah, fiqih, tafsir wahyu, ijtihad para ulama adalah hasil pemahaman manusia, maka semua relatif. Walhal, Tuhan tidak pernah meminta kita memahami yang absolut apalagi menjadi absolut. Yang relatif pun bisa mengandung yang absolut. Secara kelakar seorang kawan me mbayangkan di Jakarta nanti ada papan iklan besar bergambar seorang kyai dengan latar belakang ribuan santri dengan tulisan singkat “Yesus Tuhan kita juga”.*
*) Pemimpin Redaksi ISLAMIA, majalah pemikiran dan peradaban Islam. Penulis kini menyelesaikan S3 nya di ISTAC (International Islamic Thought and Civilization), KL. Artikel ini diambil dari Jurnal ISLAMIA edisi terbaru, 3 September-Nopember 2004
Hidayatullah.com
Kampanye Mengkritik al-Quran
Di Indonesia, belakangan banyak
orang keranjingan Abu Zayd. Mereka seperti istri Aladdin, menukar lampu lama
dengan lampu "si tukang sihir". CAP ke-73 Adian Husaini, MA
Entah nasib apa yang menimpa Dunia Islam dan umat Islam Indonesia
khususnya pada hari-hari ini. Serangan dan kritikan bertubi-tubi terhadap
Islam, Kitab Sucinya, dan umatnya bukan saja datang dari mereka yang secara
logika sepatutnya membenci dan memusuhi Islam. Tetapi, kadangkala, serangan dan
kritik itu justru dari kalangan kaum Muslim sendiri. Bahkan, dari mereka yang
mengaku sebagai intelektual Muslim dari satu organisasi Islam tertentu.
Senin, 04 Oktober 2004, seorang yang menyebut dirinya dari “Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah” menulis artikel di Harian Republika, dengan judul “Islam dan Pertarungan Rezim Intelektual”. Pada umumnya, tulisan itu mendukung gagasan Nasr Hamid Abu Zayd tentang penggunaan hermeneutika untuk al-Quran. Berikut ini kutipan sebagian artikel tersebut: “Di mata kalangan Islam ortodoks, al-Quran adalah sabda Tuhan yang abadi. Dia selalu ada sebagai sifat Tuhan, dan tidak pernah diciptakan, karena sifat Tuhan adalah sesuatu yang melekat dalam diri Tuhan dan Tuhan tidak menciptakan sifat-sifat itu. Bahwa teks abadi ini telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad pada abad ke-7 masyarakat Arab sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menampakkan makna al-Quran, yang merupakan sebuah kitab yang harus dibaca secara literal dan selalu benar di sepanjang masa. Akibatnya, tidak ada tradisi kritisisme tekstual terhadap al-Quran yang sama dengan Bibel Hebrew dan Perjanjian Baru (New Testament).”
Jika dicermati, tulisan itu rancu, secara intelektual. Solah-olah, orang Islam yang tidak mengikuti tradisi kritisisme tekstual terhadap al-Quran adalah Islam ortodoks, karena tidak mau mengikuti jejak Yahudi dan Kristen. Jadi, yang mengikuti jejak Yahudi dan Kristen bukan Muslim ortodoks. Lalu, orang Islam yang mengikuti jejak Yahudi dan Kristen itu disebut apa? Muslim yang maju? Muslim yang modern? Muslim yang terbuka? Muslim yang progresif? Atau apa? Kata ortodoks, sebenarnya berasal dari bahasa Yunani “orthodoxos”, yang artinya “having the right opinion” atau “mempunyai pendapat yang benar”. (orthos: straight, correct). Tapi, kata ini sekarang dipersepsikan sebagai “kolot, anti-kemajuan”, dan sejenisnya.
Diskusi tentang al-Quran, kalam Allah, dan sifat Allah telah menjadi perdebatan sengit antara Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah. Mu’tazilah berpendapat, bahwa al-Quran adalah makhluk, sebagai bagian dari konsep mereka tentang penyucian Allah dari sifat tasybih, yaitu menyerupakan Dzat dan sifat Allah dengan makhluk-Nya. Dengan demikian pemikiran khalq al-Qur’an Mu’tazilah sebenarnya untuk memperkuat konsep tanzih yang menyangkal keberbilangan Yang Qadim. Konsep Mu'tazilah sebenarnya merupakan respon yang menyangkal ekstrimitas madhhab tasybih. Namun, pada akhirnya mereka juga terjebak dalam bentuk ekstrimitas yang lain. Sebab, konsep ini telah menafikan keberadaan sifat, ketika mereka menyatukannya dengan dzat (al-sifat ‘ainu al-dzat). (Lihat artikel “Studi Komparatif: Konsep al-Quran Nasr Hamid dan Mu’tazilah”, Majalah Islamia No 2).
Konsep al-Quran Mu’tazilah itu sama sekali berbeda dengan konsep al-Quran sebagai “produk budaya” Abu Zayd. Sebab, konsep Abu Zayd, adalah konsep yang jauh lebih ekstrim dari Mu’tazilah dan mendekati konsep kaum Kristen terhadap Bible mereka. Dari konsep Kitab Suci sesuai Bible ini, maka akan berkembang pula konsep penafsiran metode hermeneutika yang juga berkembang dalam tradisi Kristen. Fenomena ini tidak kita jumpai dalam perjalanan tradisi intelektual Mu’tazilah. Mu’tazilah tidak mengembangkan tradisi kritik teks al-Quran (naqd al-khithab), sebagaimana dilakukan kaum Yahudi dan Kristen terhadap Kitab Suci mereka. Masalah ini perlu ditekankan, agar kita tidak terjebak dengan anggapan sepintas, seolah-olah pemikiran Abu Zayd tentang “textual criticism” terhadap al-Quran adalah kelanjutan dari tradisi pemikiran di kalangan Muslim. Dulu, di zaman Khalifah al-Ma’mun, Imam Ahmad bin Hanbal menjadi tokoh Ahlu Sunnah yang rela dipenjara dan disiksa karena menentang konsep Mu’tazilah yang dipaksakan penguasa.
Saat ini, seluruh umat manusia juga dipaksa oleh “penguasa dunia” (negara adidaya) untuk menerapkan sekularisme - ideologi Nasr Hamid Abu Zayd. Sekedar menyegarkan ingatan kita, salah satu gagasan sentral Abu Zayd yang kontroversial adalah konsepnya tentang al-Quran, yang ia tekankan sebagai “produk budaya”, “teks historis”, “teks linguistik”, atau “teks manusiawi”. Meskipun tidak menafikan unsur ilahiah (divinity) al-Quran, Abu Zayd memandang teks al-Quran sudah “memanusiawi” dan masuk dalam kerangka teks historis dan budaya Arab. Abu Zayd masuk dalam diskursus teks, sebab sebagai hermeneut (pengaplikasi hermeneutik) dalam interpretasi al-Quran, ia harus melakukan “dekonstruksi” dan “deabsolutisasi” konsep al-Quran sebagai “the word of God” (dei verbum), yang menjadi mainstream pemikiran Muslim (ahlu sunnah). Ia tulis buku-buku yang mengupas persoalan teks dan kritik terhadapnya, seperti “Mafhum al-Nash al-Dirasah fi Ulum al-Quran” dan “Naqd al-Khithab al-Dini”.
Di sinilah Abu Zayd kemudian menempatkan Nabi Muhammad saw -- penerima wahyu -- pada posisi semacam “pengarang” al-Quran. Ia menulis dalam bukunya, Mafhum al-Nash, bahwa al-Quran diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia, dan merupakan bagian dari sosial budaya dan sejarah masyarakatnya.
Dalam tradisi hermeneutika Bible, analisis terhadap kondisi psiko-sosial penulis Bible memang memungkinkan. Sebab, masing-masing Bible memang ada penulisnya. Tetapi, siapakah pengarang al-Quran? Dalam konsep Islam, Nabi Muhammad saw, sebagai seorang ‘ummiy, adalah penerima pasif wahyu. Konsep bahwa teks al-Quran adalah “spirit wahyu dari Tuhan” identik dengan konsep teks Bible, bahwa “The whole Bible is given by inspiration of God”. Pendapat Abu Zayd, menurut Dr. Gerard R. Wiegers, dosen Universitas Leiden, memang melewati batas pemahaman al-Quran yang mapan.
Konsep Abu Zayd tentang al-Quran berdampak pada metode penafsiran al-Quran yang dia ajukan, yang menggunakan pendekatan historisitas-budaya. Ia berupaya menjebol konsep dan metode tafsir al-Quran Ahlu-Sunnah. Ia mencatat: “Kekeliruan yang mendasar pada sikap Ahlussunnah, dulu dan sekarang, adalah usaha mereka mengaitkan ‘makna teks’ dan ‘dalalah-nya’ dengan masa kenabian, risalah, dan turunnya wahyu. Ini bukan saja kesalahan ‘pemahaman’, tetapi juga merupakan ekspresi sikap ideologisnya terhadap realitas -- suatu sikap yang bersandar pada keterbelakangan, antikemajuan dan anti- progresivitas. Oleh karena itu kaum Ahlu Sunnah menyusun sumber-sumber utama penafsiran al-Quran pada empat hal: penjelasan Rasulullah saw, sahabat, tabi’in, dan terakhir yaitu tafsir bahasa.”
Benarkah Ahlu Sunnah mendukung keterbelakangan dan antikemajuan, seperti klaim Abu Zayd? Pendapat Abu Zayd seperti itu tentu saja bukan pendapat ilmiah yang didukung oleh data-data yang kuat. Selama ratusan tahun, kaum Muslim mengalami zaman keemasan dan mencapai kemajuan di berbagai bidang justru ketika mereka menganut pola pemahaman Ahlu Sunnah. Upaya untuk meruntuhkan konsep Ahlu Sunnah dilakukan Abu Zayd dengan menyerang sejumlah tokoh utamanya, seperti Imam al-Shafii, al-Ash’ari, dan al-Ghazali. Imam al-Syafii dituduhnya mengubah teks primer (al-Quran) menjadi teks sekunder (al-hadits), dan sebaliknya.
Abu Zayd, yang mengaku seorang sekular, bukan orang baru dalam membongkar konsep al-Quran. Arkoen dan Fazlur Rahman, sudah melakukan itu. Rahman menyatakan, dalam bukunya, “Islam”, bahwa “the Quran is entirely the Word of God and, in an ordinary sense, also entirely the word of Muhammad.” Arkoun, dalam bukunya “Rethinking Islam Today”, menyayangkan sarjana Muslim yang tidak mau mengikuti jejak kaum Kristen dalam melakukan kritik folosofis terhadap teks suci al-Quran. Pada 1927, pendeta Kristen Prof. Alphonse Mingana, menyatakan, “Sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).”
Memang, studi kritik teks al-Quran tidak berkembang di kalangan Muslim. Bahkan, setelah Abu Zayd menulis buku “Kritik terhadap Teks Keagamaan” (Naqd al-Khithab al-Dini). Ini berbeda dengan pesatnya studi kritis teks Bible. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement”. Buku-buku karya Prof. Bruze M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis terhadap Teks Bible. Juga, Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972). Ini bisa dipahami, sebab Bible menyimpan problematika tekstualitas yang rulit. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis Kitab (The Old Testament) ini masih misterius. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia (It is one of the oldest puzzles in the world).
Fenomena dalam tradisi Kristen itu sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam tradisi Islam. Kaum Muslim, sepanjang sejarahnya, tidak pernah menggugat atau mempersoalkan otentisitas teks al-Quran-- termasuk Mu’tazailah. Karena itulah, secara prinsip, teks al-Quran tidak mengalami problema sebagaimana problema teks Bible. Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The Making of an Image, menegaskan: “The Quran has no parallel outside Islam.”
Di kalangan Kristen, hanya kelompok fundamentalis saja yang masih percaya Bible sebagai “dei verbum”. Sebab itu, sangatlah aneh, jika ada sebagian kalangan Muslim yang membawa nama Muhammadiyah kemudian dengan bangganya mengecam kaum Muslim yang tidak mau mengkritisi al-Quran, sebagaimana kaum Yahudi dan Kristen mengkritisi Bible mereka.
Untuk memperjelas siapa dan bagaimana hubungan konsep Abu Zayd dengan konsep-konsep dalam tardisi Kristen-Barat, berikut ini beberapa kutipan dari buku “Meretas Kesarjanaan Kritis al-Quran: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd” (2003), yang ditulis oleh seorang murid Abu Zayd di Universitas Leiden:
“Dia telah mengkritik para Muslim konservatif seperti Al-Imam al-Syafi’i, Al-Imam al-Asy’ari, Abu Hamid al-Ghazali (dari periode klasik), dan Sayyid Quthub, Hasan al-Banna, Muhammad al-Ghazali, Fahmi Huwaydi, Muhammad al-Baltaji, dan Ab al-Shabur Syahin (dari periode modern), dan juga para Muslim rasionalis klasik seperti Mu’tazilah dan Ibnu Rusyd (Averoisme), serta para Muslim liberal modern seperti Hasan Hanafi dan Muhammad Shahrour. Abu Zayd berupaya untuk memformulasikan sebuah perangkat metodologis yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi pembacaan-pembacaan ideologis atas teks-teks keagamaan. Dalam hal ini, pendapat Abu Zayd yang berkaitan dengan pembacaan ideologis mengingatkan kita kepada “hermeneutic of innocent” nya E.D. Hirsch, Jr, walaupun tak persis sama, yang sesungguhnya, menurut saya, tidak dapat lagi dipertahankan pada era pascaGadamer-- tokoh yang dianggap justru banyak mempengaruhinya.
Abu Zayd secara berulan-ulang mengatakan bahwa sebuah pembacaan ideologis dan subjektif atas al-Quran tidak lebih daripada manipulasi makna, yang bertentangan dengan objektivitas ilmiah. Bahkan, ideologi itu sendiri, menurutnya, adalah sebuah ‘penyakit’ yang harus diberantas. Pada titik ini, pengaruh konsep Marxis tentang ideologi, sebagaimana disinyalir oleh para penentangnya, bagaimana pun terbukti adanya. Para Marxis melihat ideologi sebagai sebuah ‘distorsi’ realitas, dan mereka juga mengkontraskannya dengan “kesadaran sejati” (true consciousness) “Kesadaran akan subjektivitas dan kecenderungan ideologis ini, menurut hemat saya, haruslah dimasukkan dalam asumsi-asumsi epistemologis. Subjektivisme dan kecenderungan ideologis bukanlah hal yang harus disingkirkan, namun malah harus dimasukkan sebagai faktor penting dalam membangun sebuah teori hermeneutika. Pada tingkat ini, kesadaran itu telah bekerja dalam level yang lebih riil, yakni level epistemologis. Upaya semacam ini tampaknya absen di dalam karya-karyanya”.
“Meskipun Abu Zayd sangat kritis terhadap pembacaan-pembacaan ideologis atas teks-teks keagamaan, sebagian besar tulisannya, pada kenyataannya, bersifat ideologis pula. Ada dua ideologi penting yang mendasari karya-karyanya, yaitu sekularisme dan akademisme, dengan tanpa mengatakan bahwa kedua ideologi ini, dan pengaruh dari keduanya, berdampak negatif. Saya hanya bermaksud menunjukkan bahwa, secara sadar atau tidak ideologi dan subjektivitas Abu Zayd hadir dalam tulisan-tulisannya.
Artinya, ‘klaim ideologis’ itu dapat dikenakan kepada siapa saja, karena ‘klaim’ itu sendiri merefleksikan ideologi tertentu. Sebagaimana tertulis dalam bab pertama, Abu Zayd memosisikan dirinya sebagai seorang intelektual Muslim sekularis. Meskipun dia mendefinisikan sekularisme sebagai sebuah “interpretasi sejati dan ilmiah atas Agama”, tidaklah berarti bahwa sekularisme bukan sebuah ideologi “Kepercayaan Abu Zayd akan otoritas nalar, objektivitas, dan akademisme membimbingnya untuk menjadi wakil sah dari pengikut rasionalis pencerahan modern. Namun, fakta bahwa dia terkadang mengadopsi konsep-konsep posmodernisme tidaklah terbantahkan. Fouad Ajami, misalnya, mengatakan, bahwa Abu Zayd sangat “at home dengan metode dan bahasa Michel Foucault dan Antonio Gramsci”, dan Edward Said mengatakan, bahwa “utang terhadap Foucoult adalah jelas” ketika Abu Zayd menggunakan konsep “wacana” dalam (buku) “Naqd al-Khithab al-Dini” (Kritik atas Wacana Keagamaan). Namun, tidak dapat dikatakan bahwa Abu Zayd bekerja dalam kerangka posmodernisme, yang justru menolak sentralitas nalar, objektivitas, dan akademisme, hal yang justru paling dibela Abu Zayd.
Lagi pula, dia tidak pernah menyatakan dukungannya terhadap posmodernisme, dan tidak pernah mengutip karya-karya posmodernis, meskipun, sebagaimana yang diakuinya, dia membaca beberapa karya itu.” (hal.158-161).
Salah satu produk hasil penggunaan metode hermeneutika ala Abu Zayd, misalnya, adalah pendapatnya, bahwa jin dan setan tidak ada dalam realitas dan hanya ada dalam mitos. Karena melihat wahyu sebagai proses evolusioner transformasi dari sebuah pandangan dunia mitologis kepada pandangan dunia rationalistik, maka di akhir analisisnya tentang jin, setan, sihir, dan hasad, Abu Zayd berkesimpulan, bahwa semua itu pada hekikatnya bersifat mitologis, “hidup” dalam konsep mental saja, dan tidak ada dalam realitas. (hal. 119). “Pengaruh Ferdinad de Saussure jelas dalam interpretasi tentang kekuatan-kekuatan jahat di atas, khususnya yang terkait dengan tanda-tanda linguistik. De Saussure berpendapat bahwa “tanda-tanda linguistik bukanlah hubungan (link) antara sebuab benda dengan sebuah nama, namun antara sebuah konsep dengan sebuah pola suara.” (hal. 126).
Membaca kesimpulan dan analisis murid Abu Zayd di Leiden tersebut, maka tidaklah berlebihan jika Dr. Syamsuddin Arif dalam artikelnya di Harian Republika (30 September 2004), yang berjudul “Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd” menulis: “Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi hermeneutika.
Sebabnya, saya melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan -- untuk tidak mengatakan seluruhnya -- adalah gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat”. Orang macam Abu Zayd ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istri Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir.” Wallahu a’lam. (KL, 7 Oktober 2004).
Senin, 04 Oktober 2004, seorang yang menyebut dirinya dari “Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah” menulis artikel di Harian Republika, dengan judul “Islam dan Pertarungan Rezim Intelektual”. Pada umumnya, tulisan itu mendukung gagasan Nasr Hamid Abu Zayd tentang penggunaan hermeneutika untuk al-Quran. Berikut ini kutipan sebagian artikel tersebut: “Di mata kalangan Islam ortodoks, al-Quran adalah sabda Tuhan yang abadi. Dia selalu ada sebagai sifat Tuhan, dan tidak pernah diciptakan, karena sifat Tuhan adalah sesuatu yang melekat dalam diri Tuhan dan Tuhan tidak menciptakan sifat-sifat itu. Bahwa teks abadi ini telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad pada abad ke-7 masyarakat Arab sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menampakkan makna al-Quran, yang merupakan sebuah kitab yang harus dibaca secara literal dan selalu benar di sepanjang masa. Akibatnya, tidak ada tradisi kritisisme tekstual terhadap al-Quran yang sama dengan Bibel Hebrew dan Perjanjian Baru (New Testament).”
Jika dicermati, tulisan itu rancu, secara intelektual. Solah-olah, orang Islam yang tidak mengikuti tradisi kritisisme tekstual terhadap al-Quran adalah Islam ortodoks, karena tidak mau mengikuti jejak Yahudi dan Kristen. Jadi, yang mengikuti jejak Yahudi dan Kristen bukan Muslim ortodoks. Lalu, orang Islam yang mengikuti jejak Yahudi dan Kristen itu disebut apa? Muslim yang maju? Muslim yang modern? Muslim yang terbuka? Muslim yang progresif? Atau apa? Kata ortodoks, sebenarnya berasal dari bahasa Yunani “orthodoxos”, yang artinya “having the right opinion” atau “mempunyai pendapat yang benar”. (orthos: straight, correct). Tapi, kata ini sekarang dipersepsikan sebagai “kolot, anti-kemajuan”, dan sejenisnya.
Diskusi tentang al-Quran, kalam Allah, dan sifat Allah telah menjadi perdebatan sengit antara Mu’tazilah dan Ahlu Sunnah. Mu’tazilah berpendapat, bahwa al-Quran adalah makhluk, sebagai bagian dari konsep mereka tentang penyucian Allah dari sifat tasybih, yaitu menyerupakan Dzat dan sifat Allah dengan makhluk-Nya. Dengan demikian pemikiran khalq al-Qur’an Mu’tazilah sebenarnya untuk memperkuat konsep tanzih yang menyangkal keberbilangan Yang Qadim. Konsep Mu'tazilah sebenarnya merupakan respon yang menyangkal ekstrimitas madhhab tasybih. Namun, pada akhirnya mereka juga terjebak dalam bentuk ekstrimitas yang lain. Sebab, konsep ini telah menafikan keberadaan sifat, ketika mereka menyatukannya dengan dzat (al-sifat ‘ainu al-dzat). (Lihat artikel “Studi Komparatif: Konsep al-Quran Nasr Hamid dan Mu’tazilah”, Majalah Islamia No 2).
Konsep al-Quran Mu’tazilah itu sama sekali berbeda dengan konsep al-Quran sebagai “produk budaya” Abu Zayd. Sebab, konsep Abu Zayd, adalah konsep yang jauh lebih ekstrim dari Mu’tazilah dan mendekati konsep kaum Kristen terhadap Bible mereka. Dari konsep Kitab Suci sesuai Bible ini, maka akan berkembang pula konsep penafsiran metode hermeneutika yang juga berkembang dalam tradisi Kristen. Fenomena ini tidak kita jumpai dalam perjalanan tradisi intelektual Mu’tazilah. Mu’tazilah tidak mengembangkan tradisi kritik teks al-Quran (naqd al-khithab), sebagaimana dilakukan kaum Yahudi dan Kristen terhadap Kitab Suci mereka. Masalah ini perlu ditekankan, agar kita tidak terjebak dengan anggapan sepintas, seolah-olah pemikiran Abu Zayd tentang “textual criticism” terhadap al-Quran adalah kelanjutan dari tradisi pemikiran di kalangan Muslim. Dulu, di zaman Khalifah al-Ma’mun, Imam Ahmad bin Hanbal menjadi tokoh Ahlu Sunnah yang rela dipenjara dan disiksa karena menentang konsep Mu’tazilah yang dipaksakan penguasa.
Saat ini, seluruh umat manusia juga dipaksa oleh “penguasa dunia” (negara adidaya) untuk menerapkan sekularisme - ideologi Nasr Hamid Abu Zayd. Sekedar menyegarkan ingatan kita, salah satu gagasan sentral Abu Zayd yang kontroversial adalah konsepnya tentang al-Quran, yang ia tekankan sebagai “produk budaya”, “teks historis”, “teks linguistik”, atau “teks manusiawi”. Meskipun tidak menafikan unsur ilahiah (divinity) al-Quran, Abu Zayd memandang teks al-Quran sudah “memanusiawi” dan masuk dalam kerangka teks historis dan budaya Arab. Abu Zayd masuk dalam diskursus teks, sebab sebagai hermeneut (pengaplikasi hermeneutik) dalam interpretasi al-Quran, ia harus melakukan “dekonstruksi” dan “deabsolutisasi” konsep al-Quran sebagai “the word of God” (dei verbum), yang menjadi mainstream pemikiran Muslim (ahlu sunnah). Ia tulis buku-buku yang mengupas persoalan teks dan kritik terhadapnya, seperti “Mafhum al-Nash al-Dirasah fi Ulum al-Quran” dan “Naqd al-Khithab al-Dini”.
Di sinilah Abu Zayd kemudian menempatkan Nabi Muhammad saw -- penerima wahyu -- pada posisi semacam “pengarang” al-Quran. Ia menulis dalam bukunya, Mafhum al-Nash, bahwa al-Quran diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia, dan merupakan bagian dari sosial budaya dan sejarah masyarakatnya.
Dalam tradisi hermeneutika Bible, analisis terhadap kondisi psiko-sosial penulis Bible memang memungkinkan. Sebab, masing-masing Bible memang ada penulisnya. Tetapi, siapakah pengarang al-Quran? Dalam konsep Islam, Nabi Muhammad saw, sebagai seorang ‘ummiy, adalah penerima pasif wahyu. Konsep bahwa teks al-Quran adalah “spirit wahyu dari Tuhan” identik dengan konsep teks Bible, bahwa “The whole Bible is given by inspiration of God”. Pendapat Abu Zayd, menurut Dr. Gerard R. Wiegers, dosen Universitas Leiden, memang melewati batas pemahaman al-Quran yang mapan.
Konsep Abu Zayd tentang al-Quran berdampak pada metode penafsiran al-Quran yang dia ajukan, yang menggunakan pendekatan historisitas-budaya. Ia berupaya menjebol konsep dan metode tafsir al-Quran Ahlu-Sunnah. Ia mencatat: “Kekeliruan yang mendasar pada sikap Ahlussunnah, dulu dan sekarang, adalah usaha mereka mengaitkan ‘makna teks’ dan ‘dalalah-nya’ dengan masa kenabian, risalah, dan turunnya wahyu. Ini bukan saja kesalahan ‘pemahaman’, tetapi juga merupakan ekspresi sikap ideologisnya terhadap realitas -- suatu sikap yang bersandar pada keterbelakangan, antikemajuan dan anti- progresivitas. Oleh karena itu kaum Ahlu Sunnah menyusun sumber-sumber utama penafsiran al-Quran pada empat hal: penjelasan Rasulullah saw, sahabat, tabi’in, dan terakhir yaitu tafsir bahasa.”
Benarkah Ahlu Sunnah mendukung keterbelakangan dan antikemajuan, seperti klaim Abu Zayd? Pendapat Abu Zayd seperti itu tentu saja bukan pendapat ilmiah yang didukung oleh data-data yang kuat. Selama ratusan tahun, kaum Muslim mengalami zaman keemasan dan mencapai kemajuan di berbagai bidang justru ketika mereka menganut pola pemahaman Ahlu Sunnah. Upaya untuk meruntuhkan konsep Ahlu Sunnah dilakukan Abu Zayd dengan menyerang sejumlah tokoh utamanya, seperti Imam al-Shafii, al-Ash’ari, dan al-Ghazali. Imam al-Syafii dituduhnya mengubah teks primer (al-Quran) menjadi teks sekunder (al-hadits), dan sebaliknya.
Abu Zayd, yang mengaku seorang sekular, bukan orang baru dalam membongkar konsep al-Quran. Arkoen dan Fazlur Rahman, sudah melakukan itu. Rahman menyatakan, dalam bukunya, “Islam”, bahwa “the Quran is entirely the Word of God and, in an ordinary sense, also entirely the word of Muhammad.” Arkoun, dalam bukunya “Rethinking Islam Today”, menyayangkan sarjana Muslim yang tidak mau mengikuti jejak kaum Kristen dalam melakukan kritik folosofis terhadap teks suci al-Quran. Pada 1927, pendeta Kristen Prof. Alphonse Mingana, menyatakan, “Sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).”
Memang, studi kritik teks al-Quran tidak berkembang di kalangan Muslim. Bahkan, setelah Abu Zayd menulis buku “Kritik terhadap Teks Keagamaan” (Naqd al-Khithab al-Dini). Ini berbeda dengan pesatnya studi kritis teks Bible. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement”. Buku-buku karya Prof. Bruze M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis terhadap Teks Bible. Juga, Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972). Ini bisa dipahami, sebab Bible menyimpan problematika tekstualitas yang rulit. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis Kitab (The Old Testament) ini masih misterius. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia (It is one of the oldest puzzles in the world).
Fenomena dalam tradisi Kristen itu sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam tradisi Islam. Kaum Muslim, sepanjang sejarahnya, tidak pernah menggugat atau mempersoalkan otentisitas teks al-Quran-- termasuk Mu’tazailah. Karena itulah, secara prinsip, teks al-Quran tidak mengalami problema sebagaimana problema teks Bible. Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The Making of an Image, menegaskan: “The Quran has no parallel outside Islam.”
Di kalangan Kristen, hanya kelompok fundamentalis saja yang masih percaya Bible sebagai “dei verbum”. Sebab itu, sangatlah aneh, jika ada sebagian kalangan Muslim yang membawa nama Muhammadiyah kemudian dengan bangganya mengecam kaum Muslim yang tidak mau mengkritisi al-Quran, sebagaimana kaum Yahudi dan Kristen mengkritisi Bible mereka.
Untuk memperjelas siapa dan bagaimana hubungan konsep Abu Zayd dengan konsep-konsep dalam tardisi Kristen-Barat, berikut ini beberapa kutipan dari buku “Meretas Kesarjanaan Kritis al-Quran: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd” (2003), yang ditulis oleh seorang murid Abu Zayd di Universitas Leiden:
“Dia telah mengkritik para Muslim konservatif seperti Al-Imam al-Syafi’i, Al-Imam al-Asy’ari, Abu Hamid al-Ghazali (dari periode klasik), dan Sayyid Quthub, Hasan al-Banna, Muhammad al-Ghazali, Fahmi Huwaydi, Muhammad al-Baltaji, dan Ab al-Shabur Syahin (dari periode modern), dan juga para Muslim rasionalis klasik seperti Mu’tazilah dan Ibnu Rusyd (Averoisme), serta para Muslim liberal modern seperti Hasan Hanafi dan Muhammad Shahrour. Abu Zayd berupaya untuk memformulasikan sebuah perangkat metodologis yang dapat dipergunakan untuk mendeteksi pembacaan-pembacaan ideologis atas teks-teks keagamaan. Dalam hal ini, pendapat Abu Zayd yang berkaitan dengan pembacaan ideologis mengingatkan kita kepada “hermeneutic of innocent” nya E.D. Hirsch, Jr, walaupun tak persis sama, yang sesungguhnya, menurut saya, tidak dapat lagi dipertahankan pada era pascaGadamer-- tokoh yang dianggap justru banyak mempengaruhinya.
Abu Zayd secara berulan-ulang mengatakan bahwa sebuah pembacaan ideologis dan subjektif atas al-Quran tidak lebih daripada manipulasi makna, yang bertentangan dengan objektivitas ilmiah. Bahkan, ideologi itu sendiri, menurutnya, adalah sebuah ‘penyakit’ yang harus diberantas. Pada titik ini, pengaruh konsep Marxis tentang ideologi, sebagaimana disinyalir oleh para penentangnya, bagaimana pun terbukti adanya. Para Marxis melihat ideologi sebagai sebuah ‘distorsi’ realitas, dan mereka juga mengkontraskannya dengan “kesadaran sejati” (true consciousness) “Kesadaran akan subjektivitas dan kecenderungan ideologis ini, menurut hemat saya, haruslah dimasukkan dalam asumsi-asumsi epistemologis. Subjektivisme dan kecenderungan ideologis bukanlah hal yang harus disingkirkan, namun malah harus dimasukkan sebagai faktor penting dalam membangun sebuah teori hermeneutika. Pada tingkat ini, kesadaran itu telah bekerja dalam level yang lebih riil, yakni level epistemologis. Upaya semacam ini tampaknya absen di dalam karya-karyanya”.
“Meskipun Abu Zayd sangat kritis terhadap pembacaan-pembacaan ideologis atas teks-teks keagamaan, sebagian besar tulisannya, pada kenyataannya, bersifat ideologis pula. Ada dua ideologi penting yang mendasari karya-karyanya, yaitu sekularisme dan akademisme, dengan tanpa mengatakan bahwa kedua ideologi ini, dan pengaruh dari keduanya, berdampak negatif. Saya hanya bermaksud menunjukkan bahwa, secara sadar atau tidak ideologi dan subjektivitas Abu Zayd hadir dalam tulisan-tulisannya.
Artinya, ‘klaim ideologis’ itu dapat dikenakan kepada siapa saja, karena ‘klaim’ itu sendiri merefleksikan ideologi tertentu. Sebagaimana tertulis dalam bab pertama, Abu Zayd memosisikan dirinya sebagai seorang intelektual Muslim sekularis. Meskipun dia mendefinisikan sekularisme sebagai sebuah “interpretasi sejati dan ilmiah atas Agama”, tidaklah berarti bahwa sekularisme bukan sebuah ideologi “Kepercayaan Abu Zayd akan otoritas nalar, objektivitas, dan akademisme membimbingnya untuk menjadi wakil sah dari pengikut rasionalis pencerahan modern. Namun, fakta bahwa dia terkadang mengadopsi konsep-konsep posmodernisme tidaklah terbantahkan. Fouad Ajami, misalnya, mengatakan, bahwa Abu Zayd sangat “at home dengan metode dan bahasa Michel Foucault dan Antonio Gramsci”, dan Edward Said mengatakan, bahwa “utang terhadap Foucoult adalah jelas” ketika Abu Zayd menggunakan konsep “wacana” dalam (buku) “Naqd al-Khithab al-Dini” (Kritik atas Wacana Keagamaan). Namun, tidak dapat dikatakan bahwa Abu Zayd bekerja dalam kerangka posmodernisme, yang justru menolak sentralitas nalar, objektivitas, dan akademisme, hal yang justru paling dibela Abu Zayd.
Lagi pula, dia tidak pernah menyatakan dukungannya terhadap posmodernisme, dan tidak pernah mengutip karya-karya posmodernis, meskipun, sebagaimana yang diakuinya, dia membaca beberapa karya itu.” (hal.158-161).
Salah satu produk hasil penggunaan metode hermeneutika ala Abu Zayd, misalnya, adalah pendapatnya, bahwa jin dan setan tidak ada dalam realitas dan hanya ada dalam mitos. Karena melihat wahyu sebagai proses evolusioner transformasi dari sebuah pandangan dunia mitologis kepada pandangan dunia rationalistik, maka di akhir analisisnya tentang jin, setan, sihir, dan hasad, Abu Zayd berkesimpulan, bahwa semua itu pada hekikatnya bersifat mitologis, “hidup” dalam konsep mental saja, dan tidak ada dalam realitas. (hal. 119). “Pengaruh Ferdinad de Saussure jelas dalam interpretasi tentang kekuatan-kekuatan jahat di atas, khususnya yang terkait dengan tanda-tanda linguistik. De Saussure berpendapat bahwa “tanda-tanda linguistik bukanlah hubungan (link) antara sebuab benda dengan sebuah nama, namun antara sebuah konsep dengan sebuah pola suara.” (hal. 126).
Membaca kesimpulan dan analisis murid Abu Zayd di Leiden tersebut, maka tidaklah berlebihan jika Dr. Syamsuddin Arif dalam artikelnya di Harian Republika (30 September 2004), yang berjudul “Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd” menulis: “Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi hermeneutika.
Sebabnya, saya melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan -- untuk tidak mengatakan seluruhnya -- adalah gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat”. Orang macam Abu Zayd ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istri Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir.” Wallahu a’lam. (KL, 7 Oktober 2004).
Islam Bukan Agama Kemarin Sore
Oleh : Redaksi
11 Apr, 05 - 1:00 am
Wawancara Prof DR Muhammad Mustafa Al A'zami
Pekan lalu, Indonesia kedatangan tamu istimewa. Dialah Prof DR Muhammad Mustafa Al A'zami, seorang guru besar studi Islam dari Universitas Raja Saud, Riyadh, Arab Saudi. Cendekiawan Muslim kaliber internasional ini dikenal sebagai ahli Alquran dan Alhadis. Bahkan KH Abdurrahman Wahid, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang juga mantan Presiden RI menyebutnya sebagai salah satu dari 10 ulama dunia yang getol membela Islam.
Dalam lawatan pertamanya ke Indonesia, Al A'zami meluncurkan bukunya yang berjudul The History of The Quranic Text, From Revelation to Compilation, a comparative study with the old and new testaments (Sejarah Teks Alquran, dari wahyu sampai kompilasi kajian perbandingan dengan perjanjian lama dan perjanjian baru) yang diterbitkan PT Gema Insani. Dia juga sempat berkunjung ke Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, berdialog dengan 100 ulama Indonesia di Kantor Departemen Agama, serta bersilaturahmi dengan para muridnya di Pesantren Darussunnah, Ciputat, Tangerang.
Saat ditemui wartawan Republika Damanhuri Zuhri di sebuah kamar pada lantai 16, Hotel Sahid, Jakarta, tempatnya menginap selama berada di Jakarta, Al A'zami banyak bercerita tentang bukunya, berbagai upaya yang dilakukan kelompok di luar Islam untuk memerangi Alquran dan Alhadis, hingga kisah tentang anak dan kegemarannya pada makanan laut. Berikut ini petikan wawancara dengan Al A'zami yang didampingi muridnya, Prof KH Ali Mustofa Yakub MA, yang juga dikenal sebagai pakar hadis.
Buku yang baru diluncurkan itu ditulis selama empat tahun itu. Berapa lama penelitiannya?
Selama empat tahun itu secara
keseluruhan dengan penelitian-penelitian, manuskrip, dan sebagainya.
Apa saja kendala dalam penulisan buku tersebut?
Kendalanya, kadang-kadang,
perpustakaan yang bersangkutan tidak mengizinkan kami melakukan penelitian.
Selama ini ada orientalis yang mengobok-obok Islam, tapi Anda malah sebaliknya, mengobok-obok orientalis. Bisa diceritakan apa sesungguhnya yang terjadi?
Menurut saya, ini hal yang
penting. Saya beri contoh. Anda punya kumis dan jenggot, saya juga punya kumis
dan jenggot. Anda mengatakan, kumis saya bermasalah. Akan tetapi, Anda tidak
mengatakan kumis dan jenggot Anda bermasalah. Mengapa? Ini yang perlu
dipecahkan. Ini sebagai contoh saja. Mereka menganggap kita ada masalah dan
tidak menganggap diri mereka ada masalah. Artinya, mereka tidak mau mengakui
ada masalah. Karena itu saya katakan, kamilah yang akan melihat permasalahan
Anda.
Karena itulah Anda kemudian masuk untuk mempelajari orientalisme?
Saya tidak mempelajari bangsa
Barat, akan tetapi mempelajari agama yang dianut orang-orang Barat, agama yang
berkembang di sana.
Karena mereka menganggap orang Islam selamanya bermasalah, sekarang kita lihat
agama mereka bermasalah apa tidak?
Masalah apa yang paling konkret Anda temukan dari mereka?
Yang penting, secara umum
seorang penulis Muslim harus menulis apa yang bisa dimanfaatkan bagi para dai
(pendakwah, red). Biarlah mereka yang kemudian memberikan penilaian.
Kadang-kadang suatu topik oleh seorang penulis dianggap biasa-biasa saja, tapi
bagi umat itu dianggap satu hal yang penting.
Contohnya?
Saya melihat contoh, misalnya,
membandingkan keadaan orang-orang Islam, Kristen, dan Yahudi sepeninggal Nabi
mereka. Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, orang Islam menguasai politik yang
sangat kuat, punya kemerdekaan, kebebasan berpolitik, dan sama sekali tak ada
tekanan politik. Kondisi ini mendorong dan membantu penyebaran dan pemeliharaan
agama. Dengan demikian mereka bisa menulis Alquran dengan bagus, tanpa ada
tekanan dan sebagainya. Kemudian bisa menulis hadis dengan baik tanpa ada
tekanan apa-apa. Dan ini menjadi salah satu unsur penunjang Alquran itu
terpelihara keasliannya.
Berbeda dengan misalnya umat Kristiani sepeninggal nabi Isa AS. Mereka selama ratusan tahun berada di bawah tekanan politik sehingga memengaruhi penulisan kitab suci mereka sehingga memungkinkan terjadinya penyimpangan. Demikian pula umat Yahudi ketika Nabi Musa keluar dari Mesir. Selama empat puluh tahun mereka dalam kebingungan. Kondisi itu sangat memengaruhi warisan yang mereka terima dari Nabi Musa. Ini hal yang mendasar sekali mengapa Alquran dan hadis itu terpelihara sedangkan Taurat dan Injil tidak terpelihara. Ada faktor-faktor yang memengaruhi. Di samping itu, memang ada faktor-faktor alami yang datang dari Allah. Dan memang Allah menjamin kemurnian Alquran.
Berbeda dengan misalnya umat Kristiani sepeninggal nabi Isa AS. Mereka selama ratusan tahun berada di bawah tekanan politik sehingga memengaruhi penulisan kitab suci mereka sehingga memungkinkan terjadinya penyimpangan. Demikian pula umat Yahudi ketika Nabi Musa keluar dari Mesir. Selama empat puluh tahun mereka dalam kebingungan. Kondisi itu sangat memengaruhi warisan yang mereka terima dari Nabi Musa. Ini hal yang mendasar sekali mengapa Alquran dan hadis itu terpelihara sedangkan Taurat dan Injil tidak terpelihara. Ada faktor-faktor yang memengaruhi. Di samping itu, memang ada faktor-faktor alami yang datang dari Allah. Dan memang Allah menjamin kemurnian Alquran.
Jadi, selain memang Allah telah berfirman Inna nahnu nazzalnazzikro wa innaa lahu lahafidzun (Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alquran dan Kamilah yang akan menjaganya, red), ada kondisi realitas yang sangat jelas sehingga Alquran tetap terjaga?
Ketika Allah mengatakan seperti
itu bukan berarti nanti ada mukjizat lagi. Mukjizat sudah selesai. Itulah
kemudian Allah dalam praktiknya membuat masyarakat seperti itu. Ketika Alquran
harus dipelihara Allah, maka Allah menciptakan masyarakat yang seperti itu.
Jadi, bukan berarti kemudian akan muncul mukjizat lagi dan sebagainya dalam pengertian
tidak ada faktor yang bersifat manusiawi. Dalam penjagaan manusia itu
diciptakan oleh Allah.
Melihat sosok Al A'zami adalah menyaksikan seseorang yang murah senyum, low profile, serta sangat tawadhu. Kata-katanya terlontar teratur. Bagi Ali Mustofa Yakub, Al A'zami termasuk orang yang tidak menyukai aturan protokoler, resmi-resmian. Dia justru lebih suka menyatu dengan jamaah. Alhasil, ketika akan dikawal bersama Menteri Agama, beliau tidak bersedia. Al A'zami bahkan masuk ke shaf-shaf dari belakang. ''Di Amerika juga begitu,'' ujar Ali Musthafa. Dia pun tampak sangat menguasai bidangnya, termasuk ketika diminta komentarnya tentang Aminah Wadud.
Melihat sosok Al A'zami adalah menyaksikan seseorang yang murah senyum, low profile, serta sangat tawadhu. Kata-katanya terlontar teratur. Bagi Ali Mustofa Yakub, Al A'zami termasuk orang yang tidak menyukai aturan protokoler, resmi-resmian. Dia justru lebih suka menyatu dengan jamaah. Alhasil, ketika akan dikawal bersama Menteri Agama, beliau tidak bersedia. Al A'zami bahkan masuk ke shaf-shaf dari belakang. ''Di Amerika juga begitu,'' ujar Ali Musthafa. Dia pun tampak sangat menguasai bidangnya, termasuk ketika diminta komentarnya tentang Aminah Wadud.
Belakangan, ada kasus menarik seperti pendapat DR Aminah Wadud yang berani menjadi imam wanita pertama dalam shalat Jumat dengan jamaah kaum pria. Adakah kesamaan dengan kasus Salman Rushdie dengan buku 'Ayat-ayat Setan' ataupun kelompok-kelompok lain yang ingin menyelewengkan Alquran dan Alhadis?
Seminggu sebelum saya berangkat
ke Indonesia, surat kabar Ar-Riyadl yang terbit di Riyadh, Arab Saudi, 27 Maret
2005 memuat berita Uni Eropa minta kepada Turki dan orang-orang Turki yang ada
di Eropa agar ketika khutbah Jumat mereka tidak menyebut firman Allah
'Innaddiina indallahil Islam (Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah
hanyalah Islam, Alquran surat Ali Imran: 19). Orang-orang Eropa yang non-Muslim
itu merasa tersinggung. Oleh sebab itu, bagi mereka memerangi Alquran adalah
salah satu keharusan.
Lantas?
Yang menarik, mereka tak semata
memerangi Alquran tapi juga menyebarkan tasykik (keragu-raguan, red). Sekarang
strateginya berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Dulu, cara mereka membuat
orang Islam ragu terhadap kitab sucinya adalah dengan mengatakan Alquran
bukanlah wahyu tapi karangan Muhammad, yang isinya juga merupakan sekadar
cuplikan-cuplikan dari ajaran Yahudi dan Nasrani. Cara mereka sekarang diubah
dengan mengatakan Alquran tak lebih dari bikinan orang-orang dari abad ketiga
Hijriyah. Artinya apa? Pada abad pertama dan kedua Hijriyah, tak ada yang
namanya Alquran. Begitulah, mereka terus berusaha membuat keragu-raguan
terhadap Alquran.
Sebagai Muslim, tindakan kita bagaimana?
Kewajiban kita, pertama,
tuduhan-tuduhan itu bathil maka tindakan kita bagaimana? Harus membentengi
akidah sehingga tidak mudah terpengaruh dengan tujuan-tujuan bathil tersebut.
Kedua, bagaimana supaya kita tidak terpengaruh. Kita melihat contoh misalnya
pada undang-undang dasar, ada kalimat-kalimat yang kemudian menimbulkan
perbedaan pendapat. Seorang mengatakan bahwa ini dilarang. Itu penafsiran dia.
Ketika dia punya guru andaikata gurunya masih hidup dan dia lebih tahu tentang
arti ayat-ayat undang-undang itu, dia akan mengatakan, ''Ini nggak apa-apa
seperti itu, sebab dia kan lebih alim dan lebih tahu tentang makna undang-undang
itu daripada dia.''
Contoh lain misalnya buah duku. Seorang dokter mengatakan buah duku itu membahayakan kesehatan, ada lagi yang mengatakan tidak membahayakan. Yang berhak mengatakan apakah buah duku berbahaya atau tidak terhadap kesehatan adalah orang yang spesialis tentang buah duku. Ini sebuah jembatan keledai. Sekarang banyak orang menafsirkan Alquran padahal dia sendiri kadang-kadang baca Alqurannya saja sudah tidak benar. Bagaimana tahu dia? Makanya, untuk penafsiran Alquran harus diserahkan kepada orang yang spesialis atau ahli tafsir dan sebagainya. Jangan setiap orang baru tahu satu ayat terus menafsirkan Alquran. Baru ikut kursus dakwah terus menafsirkan Alquran.
Contoh lain misalnya buah duku. Seorang dokter mengatakan buah duku itu membahayakan kesehatan, ada lagi yang mengatakan tidak membahayakan. Yang berhak mengatakan apakah buah duku berbahaya atau tidak terhadap kesehatan adalah orang yang spesialis tentang buah duku. Ini sebuah jembatan keledai. Sekarang banyak orang menafsirkan Alquran padahal dia sendiri kadang-kadang baca Alqurannya saja sudah tidak benar. Bagaimana tahu dia? Makanya, untuk penafsiran Alquran harus diserahkan kepada orang yang spesialis atau ahli tafsir dan sebagainya. Jangan setiap orang baru tahu satu ayat terus menafsirkan Alquran. Baru ikut kursus dakwah terus menafsirkan Alquran.
Termasuk dalam kaitan ini kasus Aminah Wadud?
Soal Aminah Wadud, bagaimana
kita harus percaya dia adalah seorang ahli Islam. Dia mungkin tahu Islam dari
buku-buku bahasa Inggris, dia tidak bisa bahasa Arab dan sebagainya. Sekarang
banyak orang yang ternyata tidak ahlinya tapi bicara seperti itu. Jadi, kalau
kita mau tanya masalah agama tanya kepada ahlinya yang juga takut kepada Allah
bukan sekadar ahlal aqli (ahli pikir, red).Kedua, Islam bukanlah agama kemarin
sore. Mengapa kemudian shalat Jumat dengan imam Aminah Wadud menjadi masalah,
padahal shalat Jumat itu sudah berlangsung selama 14 abad, bahkan jutaan ulama
sudah menerangkan pendapatnya soal itu? Mengapa sekarang muncul seperti Islam
baru (muncul) kemarin sore? Mengapa sekarang diributkan masalah seperti itu?
Tujuannya, tidak lain, agar umat Islam ragu.
Lantas, mengapa banyak jamaahnya termasuk dari Indonesia?
Karena mereka menginginkan
Islam itu dihancurkan. Pendukung mereka banyak dan didukung dengan segala
macam. Yang menarik, ayah tiga putra yang kini berusia 75 tahun itu, masih
tetap aktif menulis dan membaca bahkan berkunjung ke sejumlah negara sendirian.
Tentang kiat sehatnya, Al A'zami secara terus terang berkata, ''Waktu kecil
saya bekerja di sawah yang jaraknya untuk sampai ke ladang lima kilometer. Saya
jalan kaki ke ladang itu. Dan, yang penting saya selalu banyak minum air
putih,'' tuturnya.
Dalam usia berapa Anda mulai menulis?
Pertama kali saya menulis buku
pada tahun 1960-an ketika berada di Qatar sesudah tamat dari Kairo,
Mesir. Di Qatar, saya menjadi sekretaris Perpustakaan Nasional. Studi kitab
adalah kalimat atau kata-kata India
dalam bahasa awam Qatar
(bahasa pasaran). Seperti juga banyak bahasa India, Urdu, yang menjadi bahasa Indonesia.
Misalnya kata 'bahasa' itu dari India.
Saya mengumpulkan kata-kata India
yang kemudian menjadi bahasa orang kebanyakan yang dipakai di Qatar.
Berapa banyak kata India yang ditulis waktu itu?
Banyak sekali kalimat seperti
itu sampai ratusan yang menjadi bahasa pasaran Qatar. Jadi, bahasa Qatar waktu itu
ada pengaruh dari India
karena ada hubungan dagang langsung antara Qatar dan Bombay. Itulah yang menyebabkan bahasa India banyak
masuk ke wilayah Qatar.
Begitu juga bahasa India
yang masuk ke Indonesia
seperti kata graha, sembahyang, puasa. Cuma, kalau di India puasa itu
upuas, terbalik malah.
Tradisi menulis ini ada dalam keluarga?
Ayah saya, al-Syaikh
Abdurrahman Al Maulawi, seorang ulama dan juga mengajar agama. Ayah saya juga
menulis tetapi tidak dipublikasikan (dicetak).
Lantas, nama Al A'zami itu dari mana? Bukan nisbat keluarga?
Nama Al A'zami nisbat dari
daerah Azamgarh. Saya berasal dari kota
Mau Distrik Azamgarh negara bagian Uttar Pradesh. Jadi nama itu bukan nama
marga melainkan nisbat daerah.
Soal kesehatan?
Menurut nasihat para dokter,
orang seumur saya tidak baik makan daging yang merah seperti sapi, kerbau, lebih
baik makan ikan kecuali ayam. Tapi, saya nggak senang ayam dan akhirnya saya
memilih makanan laut seperti ikan maupun udang.
Bagaimana dengan anak-anak?
Saya punya tiga anak, dua putra
dan satu putri. Putra yang pertama, Agil, sudah mendapatkan gelar doktor dalam
bidang komputer dari Colorado, Amerika Serikat (AS). Putra kedua namanya Anas
juga meraih gelar doktor dalam genetic engineering di Oxford, Inggris. Sedang
anak ketiga doktor dalam bidang matematika dari Colorado, AS.
Kok, tak ada satu pun dari mereka yang mengikuti keahlian sang ayah, yakni ahli di bidang Alquran dan Alhadis?
Ketiga anak saya secara tidak
resmi belajar Alquran dan Alhadis. Yang pertama, sarjana komputer. Ilmu
komputer diterapkan untuk ilmu tentang masalah hadis. Anak kedua, sangat kritis
sekali karena belajar di Barat. Kalau saya menulis, dia banyak sekali membantu
saya karena bahasa Inggrisnya lebih bagus. Jadi, kalau saya membuat kalimat
dalam bahasa Inggris sudah pas apa belum, itu tergantung dari koreksian anak
saya yang kedua. Jadi mereka tahu sekali masalah hadis dan qiraat meskipun
secara nonformal. Tapi, taraf berpikirnya sangat membantu saya.
Berapa cucu?
Baru tiga. Namanya Maryam,
Umar, dan Ahmad.
Yang menarik, dalam usia 75 tahun Anda masih aktif menulis?
Pekerjaan saya membaca dan
menulis, jadi bisa kapan saja. Tapi kadang-kadang dua jam menulis empat jam
membaca atau dua jam menulis dua jam membaca. Jadi, menulis dan membaca itu
selalu dikerjakan.
AWAS..!! PROPAGANDA PEMURTADAN BERLABEL ISLAM
Counter Liberalisme Oleh : Fakta 05 May 2005 - 6:00 pm
Dengan label dan moto Islam yang disandangnya, secara rutin majalah Syir’ah menanamkan propaganda pemurtadan dan mempromosikan berbagai aktivitas dan gerakan Kelompok Liberal berkedok Islam. Radio 68H milik JIL hampir tidak pernah absen dari iklan di back cover Syir’ah.
Pentolan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) yang pernah menghiasi cover depan Syir’ah adalah Ahmad Fuad Fanani. Pada edisi nomor 37, wajah Fuad Fanani tampil bareng bersama-sama dengan para liberalis lainnya, antara lain: Ahmad Baso, Yeny Wahid, Musdah Mulia –yang menggebrak umat Islam dengan KHI yang dinilai menyesatkan oleh mayoritas umat Islam– dan lain-lain.
Arah pijakan majalah yang didanai oleh founding Amerika ini, bisa ditebak dengan mudah. Bila terjadi polemik antara Islam dan Kristen, maka keberpihakannya tidak diarahkan kepada Islam. Bila mempublikasikan Yahudi dan Kristen, maka struktur dan gaya bahasanya diukir sedemikian terpuji penuh simpati. Tapi bila yang dipublikasikan itu Islam, maka gaya bahasanya sedemikian keras dan tajam menohok.
Fatwa-fatwa yang diusung oleh pengasuh rubrik Konsultasi Fiqh pun jelas mendukung perilaku murtad yang oleh Al-Qur‘an telah dikutuk dengan ancaman neraka.
Ketika memberitakan kaum Yahudi, Syir’ah menampilkan sisi kebaikannya serta-merta melupakan berbagai kejahatan dan kebiadabannya. Edisi nomor 32, Syir’ah memasang salah satu judul “Yahudi Pejuang Damai” di cover depan. Tulisan yang dimaksud adalah rubrik Mancanegara (hlm. 56-60) yang mengangkat bangsa Yahudi. Dalam rubrik itu, Yahudi disanjung sedemikian rupa dengan kalimat sinopsis: “Ulah kaum Yahudi identik dengan kekerasan. Padahal pelakunya hanya sebagian dari kelompok Zionis.”
Kalimat yang ditampilkan Syir’ah ini jelas bukan pandangan Islam, karena pernyataan tersebut bersinggungan balik dengan ayat Al-Qur‘an: “...Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (Qs. Ali Imran 110).
Untuk mendukung kesimpulan tulisannya bahwa Yahudi adalah pejuang damai, Syir’ah menampilkan bukti adanya 5 kelompok lintas agama yang diistilahkan oleh Syir’ah sebagai “Yahudi-yahudi berhati Mahatma Gandhi.” Menutup argumentasinya bahwa Yahudi adalah pejuang perdamaian, Syir’ah menyitir ayat Alkitab (Bibel) bagian Perjanjian Lama (Old Testament), yaitu kitab Deuteronomy 20:10-12. “Padahal, Yahudi dikenal sebagai agama yang menekankan perdamaian. Rukun ke-6 dari 10 Rukun Iman Yahudi menyebut, “Kamu tidak boleh membunuh,” tulis Syir’ah.
Kutipan ayat Bibel kitab Deuteronomy (kitab Ulangan) untuk menyatakan Yahudi sebagai pejuang (pahlawan) perdamaian, adalah bukti nyata bahwa Syir’ah sangat ceroboh dalam membaca kitab suci. Ayat yang dimaksud berbunyi demikian:
“Apabila engkau mendekati suatu kota untuk berperang melawannya, maka haruslah engkau menawarkan perdamaian kepadanya. Apabila kota itu menerima tawaran perdamaian itu dan dibukanya pintu gerbang bagimu, maka haruslah semua orang yang terdapat di situ melakukan pekerjaan rodi bagimu dan menjadi hamba kepadamu.
Tetapi apabila kota itu tidak mau berdamai dengan engkau, melainkan mengadakan pertempuran melawan engkau, maka haruslah engkau mengepungnya.
Dan setelah Tuhan, Allahmu, menyerahkannya ke dalam tanganmu, maka haruslah engkau membunuh seluruh penduduknya yang laki-laki dengan mata pedang. Hanya perempuan, anak-anak, hewan dan segala yang ada di kota itu, yakni seluruh jarahan itu, boleh kau rampas bagimu sendiri, dan jarahan yang dari musuhmu ini, yang diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu, boleh kau pergunakan” (Ulangan 20:10-14).
Ayat ini jelas bukan mendorong perdamaian, tapi pemicu penjajahan, perbudakan dan pembunuhan terhadap negara lain yang lebih lemah. Tersebut jelas dalam ayat tersebut, bila suatu negara mau berdamai harus dijajah dengan pekerjaan rodi. Tapi jika negara tersebut tidak mau berdamai, maka harus dikepung sampai takluk. Jika negara tersebut sudah takluk, maka seluruh penduduknya yang laki-laki harus dibunuh, sedangkan wanita dan anak-anak harus dijadikan sebagai jarahan.
Perhatikan pula gaya bahasa yang dipakai Syir’ah untuk memberitakan komunitas Kristen. Guratan-guratan kalimatnya begitu indah penuh simpati. Dalam rubrik Mancanegara (Syir’ah No. 39, hlm. 62-64), Syir’ah mengangkat kiprah gereja Saintologi di Aceh dengan tulisan berjudul “Dari Gereja, Bergerak Lintas Identitas.” Di sini Syir’ah memuji-muji kiprah Gereja Saintologi, salah satu sekte yang dianggap sebagai bidat oleh Protestan dan Katolik.
Ketika terjadi pro-kontra umat Islam dan Kristen tentang RUU Kerukunan Umat Beragama, Syir’ah malah berpihak ke kalangan Nasrani. Maka bulan Januari 2004 Syir’ah mengangkat tema utama “Kerukunan Dalam Bahaya”. Berita dan analisisnya pun jelas mendukung aspirasi umat Nasrani, dengan beberapa judul tulisan: “Urungkan RUU Kerukunan Umat Beragama” (hal. 16); “Aturan Kerukunan yang Mencakar” (hal. 18-22); “Akui yang Lima, Akui Selain yang Lima” (hal. 23-26); “Kerukunan Tak Bisa Didikte” (hal. 28-31), dan lain-lain.
Nuansa propaganda pemurtadan yang diusung majalah Syir’ah nampak mencolok pada edisi nomor 27 yang mengangkat tema “Pindah Agama Karena Hidayah.” Nampaknya, edisi ini sepenuhnya dipersembahkan untuk mendukung pemurtadan umat.
Dari opini redaksi (semacam rubrik editorial), sejak awal dikatakan, “Tak perlu panik karena pindah agama. Barangkali harus kita akui, orang Islam itu suka plin-plan... Kita tak perlu lagi mencemaskan seberapa besar orang keluar dari Islam. Yang kita cemaskan adalah seberapa parah Islam tak berdaya melahirkan kedamaian di masyarakat. Dan kita tak akan panik, meskipun orang berpindah-pindah agama sehari tiga kali, seperti minum obat” (hlm. 16).
Islam Diinjak-injak, Non Islam Dijunjung Tinggi
Kalau dicermati, dari struktur dan gaya bahasanya, kalimat di atas jelas bukan ucapan orang Islam, tapi ucapan yang keluar dari mulut orang non Islam, orang kafir atau orang munafik yang mempropagandakan anti Islam.
Kalau dibandingkan dengan pilihan kata ketika menulis tentang Yahudi dan Kristen di atas, jelas sekali betapa berat dan besarnya keberpihakan dan subjektivitas Syir’ah dalam menganakemaskan Yahudi dan Kristen, serta-merta menganaktirikan Islam.
Ketika melukiskan perilaku Yahudi, kalimat yang dipakai adalah: “Yahudi Pejuang Damai,” “Yahudi-yahudi berhati Mahatma Gandhi,” “Yahudi dikenal sebagai agama yang menekankan perdamaian,” dan sebagainya. Betapa agungnya pujian Syir’ah kepada Yahudi.
Tapi, ketika melukiskan Islam dan penganutnya, kalimat yang dipakai adalah: “Harus kita akui, orang Islam itu suka plin-plan,” “seberapa parah Islam tak berdaya melahirkan kedamaian di masyarakat,” “Biasanya para pemeluk agama menghindari perilaku haram itu. Akan tetapi, fenomena ini di kalangan mahasiswa Muslim tak begitu. Sebagian dari mereka bahkan menganggap seks bebas itu sudah biasa,” dan masih banyak lagi. Masya Allah! Betapa tengiknya caci-maki majalah Syir’ah yang ditujukan untuk agama Islam dan umat Islam.
Memang, begitulah keyakinan Syir’ah. Rusak!! Orang masuk Islam dengan orang keluar Islam (murtad), sama-sama dikatakan mendapat petunjuk (hidayah) Ilahi. “Isyarat Langit Menjelang Pindah Agama. Mereka pindah agama bukan karena disogok mi instan. Baik yang “murtad” maupun yang muallaf sama-sama berangkat dari petunjuk Ilahi.” (hlm. 18).
Padahal orang yang masuk Islam itu adalah orang yang mendapat petunjuk (hidayah) Allah. Sebaliknya, Al-Qur‘an surat An-Nisa 137 secara tegas dan jelas menyebutkan orang yang murtad tidak mendapat petunjuk (hidayah) Allah (lihat rubrik Tafsir “Kata Al-Qur‘an tentang Murtad”).
Mempertegas sikapnya terhadap murtad, Syir’ah berujar, “Kita tak akan panik, meskipun orang berpindah-pindah agama sehari tiga kali, seperti minum obat.” Untuk mendukung sikapnya itu, Syir’ah menampilkan pengalaman rohani Piet Hasbullah Khaidir, mantan Ketua Umum PP IMM 2001-2003, yang kini menjadi anggota presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Diberitakan bahwa dia pindah iman sebanyak tiga kali dari Budha, Katolik bahkan Atheis. Ketika Tabligh mewawancarai, Piet membantah. “Saya sangat dirugikan betul dengan pemberitaan itu. Karena wartawan Syir’ah tidak memahami konteks pembicaraan saya. Saya hanya menanggalkan “iman” sebentar untuk menyelami agama lain. Karena saya kuliah di jurusan akidah filsafat yang salah satu materinya adalah perbandingan agama,” bantahnya.
Anehnya, sampai sekarang Piet tak menggunakan hak jawabnya dengan memberikan bantahan kepada Syir’ah tentang kemurtadan dirinya. Ketika Masyhud dan Abu Mumtaz dari Surabaya mewawancarai Mujtaba Hamdi, Pemimpin Redaksi Syir’ah, dengan tenang dia menjelaskan bahwa sampai sekarang kami belum pernah menerima komplain dari yang bersangkutan. “Kalau berita kami salah, kami tunggu sanggahan dan hak jawab Piet Haidar,” tantangnya.
Para aktivis persyarikatan Muhammadiyah berharap agar informasi Syir’ah tentang kemurtadan mantan ketua IMM ini tidak benar. Sebab berita ini sungguh mencoreng muka kader persyarikatan. “Seharusnya Piet Haidir membantah pemberitaan Syir’ah, jika berita itu salah. Ini penting, demi nama baik kita semua,” ujar seorang mubaligh Muhammadiyah dalam perbincangannya dengan Tabligh di Masjid At-Taqwa PP Muhammadiyah beberapa waktu lalu.
Terakhir, dalam rubrik Konsultasi Fiqh (Syir’ah No. 39, hlm. 84-85), Abdul Moqset Ghazali, menjawab pertanyaan tentang hukum pindah agama (murtad). Seorang ibu bertanya perihal anaknya yang berencana akan pindah agama meninggalkan Islam. Menurut penjelasan penanya, anaknya yang sedang duduk di bangku kuliah itu sudah tidak betah dalam Islam karena termakan isu terorisme akhir-akhir ini. “Bagaimana pandangan fikih Islam menyangkut perpindahan agama ini?” tanya ibu Fatimah, pembaca Syir’ah.
Menjawab pertanyaan hukum murtad tersebut, Abdul Moqset Ghazali mengemukakan tiga ayat Al-Qur‘an, yaitu: surat Al-Kafirun 6 “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (lakum dinukum waliyadin), surat Al-Kahfi 29 “Barangsiapa yang ingin beriman maka berimanlah, dan barangsiapa yang ingin kafir maka kafirlah” (faman sya’a falyu’min, faman sya’a falyakfur), dan Al-Baqarah 256 “Tidak ada paksaan di dalam urusan agama” (la ikraha fid-din).
Setelah mengutip ayat tersebut, Abdul Moqset menjelaskan, “Ayat-ayat di atas cukup jelas, bahwa manusia tidak dipaksa untuk memeluk suatu agama dan keluar dari agamanya. Tuhan memberi kebebasan penuh kepada manusia untuk beriman atau tidak beriman, beragama Islam atau tidak. Kalau Tuhan saja tidak memaksa seluruh hamba-hamba-Nya untuk beriman kepada-Nya, maka lebih-lebih orang tua terhadap anaknya.”
Kemudian Abdul Moqset menyimpulkan, “Namun, sekiranya dia telah berketetapan hati untuk pindah ke agama lain, maka tidak ada pilihan lain kecuali bahwa Ibu Fatimah mesti mengikhlaskan kepergiannya ke agama lain itu. Sesuai dengan perintah Al-Qur`an di atas, tidak boleh ada pemaksaan menyangkut perkara agama.”
Betapa lancangnya orang yang mengaku Ustadz dari Madura ini. Dengan gegabah disimpulkan bahwa surat Al-Kafirun 6, Al-Kahfi 29 dan Al-Baqarah 256 memerintahkan umat Islam untuk mengikhlaskan seseorang (anak, istri, suami, ayah, ibu, saudara, kerabat dan seterusnya) jika mau murtad meninggalkan Islam.
Kesesatan fatwa kiyai pengasuh Syir’ah ini dibongkar lebih lanjut oleh Buya Risman, pengasuh Biro Konsultasi Agama MTDK PP Muhammadiyah. Menurutnya, ketiga ayat tersebut jika dibaca utuh, menjelaskan prinsip Islam bahwa pilihan agama yang benar itu adalah masuk agama Islam yang disertai dengan menjauhi kesesatan dan kekafiran. (baca rubrik Konsultasi Agama halaman 20-21).
Secara tidak langsung, anjuran Kiyai Syir’ah agar bersedia mengikhlashkan orang yang murtad ke agama lain, sama artinya dengan menyarankan agar mengikhlashkan orang menjadi orang kafir, sesat dan akhirnya masuk neraka. Padahal Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (At-Tahrim 6).
Propaganda “Mesum” Majalah Syir’ah
Misi lain Syir’ah yang tak kalah rusaknya dengan pemurtadan adalah pencitraburukan umat Islam dalam hal seksual. Pencitraburukan ini semakin kurang ajar bila digeneralisir bahwa semua mahasiswa Muslim melakukan penyimpangan seksual.
Pada edisi nomor 30, Syir’ah mengangkat topik utama berjudul “Seks Bebas di Kampus Hijau.” Edisi ini khusus membleceti penyimpangan seksual di kampus-kampus Islam yang disoroti secara gebyah uyah (dipukul rata).
Entah apa maunya Syir’ah menampilkan berita ini? Yang jelas, berita ini bisa menimbulkan antipati dan sinisme orang awam dan kalangan non Islam terhadap kampus berlabel “Islam.” Betapa tidak? Perhatikan saja sinopsisnya: “Terpuruknya iman di lubang hasrat. Ajaran agama menilai seks di luar nikah sebagai perbuatan berbuah dosa. Biasanya para pemeluk agama menghindari perilaku haram itu. Akan tetapi, fenomena ini di kalangan mahasiswa Muslim tak begitu. Sebagian dari mereka bahkan menganggap seks bebas itu sudah biasa.” (hlm. 18).
Pada halaman berikutnya, kalimat yang dicapture dengan huruf besar pun semakin melecehkan pesantren: “Ihwal kebebasan seks di kalangan mahasiswa bukanlah hal aneh. Tapi cukup mengagetkan jika ternyata pelakunya banyak dari kalangan pesantren.”
Diblow up di dalamnya tentang seks bebas di kampus Islam yang dilakukan oleh para aktivis kampus Islam, aktivis Harakah Khilafah (Hizbut Tahrir?), dan alumnus pesantren. Foto ilustrasinya pun sangat mesum dan melecehkan Islam. Ada foto wanita berjilbab sedang tidur berpelukan di ranjang dengan lawan jenisnya, ada beberapa keping cover VCD porno lengkap dengan cuplikan foto bugilnya, dan seterusnya. Ada gambar setengah badan dua orang pasangan sedang berpelukan saling berpegangan pinggang selayaknya suami-istri. Seolah-olah, adegan mesum itu sangat akrab di kalangan “kampus hijau.”
Perwajahan Syir’ah yang seronok pun tak pantas menyandang label Islam. Dari capture foto di dalamnya, lebih tepat kalau Syir’ah dikategorikan sebagai media “biru” sejajar dengan tabloid Hot, Pop, Lipstik, Lelaki, Ehm, dll.
Bayangkan saja, ketika mengangkat kontroversi film Buruan Cium Gue (BCG), dibahas polemik antara AA Gym dengan Raam Punjabi (Syir’ah edisi nomor 35).
Capturenya pun sangat seronok, adegan film BCG dicapture utuh. Ada dua pasang remaja berdiri berpelukan. Yang sepasang sebelah kiri, seorang remaja putra yang lebih tinggi dari pasangannya menempelkan kepalanya pas ke kening sang putri. Tangan yang putra memegang perut pas di bawah buah dadanya. Sang putri terlihat diam menikmati perlakuan tersebut.
Pasangan yang kedua, berdiri di sebelah kanan. Sang cewek memakai busana ketat, ketiaknya melompong, roknya di atas lutut, panjangnya setengah paha. Dia berdiri dengan wajah penuh rangsangan, menempelkan –maaf– kedua buah dadanya ke perut sang cowok. Sementara sang cowok yang berkaus hitam yang lebih tinggi, berdiri memegang lehernya dan mengarahkan pandangannya ke bawah, seolah sedang mengamati buah dada sang cewek. (hlm. 53).
Pada edisi nomor 22, Syir’ah menyajikan topik utama “Sex on TV: Bangkrutnya Petuah Halal-Haram”. Intinya, mengajak pembaca untuk pembaca untuk mengabaikan “sementara” halal-haram guna meramaikan pembicaraan seksual.
Ilustrasinya pun jauh dari etika Islam. Pada halaman 18 ditampilkan foto relief –maaf– alat kelamin laki-laki berdiri menjulang ke atas –maaf– sedang menusuk alat kelamin wanita. Pantaskah media ini disebut majalah Islam?
Kita memang harus cerdas dan teliti dalam memilih bacaan. Memang buku adalah guru yang paling baik. Tapi jika salah baca, maka akan jadi racun bagi keselamatan iman kita. Waspadai media-media yang didanai oleh founding asing.
Uang memang bisa merubah segalanya jadi kejam. Karena uang, sahabat bisa jadi musuh, bahkan tak jarang berujung pada dendam dan pembunuhan. Gara-gara uang pula, orang memusuhi agama dan keyakinannya, bahkan tak jarang berujung pada fitnah dan pemurtadan. (Majalah tabligh)
Pluralisme Agama
Pluralisme muncul sarat muatan politis, yang tak lebih
sebagai respons politis terhadap kondisi masyarakat Kristen Eropa akibat
perlakuan dikriminatif dari gereja
(tulisan pertama)
Oleh: Anis Malik Thoha*
Menelusuri lahirnya gagasan
liberalisme dan pluralisme agama. Gagasan Protestanistik yang
kini digandrungi sebagian kaum Muslimin
Proses liberalisasi sosial politik, yang menandai
lahirnya tatanan dunia abad modern, semakin marak. Disusul kemudian dengan
liberalisasi atau globalisasi (baca: penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agama pun, pada gilirannya, dipaksa harus membuka diri
untuk diliberalisasikan.
Sejak era reformasi gereja
abad ke-15, wilayah yurisdiksi agama telah direduksi, dimarjinalkan, dan
didomestikasikan sedemikian rupa. Hanya boleh
beroperasi di sisi kehidupan manusia yang paling privat. Dan saat ini, agama tetap masih dianggap tidak cukup kondusif (atau
bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni,
demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM seperti
toleransi, kebebasan, persamaan, dan pluralisme. Seakan-akan
semua agama adalah musuh demokrasi, kemanusiaan, dan HAM. Oleh karenanya agama harus mendekonstruksikan-diri (atau
didekonstruksikan secara paksa) agar, menurut bahasa kaum liberal, merdeka dan
bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai
lagi dengan semangat zaman.
Proses liberalisasi sosial
politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang pluralistik yang dikenal
dengan pluralisme politik". Liberalisasi agama harus
bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama
pada posisi yang sama dan sederajat, sama benarnya dan
sama relatifnya. Orang menyebutnya sebagai pluralisme agama
Pluralisme, Gagasan Protestanistik
Paham liberalisme pada awalnya
muncul sebagai mazhab sosial politis. Oleh
karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan
pluralisme agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidak aneh jika gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul
dan hadir dalam kemasan pluralisme politik (political pluralism), yang
merupakan produk dari liberalisme politik (political liberalism).
Jelas, faham liberalisme
tidak lebih merupakan respons politis terhadap kondisi sosial masyarakat
Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok, dan mazhab. Namun
kondisi pluralistik semacan ini masih terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa
untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua puluh berkembang hingga
mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.
Saat itu, hembusan angin pluralisme yang mewarnai
pemikiran Eropa khususnya, dan Barat secara umum, rupanya belum mengakar kuat
dalam kultur masyarakat. Beberapa
sekte Kristen masih mengalami perlakuan dikriminatif dari gereja. Hal itu misalnya dialami sekte Mormon, yang tetap tidak diakui oleh
gereja karena dianggap gerakan heterodoks. Diskriminasi
ini berlangsung sampai akhir abad kesembilan belas, ketika muncul protes keras
dari Presiden Amerika Serikat, Grover Cleveland (1837-1908).
Ada pula doktrin "di
luar gereja tidak ada keselamatan". Ini tetap
dipegang teguh oleh Gereja Katolik hingga dilangsungkannya Konsili Vatikan II
pada awal tahun 1960-an, yang mendeklarasikan doktrin keselamatan umum, bahkan
bagi agama-agama selain Kristen.
Jadi, gagasan pluralisme agama sebenarnya merupakan
upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi
secara toleran dengan agama lain. Gagasan pluralisme
agama adalah salah satu elemen gerakan reformasi pemikiran agama atau
liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad ke-19.
Gerakan ini kemudian dikenal dengan Liberal Protestantism.
Pelopornya adalah Friedrich Schleiermacher.
Memasuki abad ke-20, gagasan
pluralisme agama semakin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi
Barat. Muncul tokoh gigih, seperti teolog Kristen
liberal Ernst Troeltsch (1865-1923). Dalam sebuah
makalahnya yang berjudul "Posisi Agama Kristen di antara Agama-agama
Dunia" yang disampaikan dalam sebuah kuliah di Universitas Oxford (1923),
Troeltsch melontarkan gagasan pluralisme agama secara argumentatif. Menurutnya, semua agama, termasuk Kristen, selalu mengandung elemen
kebenaran dan tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak. Konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak tunggal.
Ada lagi William E Hocking. Gagasannya
ditulis dalam buku Re-thinking Mission (1932) dan Living Religions and A World
Faith. Ia tanpa ragu-ragu memprediksi akan
munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep
pemerintahan global.
Gagasan serupa datang dari sejarawan Inggris ternama,
Arnold Toynbee (1889-1975), dalam karyanya An Historian's Approach to Religion
(1956) dan Cristianity and World Religions (1957). Juga
teolog dan sejarawan agama Kanada, Wilfred Cantwell Smith. Dalam buku
Towards A World Theology (1981), Smith mencoba
meyakinkan perlunya menciptakan konsep teologi universal atau global yang bisa
dijadikan pijakan bersama bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi dan
bermasyarakat secara damai dan harmonis. Nampaknya karya
tersebut memuat saripati pergolakan pemikiran dan penelitian Smith, dari
karya-karya sebelumnya The Meaning and End of Religion (1962) dan Questions of
Religious Truth (1967).
Dua dekade terakhir abad
ke-20, gagasan pluralisme agama telah mencapai fase kematangan. Kemudian
menjadi sebuah wacana pemikiran tersendiri pada dataran teologi dan filsafat
agama modern. Fenomena sosial politik juga
mengetengahkan realitas baru kehidupan antar agama yang lebih nampak sebagai
penjabaran, kalau bukan dampak dari (atau bahkan suatu proses sinergi) gagasan
pluralisme agama ini.
Dalam kerangka teoritis,
pluralisme agama pada masa ini telah dimatangkan oleh beberapa teolog dan
filosof agama modern. Konsepsinya lebih lihai, agar dapat
diterima oleh kalangan antar agama. John Hick telah merekonstruksi
landasan-landasan teoritis pluralisme agama sedemikian rupa, sehingga menjadi
sebuah teori yang baku
dan populer.
Hick menuangkan pemikirannya dalam buku An Interpretation
of Religion: Human Responses to the Transcendent. Buku ini
diangkat dari serial kuliahnya pada tahun 1986-1987, yang merupakan rangkuman
dari karya-karya sebelumnya.
Ternyata, fenomena yang murni
Protestanistik atau terjadi dalam kerangka gerakan reformasi Protestan secara
khusus ini, masih mendominasi pemikiran orang-orang Protestan hingga akhir abad
ke-19. Sedangkan Kristen Katolik cenderung tidak
menerima gagasan pluralisme agama, dan tetap berpegang teguh pada doktrin
"di luar gereja tidak ada keselamatan hingga akhirnya Konsili Vatikan II
berlangsung.
Wabah Pluralisme dalam Islam
Dalam wacana pemikiran Islam,
wacana pluralisme agama masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar
ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama
lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural
Barat modern dalam dunia Islam.
Pendapat ini diperkuat oleh
realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam, baru
muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia II. Yaitu
ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi-generasi muda Muslim untuk
mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat
berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.
Dalam waktu yang sama, gagasan
pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam. Antara lain
melalui karya-karya pemikir-pemikir mistik Barat Muslim seperti Rene Guenon
(Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad).
Karya-karya mereka ini,
khususnya Schuon dengan bukunya The Transcendent Unity of Religions, sangat
sarat dengan pemikiran-pemikiran dan tesis-tesis atau gagasan-gagasan yang
menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh-kembangnya wacana pluralisme agama.
Barangkali Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim
Syi'ah moderat, adalah tokoh yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan
gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional. Suatu
prestasi; yang kemudian mengantarkannya pada sebuah posisi ilmiah kaliber dunia
yang sangat bergengsi selevel nama-nama besar seperti Ninian Smart, John Hick,
dan Annemarie Schimmel.
Nasr mencoba menuangkan tesisnya tentang pluralisme
agama dalam kemasan sophia perennis atau perennial wisdom (al-hikmat
al-khalidah, atau ;kebenaran abadi). Yaitu sebuah wacana menghidupkan kembali kesatuan metafisikal
(metaphysical unity) yang tersembunyi di balik ajaran dan tradisi-tradisi
keagamaan yang pernah dikenal manusia semenjak Adam alaihis-salam.
Menurut Nasr, memeluk atau meyakini satu agama dan melaksanakan ajarannya secara
keseluruhan dan sungguh-sungguh, berarti juga memeluk seluruh agama, karena
semuanya berporos kepada satu poros, yaitu kebenaran hakiki yang abadi.
Perbedaan antar agama dan
keyakinan, menurut Nasr, hanyalah pada sombol-simbol dan kulit luar. Inti dari
agama tetap satu. Dari sini dapat dilihat bahwa
pendekatan Nasr ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan
yang ada pada umumnya. Suatu hal yang membuat kita
bertanya-tanya, apakah tesis Nasr ini mempunyai justifikasi yang solid dalam
tradisi pemikiran Islam yang diklaimnya sebagai basis dari bangunan
pemikirannya?
Saat ini wacana pluralisme
agama modern muncul dengan berbagai trend dan bentuknya. Ini menggambarkan sebuah
fakta secara telanjang bahwa betapa dominan dan hegemoniknya Barat, baik dari
segi politik, ekonomi, peradaban, maupun kultur.
Sebuah fakta yang untuk menjamin eksistensi dan kelestariannya, meniscayakan
adanya semacam legitimasi relijius, atau apa yang
disebut Peter L Berger sebagai sacred canopy (tirai suci). Dan
itu harus sejalan dengan logika kemanusiaan modern yang berlandaskan pada asas
toleransi dan kebebasan, atau lebih tepatnya, liberalisme.
Obsesi Barat ini kentara
sekali dan sulit untuk ditutup-tutupi, sebagaimana nampak dari upaya-upaya
serius yang dilakukannya untuk mensosialisasikan gagasan ini. Bahkan
mereka tak segan melakukan tekanan politik, ekonomi, maupun militer terhadap
negara-negara lain yang enggan menerapkan gagasan pluralisme. Semua
harus mau bernaung di bawah jargon Tatanan Dunia Baru yang dicanangkan Amerika
Serikat pada awal sembilan puluhan dari abad yang lalu.* (Bersambung)
(*Dosen Ilmu Perbandingan Agama pada International
Islamic University, Malaysia)
Tulisan ini diambil dari rubrik "Tsaqafah",
Majalah Hidayatullah, edisi Agustus 2004
Pluralisme, Klaim
Kebenaran yang Berbahaya
Dengan merelatifkan klaim-klaim kebenaran yang ada, secara implisit pluralisme seolah bertindak sebagai wasit yang mengontrol dan menjaga ketertiban permainan, termasuk mengeluarkan kartu merah (tulisan kedua)
oleh Anis Malik Thoha*
Semua agama, baik yang mati maupun yang hidup, yang kuno maupun modern, yang teistik maupun non-teistik, lahir dan hadir lengkap dengan klaim kebenaran. Terlepas apakah klaim ini valid atau tidak, rasional atau irasional.
Setidaknya ada tiga macam cara memandang klaim kebenaran, yaitu eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme.
Eksklusivisme adalah kebenaran absolut hanya dimiliki agama tertentu secara eksklusif. Tidak memberikan alternatif lain, tidak memberikan konsesi sedikitpun, dan tidak mengenal kompromi.
Klaim ini direpresentasikan oleh agama-agama semitik: Yudaisme, Kristen, dan Islam, yang ditopang dengan konsep yuridis tentang keselamatan. Yudaisme mempunyai doktrin the chosen people (masyarakat terpilih). Kebenaran, keshalihan, dan keselamatan hanya berdasar atas etnisitas yang sempit, yaitu bangsa Yahudi. Katolik punya doktrin extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan) dan Protestan dengan doktrin outside Christianity, no salvation (di luar Kristen tidak ada keselamatan). Sementara Islam dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa inna ad-diena ‘inda Allahi al-Islam (sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam).
Klaim Inklusivisme lebih longgar. Hanya salah satu agama saja yang benar, tapi juga mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan untuk mencakup pengikut agama lain. Bukan karena agama mereka benar, tapi justru karena limpahan berkah dan rahmat dari kebenaran absolut yang ia miliki.
Teologi inklusif hanya muncul di lingkungan Kristen dalam waktu belakangan. Ini merupakan respons terhadap teologi pluralis yang mulai merebak pada pertengahan kedua abad ke-20, dan di sisi lain menganggap klaim eksklusif sudah ketinggalan zaman.
Ada interpretasi baru yang dianggap lebih segar. Konsep penebusan dosa yang dilakukan Yesus Kristus meliputi seluruh dosa warisan anak Adam. Semua ummat manusia terbuka untuk ampunan Tuhan, meskipun mereka pengikut agama lain. Teologi ini kemudian diadopsi secara resmi dalam Konsili Vatikan II (1962-1965).
Tapi klaim kebenaran model ini tidak konsisten. Jika keselamatan dapat dicapai tanpa adanya koneksi apapun dengan gereja dan doktrin Kristen, apa artinya bersikeras memberikan label Kristen? Kenapa berbagai praktik Kristenisasi masih terus dilakukan? Atau inklusivisme hanyalah slogan kosong dengan maksud tertentu?
Di lingkungan Islam, sebetulnya juga ada upaya serupa. Di Indonesia pada awal tahun 1990-an muncul jargon “Islam inklusif”. Namun setelah diteliti secara seksama, kandungan pemikiran yang mereka maksudkan ternyata serupa dengan model pluralisme seperti di bawah ini.
Pluralisme yang Berbahaya
Pluralisme muncul dan berkembang dalam setting sosial-politik humanisme sekuler Barat yang bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi liberal. Salah satu konstituen utamanya adalah pluralisme agama (yang oleh sebagian sosiolog diidentifikasi sebagai civil religion).
Pluralisme ingin tampil sebagai klaim kebenaran yang humanis, ramah, santun, toleran, cerdas, mencerahkan, demokratis, dan promising. Hal ini antara lain dikatakan oleh tokoh pluralis yang paling bertanggung jawab, John Hick.
Semua agama, yang teistik maupun non-teistik, dapat dianggap sebagai ruang atau jalan yang bisa memberi keselamatan, kebebasan, dan pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya merupakan respons otentik yang beragam terhadap the Real (hakikat ketuhanan) yang sama.
Dalam kenyataannya, klaim itu menjadi klaim ‘kebenaran relatif’ yang absolut. Tidak saja ingin merelatifkan klaim kebenaran agama yang ada—sehingga semua agama secara relatif sama—tapi juga sebetulnya ingin mengungguli klaim-klaim tersebut. Hanya klaim pluralisme saja yang mutlak benar.
Dengan merelatifkan klaim-klaim kebenaran yang ada berarti secara implisit—dan ini jarang disadari oleh kaum pluralis—telah menafikan, atau minimal mendegradasikan, kebenaran hakiki klaim-klaim tersebut. Pluralisme juga telah bertindak sebagai wasit sepakbola yang mengontrol dan menjaga ketertiban jalannya permainan, termasuk mengeluarkan kartu merah.
Klaim pluralisme membawa implikasi yang berbahaya bagi manusia. Baik itu menyangkut isu-isu yang bersifat teoretis, epistemologis, dan metodologis, sebagian bersifat ideologis dan teologis, dan sebagian lagi berhubungan dengan isu yang lebih praktis, yaitu HAM (hak-hak asasi manusia) –khususnya kebebasan beragama.
Gagasan pluralisme sulit menjawab pertanyaan yang sangat krusial, yaitu apakah benar-benar mampu memberikan solusi yang ramah terhadap konflik antar agama, sebagaimana yang diklaim oleh para penggagas dan penganjurnya? Atau malah menjadi problem baru dalam fenomena pluralitas keagamaan?
Tidak Bisa Dipertahankan Lagi
Istilah pluralisme agama selama ini difahami dan didesain dalam bingkai sekuler, liberal, dan logika Barat yang menampik hal-hal yang berbau metafisis. Ini adalah akar dari semua masalah. Agama dianggap sebagai respons manusia, atau sering pula disebut sebagai pengalaman keagamaan. Kemungkinan datangnya agama dari Tuhan atau Dzat yang Maha Agung dinafikan mentah-mentah.
Tokoh seperti Joachim Wach, seorang ahli perbandingan agama kontemporer, bahkan mendefinisikan konsep pengalaman keagamaan sebagai agama itu sendiri. Lahirlah kesimpulan akan persamaan semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih benar daripada yang lain. Sebuah kesimpulan yang justru menyulitkan para penggagas dan penganjurnya, terutama yang beragama Kristen, karena muncul pertanyaan: apakah Kristen sama persis dengan agama-agama primitif dan paganis (penyembah berhala) yang kanibalistik?
Klaim ini juga mengerangkeng agama sehingga hanya boleh beroperasi di wilayah yang sangat sempit dan privat–yakni hubungan manusia dengan Tuhannya. Muncul pertanyaan lagi, apakah hubungan pribadi dengan sesuatu yang sakral dan metafisikal ini mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia, baik dalam kehidupan individual maupun sosial, atau tidak?
Kajian-kajian modern yang dilakukan para ahli menguatkan adanya pengaruh tersebut. Joachim Wach misalnya, menyimpulkan bahwa manusia kapan saja dan dimana saja selalu ingin mengekspresikan pengalaman keagamaan. Sementara ahli perbandingan agama Ninian Smart dan anthropolog Clifford Geertz menegaskan tentang komprehensivitas agama yang mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia.
Fakta-fakta di atas menguatkan komprehensivitas, inklusivitas, dan totalitas agama. Cakupannya tidak hanya terbatas pada apa yang disebut institusi agama, melainkan juga seluruh falsafah hidup yang dikenal manusia. Otomatis, konsep dikotomisasi realitas: agama-negara, sakral-profan, dan individu-publik, menjadi tak tepat dan tak akurat. Di Barat sendiri kini ada kajian-kajian ilmiah yang mengkritisi akurasi konsep ini. Hasilnya, dikotomisasi tidak mungkin bisa dipertahankan di depan bukti-bukti dan fakta-fakta objektif dari perkembangan sosio-politis kontemporer.
Di sisi lain, terminologi pluralisme di Barat telah mengalami perubahan yang sangat fundamental, sehingga sama dan sebangun dengan demokrasi, yakni penegasan tentang kebebasan, toleransi persamaan, dan koeksistensi. Namun, konsep yang secara teoretis sangat agung dan toleran ini, pada dataran praktis cenderung menunjukkan perilaku intoleran dan memberangus HAM. Kata Muhammad Imarah, “Barat telah memaksa yang lain untuk mengikutinya secara kultur maupun pemikiran… dan untuk melepaskan sejarah, kultur, dan referensi keagamaan dan intelektual mereka masing-masing.” Barat tidak ingin membiarkan yang lain menjadi dirinya sendiri.
Muncullah kesadaran bahwa konsep pluralisme tidak boleh hanya tunduk pada interpretasi tunggal (baca: Barat). Kata John O Voll, “Terdapat kesadaran yang semakin meningkat bahwa konsep ‘pluralisme’, yang merupakan fokus wacana-wacana masa kini, adalah tunduk pada pemahaman yang beragam.” John D’Arcy May juga menyatakan perlunya keragaman dalam membaca dan memaknai konsep ini.
Alhasil, konsep pluralisme yang menganggap semua agama sama saja, tak mungkin bisa dipertahankan. Juga tak mungkin bisa dipraktikkan dalam kehidupan nyata tanpa memberangus HAM. (bersambung) * Dosen Ilmu Perbandingan Agama di International Islamic University, Malaysia
Tulisan ini diambil dari rubrik "Tsaqafah", Majalah Hidayatullah, edisi September 2004.
Kesesatan Menggerogoti Ummat Islam
Ust. Hartono Ahmad Jaiz
AlDakwah.org--Kesesatan itu bahasa Arabnya dholal. Yaitu setiap yang menyimpang dari jalan yang dituju (yang benar) dan setiap yang berjalan bukan pada jalan yang benar, itulah kesesatan. Demikian menurut Tafsir At-Thobari Juz 1 halaman 84.
Dalam Al-Qur’an disebutkan, setiap yang di luar kebenaran itu adalah sesat. Allah SWT berfirman:
“…maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)? (QS Yunus: 32).
Kebenaran itu datangnya dari Allah. Sebagaimana telah Allah tegaskan:
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. (QS Al-Baqarah: 147).
Apa-apa yang dari Tuhan berupa kebenaran itu disampaikan kepada manusia ini lewat wahyu Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw. Dalam hadits dijelaskan:
Hadits dari Miqdam bin Ma’di Karib Al-Kindi yang berkata, Rasulullah saw bersabda: Ingatlah sesungguhnya aku diberi Al-Kitab (Al-Qur’an) dan yang sesamanya bersamanya. Ingatlah sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan yang sesamanya bersamanya. (HR Ahmad).
Hadits itu menjelaskan bahwa Nabi saw diberi wahyu berupa Al-Qur’an dan wahyu yang sesamanya besertanya, yaitu wahyu berupa hadits. Sehingga Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menjadi sumber Islam itu sebenarnya adalah wahyu dari Allah. Maka benarlah bahwa Islam itu agama dari sisi Allah, karena memang berupa wahyu dari Allah SWT.
Dari pengertian tersebut maka hal-hal yang tidak sesuai atau menyimpang dari Al-Qur’an dan Al-hadits/ As-Sunnah itu adalah kesesatan.
Untuk lebih mudahnya, maka letak kesesatan yang sudah jelas berada di luar garis Al-Qur’an dan As-Sunnah itu letaknya di mana, bisa dijelaskan sebagai berikut.
Di dalam Islam ada wilayah-wilayah:
AlDakwah.org--Kesesatan itu bahasa Arabnya dholal. Yaitu setiap yang menyimpang dari jalan yang dituju (yang benar) dan setiap yang berjalan bukan pada jalan yang benar, itulah kesesatan. Demikian menurut Tafsir At-Thobari Juz 1 halaman 84.
Dalam Al-Qur’an disebutkan, setiap yang di luar kebenaran itu adalah sesat. Allah SWT berfirman:
“…maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)? (QS Yunus: 32).
Kebenaran itu datangnya dari Allah. Sebagaimana telah Allah tegaskan:
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. (QS Al-Baqarah: 147).
Apa-apa yang dari Tuhan berupa kebenaran itu disampaikan kepada manusia ini lewat wahyu Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw. Dalam hadits dijelaskan:
Hadits dari Miqdam bin Ma’di Karib Al-Kindi yang berkata, Rasulullah saw bersabda: Ingatlah sesungguhnya aku diberi Al-Kitab (Al-Qur’an) dan yang sesamanya bersamanya. Ingatlah sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan yang sesamanya bersamanya. (HR Ahmad).
Hadits itu menjelaskan bahwa Nabi saw diberi wahyu berupa Al-Qur’an dan wahyu yang sesamanya besertanya, yaitu wahyu berupa hadits. Sehingga Al-Qur’an dan Al-Hadits yang menjadi sumber Islam itu sebenarnya adalah wahyu dari Allah. Maka benarlah bahwa Islam itu agama dari sisi Allah, karena memang berupa wahyu dari Allah SWT.
Dari pengertian tersebut maka hal-hal yang tidak sesuai atau menyimpang dari Al-Qur’an dan Al-hadits/ As-Sunnah itu adalah kesesatan.
Untuk lebih mudahnya, maka letak kesesatan yang sudah jelas berada di luar garis Al-Qur’an dan As-Sunnah itu letaknya di mana, bisa dijelaskan sebagai berikut.
Di dalam Islam ada wilayah-wilayah:
1.
Wilayah prinsip/ pokok/ dasar
(ushul).
2.
Wilayah cabang-cabang (furu’)
3.
Wilayah yang didiamkan (maskut
‘anhu) yaitu mubah atau boleh-boleh saja.
Keterangan 1. Dalam hal wilayah pokok (ushul) biasanya dalilnya (ayat atau
hadits)nya jelas, tegas, tidak ada makna-makna lain lagi. Hingga tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Misalnya Allah itu Esa. Nabi Muhammad
nabi terakhir. Ka’bah adalah kiblat ummat Islam. Shalat 5 waktu itu wajib.
Puasa Ramadhan wajib. Akherat itu ada. Surga, neraka, malaikat, hisab/ perhitungan
amal di akherat itu pasti ada. Al-Qur’an dan hadits itu pedoman Islam. Dan
sebagainya. Itu semua dalilnya jelas, tegas, dan tidak ada makna-makna lain
lagi, serta tidak ada perbedaan di kalangan ulama.
Siapa saja yang menyelisihi dari hal-hal pokok yang sifatnya sudah tegas dalilnya seperti tersebut, itu jelas sesat.
Siapa saja yang menyelisihi dari hal-hal pokok yang sifatnya sudah tegas dalilnya seperti tersebut, itu jelas sesat.
Contoh:
1.
Orang yang tidak mempercayai
hadits Nabi saw sebagai landasan Islam, maka dia sesat. Itulah kelompok Inkar
Sunnah.
2.
Orang yang mengakui adanya nabi
lagi sesudah Nabi Muhammad saw maka mereka sesat. Itulah kelompok Ahmadiyah
yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad dari India sebagai nabi setelah Nabi
Muhammad saw.
3.
Orang yang menganggap Al-Qur’an
dan As-Sunnah baru sah diamalkan kalau manqul (yang keluar dari mulut imam atau
amirnya), maka anggapan itu sesat. Sebab membuat syarat baru tentang sahnya
keislaman orang. Akibatnya, orang yang tidak masuk golongan mereka dianggap
kafir dan najis. Itulah kelompok LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang
dulunya bernama Lemkari, Islam Jama’ah, Darul Hadits pimpinan Nur Hasan Ubaidah
Madigol Lubis (Luar Biasa) Sakeh (Sawahe Akeh/ sawahnya banyak) dari Kediri
Jawa Timur yang kini digantikan anaknya, Abdu Dhohir. Penampilan orang sesat
model ini: kaku –kasar tidak lemah lembut, ada yang bedigasan, ngotot karena
mewarisi sifat kaum khawarij, kadang nyolongan (suka mencuri) karena ada
doktrin bahwa mencuri barang selain kelompok mereka itu boleh, dan bohong
karena ayat saja oleh amirnya diplintir-plintir untuk kepentingan dirinya.
4.
Orang yang menganggap bahwa
dirinya mendapat wahyu dan didampingi malaikat Jibril, maka dia sesat. Karena
wahyu kenabian telah selesai dengan wafatnya Nabi Muhammad saw. Kelompok inilah
yang mendirikan agama baru, Salamullah yang menghimpun semua agama, yaitu
perempuan bernama Lia Aminuddin di Jakarta. Dia mengaku sebagai Imam Mahdi
padahal wanita. Perangkai bunga kering ini gundah gulana akibat kecewa dengan
dua muballigh (Nur Muhammad Iskandar dan Zainuddin MZ) dan Anton Medan (mantan
penggede preman) dalam hal Yayasan At-Taibin (yang menggarap/ mendakwahi
preman-preman, bajingan, pelacur dan sebagainya), menurut pengakuan Lia
Aminuddin kepada MUI (Majelis Ulama Indonesia). Lalu MUI memfatwakan (22
Desember 1997) bahwa pengakuan Lia Aminuddin yang dirinya didampingi Malaikat
Jibril dan mendapatkan ajaran keagamaan darinya itu sesat lagi menyesatkan.
Namun ajaran sesat agama Salamullah itu ada Wakil/ Imam Besarnya bernama Abdul
Rahman, konon alumni IAIN Jakarta.
5.
Orang yang menganggap hadits
Nabi saw yang sah hanyalah yang diriwayatkan oleh Ahlul Bait, maka mereka
sesat. Sebab sama dengan menuduh para sahabat yang bukan Ahlul Bait (keluarga
Nabi saw) itu tidak bisa dipercaya. Padahal Allah SWT saja memuji para sahabat
Nabi saw. Orang yang tak mempercayai sahabat untuk jadi periwayat hadits itulah
kelompom Syi’ah. Orang Syi’ah yang ghuluw/ ekstrim sampai menuhankan Ali bin
Abi Thalib, maka mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib ra. Syi’ah
Imamiyah (Itsna ‘Asyariyah) yang kini merupakan mayoritas, di Iran, Irak, dan
menyebar ke lain tempat, mereka mempercayai adanya 12 Imam keturunan Ali yang
dianggap ma’shum (terjaga dari dosa). Padahal yang ma’shum itu hanya Nabi.
Perkataan Imam dianggap sama dengan perkataan Nabi. Syekh Muhammad At-Tamimi
menjelaskan, Syi’ah –yang benar adalah sebutan Rafidhah karena pengelompokan
mereka kepada Ali bin Abi Thalib ra adalah pengelompokan yang ekstrim
keterlaluan, tidak diterima oleh Ali ra. Rafidhah/ Syi’ah seperti yang
disifatkan oleh Syekh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya, Iqtidho’us shirothil
mustaqiem mukholafafatu ash-haabil jahiim, halaman 391, beliau berkata:
Sesungguhnya mereka (Rafidhoh/ Syi’ah) adalah kelompok paling dusta dari
kalangan ahlil ahwa’ (pengikut hawa nafsu), paling besar kemusyrikannya, maka
tidak ada pengikut hawa nafsu yang lebih dusta dibanding mereka, dan tidak ada
yang lebih jauh dari Tauhid (melebihi mereka). (Muhammad At-Tamimi, Fatawa
Muhimmah, juz 1 halaman 145).
Karena sikap ghuluw (ekstrimnya) hingga menuhankan Imam mereka dan keekstriman-keekstriman lainnya, maka Imam Ibnu Taimiyyah menyebut orang Syi’ah atau Rafidhah itu sebagai pengikut hawa nafsu (ahlul ahwa’) yang paling sesat, dan paling jauh dari Tauhid.
Karena sikap ghuluw (ekstrimnya) hingga menuhankan Imam mereka dan keekstriman-keekstriman lainnya, maka Imam Ibnu Taimiyyah menyebut orang Syi’ah atau Rafidhah itu sebagai pengikut hawa nafsu (ahlul ahwa’) yang paling sesat, dan paling jauh dari Tauhid.
6.
Orang yang memaknakan Al-Qur’an
semaunya, tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw, bahkan tak sesuai dengan
lafal/ kalimat Al-Qur’an, maka mereka sesat. Itulah kelompok Isa Bugis.
Contohnya, mereka memaknakan al-fiel yang artinya gajah menjadi meriam atau
tank baja. Alasannya di Yaman saat zaman Nabi tidak ada rumput maka tak mungkin
ada gajah. Mereka tidak percaya mu’jizat, maka dianggapnya dongeng lampu
Aladin. Nabi Ibrahim menyembelih Isma’il itu dianggapnya dongeng belaka. Tafsir
Al-Qur’an yang ada sekarang harus dimuseumkan, karena salah semua. Al-Qur’an
bukan Bahasa Arab, maka untuk memahami Al-Qur’an tak perlu belajar Bahasa Arab,
tata bahasa Arab dan sejenisnya. Lembaga Pembaru Isa Bugis adalah Nur, sedang
yang lain adalah dhulumat, maka sesat dan kafir. Itulah ajaran sesat Isa Bugis.
7.
Orang yang menggabung-gabungkan
Islam dengan Yahudi, Nasrani dan lainnya, maka sesat. Itulah kelompok Baha’i.
Menghilangkan setiap ikatan agama Islam, menganggap syari’at Islam telah
kadaluarsa. Persamaan antara manusia meskipun berlainan jelnis, warna kulit dan
agama. Inilah inti ajaran Baha’i. Menolak ketentuan-ketentuan Islam. Menolak
Poligami kecuali ada kekecualian, dan tak boleh dari dua isteri. Melarang talak
dan menghapus ‘iddah. Janda boleh langsung kawin lagi, tanpa ‘iddah (masa
tunggu). Ka’bah bukanlah kiblat yang mereka akui, Kiblat mereka adalah di mana Tuhan
menyatu dalam diri Bahaullah (pemimpin mereka). Ini sama dengan pandangan sufi
/orang tasawuf sesat bahwa qolbul mu’min baitullah, hati mukmin itu baitullah.
Ini mirip Gatoloco (penghina Islam model Kebatinan Jawa) bahwa hati manusia itu
bikinan Allah, sedang ka’bah itu bikinan Ibrahim dan Isma’il, maka lebih baik
mana bikinan Allah dibanding bikinan manusia. Demikianlah kesesatan model
penolak Islam sambil mencari-cari spiritualitas yang dibikin-bikin syetan.
8.
Orang yang menyamakan semua
Agama, hingga Islam disamakan dengan Yahudi, Nasrani, dan agama-agama
kemusyrikan, maka mereka sesat. Itulah kelompok yang berfaham pluralisme agama,
yang sejak Maret 2001 membentuk kelompok yang bermarkas di Utan Kayu Jakarta
dengan menamakan diri sebagai JIL (Jaringan Islam Liberal) yang dikordinir oleh
Ulil Abshar Abdalla dari unsur NU (Nahdlatul Ulama). Ulil tidak mengakui adanya
hukum Tuhan, hingga syari’at mu’amalah (pergaulan antar manusia) dia
kampanyekan agar tidak usah diikuti, seperti syari’at jilbab, qishosh, hudud,
potong tangan bagi pencuri dan sebagainya itu tidak usah diikuti. Bahkan
larangan nikah antara Muslim dengan non Muslim dianggap tidak berlaku lagi,
karena ayat larangannya dianggap tidak jelas. Vodca (minuman keras beralkohol
lebih dari 16%) pun menurut Ulil bisa jadi di Rusia halal, karena udaranya
dingin sekali. Pemahaman “kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah/ Al-Hadits”
seperti yang difahami ummat Islam sekarang ini menurut Ulil salah, karena
menjadikan penyembahan terhadap teks. Maka harus difahami dengan bahwa
Al-Qur’an itu yang sekarang ini baru separuhnya, sedang separuhnya lagi adalah
pengalaman manusia. Itulah kemauan Ulil, yang kalau dituruti, maka justru akan
menyembah kemauan manusia. Dengan pemahaman Ulil yang sudah membabat dan menghina
Islam seperti itu, maka fatwa hukuman mati yang semula oleh FUUI (Forum Ulama
Ummat Islam) di Bandung ditujukan kepada penghina Islam dari kalangan Nasrani
(Pendeta Suradi dan H Amos) tinggal dirujuk untuk Ulil. Kelompok JIL (Jaringan
Islam Liberal) ini mengacak-acak Islam, pemahaman Islam, yang akibatnya
menguntungkan gerakan pemurtadan. Itulah menurut hadits Hudzaifah yang terkenal
diriwayatkan oleh Imam Bukhari telah disinyalir adanya penyeru-penyeru di
pintu-pintu neraka jahannam. Siapa yang mengikuti ajakannya maka dilemparkan ke
dalam neraka. Na’udzubillaah min dzaalik.
9.
Orang yang mengibaratkan Rasul
bagai menteri, sedang kerasulan bagai departemen. Lalu Rasul boleh wafat
sebagaimana menteri boleh mati, namun kerasulan atau departemen tetap ada, maka
tetap diangkatlah rasul baru sebagaimana diangkat pula menteri baru, maka
mereka itu sesat. Karena Nabi Muhammad saw adalah rasul terakhir. Yang berfaham
Rasul tetap diangkat sampai hari Qiyamat itulah kelompok Lembaga Kerasulan.
10.
Orang yang menghalalkan
merampas dan merampok harta orang lain asal untuk disetorkan kepada pemimpin,
itu adalah sesat. Itulah kelompok NII KW IX (Negara Islam Indonesia Komandemen
Wilayah IX) yang kini punya Ma’had Al-Zaitun dipimpin Abdul Salam (AS) Panji
Gumilang. Anehnya, orang sesat ini justru dijadikan ketua alumni IAIN (kini UIN
Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan dipuji-puji oleh
Rektor Azyumardi Azra yang disebut-sebut sebagai simpatisan JIL (Jaringan Islam
Liberal) yang sesat menyesatkan itu.
11.
Orang yang menganggap Nabi saw
memberikan wirid-wirid untuk diamalkan, padahal beliau telah wafat, maka mereka
sesat. Itulah kelompok Darul Arqam berasal dari Malaysia, yang mengaku bahwa
Syeikhnya, Syaikh Suhaimi bertemu Nabi Muhammad saw dalam keadaan melek/ jaga
di Ka’bah lalu Nabi saw memberikan wirid-wirid yang mereka sebut Aurad
Muhammadiyah. Kelompok ini sekarang menamakan diri Hawariyyun. Nama itu aslinya
adalah sebutan untuk sahabat-sahabat Nabi Isa as. Kelompok ini termasuk sejenis
kalangan tasawuf sesat dan tarekat, makanya ketika Ummat Islam ramai agar
kelompok sesat ini dilarang, maka yang tampak agak keberatan dilarangnya adalah
orang-orang NU (Nahdlatul Ulama) yang di antara mereka ada yang bergelimang
bahkan membuat tasawuf sesat (Lihat buku Hartono Ahmad Jaiz, Bila Kyai
Dipertuhankan Membedah Sikap Beragama NU dan buku Tasawuf Belitan Iblis)..
Keterangan 2. Mengenai wilayah cabang (furu’) adalah yang tidak ada dalilnya, atau ada dalilnya namun tidak menunjukkan makna yang pasti, bisa punya dua makna atau maknanya tidak tegas pasti. Misalnya, apakah sesudah Imam shalat membaca fatihah secara jahar/ keras, lalu ma’mum wajib membaca fatihah? Itu tidak ada dalil yang pasti. Maka di situlah ruang ijtihad (mencurahkan pikiran) untuk menentukan hukumnya. Yang berijtihad itu adalah yang memenuhi syarat, yaitu ulama yang menguasai ilmunya. Hasil ijtihad itu bisa berbeda satu dengan lainnya. Maka ada istilah ikhtilaf, yaitu beda pendapat. Di situ masih ada kesempatan lagi untuk menentukan mana yang lebih kuat dalilnya. Itulah namanya mentarjih yaitu menentukan mana yang lebih kuat.
Di wilayah furu’ inipun bisa timbul kesesatan, apabila orang yang tidak tahu malah memberi fatwa tanpa ilmu. Atau bila orang sengaja untuk menyelisihi dari ketentuan Islam. walaupun ketentuan itu bukan merupakan pokok, dan hanya menyangkut sunnat, namun bila diubah semaunya, maka sesat pula. Contohnya, Ma’had Al-Zaitun pimpinan AS Panji Gumilang di Indramayu Jawa Barat mengubah penyembelihan hewan qurban dengan duit, tanpa diadakan penyembelihan qurban, dengan alasan, telah banyak hewan diqurbankan namun tidak mensejahtera-sejahterakan ummat pula. Pengubahan itu adalah kesesatan.
Contoh lain, orang-orang sekuler dan anti Islam memaknakan negara agama itu adalah teokrasi yang pengertiannya negara kependetaan. Lalu mereka menimpakan pengertian dari luar Islam itu kepada Islam, padahal negara agama kalau dirujuk kepada praktek kepemimpinan kekuasaan dalam Islam (zaman Nabi saw dan Khluafaur Rasyidin) maka istilah sekarang adalah negara hukum atau nomokrasi, yang hukumnya itu adalah syari’at Islam. Jadi negara agama menurut praktek dalam Islam adalah negara berdasarkan syari’at Islam, bukan negara teokrasi yang muatannya adalah kependetaan. (Lebih jelasnya, silakan baca buku Gus Dur Menjual Bapaknya, Bantahan Pengantar Buku Aku Bangga Jadi Anak PKI, Darul Falah, Jakarta 2003).
Keterangan 3. Mengenai wilayah yang didiamkan (maskut ‘anhu), biasanya adalah menyangkut dunia. Hal-hal yang dibiarkan, tidak ditentukan oleh ayat ataupun hadits, dalam urusan dunia ini, maka boleh-boleh saja, alias mubah. Terhadap yang mubah/ boleh-boleh saja inipun bisa timbul kesesatan, yakni apabila orang membuat larangan untuk drinya atau pengikutnya dalam rangka ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah padahal tak ada larangan syari’atnya.
Misalnya, orang-orang Tarekat untuk mendekatkan diri kepada Allah maka mereka mengadakan larangan sendiri, tidak boleh makan daging atau ikan ketika mereka mengadakan suluk (mengkhususkan waktu untuk beribadah). Memakan daging halal.itu hukum asalnya adalah mubah/ boleh-boleh saja. Lalu diadakan larangan sendiri demi beribadah kepada Allah. Pengadaan larangan sendiri dan untuk ibadah, itulah kesesatan. Namun kalau pelarangan itu karena menjaga kesehatan, misalnya tidak minum kopi karena darah tinggi, maka boleh. Demikian pula, kalau makanan syubhat (samar antara halal dan haram) kemudian kita menjauhinya karena menjaga ibadah, justru baik. Karena berarti kita menjauhkan diri dari yang mendekati keharaman. Ini berbeda dengan mengharamkan sendiri hal yang halal demi ibadah.
Keterangan 2. Mengenai wilayah cabang (furu’) adalah yang tidak ada dalilnya, atau ada dalilnya namun tidak menunjukkan makna yang pasti, bisa punya dua makna atau maknanya tidak tegas pasti. Misalnya, apakah sesudah Imam shalat membaca fatihah secara jahar/ keras, lalu ma’mum wajib membaca fatihah? Itu tidak ada dalil yang pasti. Maka di situlah ruang ijtihad (mencurahkan pikiran) untuk menentukan hukumnya. Yang berijtihad itu adalah yang memenuhi syarat, yaitu ulama yang menguasai ilmunya. Hasil ijtihad itu bisa berbeda satu dengan lainnya. Maka ada istilah ikhtilaf, yaitu beda pendapat. Di situ masih ada kesempatan lagi untuk menentukan mana yang lebih kuat dalilnya. Itulah namanya mentarjih yaitu menentukan mana yang lebih kuat.
Di wilayah furu’ inipun bisa timbul kesesatan, apabila orang yang tidak tahu malah memberi fatwa tanpa ilmu. Atau bila orang sengaja untuk menyelisihi dari ketentuan Islam. walaupun ketentuan itu bukan merupakan pokok, dan hanya menyangkut sunnat, namun bila diubah semaunya, maka sesat pula. Contohnya, Ma’had Al-Zaitun pimpinan AS Panji Gumilang di Indramayu Jawa Barat mengubah penyembelihan hewan qurban dengan duit, tanpa diadakan penyembelihan qurban, dengan alasan, telah banyak hewan diqurbankan namun tidak mensejahtera-sejahterakan ummat pula. Pengubahan itu adalah kesesatan.
Contoh lain, orang-orang sekuler dan anti Islam memaknakan negara agama itu adalah teokrasi yang pengertiannya negara kependetaan. Lalu mereka menimpakan pengertian dari luar Islam itu kepada Islam, padahal negara agama kalau dirujuk kepada praktek kepemimpinan kekuasaan dalam Islam (zaman Nabi saw dan Khluafaur Rasyidin) maka istilah sekarang adalah negara hukum atau nomokrasi, yang hukumnya itu adalah syari’at Islam. Jadi negara agama menurut praktek dalam Islam adalah negara berdasarkan syari’at Islam, bukan negara teokrasi yang muatannya adalah kependetaan. (Lebih jelasnya, silakan baca buku Gus Dur Menjual Bapaknya, Bantahan Pengantar Buku Aku Bangga Jadi Anak PKI, Darul Falah, Jakarta 2003).
Keterangan 3. Mengenai wilayah yang didiamkan (maskut ‘anhu), biasanya adalah menyangkut dunia. Hal-hal yang dibiarkan, tidak ditentukan oleh ayat ataupun hadits, dalam urusan dunia ini, maka boleh-boleh saja, alias mubah. Terhadap yang mubah/ boleh-boleh saja inipun bisa timbul kesesatan, yakni apabila orang membuat larangan untuk drinya atau pengikutnya dalam rangka ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah padahal tak ada larangan syari’atnya.
Misalnya, orang-orang Tarekat untuk mendekatkan diri kepada Allah maka mereka mengadakan larangan sendiri, tidak boleh makan daging atau ikan ketika mereka mengadakan suluk (mengkhususkan waktu untuk beribadah). Memakan daging halal.itu hukum asalnya adalah mubah/ boleh-boleh saja. Lalu diadakan larangan sendiri demi beribadah kepada Allah. Pengadaan larangan sendiri dan untuk ibadah, itulah kesesatan. Namun kalau pelarangan itu karena menjaga kesehatan, misalnya tidak minum kopi karena darah tinggi, maka boleh. Demikian pula, kalau makanan syubhat (samar antara halal dan haram) kemudian kita menjauhinya karena menjaga ibadah, justru baik. Karena berarti kita menjauhkan diri dari yang mendekati keharaman. Ini berbeda dengan mengharamkan sendiri hal yang halal demi ibadah.
Kesimpulan: Dari 3 wilayah
(ushul, furu’, dan mubah) itu ada celah-celah yang bisa timbul kesesatan. Namun
kesesatan yang paling banyak dan membahayakan aqidah/ keyakinan adalah yang
menyangkut ushul (pokok). Karena, begitu menyelisihi dalil yang sudah jelas,
maka sesat.
Adapun mengenai yang furu’, kesesatannya adalah mengada-adakan sesuatu tanpa diketahui dalilnya, ataupun mengubah aturan tidak sesuai dengan dalil, seperti tentang menyembelih binatang qurban diubah jadi penyetoran duit lalu duit itu tidak untuk beli binatang qurban tetapi untuk lain-lain, dengan alasan yang dibuat-buat. Juga mengalihkan pengertian istilah dalam Islam kepada istilah yang bukan Islam hingga pengertiannya jauh berubah.
Kesesatan pun bisa timbul di wilayah yang mubah/ boleh-boleh saja. Yaitu bila orang mengadakan pelarangan terhadap hal yang sebenarnya tidak dilarang, yang pengadaan larangannya itu demi ibadah.
Kesesatan-kesesatan itu beda-beda tingkatnya, ada yang sampai kafir, misalnya menganggap Allah SWT tidak mengutus Nabi Muhammad saw, shalat 5 waktu itu tidak wajib dan sebagainya.
Ada yang sesatnya tidak sampai kafir, misalnya atas nama untuk ibadah, lalu melarang dirinya makan daging (pada waktu-waktu tertentu) padahal daging halal. Meskipun kesesatannya itu tidak sampai kafir, namun merusak agama. Sebab sudah mengada-adakan aturan/ syari’at baru. Dan hal itu dilarang mengadakannya oleh Rasulullah saw.
Itulah letak-letak kesesatan dan contoh-contoh jenisnya yang senantiasa menggerogoti Ummat Islam di Indonesia bahkan bisa jadi sedunia. Ummat Islam wajib mewaspadainya dan menghindarkan diri serta keluarga dari aneka kesesatan itu, supaya ketika maut menjemput, masih tetap dalam keadaan Muslim. Sebagaimana Allah swt telah wanti-wanti (berpesan dengan sungguh-sungguh agar dijaga pesan itu):
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Ali Imran: 102).
Untuk lebih komplitnya silakan baca buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia. (Hartono Ahmad Jaiz). [Majalah Media Dakwah, Jakarta, Mei 2003].
Adapun mengenai yang furu’, kesesatannya adalah mengada-adakan sesuatu tanpa diketahui dalilnya, ataupun mengubah aturan tidak sesuai dengan dalil, seperti tentang menyembelih binatang qurban diubah jadi penyetoran duit lalu duit itu tidak untuk beli binatang qurban tetapi untuk lain-lain, dengan alasan yang dibuat-buat. Juga mengalihkan pengertian istilah dalam Islam kepada istilah yang bukan Islam hingga pengertiannya jauh berubah.
Kesesatan pun bisa timbul di wilayah yang mubah/ boleh-boleh saja. Yaitu bila orang mengadakan pelarangan terhadap hal yang sebenarnya tidak dilarang, yang pengadaan larangannya itu demi ibadah.
Kesesatan-kesesatan itu beda-beda tingkatnya, ada yang sampai kafir, misalnya menganggap Allah SWT tidak mengutus Nabi Muhammad saw, shalat 5 waktu itu tidak wajib dan sebagainya.
Ada yang sesatnya tidak sampai kafir, misalnya atas nama untuk ibadah, lalu melarang dirinya makan daging (pada waktu-waktu tertentu) padahal daging halal. Meskipun kesesatannya itu tidak sampai kafir, namun merusak agama. Sebab sudah mengada-adakan aturan/ syari’at baru. Dan hal itu dilarang mengadakannya oleh Rasulullah saw.
Itulah letak-letak kesesatan dan contoh-contoh jenisnya yang senantiasa menggerogoti Ummat Islam di Indonesia bahkan bisa jadi sedunia. Ummat Islam wajib mewaspadainya dan menghindarkan diri serta keluarga dari aneka kesesatan itu, supaya ketika maut menjemput, masih tetap dalam keadaan Muslim. Sebagaimana Allah swt telah wanti-wanti (berpesan dengan sungguh-sungguh agar dijaga pesan itu):
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Ali Imran: 102).
Untuk lebih komplitnya silakan baca buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia. (Hartono Ahmad Jaiz). [Majalah Media Dakwah, Jakarta, Mei 2003].
Kecerobohan Intelektual
Munculnya intelektual yang
pendapat-pendapatnya disebarluaskan ke public yang menyesatkan bila dibiarkan
akan melahirkan para intelektual yang jahil. Baca CAP ke-56 Adian
Husaini, MA
Dunia intelektual Indonesia,
sejak beberapa waktu lalu, dikenalkan dengan munculnya sebuah kelompok bernama ?Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah?, disingkat JIMM. Adalah sesuatu yang menggembirakan,
bahwa di kalangan organisasi Islam, muncul semangat ilmiah, semangat untuk
mengkaji ilmu dan menyebarkan ilmu ke tengah masyarakat. Termasuk di lingkungan
Muhammadiyah. Sebab, kita tahu, masalah ilmu sangatlah mendasar dalam pandangan
Islam. Banyak ayat al-Quran dan hadith Nabi Muhammad saw yang menekankan
pentingnya peran ilmu dalam kehidupan manusia. Karena itu, kaum Muslim
diwajibkan untuk menuntut ilmu sepanjang hayat. Orang-orang yang berilmu, yang
disebut ulama, sangat dihormati posisinya. Ulama bukan hanya orang yang pintar
tetapi yang juga bertaqwa kepada Allah. (QS 35:28). Ulama-ulama yang jahat (ulamaa? al-suu?),
sangatlah berbahaya bagi masyarakat. Baik ulama yang ilmunya salah, maupun
ulama yang perilakunya jahat.
Sebab itu, orang yang ingin menyebut atau disebut dirinya ulama, cendekiawan, intelektual, dan sebagainya, yang ingin pendapat-pendapatnya didengar dan dituruti masyarakat, perlu sangat berhati-hati, senantiasa bersikap cermat, teliti, dan tidak mudah menyebarkan pendapatnya kepada masyarakat. Apalagi, ada hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Ad Darimy, yang menyatakan "Orang yang terlalu mudah berfatwa (ceroboh) dalam berfatwa diantara kamu, akan masuk neraka.? (Lihat al-Faidhul Qadir, Jld 1, hadith no.183).
Diceritakan dalam buku Biografi Empat Imam Mazhab, karya Munawar Khalil, bawa Imam Malik -- guru Imam Syafii -- dikenal sangat berhati-hati dalam berpendapat dan bahkan lebih banyak menjawab "saya belum tahu" ketika ditanya pendapatnya tentang berbagai hal. Imam Syafii menceritakan, "Sungguh aku telah menyaksikan pada Imam Malik, bahwa beliau pernah ditanya masalah-masalah sebanyak 48 masalah. Beliau menjawab 32 masalah dengan perkataan, "Saya belum tahu".
Imam Abu Mash'ab juga menceritakan, "Aku belum pernah memberi fatwa tentang satu masalah, sehingga aku mengambil saksi dengan 70 orang ulama, bahwa aku memang ahli dalam soal yang demikian itu." Imam Abu Musa juga menceritakan, bahwa ketika berkunjung ke Iraq, Imam Malik ditanya 40 masalah, dan hanya 5 yang dijawabnya. "Tidak ada perkara yang lebih berat atas diriku, selain daripada ditanya tentang hukum-hukum halal dan haram," kata Imam Malik. Terkadang, untuk menemukan jawaban atas sesuatu, Imam Malik sampai tidak dapat makan dan tidur pulas. Kehati-hatian para imam besar itu, sangat perlu menjadi pelajaran. Sebab, jika seseorang salah dalam menyebarkan pendapat, maka ia akan bertanggungjawab terhadap kesalahan yang timbul akibat perbuatannya.
Karena itu, pada satu sisi kita gembira dengan bersemangatnya kaum muda muslim melakukan kajian-kajian keislaman. Namun, pada sisi lain, kita juga perlu prihatin jika kajian-kajian itu dilakukan dengan tidak serius dan sepintas tanpa mendalami akar persoalannya. Sebagai contoh, adalah tulisan yang dibuat oleh Ketua Program Kajian Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), pada 21 Mei 2004, di Republika, yang berjudul ?Menghindari Kejumudan Penafsiran Islam?.
Kita bisa menyimak berbagai kecerobohan dan kekeliruan fakta dan pendapat yang cukup fatal dalam tulisan tersebut:
1. Ditulis: ?Banyak yang mengganggap dan mempercayai, bahwa Islam yang otentik dan paling benar adalah Islam yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad semasa hidup.?
Kita bertanya: ?Apakah ada orang lain, termasuk di lingkungan Muhammadiyah, yang memahami dan mempraktikkan Islam lebih baik dari apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw? Bukankah kuam Muslim pasti meyakini, bahwa Nabi saw adalah uswatun hasanah; contoh yang baik??
Kita sungguh sulit memahami, jika ada yang menyebut dirinya intelektual Muslim, tetapi berani melakukan gugatan terhadap keislaman Nabi Muhammad saw, dengan alasan apa pun, termasuk dengan menyatakan, bahwa ?pemahaman dan pelaksanaan Islam di masa Nabi SAW itu, hanya cocok untuk zaman dan tempatnya saja. ?Nabi hidup di zaman onta, kita hidup di zaman pesawat terbang," katanya.
Simaklah sebuah tulisan karya seorang dosen pemikiran Islam di Universitas Paramadina Mulya, di website islam liberal, 17 Mei 2004, yang menyatakan sebagai berikut: ?Beranikah kita, misalnya, menggunakan pemahaman kita sendiri terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang kita hadapai sekarang? Beranikah kita menggunakan hasil pemahaman kita sendiri berhadapan dengan pandangan-pandangan di luar kita? Misalnya berhadapan dengan Sayyid Qutb, al-Banna, Qardawi, Nabhani, Rashid Ridha, Muhammad bin Abd al-Wahab, Ibn Taymiyyah, al-Ghazali, Imam Syafii, al-Bukhari, para sahabat, dan bahkan bisa juga Nabi Muhammad sendiri.?
Begitulah kata-kata calon doktor yang merupakan alumnus pesantren terkenal di Bekasi. Bayangkan, ada dosen pemikiran Islam, yang tetap mengaku Muslim, yang berani mengkategorikan, pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah, al-Ghazali, Imam al-Syafii, para sahabat, bahkan pemikiran Nabi Muhammad SAW, dan mengajak kita untuk berani mengkritik mereka. Sementara, di tulisan yang sama, dia mengutip pendapat seorang Immanuel Kant, tanpa kritik apa pun!
Sebagai Muslim kita wajib beriman bahwa Nabi Muhammad adalah ma?shum, terjaga dari kesalahan. Jika ada meragukan akan hal ini, konsekuensinya, jelas akan meragukan al-Quran dan hadits Nabi sebagai sumber kebenaran. Jika hal itu terjadi, maka apakah lagi yang tersisa dari Islam? Padahal, Allah SWT berfirman: ?Dan dia (Muhammad SAW) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya.? (QS, Al-Najm: 3).
Nabi Muhammad SAW memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau menerima al-wahyu. (QS Fushilat:6). Bahkan, dalam surat al-Haaqqah ayat 44-46, Allah memberikan ancaman kepada Nabi Muhammad SAW: ?Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.?
Jadi, Nabi Muhammad SAW adalah penerima wahyu, dan beliau adalah yang paling memahami makna yang terkandung dalam wahyu tersebut. Kita sungguh sulit memahami, jika ada manusia yang merasa lebih pandai dari Nabi SAW dalam menafsirkan al-Quran.
2. Ditulis: ?Bila kita lihat ke belakang, hal itu berawal dari intensnya persentuhan umat Islam dengan politik dan perebutan kekuasaan pada masa dan pasca dinasti Abbasiyah dan Umayyah. Secara simbolik, mungkin saat itu bisa dikatakan Islam mencapai zaman keagungan. Namun, perkembangan Islam secara substansial sebetulnya menjadi stagnan. Terlebih lagi, setelah daerah kekuasaan Islam banyak yang jatuh ke tangan bangsa kolonial lewat Perang Salib ataupun perang saudara. Sebab, saat itu para ulama menyerukan agar ijtihad dihentikan. Alasannya, jika perbedaaan pemahaman keagamaan dibiarkan terus berlanjut, umat Islam semakin terpuruk karena terjadi perang saudara.
Pada akhirnya, fikih boleh berkembang dibatasi hanya pada 4 (empat) mazhab; Hambali, Maliki, Hanafi, dan Syafii. Sedangkan kalam (teologi) yang banyak dianut adalah teologi Asy'ariah. Dan tasawuf serta filsafat yang dijadikan rujukan adalah paham yang dibawa oleh Al-Ghazali.? Begitulah kutipan dari penulis artikel tersebut.
Kita sebenarnya sulit memahami logika penulis dari kelompok intelektual yang mengusung nama Muhammadiyah ini. Sejak berdirinya daulah Madinah, dengan Konstitusi Madinah-nya, yang sangat terkenal dan diakui sebagai ?Konstitusi tertulis pertama di dunia?, maka sejak itu pula umat Islam sudah intens dengan politik. Nabi Muhammad SAW adalah kepala negara. Begitu juga para khulafaurrasyidin. Jadi, apa yang aneh dengan persentuhan yang intens antara umat Islam dengan politik? Apakah karena itu, kemudian terjadi penyimpangan dalam penafsiran ajaran Islam? Logika ini hanya muncul, jika kata ?politik? dipahami dalam kerangka pikir Machiavelis.
Kita bertanya kepada penulis artikel itu: ?Siapakah ulama yang menyerukan ijtihad dihentikan? Ketika Perang Salib bermula, tahun 1095, dan mulai menduduki sebagian wilayah Suria, tahun 1097, umat Islam masih mengalami zaman kegemilangan secara peradaban, termasuk dalam bidang intelektual. Hanya sebagian kecil wilayah Islam yang jatuh ke tangan pasukan Salib. Literatur tentang masalah ini melimpah ruah.
Pada saat-saat itu pula, al-Ghazali menulis karya besarnya, Ihya? Ulum al-Diin. Berabad-abad kemudian, masih bermunculan ulama-ulama besar, seperti Ibn Taimiyah, Imam Fakhruddin al-Razi, dan sebagainya, dengan karya-karya agung mereka, yang hingga kini masih dijadikan bahan kajian para intelektual ?-muslim dan non-muslim-? di berbagai dunia. Pintu Ijtihad tidak pernah tertutup. Tidak ada yang bisa menutup pintu ijtihad itu. Hanya saja, seseorang mestilah ?berkaca diri?, apakah dirinya memang layak mengaku mujtahid, padahal belum memahami al-Quran, hadith, serta berbagai perangkat ijtihad lainnya. Imam dan pemikir besar seperti al-Ghazali, al-Bukhari, dan sebagainya, tetaplah mengakui mengikuti Imam al-Syafii dalam bidang ushul fiqih. Jika Imam al-Bukhari saja mau mengakui keagungan Imam al-Syafii, apakah ada intelektual dari Muhammadiyah yang bisa menyusun hadith sendiri, tanpa mengikuti koleksi hadith al-Bukhari? Bahkan, tokoh Mu?tazilah, Qadhi Abdul Jabbar pun juga bermazhab al-Syafii. Imam Ibn Taimiyah yang telah menulis ratusan Kitab juga mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Imam al-Ghazali, meskipun beliau menulis kitab Ushul Fiqih, tetapi beliau pun tetap mengakui otoritas al-Syafii. Itulah sikap para ilmuwan Muslim, tahu adab, tahu diri, tawadhu?, mengakui otoritas ilmuwan lain, yang diakuinya lebih hebat dari dirinya.
Jika penulis artikel dari intelektual Muhammadiyah itu lebih mau bersikap cermat, maka akan paham, bahwa mazhab fiqih dalam Islam tidak hanya empat itu saja. Ada mazhab Ja?fary, Dawud al-Dhahiry, dan sebagainya. Sudah banyak kajian, mengapa empat mazhab itu yang kemudian lebih berkembang di dunia Islam. Tidak ada yang membatasi bahwa mazhab fiqih yang boleh berkembang hanya empat mazhab itu saja.
3. Ditulis juga: ?Pembakuan penafsiran dan corak keber-Islam-an itu, sebetulnya justru malah membuat umat Islam tidak kreatif, apologetis, serta senantiasa memuja masa lalu. Mereka seringkali tidak berusaha untuk mencari makna agama dengan berpikir mandiri dan kritis, soalnya semua urusan senantiasa dikembalikan ke otoritas teks dan masa lalu. Padahal, menurut Nasr Hamid Abu Zaid (2003), antara Islam dan pemahaman Islam haruslah dibedakan. Artinya, Islam sebagai wahyu Tuhan adalah bersifat universal dan berlaku sepanjang masa. Akan tetapi, untuk mewujudkan wahyu Islam yang universal itu dalam tatanan kehidupan yang nyata, membutuhkan sebuah pemahaman. Dan pemahaman itu, tentu sangat berkaitan dengan situasi geografis dan perkembangan zaman yang terjadi.?
Mencermati tulisan intelelektual muda Muhammadiyah ini, kita patut prihatin, karena pada akhirnya, ia pun merujuk dan memuja masa lalu, dengan menokohkan Nasr Hamid Abu Zaid, yang banyak memuji aliran Mu?tazilah. Padahal, jika kita telaah buku Mafhum al-Nash, dan karya-karya Nasr Hamid yang lain, banyak masalah yang bisa kita kritisi. Dr. Anis Malik Toha, dosen di Universitas Islam Internasional Malaysia, dalam kajiannya terhadap buku Nasr Hamid yang berjudul ?Naqd al-Khitab al-Diiniy?, membuktikan, bahwa adanya dominasi pola pikir sekulerisme dalam diri Nasr Hamid. Karena itu, sebelum seseorang menolak dan membuang karya-karya besar ulama Islam terdahulu, dan mengadopsi pemikir modern seperti Nasr Hamid, mestinya dilakukan kajian yang serius dulu. Jika tidak, maka yang akan terjadi adalah berbagai berbagai ironi.
Bisa-bisa muncul apa yang disebut sebagai ?mujtahidun jahilun?, mujtahid bodoh, yang ingin disebut mujtahid, tetapi sejatinya tidak tahu apa-apa.
Jika kita melakukan kajian peradaban dengan serius, maka kita akan menjumpai, bahwa Umat Islam mencapai kegemilangan selama ratusan tahun, dengan menggunakan pola pendekatan yang dicontohkan Rasulullah, para sahabat, tabi?in, para ulama besar, seperti Maliki, al-Syafii, al-Asy?ari, al-Ghazali, dan sebagainya. Contoh yang jelas, adalah bagaimana keberhasilan Shalahuddin al-Ayyubi dalam mengembalikan kejayaan Islam dan mengalahkan Pasukan Salib, serta merebut Jerusalem pada tahun 1187. Buku yang ditulis Carole Hillenbrand, berjudul ?The Crusades: Islamic Perspectives? ( Edinburgh University Press, 1999), menggambarkan bagaimana pengaruh pemikiran Islam mazhab Asy?ari, Syafii, dan peran para ulama Ahlus Sunnah lainnya, dalam kebangkitan para pemimpin Muslim ketika itu, termasuk dalam diri Shalahuddin al-Ayyubi.
Tentang masalah geografi dan waktu, sebenarnya juga hal yang sangat jelas dalam Islam. Kita bisa melihat, bahwa dalam banyak aspek, ajaran Islam bersifat universal, tidak melihat tempat dan waktu. Kapanpun, di mana pun, kaum Muslim akan sholat dalam bahasa Arab, Azan dalam bahasa Arab, meskipun masyarakat tidak mengerti makna azan itu. Tidak boleh diubah. Apakah terpikir, jika di kalangan JIMM ada yang tidak mengerti bahasa Arab lalu mengubah azan dalam bahasa Jawa, agar Islam cocok untuk setiap tempat? Tentu tidak, sampai kapan pun!
Sebab itu, kita sebenarnya sangat prihatin, jika pikiran-pikiran yang sebenarnya tidak cermat, ceroboh, keliru, dan tidak mendalam, disebarkan ke tengah masyarakat dengan mengatasnamakan ?intelektual? dari organisasi Islam tertentu. Masalah kekeliruan pemikiran ini sangat penting, tidak kalah pentingnya dengan pemilihan Presiden. Sebab, jika Presiden yang kita pilih berpikir salah tentang Islam atau dikelilingi oleh orang-orang yang berpikir salah, maka dampaknya akan sangat besar buat Islam, umat Islam, dan bangsa Indonesia. Wallahu a?lam. (KL, 26 Mei 2004).
Sebab itu, orang yang ingin menyebut atau disebut dirinya ulama, cendekiawan, intelektual, dan sebagainya, yang ingin pendapat-pendapatnya didengar dan dituruti masyarakat, perlu sangat berhati-hati, senantiasa bersikap cermat, teliti, dan tidak mudah menyebarkan pendapatnya kepada masyarakat. Apalagi, ada hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Ad Darimy, yang menyatakan "Orang yang terlalu mudah berfatwa (ceroboh) dalam berfatwa diantara kamu, akan masuk neraka.? (Lihat al-Faidhul Qadir, Jld 1, hadith no.183).
Diceritakan dalam buku Biografi Empat Imam Mazhab, karya Munawar Khalil, bawa Imam Malik -- guru Imam Syafii -- dikenal sangat berhati-hati dalam berpendapat dan bahkan lebih banyak menjawab "saya belum tahu" ketika ditanya pendapatnya tentang berbagai hal. Imam Syafii menceritakan, "Sungguh aku telah menyaksikan pada Imam Malik, bahwa beliau pernah ditanya masalah-masalah sebanyak 48 masalah. Beliau menjawab 32 masalah dengan perkataan, "Saya belum tahu".
Imam Abu Mash'ab juga menceritakan, "Aku belum pernah memberi fatwa tentang satu masalah, sehingga aku mengambil saksi dengan 70 orang ulama, bahwa aku memang ahli dalam soal yang demikian itu." Imam Abu Musa juga menceritakan, bahwa ketika berkunjung ke Iraq, Imam Malik ditanya 40 masalah, dan hanya 5 yang dijawabnya. "Tidak ada perkara yang lebih berat atas diriku, selain daripada ditanya tentang hukum-hukum halal dan haram," kata Imam Malik. Terkadang, untuk menemukan jawaban atas sesuatu, Imam Malik sampai tidak dapat makan dan tidur pulas. Kehati-hatian para imam besar itu, sangat perlu menjadi pelajaran. Sebab, jika seseorang salah dalam menyebarkan pendapat, maka ia akan bertanggungjawab terhadap kesalahan yang timbul akibat perbuatannya.
Karena itu, pada satu sisi kita gembira dengan bersemangatnya kaum muda muslim melakukan kajian-kajian keislaman. Namun, pada sisi lain, kita juga perlu prihatin jika kajian-kajian itu dilakukan dengan tidak serius dan sepintas tanpa mendalami akar persoalannya. Sebagai contoh, adalah tulisan yang dibuat oleh Ketua Program Kajian Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), pada 21 Mei 2004, di Republika, yang berjudul ?Menghindari Kejumudan Penafsiran Islam?.
Kita bisa menyimak berbagai kecerobohan dan kekeliruan fakta dan pendapat yang cukup fatal dalam tulisan tersebut:
1. Ditulis: ?Banyak yang mengganggap dan mempercayai, bahwa Islam yang otentik dan paling benar adalah Islam yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad semasa hidup.?
Kita bertanya: ?Apakah ada orang lain, termasuk di lingkungan Muhammadiyah, yang memahami dan mempraktikkan Islam lebih baik dari apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw? Bukankah kuam Muslim pasti meyakini, bahwa Nabi saw adalah uswatun hasanah; contoh yang baik??
Kita sungguh sulit memahami, jika ada yang menyebut dirinya intelektual Muslim, tetapi berani melakukan gugatan terhadap keislaman Nabi Muhammad saw, dengan alasan apa pun, termasuk dengan menyatakan, bahwa ?pemahaman dan pelaksanaan Islam di masa Nabi SAW itu, hanya cocok untuk zaman dan tempatnya saja. ?Nabi hidup di zaman onta, kita hidup di zaman pesawat terbang," katanya.
Simaklah sebuah tulisan karya seorang dosen pemikiran Islam di Universitas Paramadina Mulya, di website islam liberal, 17 Mei 2004, yang menyatakan sebagai berikut: ?Beranikah kita, misalnya, menggunakan pemahaman kita sendiri terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang kita hadapai sekarang? Beranikah kita menggunakan hasil pemahaman kita sendiri berhadapan dengan pandangan-pandangan di luar kita? Misalnya berhadapan dengan Sayyid Qutb, al-Banna, Qardawi, Nabhani, Rashid Ridha, Muhammad bin Abd al-Wahab, Ibn Taymiyyah, al-Ghazali, Imam Syafii, al-Bukhari, para sahabat, dan bahkan bisa juga Nabi Muhammad sendiri.?
Begitulah kata-kata calon doktor yang merupakan alumnus pesantren terkenal di Bekasi. Bayangkan, ada dosen pemikiran Islam, yang tetap mengaku Muslim, yang berani mengkategorikan, pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah, al-Ghazali, Imam al-Syafii, para sahabat, bahkan pemikiran Nabi Muhammad SAW, dan mengajak kita untuk berani mengkritik mereka. Sementara, di tulisan yang sama, dia mengutip pendapat seorang Immanuel Kant, tanpa kritik apa pun!
Sebagai Muslim kita wajib beriman bahwa Nabi Muhammad adalah ma?shum, terjaga dari kesalahan. Jika ada meragukan akan hal ini, konsekuensinya, jelas akan meragukan al-Quran dan hadits Nabi sebagai sumber kebenaran. Jika hal itu terjadi, maka apakah lagi yang tersisa dari Islam? Padahal, Allah SWT berfirman: ?Dan dia (Muhammad SAW) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya.? (QS, Al-Najm: 3).
Nabi Muhammad SAW memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau menerima al-wahyu. (QS Fushilat:6). Bahkan, dalam surat al-Haaqqah ayat 44-46, Allah memberikan ancaman kepada Nabi Muhammad SAW: ?Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.?
Jadi, Nabi Muhammad SAW adalah penerima wahyu, dan beliau adalah yang paling memahami makna yang terkandung dalam wahyu tersebut. Kita sungguh sulit memahami, jika ada manusia yang merasa lebih pandai dari Nabi SAW dalam menafsirkan al-Quran.
2. Ditulis: ?Bila kita lihat ke belakang, hal itu berawal dari intensnya persentuhan umat Islam dengan politik dan perebutan kekuasaan pada masa dan pasca dinasti Abbasiyah dan Umayyah. Secara simbolik, mungkin saat itu bisa dikatakan Islam mencapai zaman keagungan. Namun, perkembangan Islam secara substansial sebetulnya menjadi stagnan. Terlebih lagi, setelah daerah kekuasaan Islam banyak yang jatuh ke tangan bangsa kolonial lewat Perang Salib ataupun perang saudara. Sebab, saat itu para ulama menyerukan agar ijtihad dihentikan. Alasannya, jika perbedaaan pemahaman keagamaan dibiarkan terus berlanjut, umat Islam semakin terpuruk karena terjadi perang saudara.
Pada akhirnya, fikih boleh berkembang dibatasi hanya pada 4 (empat) mazhab; Hambali, Maliki, Hanafi, dan Syafii. Sedangkan kalam (teologi) yang banyak dianut adalah teologi Asy'ariah. Dan tasawuf serta filsafat yang dijadikan rujukan adalah paham yang dibawa oleh Al-Ghazali.? Begitulah kutipan dari penulis artikel tersebut.
Kita sebenarnya sulit memahami logika penulis dari kelompok intelektual yang mengusung nama Muhammadiyah ini. Sejak berdirinya daulah Madinah, dengan Konstitusi Madinah-nya, yang sangat terkenal dan diakui sebagai ?Konstitusi tertulis pertama di dunia?, maka sejak itu pula umat Islam sudah intens dengan politik. Nabi Muhammad SAW adalah kepala negara. Begitu juga para khulafaurrasyidin. Jadi, apa yang aneh dengan persentuhan yang intens antara umat Islam dengan politik? Apakah karena itu, kemudian terjadi penyimpangan dalam penafsiran ajaran Islam? Logika ini hanya muncul, jika kata ?politik? dipahami dalam kerangka pikir Machiavelis.
Kita bertanya kepada penulis artikel itu: ?Siapakah ulama yang menyerukan ijtihad dihentikan? Ketika Perang Salib bermula, tahun 1095, dan mulai menduduki sebagian wilayah Suria, tahun 1097, umat Islam masih mengalami zaman kegemilangan secara peradaban, termasuk dalam bidang intelektual. Hanya sebagian kecil wilayah Islam yang jatuh ke tangan pasukan Salib. Literatur tentang masalah ini melimpah ruah.
Pada saat-saat itu pula, al-Ghazali menulis karya besarnya, Ihya? Ulum al-Diin. Berabad-abad kemudian, masih bermunculan ulama-ulama besar, seperti Ibn Taimiyah, Imam Fakhruddin al-Razi, dan sebagainya, dengan karya-karya agung mereka, yang hingga kini masih dijadikan bahan kajian para intelektual ?-muslim dan non-muslim-? di berbagai dunia. Pintu Ijtihad tidak pernah tertutup. Tidak ada yang bisa menutup pintu ijtihad itu. Hanya saja, seseorang mestilah ?berkaca diri?, apakah dirinya memang layak mengaku mujtahid, padahal belum memahami al-Quran, hadith, serta berbagai perangkat ijtihad lainnya. Imam dan pemikir besar seperti al-Ghazali, al-Bukhari, dan sebagainya, tetaplah mengakui mengikuti Imam al-Syafii dalam bidang ushul fiqih. Jika Imam al-Bukhari saja mau mengakui keagungan Imam al-Syafii, apakah ada intelektual dari Muhammadiyah yang bisa menyusun hadith sendiri, tanpa mengikuti koleksi hadith al-Bukhari? Bahkan, tokoh Mu?tazilah, Qadhi Abdul Jabbar pun juga bermazhab al-Syafii. Imam Ibn Taimiyah yang telah menulis ratusan Kitab juga mengikuti mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Imam al-Ghazali, meskipun beliau menulis kitab Ushul Fiqih, tetapi beliau pun tetap mengakui otoritas al-Syafii. Itulah sikap para ilmuwan Muslim, tahu adab, tahu diri, tawadhu?, mengakui otoritas ilmuwan lain, yang diakuinya lebih hebat dari dirinya.
Jika penulis artikel dari intelektual Muhammadiyah itu lebih mau bersikap cermat, maka akan paham, bahwa mazhab fiqih dalam Islam tidak hanya empat itu saja. Ada mazhab Ja?fary, Dawud al-Dhahiry, dan sebagainya. Sudah banyak kajian, mengapa empat mazhab itu yang kemudian lebih berkembang di dunia Islam. Tidak ada yang membatasi bahwa mazhab fiqih yang boleh berkembang hanya empat mazhab itu saja.
3. Ditulis juga: ?Pembakuan penafsiran dan corak keber-Islam-an itu, sebetulnya justru malah membuat umat Islam tidak kreatif, apologetis, serta senantiasa memuja masa lalu. Mereka seringkali tidak berusaha untuk mencari makna agama dengan berpikir mandiri dan kritis, soalnya semua urusan senantiasa dikembalikan ke otoritas teks dan masa lalu. Padahal, menurut Nasr Hamid Abu Zaid (2003), antara Islam dan pemahaman Islam haruslah dibedakan. Artinya, Islam sebagai wahyu Tuhan adalah bersifat universal dan berlaku sepanjang masa. Akan tetapi, untuk mewujudkan wahyu Islam yang universal itu dalam tatanan kehidupan yang nyata, membutuhkan sebuah pemahaman. Dan pemahaman itu, tentu sangat berkaitan dengan situasi geografis dan perkembangan zaman yang terjadi.?
Mencermati tulisan intelelektual muda Muhammadiyah ini, kita patut prihatin, karena pada akhirnya, ia pun merujuk dan memuja masa lalu, dengan menokohkan Nasr Hamid Abu Zaid, yang banyak memuji aliran Mu?tazilah. Padahal, jika kita telaah buku Mafhum al-Nash, dan karya-karya Nasr Hamid yang lain, banyak masalah yang bisa kita kritisi. Dr. Anis Malik Toha, dosen di Universitas Islam Internasional Malaysia, dalam kajiannya terhadap buku Nasr Hamid yang berjudul ?Naqd al-Khitab al-Diiniy?, membuktikan, bahwa adanya dominasi pola pikir sekulerisme dalam diri Nasr Hamid. Karena itu, sebelum seseorang menolak dan membuang karya-karya besar ulama Islam terdahulu, dan mengadopsi pemikir modern seperti Nasr Hamid, mestinya dilakukan kajian yang serius dulu. Jika tidak, maka yang akan terjadi adalah berbagai berbagai ironi.
Bisa-bisa muncul apa yang disebut sebagai ?mujtahidun jahilun?, mujtahid bodoh, yang ingin disebut mujtahid, tetapi sejatinya tidak tahu apa-apa.
Jika kita melakukan kajian peradaban dengan serius, maka kita akan menjumpai, bahwa Umat Islam mencapai kegemilangan selama ratusan tahun, dengan menggunakan pola pendekatan yang dicontohkan Rasulullah, para sahabat, tabi?in, para ulama besar, seperti Maliki, al-Syafii, al-Asy?ari, al-Ghazali, dan sebagainya. Contoh yang jelas, adalah bagaimana keberhasilan Shalahuddin al-Ayyubi dalam mengembalikan kejayaan Islam dan mengalahkan Pasukan Salib, serta merebut Jerusalem pada tahun 1187. Buku yang ditulis Carole Hillenbrand, berjudul ?The Crusades: Islamic Perspectives? ( Edinburgh University Press, 1999), menggambarkan bagaimana pengaruh pemikiran Islam mazhab Asy?ari, Syafii, dan peran para ulama Ahlus Sunnah lainnya, dalam kebangkitan para pemimpin Muslim ketika itu, termasuk dalam diri Shalahuddin al-Ayyubi.
Tentang masalah geografi dan waktu, sebenarnya juga hal yang sangat jelas dalam Islam. Kita bisa melihat, bahwa dalam banyak aspek, ajaran Islam bersifat universal, tidak melihat tempat dan waktu. Kapanpun, di mana pun, kaum Muslim akan sholat dalam bahasa Arab, Azan dalam bahasa Arab, meskipun masyarakat tidak mengerti makna azan itu. Tidak boleh diubah. Apakah terpikir, jika di kalangan JIMM ada yang tidak mengerti bahasa Arab lalu mengubah azan dalam bahasa Jawa, agar Islam cocok untuk setiap tempat? Tentu tidak, sampai kapan pun!
Sebab itu, kita sebenarnya sangat prihatin, jika pikiran-pikiran yang sebenarnya tidak cermat, ceroboh, keliru, dan tidak mendalam, disebarkan ke tengah masyarakat dengan mengatasnamakan ?intelektual? dari organisasi Islam tertentu. Masalah kekeliruan pemikiran ini sangat penting, tidak kalah pentingnya dengan pemilihan Presiden. Sebab, jika Presiden yang kita pilih berpikir salah tentang Islam atau dikelilingi oleh orang-orang yang berpikir salah, maka dampaknya akan sangat besar buat Islam, umat Islam, dan bangsa Indonesia. Wallahu a?lam. (KL, 26 Mei 2004).
Selamatkan Masyarakat Kita dari Fatwa yang Berdasar Hawa Nafs
Oleh: Ust. Hartono Ahmad Jaiz
AlDakwah.org--Lontaran-lontaran nyeleneh (aneh) yang membahayakan bagi Islam yang biasa keluar dari mulut orang JIL (Jaringan Islam Liberal), Paramadina, dan oknum UIN (Universitas Islam Negeri/ dahulu IAIN) Jakarta, kini sudah lebih maju lagi. Bukan sekadar lontaran nyeleneh, namun praktek nyeleneh secara resmi pun diupacarakan. Di antaranya adalah upacara pernikahan Ahmad Nurcholish (27 th, Muslim) dengan Ang Mei Yong, (24 Tahun, Konghucu) di Yayasan Paramadina Jakarta, pimpinan Dr Nurcholish Madjid.
AlDakwah.org--Lontaran-lontaran nyeleneh (aneh) yang membahayakan bagi Islam yang biasa keluar dari mulut orang JIL (Jaringan Islam Liberal), Paramadina, dan oknum UIN (Universitas Islam Negeri/ dahulu IAIN) Jakarta, kini sudah lebih maju lagi. Bukan sekadar lontaran nyeleneh, namun praktek nyeleneh secara resmi pun diupacarakan. Di antaranya adalah upacara pernikahan Ahmad Nurcholish (27 th, Muslim) dengan Ang Mei Yong, (24 Tahun, Konghucu) di Yayasan Paramadina Jakarta, pimpinan Dr Nurcholish Madjid.
Pernikahan Mei Menuai
Kontroversi
Gatra, JARUM jam menunjukkan
pukul 09.30, ketika Ahmad Nurcholish, 27 tahun, yang memakai setelan jas warna
hitam, menggandeng Ang Mei Yong, 24 tahun, yang bergaun pengantin warna putih.
Mereka memasuki ruangan di Islamic Study Center Paramadina, di kompleks Pondok Indah
Plaza, Jalan Tb.
Simatupang, Jakarta Selatan.
Sekitar 50 orang hadir dalam acara tersebut. Mereka adalah orangtua pasangan Nurcholish-Mei, kerabat, dan para undangan.
Sekitar 50 orang hadir dalam acara tersebut. Mereka adalah orangtua pasangan Nurcholish-Mei, kerabat, dan para undangan.
Di antara mereka tampak Ulil
Abshar-Abdalla, koordinator Jaringan Islam Liberal, dan Budi S. Tanuwibowo,
Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin). (berita lengkap)
Ulil, JIL, Kiprah dan
"Fatwanya"
Peristiwa itu berkait
berkelindan dengan "fatwa-fatwa" Ulil Abshar Abdalla, kiprah JIL,
Paramadina, dan oknum UIN dalam menyebarkan faham yang membahayakan Islam. Mari
kita runtut sejenak, agar terbuka gambaran seberapa jauh kesibukan mereka dalam
hal merusak Islam. Seolah mereka tidak ada capek-capeknya. Dengan adanya hasil
di antaranya pernikahan silang antara muslim dengan musyrikat itu, tampaknya
mereka lebih sibuk lagi. Namun sebelumnya mari kita runtut dari beberapa waktu
belakangan ini.
Ulil Abshar Abdalla kordinator Jaringan Islam Liberal (menurut orang-orang di FUUI Bandung: jaringan iblis laknatullah, lihat Harian Pikiran Rakyat Bandung, 20 Maret 2003) mempersoalkan, kenapa dirinya dikritik orang. Bahkan dia tidak terima, kenapa orang justru mengkritik dia (Ulil), tidak mengkritik saya (Hartono). Hingga Ulil mengatakan kepada sebuah majalah terbitan Jakarta, kenapa Hartono Ahmad Jaiz itu tidak dikritik, apakah karena sudah ketahuan jeleknya, sehingga tidak dikritik?
Ulil Abshar Abdalla kordinator Jaringan Islam Liberal (menurut orang-orang di FUUI Bandung: jaringan iblis laknatullah, lihat Harian Pikiran Rakyat Bandung, 20 Maret 2003) mempersoalkan, kenapa dirinya dikritik orang. Bahkan dia tidak terima, kenapa orang justru mengkritik dia (Ulil), tidak mengkritik saya (Hartono). Hingga Ulil mengatakan kepada sebuah majalah terbitan Jakarta, kenapa Hartono Ahmad Jaiz itu tidak dikritik, apakah karena sudah ketahuan jeleknya, sehingga tidak dikritik?
Di lain kesempatan, Ulil juga
menyebut-nyebut bahwa dia menulis di koran Kompas yang dia akui vulgar itu
hanya mengimbangi orang-orang seperti Hartono, Adian Husaini dan lainnya, yang
istilah balaghohnya musyakalah (mengimbangi). Sehingga sama sekali Ulil tidak
menyesali tulisannya yang banyak dihujat orang itu, malahan diterus-teruskan,
sampai mengemukakan di suatu majalah bahwa Vodca (minuman beralkohol lebih dari
16%, pen) boleh jadi di Rusia dihalalkan karena di sana udaranya dingin sekali.
Terlepas dari hal-hal itu, ada
sesuatu yang menjadikan tanda tanya. Sehari sebelum tulisan Ulil yang menghebohkan,
berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, muncul di Harian Kompas Senin 18
November 2002, Ulil telah mengemukakannya di Masjid Kampus UGM (Universitas
Gajah Mada) Jogjakarta, dalam Dialog Ramadhan 1423H yang diselenggarakan para
mahasiswa UGM yang tergabung dalam Jama'ah Salahuddin. Kata Ulil, besok (yaitu
hari Senin 18/11 2002) akan keluar tulisannya di Kompas. Maka dia uraikan isi
tulisannya itu. Saat itulah Ulil saya bantah ungkapan-ungkapannya langsung di
depannya. Karena ia menganggap bahwa hukum Islam seperti jilbab, qishosh, hudud
dan semacamnya yang sifatnya mu'amalah itu tidak usah diikuti. Al-hamdulillah,
saya sempat menyebutnya bahwa teori yang ia kemukakan itu hanyalah teori
Nicollo Machiavelli yang dikenal menghalalkan segala cara, dan teori
Anthrophocentrism yang menjadikan manusia sebagai sentral pertimbangan. Dan ini
pada hakekatnya adalah teori Ibliscentrism, yaitu sudah ada perintah Allah,
namun perintah itu disanggah dengan menjadikan diri Iblis sebagai ukurannya.
Saya katakan, orang Yahudi saja
ketika mengadakan perjanjian dengan Nabi Muhammad saw maka mereka menyepakati,
apabila ada perselisihan pendapat hendaknya kembali kepada Allah dan Rasul-Nya
(Al-Qur'an dan As-Sunnah), yang hal itu dicantumkan dalam Piagama Madinah. Apakah
Anda yang Muslim malah lebih dari Yahudi?
Tampaknya pertanyaan saya itu
oleh Ulil dicarikan jawabnya, lalu dikemukakan dalam diskusi di lembaga yang
dipimpin Nurcholish Madjid yaitu Paramadina Jakarta, 8 Februari 2003. Di sana
Ulil menganggap, rujuk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah seperti yang difahami
ummat Islam itu sebagai penyembahan terhadap teks.
Ulil melontarkan istilah
penyembahan terhadap teks itu merujuk kepada ungkapan orang kafir. Ini. agak
berbeda dengan Pak Munawir Sjadzali ketika jadi menteri agama RI 1983-1993
merujuk kasus yang sama kepada seorang tokoh di Pakistan. Baik yang merujuk
langsung kepada tokoh kafir maupun tokoh sekuler semuanya sama, yakni
mengkotak-katik Al-Qur'an dan As-Sunnah agar tidak diberlakukan lagi.
Banyak ulama, tokoh Islam, dan
kaum Muslimin yang tersentak bahkan tersinggung dan marah-berat ketika membaca
tulisan Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) di Harian
Kompas 18 November 2002 / Ramadhan 1423H yang berjudul Menyegarkan Kembali
Pemahaman Islam itu.
Artikel itu menghantam Islam
dan ummat Islam secara semaunya. Arahnya adalah pluralisme agama, menyamakan
Islam agama Tauhid dengan agama-agama lain yang berseberangan bahkan
bertentangan dengan Tauhid, yaitu syirik, menyekutukan Allah swt dengan
selain-Nya. Resiko dari keberanian menyejajarkan agama Tauhid dengan
kemusyrikan itu sampai-sampai Ulil Abshar Abdalla "memfatwakan" tidak
berlakunya lagi larangan pernikahan antara Muslim/ Muslimah dengan non Muslim.
Dia karang-karang bahwa larangan atau keharamannya dalam Al-Qur'an tidak jelas.
Lebih dari itu, seluruh hukum dalam Al-Qur'an yang menyangkut mu'amalah
(pergaulan antar manusia) tidak perlu diikuti lagi di zaman modern ini.
Sehingga Ulil Abshar Abdalla menegas-negaskan hawa nafsunya berkali-kali bahwa
dia tidak percaya adanya hukum Tuhan.
Lelaki Muslim Menikahi Wanita
Konghuchu di Paramadina
"Fatwa" Ulil di
Kompas yang mengacak-acak hukum Allah itu dia demonstrasikan pula secara
nyata-nyata. Yaitu Ulil Abshar Abdalla menjadi salah satu pengundang dalam
acara pernikahan lelaki Muslim dengan wanita Konghucu di Yayasan Paramadina
(Islamic Study Center Paramadina Pondok Indah Plaza III Blok F 5-7 Jl TB
Simatupang) Jakarta yang berlangsung Ahad 8 Juni 2003.
Pagi Itu akad nikah cara Islam.
Pengantin lelakinya bernama Ahmad Nurcholish, perempuannya Ang Mei Yong.
Walinya diserahkan kepada Dr Kausar Azhari Noer dosen tasawuf di UIN
(Universitas Negeri Jakarta) dan beberapa perguruan tinggi, dan pengajar di
Paramadina.
Sedang di antara saksinya
adalah Ulil Abshar Abdalla. Sorenya, akad nikah cara Islam itu entah belum
dianggap cukup atau bagaimana, kemudian diadakan upacara Liep Gwan (model
Konghucu), di Sekretariat MATAKIN Komplek Royal Sunter Blok F 23 Jl Danau
Sunter Selatan Jakarta Utara. Surat undangan yang diedarkan tertera nama-nama
yang turut mengundang yaitu: Dr H Zainun Kamal MA (dosen UIN Jakarta), Ulil
Abshar Abdalla -JIL, dan Munawar MA Sag. Dicantumkan pula dalam undangan bahwa
Dr Zainun Kamal yang akan menyampaikan khutbah nikah.
Rupanya Ulil mengambil
kesempatan secara maksimum (kemaruk?), dimulai dengan berperan sebagai orang
yang turut mengundang dalam pernikahan beda agama seperti yang dia
"fatwakan". Lalu tidak cukup hanya jadi pengundang, namun dia juga
jadi saksi dalam upacara akad nikah. Lalu masih merasa belum cukup pula, maka
mewawancarai Ahmad Nurcholish dan Mei Yong kemudian dimuat di situs
islamlib.com.
Masih belum cukup pula, maka
mewawancarai Drs. Nuryamin Aini, MA, pengajar Fakultas Syariah UIN Syarif
Hidayatullah dan peneliti Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) UIN
Jakarta yang intinya menyudutkan para ulama yang mengharamkan pernikahan Muslim
dengan non Muslim. Penyudutan terhadap ulama itu hanya dengan dalih hasil
penelitiannya tentang anak-anak hasil pernikahan beda agama, katanya lebih
banyak yang ikut ke Islam. Dengan modal "fakta" seperti itu, dosen
UIN Jakarta itu berani-beraninya menyalahkan ulama, bahkan pada hakekatnya
menyalahkan Al-Qur'an, firman Allah. Terlalu canggih memang, Ulil dalam membawakan
urusan beginian.
Barangkali saja Ulil masih
penasaran juga kalau dirinya belum menikahi perempuan musyrik kafir atau
anaknya dinikahi oleh lelaki musyrik kafir. Karena walaupun
"fatwanya" itu manjur, namun tentunya bukan saja untuk orang lain.
Sebagaimana dia tentu hafal (walau sudah tidak ingat lagi riwayat siapa,
mungkin) ungkapan Ibda' binafsik, mulailah dengan dirimu sendiri (Hadits
riwayat An-Nasa'I). Ini ternyata yang memulai menikahi wanita kafir musyrik
adalah Ahmad Nurcholish yang tahun lalu (2002) selaku pengurus YISC Al-Azhar
Jakarta mengundang Ulil Abshar Abdalla untuk duduk bersama (berbantah) dengan
saya (Hartono) dan juga Haidar Bagir. Coba saja Ulil waktu itu (Mei 2002)
langsung "berfatwa" tentang nikah, tidak usah ditunda sampai November
2002, atau langsung Ulil contohi, maka kemanjurannya mungkin lebih cepat lagi.
Dan tidak usah capek-capek sampai mengejar-ngejar dosen UIN untuk diwawancarai.
Jadi lebih efisien.
Dan lebih efisien lagi kalau
Ulil menikahi sekaligus empat wanita dari empat jenis yaitu musyrik, kafir,
murtad, dan zindiq (tidak mempercayai Allah, tak percaya hukum/ aturan Allah,
namun tempo-tempo menampakkan dirinya sebagai orang beriman). Atau kalau
khawatir disindir rekannya karena poligami, Ulil bisa juga menjadwalkan satu
persatu. Misalnya yang musyrik dulu, nanti ganti yang kafir, ganti lagi yang
murtad, dan terakhir yang zindiq. Terserahlah. Untuk efisien-efisienan, saya
tidak perlu mengajari. Semuanya tentu sudah terprogram rapi. Dan juga stocknya
kan banyak. Kalau hanya mencari yang empat jenis itu tidak sulit-sulit amat.
Baik yang lama maupun yang baru. Misalnya yang murtadnya baru, itu justru masih
mudah diwawancarai guna mengukur seberapa keberhasilan selama ini.
Antek Yahudi dan Nasrani Memreteli Islam
Antek Yahudi dan Nasrani Memreteli Islam
Pertentangan dan pergulatan
antara perusak Islam dengan yang mempertahankannya, baik secara prosedural
maupun perasaan tampaknya tetap berlangsung. Hanya saja, perusakan terhadap
Islam senantiasa dilancarkan, karena Ulil dan para pendukungnya yaitu para
pengusung perusakan Islam tetap bekerja siang malam karena sudah ada rasa
kelegaan, merasa terlindungi, dan punya sarana yang banyak macamnya, serta
banyak dana. Islam dijadikan sasaran untuk dipreteli satu persatu agar habis.
Kalau orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela sehingga Muslimin
mengikuti agama mereka (lihat QS Al-Baqarah: 120) maka antek-antek Yahudi dan
Nasrani yang mengaku Muslim tidak rela apabila Islam masih utuh seperti apa
adanya. Mereka berupaya keras demi mengikuti kemauan bossnya, maka dipreteli dan
dikelupas lah Islam ini, sehingga lepas satu-persatu, tidak tersisa lagi.
Hingga Islam tinggal namanya, Al-Qur'an tinggal gambar hurufnya.
Dalam hadits disebutkan:
"Pastilah tali-tali Islam
akan dilepaskan satu demi satu tali, maka ketika terlepas satu tali lalu
manusia berpegangan dengan yang berikutnya. Yang pertama lepas adalah al-hukmu
(hukum, pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat." (HR Ahmad, hasan).
"Hampir datang pada
manusia suatu zaman (di mana) tidak tersisa dari Islam kecuali namanya, dan
tidak tersisa dari Al-Qur'an kecuali tulisannya. Masjid-masjid mereka ramai
tetapi keropos dari petunjuk. Ulama mereka adalah seburuk-buruk orang di bawah
kolong langit… (HR Al-baihaqi dalam Syu'abul Iman juz 2, halaman 311).
Perusakan terhadap Islam adalah
satu kemunkaran yang sangat puncak. Tanpa ada perusakan pun, orang-orang yang
mampu untuk menyiarkan dan mendakwahkan Islam maka wajib mendakwahkannya.
Sehingga, lepasnya unsur-unsur Islam seperti yang disebutkan dalam hadits
tersebut, tanpa dilancarkan oleh orang-orang tertentu dengan program yang
disusun rapi pun, ummat Islam ini sebenarnya wajib mempertahankan Islamnya.
Apalagi dalam kasus ini perusakan dan pemretelan terhadap Islam itu justru
diprogramkan, didanai, dan dilaksanakan secara sitematis; maka kewajiban untuk
mempertahankan Islam di sini lebih mutlak wajibnya. Meskipun demikian, untuk
melaksanakan kewajiban mempertahankan Islam dalam kasus ini pun memerlukan
perangkat. Di antara perangkat yang paling utama adalah pemahaman Islam secara
memadai dan benar. Karena, tanpa memiliki kemampuan memahami Islam secara
memadai dan benar, maka menghadapi syubhat-syubhat (kesamaran-kesamaran) dan
kata-kata sampah yang disasarkan untuk mempreteli Islam itu bisa jadi justru
menambah kerancuan pemahaman. Akibatnya, pemahaman justru akan rusak, carut
marut dan makin jauh dari Islam, alias ikut pula mempreteli Islam tanpa
disadari. Padahal kalau gerakan sistematis perusakan pemahaman Islam ini
dibiarkan, yang terjadi adalah proses pembusukan pemahaman Islam secara
sitematis yang menuju kepada rusaknya seluruh sisi pemahaman Islam.
Ulil Abshar Abdalla telah
kelewat batas. Lontaran-lontaran Ulil yang merupakan olahan dari sampah-sampah
berbahaya yang ia kais-kais dari tokoh-tokoh sekuler, Islam kiri, orientalis,
kafirin, tasawuf sesat, liberal, dan mereka yang berfaham pluralisme agama
alias mensejajarkan semua agama, jelas merusak pemahaman Islam yang sesuai
dengan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan penjelasan para ulama yang bermanhaj salaful
ummah.
Inti ajaran Ulil, menyejajarkan
bualan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Inti dari lontaran sampah yang
dibualkan Ulil adalah agar dalam mengatur kehidupan modern ini Al-Qur'an tidak
dijadikan pedoman, apalagi As-Sunnah. Justru yang dijadikan pedoman adalah apa
yang ia sebut pengalaman manusia, dengan alasan bahwa Tuhan telah memuliakan
(takrim) kepada manusia. Kalau untuk mengatur kehidupan modern ini masih
merujuk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah seperti yang tertulis dalam teks, maka
Ulil menganggapnya sebagai penyembahan terhadap teks. Ulil menginginkan agar
apa yang ia sebut penyembahan teks itu dicari jalan keluarnya, di antaranya
adalah menjadikan pengalaman manusia ini kedudukannya sejajar dengan Al-Qur'an,
sehingga Al-Qur'an yang berupa teks itu hanyalah separoh dari Al-Qur'an, dan
yang separohnya lagi adalah pengalaman manusia. Itulah yang dimaui Ulil.
Kalau kemauan Ulil itu diikuti,
maka dia sendiri tertabrak oleh bikinan dia sendiri, yaitu dia sama dengan
menginginkan agar jangan hanya menyembah teks tetapi sembah juga pengalaman
manusia. Ujung-ujungnya, dia sendiri menyembah pikirannya sendiri, yaitu
pikirannya yang menginginkan adanya penyembahan model yang ia lontarkan.
Ulil berguru kepada Romo
Katolik di antaranya Frans Magnis Suseno SJ di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
di Jakarta. Akibatnya menjadi orang nyeleneh. Lontaran Ulil berputar pada
kisaran duga-duga yang jauh dari kebenaran, dan ketika dikemukakan ke
masyarakat umum menjadi wabah penyakit aqidah. Sebenarnya semua itu menurut
istilah Al-Qur'an hanyalah mengikuti orang-orang kafir terdahulu. Guru yang
mengajari Ulil itu keyakinannya telah disinyalir oleh Al-Qur'an sebagai
orang-orang yang hanya menirukan orang-orang kafir terdahulu. Lantas Ulil yang
mengolah pemahaman di antaranya dari gurunya itu, terjebak dalam kisaran yang
disebut dalam Al-Qur'an sebagai orang yang menuhankan hawa nafsunya. Itulah
kunci rahasianya.
Aqidah orang yang mengikuti
kafirin terdahulu disebut dalam Al-Qur'an, yang artinya:
Orang-orang Yahudi berkata:
"Uzair itu putera Allah" dan orang Nasrani berkata: "Al Masih
itu putera Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka,
mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati Allah-lah
mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? (QS At-Taubah: 30).
Setelah berguru kepada orang
yang keyakinannya menirukan kafirin terdahulu, jadilah orang yang menciptakan
hawa nafsunya sebagai tuhannya. Kalau sudah demikian, maka peringatan Allah swt
perlu dijadikan pertimbangan benar-benar, ytang artinya:
Maka pernahkah kamu melihat
orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya
sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan
hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan
memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu
tidak mengambil pelajaran? (QS Al-Jatsiyah: 23).
Dan siapakah yang lebih sesat
daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari
Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim. (QS Al-Qashash: 50).
Allah SWT telah memberikan
peringatan setegas itu. Kenyataan telah membuktikan, orang yang berguru kepada
tokoh yang keyakinannya menirukan orang-orang kafir terdahulu, maka ketika si
murid itu pada gilirannya mengajarkan ajarannya itu kepada umum didukunglah
oleh kelompok-kelompok kafirin dari Barat dan Timur serta wadya balanya dan
antek-anteknya.
Itulah Ulil yang telah berguru
kepada intelektual kafir. Demikian pula tokoh-tokoh lain yang berguru kepada
kafirin di Barat dalam apa yang disebut "belajar Islam" ke Barat,
yang kini mereka mengajar di UIN, IAIN-IAIN, Perguruan Tinggi Islam Swasta
se-Indonesia, dan di lembaga-lembaga Islam.
Mereka adalah penerus Snouck
Hurgronje, Van der Plas, atau bahkan Gatoloco dan Darmo Gandul. (Tentu saja ada
juga yang shalih, tidak dinafikan). Jadi dari Barat diambil faham pluralisme
agamanya (menyamakan semua agama), sedang dari tasawuf sesat diambil wihdatul
adyan (menyamakan semua agama)nya, dan dari Gatoloco- Darmogandul diambil
kebengalannya dalam meledek Islam. Jadilah sosok-sosok perusak Islam yang
sangat berbahaya, sambil bekerja sama-sama dengan pihak yang gencar mengadakan
pemurtadan. Astaghfirullaahal 'adhiem… Na'udzubillaahi min dzaalik!
Media Dakwah Agustus 2004/
Jumadil Akhir 1424H
Sumbangan Pluralis Untuk Misionaris
Didukung dana yang melimpah,
diramaikan oleh para tokoh, ditambah dengan pemahaman yang memang sesuai dengan
selera hawa nafsu, gerakan Islam Liberal makin mulus melenggang. Meski mereka
mengatasnamakan Islam, terbukti orang luar yang justru menangguk untung. Mereka
telah berjasa besar meng'gol'kan
program misionaris kristen. Bagaimana alurnya?
Merusak Tapal Batas
Perseteruan antara haq dan bathil, permusuhan
Iblis beserta antek-anteknya terhadap orang-orang yang mentauhidkan Allah telah
berlangsung sejak Iblis menolak bersujud kepada Adam. Namun rupanya, Islam
liberal bersikeras mendamaikannya. Mereka tidak membedakan antara pasukan iblis
dan pasukan Allah. Seperti yang dikatakan Ulil pengerek bendera JIL:
"Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara 'kami' dengan
'mereka', antara hizbullah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan
setan) adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu
sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia
sebagai warga dunia."
Dengan statemen tersebut
sepertinya Ulil ingin menganulir firman Allah yang membagi manusia menjadi dua
golongan, hizbullah dan hizbusy syaithan.
"Dan barangsiapa mengambil
Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka
sesungguhnya hizbullah (pengikut agama Allah) itulah yang pasti menang."
(al-Maidah: 56)
Dan firman-Nya: "Setan
telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka
itulah hizbusy syaithan (golongan setan). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
golongan setan itulah golongan yang merugi." (al-Mujadalah: 19)
Bagi Islam liberal, semua
manusia sama, tidak ada mukmin dan tidak ada kafir. Tidak ada manusia taat dan
tidak ada pula manusia bejat. Ketika tapal batas antara haq dan bathil telah
dirusak, segalanya dianggap sebagai kebenaran. Pada titik ini Islam liberal
telah berpartisipasi mengangkat partai-partai sesat kepada kedudukan mulia yang
sejajar dengan agama tauhid. Sifat antipati terhadap kesesatan pun sirna sudah,
karena penganutnya juga manusia yang pantas dimanusiakan.
Paham ini jelas bertolak
belakang dengan agama tauhid yang memerintahkan beribadah kepada Allah
sekaligus mengkufuri thaghut. Bahkan Islam meletakkan wala' dan bara' (cinta
dan benci) karena agama sebagai 'autsaqu 'ural iman', ikatan iman yang paling
kuat. Sebagaimana hadits Nabi:
"Sesungguhnya ikatan iman
yang paling kuat adalah engkau mencintai karena Allah dan benci karena
Allah." (HR Ahmad)
Agama Sekedar Baju
Islam liberal yang menganut
paham pluralisme, mengakui semua agama benar dan semua agama sama. Tak ada
perbedaan antara Islam dengan Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu ataupun
yang lain, yang berbeda hanyalah bajunya.
Demikian menurut Ulil ketika
gerah dengan penganut Islam Fundamentalis (baca: Islam asli bukan liberal):
"Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan 'baju' yang dipakai,
sementara mereka lupa inti 'memakai baju' adalah menjaga martabat manusia sebagai
makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju, sarana, wasilah, alat untuk menuju
tujuan pokok: penyerahan diri kepada yang maha benar."
Nampaknya penyakit rabun
pikiran yang diderita Ulil dan konco-konconya sudah demikian kronis, mereka
menyamakan antara Allah dengan Isa, Sang Budha, atau Bethara Guru,Roro
Kidul,Dewa Siwa dan sesembahan yang lain, mereka tak lagi mengenal terminologi
syirik dan musyrik, kata yang memadati Al-Qur'an yang katanya masih menjadi
kitab suci mereka.
Mereka juga menutup mata
terhadap sunnah Nabinya yang bersabda: "Demi yang jiwa Muhammad ada di
tangan-Nya, tiada seorangpun yang mendengar seruanku dari umat ini, baik dia
Yahudi ataupun Nasrani, kemudian dia mati dalam keadaan tidak mengimani apa
yang aku bawa dengannya kecuali pastilah dia menjadi penghuni neraka." (HR
Muslim)
Seruan Nabi adalah seruan
untuk Islam. Ahli kitab belum dianggap beriman sebelum masuk Islam. Oleh karena
itulah ketika Mu'adz diutus Nabi ke Yaman beliau bersabda: "Kamu akan
mendatangi ahli kitab, maka pertama kali yang kamu serukan kepada mereka adalah
syahadat bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah
utusan Allah." (HR Muslim), kalaulah mereka telah dianggap beriman oleh
Nabi tentulah Nabi tidak memesankan hal itu.
Sejalan dengan Misi
Kristenisasi
Dampak selanjutnya, ketika
kedua agama tersebut dianggap sama, tidak ada beda selain tata cara dan
bajunya, maka umat yang 'sendiko dawuh" (taat) dengan himbauan pluralis
tersebut tak lagi memiliki ghirah (kecemburuan) dalam beragama. Baginya tidak
ada yang istimewa pada Islam bila dibandingkan dengan Kristen, tak ada
kelebihannya seorang Muslim dibandingkan dengan penganut Kristen, karena semua
agama sama.
Pada saat yang bersamaan,
secara finansial para misionaris Kristen lebih menjanjikan keuntungan seperti
yang menjadi misi unggulan mereka. Terutama di daerah-daerah yang masih
dibilang miskin. Logika manusia normal, ketika harus memilih antara dua agama
yang sama-sama dianggap benar tentunya variabel lain yang dijadikan alat
timbang adalah keuntungan materi. Maka dengan ringan mereka mau melepas baju
Islamnya untuk mendapatkan materi dengan bergabung dengan jema'at Kristen, toh
tak ada nilai lebih Islam sehingga harus dipertahankan dengan menanggung lapar
dan kemiskinan. Di sinilah kontribusi Jaringan Islam Liberal terhadap
Misinonaris Kristen terbukti.
Penginjil Berbaju Islam
Lebih jauh lagi, andil Islam
Liberal untuk memperbanyak kuota golongan murtadin nampak jelas ketika dalam
banyak kesempatan para kampiun Islam liberal mempromosikan perbandingan antara
Islam dan Kristen. Masih dalam kerangka globalnya, pluralisme agama. Ini adalah
langkah yang mulus bagi mereka, mengingat ada hubungan historis antara keduanya
dan keduanya menempati rangking pertama dan kedua secara kuantitas di Indonesia.
Ayat-ayat yang muhtamal (memungkinkan beberapa makna) sengaja ditampilkan
dengan versi mereka, sedangkan ayat-ayat yang telah 'qath'i dilalah'nya (telah
pasti arti yang dimaksud di dalamnya) disembunyikan dan diselewengkan. Seperti
ayat-ayat yang menyebutkan secara gamblang kekafiran ahli kitab dan orang
musyrik.
Bahkan para tokoh liberal
bersikap diametral dengan para kristolog muslim yang memiliki kebiasaan mencari
bukti kebenaran Islam dalam injil. Yang mereka lakukan justru mengais bukti
kebenaran Kristen di dalam Al-Qur'an.
Secara psikologis, para
misionaris dan penginjil merasa tersanjung dan terbantu misinya, karena tokoh
yang berbicara memakai baju Islam, apalagi dianggap sebagai cendikiawan
(padahal cendawan?).
Nikah Beda Agama
Sumbangan berharga lain yang
dipersembahkan Islam Liberal untuk misionaris adalah wacana halalnya menikah
beda agama. Seorang muslimah halal dinikah laki-laki-laki kristen. Seperti yang
dikemukakan oleh Dr. Zainun Kamal, tokoh liberal yang dipromosikan oleh Ulil.
Mereka tak peduli harus menabrak ayat:
"Hai orang-orang yang
beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman,
maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka." (al Mumtahanah:10)
Padahal kita tahu bahwa posisi
suami sangat strategis untuk mempengaruhi keyakinan istri. Jelas dia memang
posisi, bisa menekan dan bahkan mengancam. Taruhlah ketika pernikahan muslimah
itu masih eksis, namun ketika hamil apa yang bisa dilakukan ketika sang suami
yang Kristen mengancam hendak menceraikannya jika tidak mau masuk Kristen?
Bayang-bayang anak lahir tanpa bapak tentunya lebih dominan di benak istri,
apalagi secara psikologis seringkali kaum wanita mengedapankan rasa atau emosi
daripada ilmu.
Kitapun tahu, sebelum statemen
Zainun muncul telah santer berita bahwa strategi misionaris untuk
mengkristenkan muslimah adalah dengan mendekatinya dan menjadi pacarnya. Tidak
sedikit di antara mereka yang dihamili lalu si laki-laki mau bertanggung jawab
dengan syarat muslimah menukar agamanya.
Di saat para ulama dan
pemerhati umat Islam mengkhawatirkan bahaya tersebut, justru Islam Liberal
memberi angin segar kepada misionaris untuk memuluskan misinya.
Musuh dalam Selimut
Melihat banyaknya aksi
menggemaskan dari kaum liberal tersebut wajar jika kita pasang kuda-kuda,
jangan-jangan mereka adalah musuh yang menyusup untuk merusak Islam dari dalam.
Mengingat cara itu lebih efektif daripada mereka berbicara tentang Islam di
luar ring Islam. Dengan tetap menyandang baju Islam mereka mempolitisir ayat,
mengebiri sunnah dengan dalih 'ijtihad', dengan alasan 'kebebasan menafsirkan'.
Berbeda halnya jika mereka memakai baju lain seperti Kristen misalnya -tentunya
mereka juga tidak keberatan menyandangnya lantaran semua agama sama dalam
pandangan mereka-, tentulah sudah babak belur sejak dahulu karena dianggap
mengobok-obok pekarangan tetangga. Wallahu waliyut taufik. (Abu Umar Abdillah)
Natal, Syafa'at dan Sinkretisme Teologis
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
Beberapa kelompok dari Islam Liberal melakukan usaha rehabilitasi ‘kecurigaan’ dalam acara Natal yang terjadi tiap tahun. Sayang usaha itu melahirkan ‘sinkretisme teologis’
Meski sudah lewat, ada catatan-catatan penting menyangkut perayaan Natal kemarin. Tulisan ini mencermati artikel dua orang aktifis Islam Liberal. Pertama, artikel yang ditulis oleh Mohammad Guntur Romli di www.islamemansipatoris.com (JIE/red) (27/12/2004) dengan judul “Natal dan Pesan Dialog Agama”. Kedua, adalah artikel Ulil Abshar-Abdalla yang dimuat di www.islamlib.com (JIL/red) (27/12/2004) dengan judul “Pendapat Islam Liberal Tentang Perayaan Natal”.
Guntur, yang juga mahasiswa Al Azhar, saat itu mengatakan, “Saya akan memulai memahami ajaran Kristen dengan pemahaman yang saya miliki. Ada tiga poin ajaran Kristiani, tetapi bisa dipahami melalui ajaran Islam. Yaitu, mengenai kehadiran Tuhan, penyaliban Yesus, dan ajaran cinta kasih”, demikian kutipnya.
Ini juga terjadi pada tulisan Ulil Abshar-Abdalla. Ia bahkan ingin menciptakan model ta’âruf Qur'ani. Hanya saja, ia juga terjebak oleh spirit yang digulirkannya itu. Diantaranya, ia menganjurkan kawin campur antara seorang laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslimah, Natal dan bid`ah. Akibatnya, kedua penulis terjebak dalam ‘sinkretisme teologis’.
Poin penting dari tulisan Mohammad Guntur Romli dan Ulil Abshar yang akan saya tanggapi adalah;
(1)KehadiranTuhan,
(2)PenyalibanYesus,
(3).Al-Qur’anbukan“KitabPembatal”dan
(4) bid’ah Natal.
Pertama, menyangkut kehadiran Tuhan.
Penulis kira adalah hal yang keliru kalau Islam tidak dianggap detail dalam menggambarkan kehadiran Tuhan. Paham yang menyatakan bahwa Kristen lebih mementingkan kehadiran Tuhan seperti yang diungkapkan oleh Firthjof Schuon dalam bukunya ‘Filsafat Parenial’ sangat kurang tepat.
Kristen dan Islam memiliki same platform (kalimah sawâ’), bukan common platform (kalimah musytarakah) yang selama ini disalahpahmi oleh beberapa kaum pluralis. Karena inti ajaran (akidah) Kristen dan Islam pada dasarnya adalah monoteisme (Tauhid), bukan kehadiran Tuhan. Hal ini dapat kita temukan baik dalam Perjanjilan Lama (Old Testament) maupun Perjanjian Baru (New Testament).
Sebagai contoh dapat dilihat dalam Perjanjian Lama; (1) Tuhan itu Allah, tidak ada yang lain (Ulangan 4: 35); (2) Akulah yang pertama dan yang terakhir, tidak ada tuhan selain Aku (Yesaya 44: 6); (3) Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Tuhan Yang Esa di dalam Taurat (Keluaran 8: 10); (4) Allah melarang membuat patung-patung atau berhala-berhala untuk disembah (Lawi 19: 4) dan (5) Nehemia dalam munajatnya berkata: “Engkaulah Tuhan yang Maha Esa!” (Nehemia 9: 6).
Sedangkan dalam Perjanjian Baru, misalnya; (1) Lalu guru agama itu berkata kepada Yesus, "Tepat sekali, Bapak Guru! Memang benar apa yang Bapak katakan: Tuhanlah Allah yang esa, dan tidak ada lagi Allah yang lain (Markus 12: 32) [Yasir Anwar, Alâm al-Masîh 2004: 17]; (2) Allah tidak bisa dilihat (Yohanes 5: 37); (3) Iblis meminta Yesus untuk menyembahnya, kemudian –saat itu—Yesus menyuruhnya pergi, karena sudah tertulis bahwa hanya Allah saja yang pantas untuk disembah (Matius 4: 10); (4) Yesus menengadahkan wajahnya ke langit dan berkata; Inilah hidup yang kekal, supaya mereka mengenal-Mu, Tuhan yang sesungguhnya dan Yesus yang Engkau utus (Yohanes 17: 3); (5) Di dalam surat Paulus kepada penduduk Roma; Karena Allah itu satu (Roma 3: 30) dan lainnya (Dr. Muhammad Ahmad al-Hâjj, al-Nashrâniyah min al-Tawhîd ilâ al-Tatslîts, 2002: 69-74).
Di samping itu, pendapat yang dikemukakan oleh Firthjof Schuon di atas kurang representatif, karena dia seorang filosof, bukan seorang teolog. Tentu saja seorang teolog lebih mumpuni di dalam memahami ajaran agama tinimbang seorang filosof, meskipun tidak menutup kemungkinan seorang filosof juga merangkap seorang teolog.
Dalam hal ini Leibniz (1646-1716) lebih mumpuni tinimbang Schuon. Sehingga Leibniz lebih dikenal dengan terma Theodicy-nya. Maka, kesamaan platform (same platform) Kristen dan Islam, terletak pada monoteisme, bukan kehadiran Tuhan.
Kedua, Penyaliban Yesus.
Adalah hal yang sangat fatal ketika menyatakan bahwa kematian Yesus di tiang salib merupakan hal yang sama dengan jihad dalam Islam. Penulis kira itu adalah al-qiyâs ma`a al-fâriq bâthil. Sama halnya dengan pernyataan Said Aqil Siradj ketika menyatakan bahwa makna nuzul dalam Islam sama dengan nuzul dalam Kristen. Aqil yang mengatakan, nuzul dalam Islam dalam bentuk Al-Qur’an, sedangkan nuzul dalam Kristen dalam bentuk Yesus. Tentu saja hal ini tidak bisa diterima bahkan salah total. Mengapa tidak melakukan qiyas antara Al-Qur’an dengan Injil. Dan itu lebih rasional. Penulis kira Injil juga nuzul dari Allah. Atau apakah ada umat Kristen yang menyatakan bahwa Injil tidak nuzul dari Allah?
Dalam Islam ada ajaran kurban (al-‘udlhiyah) pada hari raya `Idul Adlha, bukan jihad seperti yang ditulis Guntur. Selain itu, jihad bukan sampai darah penghabisan. Dalam Islam dijelaskan bahwa jihad itu sampai target jihad tercapai. Kalau sudah tercapai tidak perlu sampai darah penghabisan, itu namanya mati konyol. Dalam Al-Qur’an hal itu sudah tampak gamblang diterangkan oleh Allah swt (Qs. 2: 19-193), belum lagi dalam Hadits Nabi SAW.
Ketika ada yang menyatakan bahwa umat Islam tidak bisa menolak ajaran Penyaliban Yesus, dengan alasan dalam Islam ada syafa’at karena dipandang sama-sama berbentuk pengampunan. Jelas wacana seperti ini bisa dikatakan “jauh panggang daripada api”. Kita tidak boleh hanya mementingkan hal yang sifatnya sekunder, semacam kerukunan beragama, namun terpaksa mengorbankan garis akidah yang jelas. Sumber ajaran (akidah) adalah kitab suci. Karenanya, penyaliban harus dilihat dari kitab suci (Bibel) dan Al-Qur’an. Jadi tidak bisa hanya lewat rasio (akal) yang memiliki kemampuan yang terbatas (limited ability).
F. Kenyon dalam bukunya The Bible and The Ancient Manuscripts pada halaman 48 memuat kisah ‘Penyaliban Yesus’ yang tercatat dalah Injil Markus. Kenyon menyatakan bahwa dalam pandangan prioritas kronologisnya, Markus harus diletakkan pada sumber pertama episode ini.
Tetapi riset modern membuktikan, bahwa dua belas ayat (mulai ayat 9 sampai 20) yang terdapat di bagian terakhir Injil itu adalah palsu dan tidak ditemukan di manuskrip-manuskrip tertua. (baca Dr. Hamid Qadri, Dimension of Christianity (Terj) Masyhur Abadi & Lis Amalia R; “Awan Gelap Dalam Keimanan Kristen”, 2004: 61).
Kiranya sumber doktrin yang sudah mengalami distorsi tidak bisa dijadikan sebagai landasan ide dan pemikiran. Perlu ditambahkan bahwa dalam Injil sendiri masih terdapat kesimpangsiuran dalam kisah Penyaliban Yesus.
Sebagaian mengatakan penyaliban adalah hal yang dilarang. Menurut syariat Yahudi menyebut, "Setiap yang disalib di atas kayu (tiang salib) terlaknat." Dalam teks dari kitab Ulangan juga menyebutkan, “Apabila seseorang telah dihukum mati karena suatu kejahatan, dan mayatnya digantung pada tiang, mayat itu tidak boleh dibiarkan di situ sepanjang malam, tetapi harus dikubur pada hari itu juga. Mayat yang tergantung pada tiang mendatangkan kutuk Allah... (Kitab Ulangan 21: 22-23)
Masih banyak kesimpangsiuran yang lain. Di setiap bagian dalam Injil, Al-Masih tidak mengatakan, "Niscaya aku akan disalib." Namun ia senantiasa berbicara dengan menggunakan kata ganti orang ketiga (dhamîr al-ghâ'ib). "Niscaya anak manusia akan disalib, akan dibunuh".
Nyata sekali bahwa penggunakan kata ganti 'orang ketiga' di sini bukan secara serampangan (sembarangan), namun merupakan tujuan yang sudah pasti dalam membicarakan 'seseorang yang tidak hadir namun ada, atau yang ada orangnya namun tidak hadir (di saat itu)'. Maka sosok yang sebenarnya (Al-Masih) dalam keadaan tidak ada (al-ghâ'ib) dan orang yang disalib (al-mashlûb) adalah orang yang mirip dengan Al-Masih (syabîh al-masîh) dalam kedaan hadir.
Karenanya, tidak mungkin kata ganti yang lain menjelaskan perkara ini, kecuali kata ganti orang ketiga (dhamîr al-ghâ'ib). Dan satu-satunya perkataan Al-Masih yang menggunakan orang pertama adalah, “Wa hîna u'allaqu marfû'an min al-arhdi, adzdibu al-jamî'”. (Kalau aku sudah ditinggikan di atas atas bumi, aku akan menarik semua orang kepadaku (Yohanes 12: 32).
Dalam hal ini, beliau tidak ada sedikitpun menunjukkan tentang salib, sebagaimana terjemahan dalam bahasa Arab 'u'allaqu tidak benar. Karena dalam bahasa Inggris 'lifted up', bermakna 'diangkat', bukan digantungkan ('u'allaqu). Maka tidak ada perselisihan diantara kita bahwa Al-Masih telah diangkat ke langit dalam keadaan hidup atau mati.
Adalah sesuatu yang bijak jika kita mempelajari sebuah doktrin agama langsung kepada sumber aslinya (primary refence). Penebusan dosa dalam Islam tidak lewat syafaat, melainkah lewat istighfar (memohon ampun) kepada Allah. Bukankah Nabi saw mengajarkan umatnya untuk meperbanyak istighfar? Karena syafaat bukan untuk semua manusia, melainkan bagi mereka yang berdosa. Sedangkan dalam Kristen, orang seluruhnya sudah diampuni dosanya cukup dengan mengakui bahwa Yesus itu adalah Tuhan. Menurut Marthin Luther, tidak rasional dan salah fatal menyamakan penebusan dosa dengan Penyaliban Yesus Kristen yang sampai hari ini masih mengandung kontroversial di kalangan Kristen sendiri.
Maka cukup beralasan jika Al-Qur’an menyatakan wamâ qatalûhû wamâ shalabûhu walâkin syubbiha lahum.
Pernyataan kaul liberal yang mengatakan bila Yesus merupakan “kalimat” dan “ruh Allah” adalah kesalahan fatal yang perlu diluruskan. Al-Qura’n tidak pernah menjelaskan hanya dengan “ruh” dan “kalimat Allah”. Allah senantiasa menggandengkan kata “ruh” dengan kata “minhu”. Begitu juga dengan “kalimat”, selalu disandingkan dengan kata ganti (dhamîr) hu, sehingga menjadi kalimatuhû. Hal ini dapat dibaca dalam QS. 4: 171, “Innama al-Masîhu `Isa bnu Maryam Rasûlullâhi wa kalimatuhû alqâhâ ilâ Maryam wa Rûhun minhu (Sesungguhnya Al Masih `Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan kalimat-Nya) yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya). Jelas berbeda antara “ruh Allah” dengan “ruh dari Allah”.
Ketiga: Al-Qur’an bukan “Kitab Pembatal”?
Ulil Abshar Abdalla juga sempat menyinggung bahwa Al-Qur’an bukanlah “Kitab Pembatal”. Benarkah demikian? Dalam sebuah agama, klaim kebenaran (truth claim) merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Hanya saja, salah satu tindakan yang salah adalah klaim buta (blind claim). Itulah yang tidak dapat diterima.
Klaim-klaim buta yang tidak berdasar merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan sama sekali. Pernyataan Ulil bahwa Al-Qur’an bukan ‘Kitab Pembatal’ harus dilihat kembali dengan kritis. Yesus hadir (diutus) ke dunia bukan membawa atau menciptakan hukum baru. Ia hanya melengkapi (menggenapi) hukum Taurat yang dibawa oleh Musa (Matius 5: 17-18). Maka, Injil pada intinya tidak bisa dianggap sebagai penghapus Taurat, meskipun datangnya belakangan. Ia hanya bisa disebut sebagai ‘mushaddiq’ (pembenar). Lain halnya dengan Al-Qur’an, meskipun Al-Qur’an turun bukan sebagai ‘Kitab Pembatal” --namun ia merupakan penghapus beberapa hukum Taurat--, tapi ia (Al-Qur’an) turun sebagai pembenar (mushaddiq) sekaligus muhaimin `alaihi (batu ujian). Hal-hal inilah yang sering luput dari pengamatan kaum liberal seperti Guntur dan Ulil.
Al-Qur’an merupakan filter akidah dan ayat-ayat yang ada dalam kitab yang turun lebih dulu (Taurat dan Injil). Dengan demikian, Al-Qur’an pada intinya merupakan kitab ‘pembatal’, meskipun bukan pembatal seratus persen. Sebut saja cara bertobat. Umat zaman dahulu kalau bertobat harus bunuh diri (Qs. 2: 54), dalam Islam tentu tidak seperti itu, cukup dengan taubat; tidak perlu sampai membunuh diri. Dan yang tidak dihapus itu adalah doktrin monoteisme (Tauhid). Itulah yang disebut dengan same platform (kalimah sawâ’). Meskipun tampaknya hanya Islam (saat ini) yang berpegang teguh pada kalimah sawâ’ ini.
Keempat: bid`ah Natal.
Ada hal penting yang harus ketahui dalam masalah bid`ah. Pertama, bid`ah itu terbagi dua, pertama bid`ah dalam kebiasaan (adat) dan kedua, bid`ah dalam agama (al-dîn). Bid`ah dalam bentuk pertama dibolehkan, karena asal (dasar) dari segala sesuatu itu adalah boleh (al-ibâhah). Sedangkan bid`ah dalam agama adalah haram, karena pada dasarnya adalah al-tawqîf (berdasarkan penjelasan Nabi saw berdasarkan wahyu dari Allah swt).
Kata Nabi, "Man ahdatsa fi amrina ma laisa minhu fahuwa raddun," barangsiapa mengadakan sesuatu yang baru dalam perkara (agama) ini maka hal itu akan ditolak.
Contohnya adalah menghadiri perayaan Natal. Karena perayaan Natal bersama juga merupakan bid`ah yang dilarang oleh agama. Karena Natal merupakan salah satu hari besar dalam agama Kristen, jelas menghadirinya tidak boleh dan dilarang keras oleh agama.
Ibnul Qayyim al Jauziyah di dalam bukunya As-Syarhus Syuruth Al Umariyah, mengutip sebuah sabda Nabi saw, “Laa tadkhuluu `alaa ha’ulaai al-mal`uuniin illaa antakuunuu baakiina. Fainlam takuunuu bakiina falaa tadkhuluu `alaihim, an yushibakum mitslu maa ashabahum (Janganlah kalian memasuki rumah-rumah ibadah kaum yang dilaknat oleh Allah kecuali dengan menangis. Jika kalian tidak menangis, maka jangan memasukinnya, karena nanti kamu akan tertimpa (azab) seperti yang diterima mereka).”
Dalam kitabnya, “Iqtidlaa ‘ash Shirathil Mustaqim Mukhaalifata Ashhaabil Jahim” , Ibnu Taimiyah menguraikan panjang lebar sikap yang harus dilakukan oleh seorang Muslim dalam menyikapi hari-hari besar agama lain. Diceritakan oleh Ibnu Taimiyah, bahwa Umar bin Khatthab ra. pernah menyatakan, “Ijtanibuu a`daa’allaahi fii `idihim (Jauhilah musuh-musuh Allah pada hari-hari besar mereka).
Kaum non-muslim ketika itu dilarang oleh Umar untuk merayakan hari besar mereka secara mencolok sehingga menarik perhatian masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, keputusan Umar itu merupakan ‘ijma` sahabat dan disepakai jumhur ulama. Merujuk kepada ketentuan itu, tentunya dapat dipahami bahwa menghadiri peringatan Natal bersama –apalagi menyiarkan besar-besaran di tengah masayarakat Muslim—adalah tindakan tercela. Umar menyatakan, “Janganlah kalian memasuki tempat-tempat ibadah kaum musyrik pada hari besar agama mereka. Sebab, sesungguhnya kemurkaan Allah pada hari itu sedang turun atas mereka”.
Secara realita, di Indonesia tidak pernah ada pihak yang dirugikan seandainya agama-agama lain (Islam, Hindu dan Budha) tidak menghadiri ‘Perayaan Natal Bersama’. Apakah dengan tidak hadirnya umat Islam akan dianggap Islam tidak toleran? Atau Perayaan Natal tersebut kurang khidmat dan tidak khusyuk? Sehingga dapat mengurangi makna Natal itu sendiri. Karena umat Islam pun tidak pernah ribut ketika melaksanakan Idul Fithri dan Idul Adlha meski umat lain tak menghadiri.
Penulis adalah mahasiswa Universitas Al-Azhar, Cairo-Mesir, Fakultas Ushuluddin-Jurusan Tafsir
Sumber Hidayatullah
Mengapa Kita Menolak Sekularisme?
Oleh: Muhammad Shiddiq al-Jawi
1. Pengertian Sekularisme
Sekularisme (secularism)
secara etimologis menurut Larry E. Shiner berasal dari bahasa Latin saeculum
yang aslinya berarti “zaman sekarang ini” (the present age). Kemudian
dalam perspektif religius saeculum dapat mempunyai makna netral, yaitu “sepanjang
waktu yang tak terukur” dan dapat pula mempunyai makna negatif yaitu “dunia
ini”, yang dikuasai oleh setan.*1)
Pada abad ke-19, tepatnya tahun 1864 M, George Jacob Holyoke menggunakan istilah sekularisme dalam arti filsafat praktis untuk manusia yang menafsirkan dan mengorganisir kehidupan tanpa bersumber dari supernatural.*2)
Setelah itu, pengertian sekularisme secara terminologis mengacu kepada doktrin atau praktik yang menafikan peran agama dalam fungsi-fungsi negara. Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai:
“A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship.”
(Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan)
Atau sebagai:
“The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the function of the state especially into public education.”
(Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi negara, khususnya dalam pendidikan publik).*3)
Jadi, makna sekularisme, secara terminologis, adalah paham pemisahan agama dari kehidupan (fashlud din ‘an al hayah), yakni pemisahan agama dari segala aspek kehidupan, yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari negara dan politik.*4)
Secara sosio-historis, sekularisme lahir di Eropa, bukan di Dunia Islam, sebagai kompromi antara dua pemikiran ekstrem yang kontradiktif, yaitu:
Pertama, pemikiran tokoh-tokoh gereja dan raja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang mengharuskan segala urusan kehidupan tunduk menurut ketentuan agama (Katolik). Mulai dari urusan keluarga, ekonomi, politik, sosial, seni, hingga teologi dan ilmu pengetahuan, harus mengikuti ketentuan para gerejawan Katolik.
Kedua, pemikiran sebagian pemikir dan filsuf –misalnya Machiaveli (w.1527 M) dan Michael Mountaigne (w. 1592 M)-- yang mengingkari keberadaan Tuhan atau menolak hegemoni agama dan gereja Katolik.
Jalan tengah dari keduanya ialah, agama tetap diakui, tapi tidak boleh turut campur dalam pengaturan urusan masyarakat.*5) Jadi, agama tetap diakui eksistensinya, tidak dinafikan, hanya saja perannya dibatasi pada urusan privat saja, yakni interaksi antara manusia dan Tuhannya (seperti aqidah, ibadah ritual, dan akhlak). Tapi agama tidak mengatur urusan publik, yakni interaksi antara manusia dengan manusia lainnya, seperti politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya.*6)
2. Sekularisme: Asas Ideologi Kapitalisme
Secara ideologis, sekularisme merupakan aqidah (ide dasar), yaitu pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan. Sekularisme juga merupakan qiyadah fikriyah bagi peradaban Barat, yaitu ide dasar yang menentukan arah dan pandangan hidup (worldview/weltanschauung) bagi manusia dalam hidupnya. Sekularisme juga merupakan qa’idah fikriyah, yakni sebagai basis pemikiran yang menjadi landasan bagi ide-ide cabangnya.
Dalam kedudukannya sebagai qa’idah fikriyah ini, sekularisme menempati posisinya sebagai basis bagi ideologi kapitalisme, sebab sekularisme adalah asas filosofis yang menjadi induk bagi lahirnya berbagai pemikiran dalam ideologi kapitalisme (peradaban Barat), seperti demokrasi (sebagai sistem pemerintahan), kapitalisme (sebagai sistem ekonomi), liberalisme, dan sebagainya.*7)
Sebagai qaidah fikriyah, kemunculan demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme akan dapat dilacak kelahirannya dari sekularisme. Ketika agama sudah dipisahkan dari kehidupan, berarti agama dianggap tak punya otoritas lagi untuk mengatur kehidupan. Jika demikian, maka manusia itu sendirilah yang mengatur hidupnya, bukan agama. Dari sinilah lahir demokrasi, yang menjadikan manusia mempunyai wewenang untuk membuat aturan hidupnya sendiri. Dengan perkataan lain, demokrasi menjadikan rakyat sebagai source of power (sumber kekuasaan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif), sekaligus sebagai souce of legislation (sumber penetapan hukum).*8)
Demokrasi ini, selanjutnya membutuhkan prasyarat kebebasan. Sebab tanpa kebebasan, rakyat tidak dapat mengekspresikan kehendaknya dengan sempurna, baik ketika rakyat berfungsi sebagai sumber kekuasaan, maupun sebagai pemilik kedaulatan. Kebebasan ini dapat terwujud dalam kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ar`y), kebebasan berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah), dan kebebasan kepemilikan (hurriyah at-tamalluk). Dari kebebasan kepemilikan inilah, pada gilirannya, lahir sistem ekonomi kapitalisme.*9)
3. Kritik Atas Sekularisme
Umat Islam wajib menolak sekularisme, paling tidak karena 4 (empat) alasan berikut, yaitu:
Pertama, sekularisme adalah ide yang tidak memuaskan akal. Dengan kata lain, sekularisme tidak sejalan dengan akal (nalar) sehat manusia. tapi lebih didasarkan pada sikap jalan tengah.
Kedua, sekularisme tidak sesuai dengan fitrah manusia, karena sekulerisme menempatkan manusia pada posisi Tuhan yang Maha berkuasa untuk mengatur kehidupan manusia yang sedemikian kompleks. Padahal manusia adalah makhluk yang lemah untuk bisa mengatur kehidupan manusia.
Ketiga, sekularisme telah melahirkan berbagai ide yang gagal dalam praktik yang malah menimbulkan penderitaan pedih pada manusia, misalkan ide demokrasi dan ekonomi kapitalisme.
Keempat, sekularisme bertentangan dengan Islam.
Argumen pertama hingga ketiga, adalah berupa dalil-dalil yang rasional (dalil aqli). Sedang argumen keempat, adalah berupa dalil-dalil naqli (dalil syar’i).
3.1. Sekularisme Tidak Memuaskan Akal
Menurut Abdul Qadim Zallum dalam Al Hamlah al Amirikiyah li Al Qadha` ‘ala Al Islam (1996) sekularisme sebenarnya bukanlah hasil proses berpikir. Bahkan, tak dapat dikatakan sebagai pemikiran yang dihasilkan oleh logika sehat.
Aqidah pemisahan agama dari kehidupan tak lain hanyalah penyelesaian jalan tengah atau kompromistik, antara dua pemikiran yang kontradiktif. Kedua pemikiran ini, yang pertama adalah pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (sekitar abad ke-5 s/d ke-15 M), misalnya Thomas Aquinas, St. Agustine, Tertullian, dan St. Jerome, untuk menundukkan segala urusan kehidupan menurut ketentuan agama Katolik. Sedangkan yang kedua, adalah ide sebagian pemikir dan filsuf yang mengingkari keberadaan Tuhan dan agama. Mereka itu misalnya Machiavelli (w. 1527 ) dan Michael Mountaigne (w. 1592). Contoh lainnya adalah Nietzsche (w. 1778) yang menyatakan, “Orang liberal harus mengakui, bahwa tuhan telah mati (God is dead)”.*10) Ludwig Feurbach (w. 1872) misalnya, menyatakan bahwa, “God is man, and man is God.” (Tuhan itu sebenarnya adalah manusia, dan manusia itu adalah Tuhan). Feurbach juga menyatakan, “Religion is the dream of human mind.” (Agama adalah impian dari pikiran manusia).*11)
Walhasil, ide sekularisme merupakan jalan tengah di antara dua sisi ide ekstrem tadi, yakni ide yang mengharuskan ketundukan pada agama secara mutlak, dan ide yang menolak eksistensi agama juga secara mutlak. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Yang mustahil diselesaikan dengan jalan tengah. Jadi, sekularisme, bisa diumpamakan jalan tengah dari dua ide yang tidak mungkin dicari titik tengahnya. Misalkan, di satu sisi kita katakan, “Saat ini saya ada di ruang ini.” Sedang di sisi lain, “Saat ini saya tidak ada di ruang ini.” Mungkinkah ada jalan tengah di antara dua ide yang sangat bertolak belakang ini? Jika ada jalan tengahnya, jelas ide itu tidak masuk akal.
Jadi, jelaslah bahwa sekularisme adalah jalan tengah di antara pemikiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan dengan jalan tengah. Maka dari itu, sekularisme adalah ide yang tidak memuaskan akal.
3.2. Sekularisme Tidak Sesuai Fitrah Manusia
Taqiyuddin An-Nabhani dalam Nizhamul Islam (2001) mengatakan bahwa sekularisme bertentangan dengan fitrah manusia, yang terwujud secara menonjol pada naluri beragama. Naluri beragama tampak dalam aktivitas pen-taqdis-an (pensucian); di samping juga tampak dalam pengaturan manusia terhadap aktivitas hidupnya. Jika pengaturan kehidupan diserahkan kepada manusia, akan tampak perbedaan dan pertentangan tatkala pengaturan itu berjalan. Hal ini menunjukkan tanda kelemahan manusia dalam mengatur aktivitasnya.
Sebagai contoh ketidakmampuan manusia ini, bisa kita saksikan sistem hukum di Indonesia yang melahirkan banyak pertentangan dan kontradiksi. Di Indonesia diterapkan 3 sistem hukum,yaitu hukum adat, hukum sipil (warisan Belanda), dan hukum Islam. Akibat beragamnya sistem hukum ini, timbul banyak problem, antara lain adanya kontradiksi hukum positif dengan Syariah Islam. Hukum pidana (KUHP) peninggalan penjajah, falsafah yang mendasarinya sangat bertolak belakang dengan syariah Islam. Misalnya dalam kejahatan kesusilaan, KUHP pasal 284 berbunyi: “Barangsiapa melakukan persetubuhan dengan laki-laki atau perempuan yang bukan suami atau istrinya, maka diancam dengan sanksi pidana.” Jadi perzinaan hanya terjadi jika kedua pelakunya sudah menikah (berstatus suami atau isteri). Maka, pasal ini tidak melarang hubungan seksual yang dilakukan secara suka sama suka oleh kedua orang yang belum menikah (fornication), tidak melarang homoseksual, dan tidak melarang hubungan seksual dengan binatang (bestiality).*12)
Kontradiksi ini lahir karena akal manusia dianggap hebat dan super sehingga berani menerapkan berbagai sistem hukum secara campur aduk, berasaskan sekularisme (menjauhkan agama dari kehidupan). Ini jelas bertentangan dengan fitrah manusia yang seharusnya mengakui kelemahannya, sehingga akhirnya mau berhukum kepada aturan dari Allah semata. Oleh karena itu, menjauhkan agama dari kehidupan jelas bertentangan dengan fitrah manusia. Dengan kata lain, menjauhkan peraturan Allah dan mengambil peraturan dari manusia adalah bertentangan dengan fitrah manusia. Maka dari itu, sekularisme telah gagal dilihat dari segi fitrah manusia.
3.3. Sekularisme Melahirkan Ide Gagal Dan Membahayakan Manusia
Sekularisme antara lain melahirkan ide demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam praktiknya secara empiris, kedua ide ini telah gagal. Tidak membawa kepada kebahagiaan dan kebaikan untuk manusia, tetapi justru menjerumuskan umat manusia ke dalam jurang penderitaan yang sangat mengerikan dan memilukan. Mari kita lihat data-datanya.
A. Kegagalan Demokrasi
Demokrasi yang merupakan anak kandung sekularisme, sebenarnya lebih banyak menyajikan ilusi dan tragedi yang mengerikan daripada kemaslahatan dan kebaikan umat manusia. Di AS sendiri, demokrasi telah menemui kegagalannya yang tragis.
AS yang oleh Alexis de Tocqueiville sebagai “guru” demokrasi kini sangat jauh dari demokrasi. Harian AS USA Today (25/4/2003) lalu melaporkan, AS kini tak sepatutnya lagi mengklaim diri sebagai negara paling demokrastis. Mengapa? Karena berkaitan dengan invasi AS ke Irak, sejumlah kasus menunjukkan AS tidak demokratis justru di negaranya sendiri.*13) Sebagai catatan, demo yang menentang invasi AS itu hingga 15 Pebruari 2003 setidaknya mencapai 15 juta orang di 600 kota di seluruh dunia. Tapi semua upaya yang konon demokratis itu menemui kegagalan justru karena sikap AS yang mengabaikan aspirasi dunia seraya tetap ngotot untuk menghancurkan Irak.
Yang lebih gila lagi, seperti dicatat Johan Galtung, intervensi AS ke Irak itu adalah yang ke-69 sejak 1945, dan yang ke-238 sejak Thomas Jefferson pada tahun 1804 mengawali perangnya terhadap kaum muslimin yang dulu disebut sebagai “perompak” dan kini disebut Libya. Sejak tahun 1945 itu tercatat 12 hingga 16 juta manusia terbunuh. Dan sejak tahun 1947, telah tewas sebanyak 6 juta jiwa karena ulah CIA.
Dan itu belum berakhir, sebab Wakil Presiden Dick Cheney mengumumkan, masih akan ada perang-perang lain yang menurut data BBC akan mencapai 60 negara. JINSA (Institut Yahudi untuk Urusan Keamanan Nasional) di Washington memiliki rencana perubahan rezim pemerintahan di 22 negara Arab.*14)
Itulah wajah nyata dari demokrasi. Ide demokrasi yang muluk-muluk seperti egalitarian (kesetaraaan), keadilan, toleransi, dan sebagainya hanyalah utopia. Demokrasi telah gagal. Gagal.
B. Kegagalan Ekonomi Kapitalisme
Kapitalisme sebagai sistem ekonomi juga merupakan anak kandung sekularisme. Prinsip-prinsip yang diajarkannya seperti kebebasan individu, persaingan bebas, mekanisme pasar, dan sebagainya ternyata telah menghancurkan dunia. Kalaupun ada yang untung, itu hanya dinikmati oleh mereka yang kuat. Sedangkan mayoritas manusia yang lemah, harus rela menderita dalam kemiskinan, keterbelakangan, dan penderitaan akibat kapitalisme. Hal ini bisa dibuktikan, baik di AS maupun di belahan bumi lainnya. Berikut sekilas data-datanya*15):
-Kemiskinan dan Kesenjangan
Tren kemiskinan semakin memburuk akibat kapitalisme. Jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dollar sehari meningkat dari 1,197 milyar jiwa pada tahun 1987 menjadi 1,214 milyar jiwa pada tahun 1997 (20% dari penduduk dunia). Sementara 1,6 milyar jiwa (25%) penduduk dunia lainnya hidup antara 1-2 dolar perhari. (The United Nations Human Development Report, 1999).
Kesenjangan pendapatan antara 1/5 penduduk dunia di negara-negara kaya dengan 1/5 penduduk di negara-negara termiskin meningkat 2 kali lipat pada tahun 1960-1990 dari 30:1 menjadi 60:1. Pada 1998 meningkat menjadi 78:1. (The United Nations Human Development Report, 1999).
Perubahan teknologi dan liberalisasi keuangan mengakibatkan peningkatan jumlah rumah tangga tidak proposional pada tingkatan yang teramat kaya, tanpa distribusi bagi yang miskin… Dari 1988-1993, pendapatan 10% penduduk termiskin di dunia merosot lebih dari 1/4nya, sedangkan pendapatan 10% penduduk terkaya di dunia meningkat 8%. (Robert Wade, The London School of Economics, The Economist, 2001).
Dua puluh tahun lalu, perbandingan pendapatan rata-rata di 49 negara terbelakang dengan pendapatan negara-negara terkaya adalah 1:87. Saat ini menjadi 1:98. (Kevin Watkins, International Herald Tribune, 2001).
Total kekayaan orang-orang yang mempunyai aset minimal 1 juta dolar meningkat hampir 4 kali lipat pada 1986-2000 dari 7,2 trilyun dolar menjadi 27 trilyun dolar. Meskipun terjadi kemerosotan keuangan global dan bisnis dotcom saat ini, Merril Lynch memprediksikan bahwa kekayaan mereka meningkat 8% setiap tahunnya dan diperkirakan tahun 2005 mencapai 40 trilyun dolar. (Merril Lynch-Cap Gemini, 2001).
Sejak 1994-1998, nilai kekayaan bersih 200 orang terkaya di dunia bertambah dari 40 milyar dolar menjadi lebih dari 1 trilyun dolar. Aset 3 orang terkaya lebih besar dari gabungan GNP 48 negara terkebelakang. Jumlah milyuder meningkat 25% dua tahun terakhir menjadio 475 orang dengan nilai kekayaan lebih besar dari 50% penduduk termiskin dunia. (The United Nations Human Development Report, 1999).
Sebanyak 1/5 orang terkaya di dunia mengkonsumsi 86% semua barang dan jasa, sementara 1/5 orang termiskin di dunia hanya mengkonsumsi kurang dari 1% saja. (The United Nations Human Development Report, 1999).
-Kelaparan & Kekurangan Gizi
Di seluruh dunia kira-kira 50 ribu orang meninggal setiap hari akibat kurngnya kebutuhan tempat tinggal, air yang tercemar, dan sanitasi yang tidak memadai. (Shukor Rahman, Straits of Malaysia Times, 2001).
Kelaparan disebabkan oleh kenyataan bahwa pengembangan perdagangan dunia lebih dititikberatkan pada negara-negara Utara (negara-negara maju), sementara perluasan utang lebih diarahkan ke negara-negara Selatan (negara-negara berkembang). (Shukor Rahman, New Straits of Malaysia Times, 2001).
Peningkatan produksi pangan dalam 35 tahun terakhir telah melampaui laju pertumbuhan penduduk dunia sebesar 16%. Peningkatan tersebut belum pernah terjadi. (United Nations Food and Agriculture Organization, 1994).
Pada tahun 1997, 78% anak-anak di bawah usia 5 tahun yang kekurangan gizi di negara-negara sedang berkembang sebenarnya hidup di negara-negara yang mengalami surplus pangan. (United Nations Food and agriculture Organization, 1998).
Sementara 200 juta orang India kelaparan, pada tahun 1995 India mengekspor gandum dan tepung terigu dengan nilai $ 625 juta, beras 5 juta ton dengan nilai $ 1,3 milyar. (Institute for Food and Development Policy, Backgrounder, Spring 1998).
Dewasa ini 826 juta manusia menderita kekurangan pangan yang sangat kronis dan serius, kendati dunia sebenarnya mampu memberi makan 12 milyar manusia (2 kali lipat dari penduduk dunia) tanpa masalah sedikit pun. (Shukor Rahman, New Straits of Malaysia Times, 2001).
Pada tahun 1997, hampir 10 juta orang AS yang terdiri atas 6,1 juta orang dewasa dan 3,3 juta anak-anak benar-benar dililit kelaparan. Sementara itu, pada tahun 1998, 10,5 juta rumah tangga di AS atau 31 juta orang tidak bisa memperoleh makanan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. (US Departement of Agriculture, Food Insecurity Report, 1999).
Jumlah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan gizinya diperkirakan bertambah besar hingga 3%, dari 1,1 milyar pada tahun 1998 menjadi 1,3 milyar orang pada tahun 2008. 2/3 penduduk Afrika Sub-Sahara dan 40% penduduk Asia akan mengalami kekurangan pangan pada tahun 2008. (US Departemen of Agriculture, Food Security Asessment, 1999).
Setiap hari 11 ribu anak mati kelaparan di seluruh dunia, sedangkan 200 juta anak menderita kekurangan gizi dan protein serta kalori. Lebih dari 800 juta menderita kelaparan di seluruh dunia dan 70% di antara mereka adalah wanita dan anak-anak. (Shukor Rahman, World Food Program, New Staits of Malaysia Times, 2001).
IMF membunuh umat manusia tidak dengan peluru ataupun rudal tetapi dengan wabah kelaparan. (Carlos Andres Perez, Mantan Presiden Venezuela, The Ecologist Report, Globalizing Poverty, 2000).
Itulah sekilas daya-data empiris tentang penderitaan umat manusia akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang lahir dari rahim sekularisme. Masihkah kita percaya pada kapitalisme? Pada sekularisme?
3.4.Sekularisme Bertentangan Dengan Islam
Kebatilan sekularisme di samping dapat dibuktikan secara dalil aqli, seperti diuraikan sebelumnya, juga dapat didasarkan pada dalil naqli, yaitu ditinjau dari segi-segi berikut:
A. Sekularisme Adalah Ide Kufur
Sekularisme adalah ide kufur yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah.*16) Segala sesuatu pemikiran tentang kehidupan yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah adalah kufur dan thaghut yang harus diingkari dan dihancurkan. Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. al-Maa'idah [5]: 44).
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu…” (Qs. an-Nisaa` [4]: 60).
B.Sekularisme Bertentangan Dengan Khilafah
Sekularisme jika diyakini dan diterapkan, akan dapat menghancurkan konsep Islam yang agung, yaitu Khilafah. Jadi sekularisme bertentangan dengan Khilafah. Sebab sekularisme melahirkan pemisahan agama dari politik dan negara. Ujungnya, agama hanya mengatur secuil aspek kehidupan, dan tidak mengatur segala aspek kehidupan. Padahal Islam mewajibkan penerapan Syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan, seperti aspek pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional, muamalah dalam negeri, dan peradilan. Tak ada pemisahan agama dari kehidupan dan negara dalam Islam. Karenanya wajarlah bila dalam Islam ada kewajiban mendirikan negara Khilafah Islamiyah. Sabda Rasulullah SAW:
“...dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” [HR. Muslim].*17)
Dari dalil yang seperti inilah, para imam mewajibkan eksistensi Khilafah. Abdurrahman Al Jaziri telah berkata:
“Para imam (Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad) –rahimahumulah— telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam (Khalifah)...”*18)
Maka, sekularisme jelas bertentangan dengan Khilafah. Siapa saja yang menganut sekularisme, pasti akan bersemangat untuk menghancurkan Khilafah. Jika sekularisme ini dianut oleh orang Islam, maka berarti dia telah memakai cara pandang musuh yang akan menyesatkannya. Inilah bunuh diri ideologis paling mengerikan yang banyak menimpa umat Islam sekarang.
Padahal, Rasulullah SAW sebenarnya telah mewanti-wanti agar tidak terjadi pemisahan kekuasaan dari Islam, atau keruntuhan Khilafah itu sendiri. Sabda Rasulullah :
[alaa innal kitaab was sulthoona sayaftariqooni falaa tufaariqul kitaaba]
“Ingatlah! Sesungguhnya Al Kitab (al-Qur`an) dan kekuasaan akan berpisah. Maka (jika hal itu terjadi) janganlah kalian berpisah dengan al Qur`an!” [HR. Ath Thabrani].*19)
Sabda Rasulullah SAW:
[latanqudhonna ‘urol islami ‘urwatan ‘urwatan fakullamaa intaqadhat ‘urwatun tasyabbatsan naasu billatii taliihaa fa-awwaluhunna naqdhon al hukmu wa aakhiruhunna ash sholaatu]
“Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu. Maka setiap kali satu simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan dengan simpul yang berikutnya (yang tersisa). Simpul yang pertama kali terurai adalah pemerintahan/kekuasaan. Sedang yang paling akhir adalah shalat.” [HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim].*20)
C. Umat Islam Menyerupai Kaum Kafir (tasyabbuh bi al kuffar)
Sekularisme mungkin saja dapat diterima dengan mudah oleh seorang beragama Kristen, sebab agama Kristen memang bukan merupakan sebuah sistem kehidupan (system of life). Perjanjian Baru sendiri memisahkan kehidupan dalam dua kategori, yaitu kehidupan untuk Tuhan (agama), dan kehidupan untuk Kaisar (negara). Disebutkan dalam Injil:
“"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan” (Matius 22 : 21).
Dengan demikian, seorang Kristen akan dapat menerima dengan penuh keikhlasan paham sekularisme tanpa hambatan apa pun, sebab hal itu memang sesuai dengan norma ajaran Kristen itu sendiri. Apalagi, orang Barat –khususnya orang Kristen-- juga mempunyai argumen rasional untuk mengutamakan pemerintahan sekular (secular regime) daripada pemerintahan berlandaskan agama (religious regime), sebab pengalaman mereka menerapkan religious regimes telah melahirkan berbagai berbagai dampak buruk, seperti kemandegan pemikiran dan ilmu pengetahuan, permusuhan terhadap para ilmuwan seperti Copernicus dan Galileo Galilei, dominasi absolut gereja Katolik (Paus) atas kekuasaan raja-raja Eropa, pengucilan anggota gereja yang dianggap sesat (excommunication), adanya surat pengampunan dosa (Afflatbriefen), dan lain-lain.*21)
Namun bagi seorang muslim, sesungguhnya tak mungkin secara ideologis menerima sekularisme. Karena Islam memang tak mengenal pemisahan agama dari negara. Seorang muslim yang ikhlas menerima sekularisme, ibaratnya bagaikan menerima paham asing keyakinan orang kafir, seperti kehalalan daging babi atau kehalalan khamr. Maka dari itu, ketika Khilafah dihancurkan, dan kemudian umat Islam menerima penerapan sekularisme dalam kehidupannya, berarti mereka telah terjatuh dalam dosa besar karena telah menyerupai orang kafir (tasyabbuh bi al kuffar).
Sabda Rasulullah SAW:
[man tasyabbaha bi qawmin fahuwa minhum]
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut.” [HR. Abu Dawud].*22)
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mengatakan dalam syarahnya mengenai hadits ini:
“Hadits tersebut paling sedikit mengandung tuntutan keharaman menyerupai (tasyabbuh) kepada orang kafir, walaupun zhahir dari hadits tersebut menetapkan kufurnya bertasyabbuh dengan mereka...”*23)
Dengan demikian, pada umat Islam menerapkan sekularisme dalam pemerintahannya, maka mereka berarti telah terjerumus dalam dosa karena telah menyerupai orang Kristen yang memisahkan urusan agama dari negara.*24) (Nauzhu billah min dzalik!)
4.Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa sekularime wajib ditolak oleh kaum muslimin, karena sekularisme tidak masuk akal, tidak sesuai fitrah manusia, melahirkan kemudharatan dalam praktiknya, serta bertentangan dengan Islam.
Sekularisme adalah ide kufur yang wajib dihancurkan oleh kaum muslimin. Sekulerisme adalah thaghut yang kita telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Sekulerisme wajib dihapuskan dari muka bumi, dalam segala bentuk dan manifestasinya. [ ]
Catatan Kaki:
Pada abad ke-19, tepatnya tahun 1864 M, George Jacob Holyoke menggunakan istilah sekularisme dalam arti filsafat praktis untuk manusia yang menafsirkan dan mengorganisir kehidupan tanpa bersumber dari supernatural.*2)
Setelah itu, pengertian sekularisme secara terminologis mengacu kepada doktrin atau praktik yang menafikan peran agama dalam fungsi-fungsi negara. Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai:
“A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship.”
(Sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan)
Atau sebagai:
“The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the function of the state especially into public education.”
(Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi negara, khususnya dalam pendidikan publik).*3)
Jadi, makna sekularisme, secara terminologis, adalah paham pemisahan agama dari kehidupan (fashlud din ‘an al hayah), yakni pemisahan agama dari segala aspek kehidupan, yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari negara dan politik.*4)
Secara sosio-historis, sekularisme lahir di Eropa, bukan di Dunia Islam, sebagai kompromi antara dua pemikiran ekstrem yang kontradiktif, yaitu:
Pertama, pemikiran tokoh-tokoh gereja dan raja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang mengharuskan segala urusan kehidupan tunduk menurut ketentuan agama (Katolik). Mulai dari urusan keluarga, ekonomi, politik, sosial, seni, hingga teologi dan ilmu pengetahuan, harus mengikuti ketentuan para gerejawan Katolik.
Kedua, pemikiran sebagian pemikir dan filsuf –misalnya Machiaveli (w.1527 M) dan Michael Mountaigne (w. 1592 M)-- yang mengingkari keberadaan Tuhan atau menolak hegemoni agama dan gereja Katolik.
Jalan tengah dari keduanya ialah, agama tetap diakui, tapi tidak boleh turut campur dalam pengaturan urusan masyarakat.*5) Jadi, agama tetap diakui eksistensinya, tidak dinafikan, hanya saja perannya dibatasi pada urusan privat saja, yakni interaksi antara manusia dan Tuhannya (seperti aqidah, ibadah ritual, dan akhlak). Tapi agama tidak mengatur urusan publik, yakni interaksi antara manusia dengan manusia lainnya, seperti politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya.*6)
2. Sekularisme: Asas Ideologi Kapitalisme
Secara ideologis, sekularisme merupakan aqidah (ide dasar), yaitu pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan. Sekularisme juga merupakan qiyadah fikriyah bagi peradaban Barat, yaitu ide dasar yang menentukan arah dan pandangan hidup (worldview/weltanschauung) bagi manusia dalam hidupnya. Sekularisme juga merupakan qa’idah fikriyah, yakni sebagai basis pemikiran yang menjadi landasan bagi ide-ide cabangnya.
Dalam kedudukannya sebagai qa’idah fikriyah ini, sekularisme menempati posisinya sebagai basis bagi ideologi kapitalisme, sebab sekularisme adalah asas filosofis yang menjadi induk bagi lahirnya berbagai pemikiran dalam ideologi kapitalisme (peradaban Barat), seperti demokrasi (sebagai sistem pemerintahan), kapitalisme (sebagai sistem ekonomi), liberalisme, dan sebagainya.*7)
Sebagai qaidah fikriyah, kemunculan demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme akan dapat dilacak kelahirannya dari sekularisme. Ketika agama sudah dipisahkan dari kehidupan, berarti agama dianggap tak punya otoritas lagi untuk mengatur kehidupan. Jika demikian, maka manusia itu sendirilah yang mengatur hidupnya, bukan agama. Dari sinilah lahir demokrasi, yang menjadikan manusia mempunyai wewenang untuk membuat aturan hidupnya sendiri. Dengan perkataan lain, demokrasi menjadikan rakyat sebagai source of power (sumber kekuasaan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif), sekaligus sebagai souce of legislation (sumber penetapan hukum).*8)
Demokrasi ini, selanjutnya membutuhkan prasyarat kebebasan. Sebab tanpa kebebasan, rakyat tidak dapat mengekspresikan kehendaknya dengan sempurna, baik ketika rakyat berfungsi sebagai sumber kekuasaan, maupun sebagai pemilik kedaulatan. Kebebasan ini dapat terwujud dalam kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ar`y), kebebasan berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah), dan kebebasan kepemilikan (hurriyah at-tamalluk). Dari kebebasan kepemilikan inilah, pada gilirannya, lahir sistem ekonomi kapitalisme.*9)
3. Kritik Atas Sekularisme
Umat Islam wajib menolak sekularisme, paling tidak karena 4 (empat) alasan berikut, yaitu:
Pertama, sekularisme adalah ide yang tidak memuaskan akal. Dengan kata lain, sekularisme tidak sejalan dengan akal (nalar) sehat manusia. tapi lebih didasarkan pada sikap jalan tengah.
Kedua, sekularisme tidak sesuai dengan fitrah manusia, karena sekulerisme menempatkan manusia pada posisi Tuhan yang Maha berkuasa untuk mengatur kehidupan manusia yang sedemikian kompleks. Padahal manusia adalah makhluk yang lemah untuk bisa mengatur kehidupan manusia.
Ketiga, sekularisme telah melahirkan berbagai ide yang gagal dalam praktik yang malah menimbulkan penderitaan pedih pada manusia, misalkan ide demokrasi dan ekonomi kapitalisme.
Keempat, sekularisme bertentangan dengan Islam.
Argumen pertama hingga ketiga, adalah berupa dalil-dalil yang rasional (dalil aqli). Sedang argumen keempat, adalah berupa dalil-dalil naqli (dalil syar’i).
3.1. Sekularisme Tidak Memuaskan Akal
Menurut Abdul Qadim Zallum dalam Al Hamlah al Amirikiyah li Al Qadha` ‘ala Al Islam (1996) sekularisme sebenarnya bukanlah hasil proses berpikir. Bahkan, tak dapat dikatakan sebagai pemikiran yang dihasilkan oleh logika sehat.
Aqidah pemisahan agama dari kehidupan tak lain hanyalah penyelesaian jalan tengah atau kompromistik, antara dua pemikiran yang kontradiktif. Kedua pemikiran ini, yang pertama adalah pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (sekitar abad ke-5 s/d ke-15 M), misalnya Thomas Aquinas, St. Agustine, Tertullian, dan St. Jerome, untuk menundukkan segala urusan kehidupan menurut ketentuan agama Katolik. Sedangkan yang kedua, adalah ide sebagian pemikir dan filsuf yang mengingkari keberadaan Tuhan dan agama. Mereka itu misalnya Machiavelli (w. 1527 ) dan Michael Mountaigne (w. 1592). Contoh lainnya adalah Nietzsche (w. 1778) yang menyatakan, “Orang liberal harus mengakui, bahwa tuhan telah mati (God is dead)”.*10) Ludwig Feurbach (w. 1872) misalnya, menyatakan bahwa, “God is man, and man is God.” (Tuhan itu sebenarnya adalah manusia, dan manusia itu adalah Tuhan). Feurbach juga menyatakan, “Religion is the dream of human mind.” (Agama adalah impian dari pikiran manusia).*11)
Walhasil, ide sekularisme merupakan jalan tengah di antara dua sisi ide ekstrem tadi, yakni ide yang mengharuskan ketundukan pada agama secara mutlak, dan ide yang menolak eksistensi agama juga secara mutlak. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Yang mustahil diselesaikan dengan jalan tengah. Jadi, sekularisme, bisa diumpamakan jalan tengah dari dua ide yang tidak mungkin dicari titik tengahnya. Misalkan, di satu sisi kita katakan, “Saat ini saya ada di ruang ini.” Sedang di sisi lain, “Saat ini saya tidak ada di ruang ini.” Mungkinkah ada jalan tengah di antara dua ide yang sangat bertolak belakang ini? Jika ada jalan tengahnya, jelas ide itu tidak masuk akal.
Jadi, jelaslah bahwa sekularisme adalah jalan tengah di antara pemikiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan dengan jalan tengah. Maka dari itu, sekularisme adalah ide yang tidak memuaskan akal.
3.2. Sekularisme Tidak Sesuai Fitrah Manusia
Taqiyuddin An-Nabhani dalam Nizhamul Islam (2001) mengatakan bahwa sekularisme bertentangan dengan fitrah manusia, yang terwujud secara menonjol pada naluri beragama. Naluri beragama tampak dalam aktivitas pen-taqdis-an (pensucian); di samping juga tampak dalam pengaturan manusia terhadap aktivitas hidupnya. Jika pengaturan kehidupan diserahkan kepada manusia, akan tampak perbedaan dan pertentangan tatkala pengaturan itu berjalan. Hal ini menunjukkan tanda kelemahan manusia dalam mengatur aktivitasnya.
Sebagai contoh ketidakmampuan manusia ini, bisa kita saksikan sistem hukum di Indonesia yang melahirkan banyak pertentangan dan kontradiksi. Di Indonesia diterapkan 3 sistem hukum,yaitu hukum adat, hukum sipil (warisan Belanda), dan hukum Islam. Akibat beragamnya sistem hukum ini, timbul banyak problem, antara lain adanya kontradiksi hukum positif dengan Syariah Islam. Hukum pidana (KUHP) peninggalan penjajah, falsafah yang mendasarinya sangat bertolak belakang dengan syariah Islam. Misalnya dalam kejahatan kesusilaan, KUHP pasal 284 berbunyi: “Barangsiapa melakukan persetubuhan dengan laki-laki atau perempuan yang bukan suami atau istrinya, maka diancam dengan sanksi pidana.” Jadi perzinaan hanya terjadi jika kedua pelakunya sudah menikah (berstatus suami atau isteri). Maka, pasal ini tidak melarang hubungan seksual yang dilakukan secara suka sama suka oleh kedua orang yang belum menikah (fornication), tidak melarang homoseksual, dan tidak melarang hubungan seksual dengan binatang (bestiality).*12)
Kontradiksi ini lahir karena akal manusia dianggap hebat dan super sehingga berani menerapkan berbagai sistem hukum secara campur aduk, berasaskan sekularisme (menjauhkan agama dari kehidupan). Ini jelas bertentangan dengan fitrah manusia yang seharusnya mengakui kelemahannya, sehingga akhirnya mau berhukum kepada aturan dari Allah semata. Oleh karena itu, menjauhkan agama dari kehidupan jelas bertentangan dengan fitrah manusia. Dengan kata lain, menjauhkan peraturan Allah dan mengambil peraturan dari manusia adalah bertentangan dengan fitrah manusia. Maka dari itu, sekularisme telah gagal dilihat dari segi fitrah manusia.
3.3. Sekularisme Melahirkan Ide Gagal Dan Membahayakan Manusia
Sekularisme antara lain melahirkan ide demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam praktiknya secara empiris, kedua ide ini telah gagal. Tidak membawa kepada kebahagiaan dan kebaikan untuk manusia, tetapi justru menjerumuskan umat manusia ke dalam jurang penderitaan yang sangat mengerikan dan memilukan. Mari kita lihat data-datanya.
A. Kegagalan Demokrasi
Demokrasi yang merupakan anak kandung sekularisme, sebenarnya lebih banyak menyajikan ilusi dan tragedi yang mengerikan daripada kemaslahatan dan kebaikan umat manusia. Di AS sendiri, demokrasi telah menemui kegagalannya yang tragis.
AS yang oleh Alexis de Tocqueiville sebagai “guru” demokrasi kini sangat jauh dari demokrasi. Harian AS USA Today (25/4/2003) lalu melaporkan, AS kini tak sepatutnya lagi mengklaim diri sebagai negara paling demokrastis. Mengapa? Karena berkaitan dengan invasi AS ke Irak, sejumlah kasus menunjukkan AS tidak demokratis justru di negaranya sendiri.*13) Sebagai catatan, demo yang menentang invasi AS itu hingga 15 Pebruari 2003 setidaknya mencapai 15 juta orang di 600 kota di seluruh dunia. Tapi semua upaya yang konon demokratis itu menemui kegagalan justru karena sikap AS yang mengabaikan aspirasi dunia seraya tetap ngotot untuk menghancurkan Irak.
Yang lebih gila lagi, seperti dicatat Johan Galtung, intervensi AS ke Irak itu adalah yang ke-69 sejak 1945, dan yang ke-238 sejak Thomas Jefferson pada tahun 1804 mengawali perangnya terhadap kaum muslimin yang dulu disebut sebagai “perompak” dan kini disebut Libya. Sejak tahun 1945 itu tercatat 12 hingga 16 juta manusia terbunuh. Dan sejak tahun 1947, telah tewas sebanyak 6 juta jiwa karena ulah CIA.
Dan itu belum berakhir, sebab Wakil Presiden Dick Cheney mengumumkan, masih akan ada perang-perang lain yang menurut data BBC akan mencapai 60 negara. JINSA (Institut Yahudi untuk Urusan Keamanan Nasional) di Washington memiliki rencana perubahan rezim pemerintahan di 22 negara Arab.*14)
Itulah wajah nyata dari demokrasi. Ide demokrasi yang muluk-muluk seperti egalitarian (kesetaraaan), keadilan, toleransi, dan sebagainya hanyalah utopia. Demokrasi telah gagal. Gagal.
B. Kegagalan Ekonomi Kapitalisme
Kapitalisme sebagai sistem ekonomi juga merupakan anak kandung sekularisme. Prinsip-prinsip yang diajarkannya seperti kebebasan individu, persaingan bebas, mekanisme pasar, dan sebagainya ternyata telah menghancurkan dunia. Kalaupun ada yang untung, itu hanya dinikmati oleh mereka yang kuat. Sedangkan mayoritas manusia yang lemah, harus rela menderita dalam kemiskinan, keterbelakangan, dan penderitaan akibat kapitalisme. Hal ini bisa dibuktikan, baik di AS maupun di belahan bumi lainnya. Berikut sekilas data-datanya*15):
-Kemiskinan dan Kesenjangan
Tren kemiskinan semakin memburuk akibat kapitalisme. Jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dollar sehari meningkat dari 1,197 milyar jiwa pada tahun 1987 menjadi 1,214 milyar jiwa pada tahun 1997 (20% dari penduduk dunia). Sementara 1,6 milyar jiwa (25%) penduduk dunia lainnya hidup antara 1-2 dolar perhari. (The United Nations Human Development Report, 1999).
Kesenjangan pendapatan antara 1/5 penduduk dunia di negara-negara kaya dengan 1/5 penduduk di negara-negara termiskin meningkat 2 kali lipat pada tahun 1960-1990 dari 30:1 menjadi 60:1. Pada 1998 meningkat menjadi 78:1. (The United Nations Human Development Report, 1999).
Perubahan teknologi dan liberalisasi keuangan mengakibatkan peningkatan jumlah rumah tangga tidak proposional pada tingkatan yang teramat kaya, tanpa distribusi bagi yang miskin… Dari 1988-1993, pendapatan 10% penduduk termiskin di dunia merosot lebih dari 1/4nya, sedangkan pendapatan 10% penduduk terkaya di dunia meningkat 8%. (Robert Wade, The London School of Economics, The Economist, 2001).
Dua puluh tahun lalu, perbandingan pendapatan rata-rata di 49 negara terbelakang dengan pendapatan negara-negara terkaya adalah 1:87. Saat ini menjadi 1:98. (Kevin Watkins, International Herald Tribune, 2001).
Total kekayaan orang-orang yang mempunyai aset minimal 1 juta dolar meningkat hampir 4 kali lipat pada 1986-2000 dari 7,2 trilyun dolar menjadi 27 trilyun dolar. Meskipun terjadi kemerosotan keuangan global dan bisnis dotcom saat ini, Merril Lynch memprediksikan bahwa kekayaan mereka meningkat 8% setiap tahunnya dan diperkirakan tahun 2005 mencapai 40 trilyun dolar. (Merril Lynch-Cap Gemini, 2001).
Sejak 1994-1998, nilai kekayaan bersih 200 orang terkaya di dunia bertambah dari 40 milyar dolar menjadi lebih dari 1 trilyun dolar. Aset 3 orang terkaya lebih besar dari gabungan GNP 48 negara terkebelakang. Jumlah milyuder meningkat 25% dua tahun terakhir menjadio 475 orang dengan nilai kekayaan lebih besar dari 50% penduduk termiskin dunia. (The United Nations Human Development Report, 1999).
Sebanyak 1/5 orang terkaya di dunia mengkonsumsi 86% semua barang dan jasa, sementara 1/5 orang termiskin di dunia hanya mengkonsumsi kurang dari 1% saja. (The United Nations Human Development Report, 1999).
-Kelaparan & Kekurangan Gizi
Di seluruh dunia kira-kira 50 ribu orang meninggal setiap hari akibat kurngnya kebutuhan tempat tinggal, air yang tercemar, dan sanitasi yang tidak memadai. (Shukor Rahman, Straits of Malaysia Times, 2001).
Kelaparan disebabkan oleh kenyataan bahwa pengembangan perdagangan dunia lebih dititikberatkan pada negara-negara Utara (negara-negara maju), sementara perluasan utang lebih diarahkan ke negara-negara Selatan (negara-negara berkembang). (Shukor Rahman, New Straits of Malaysia Times, 2001).
Peningkatan produksi pangan dalam 35 tahun terakhir telah melampaui laju pertumbuhan penduduk dunia sebesar 16%. Peningkatan tersebut belum pernah terjadi. (United Nations Food and Agriculture Organization, 1994).
Pada tahun 1997, 78% anak-anak di bawah usia 5 tahun yang kekurangan gizi di negara-negara sedang berkembang sebenarnya hidup di negara-negara yang mengalami surplus pangan. (United Nations Food and agriculture Organization, 1998).
Sementara 200 juta orang India kelaparan, pada tahun 1995 India mengekspor gandum dan tepung terigu dengan nilai $ 625 juta, beras 5 juta ton dengan nilai $ 1,3 milyar. (Institute for Food and Development Policy, Backgrounder, Spring 1998).
Dewasa ini 826 juta manusia menderita kekurangan pangan yang sangat kronis dan serius, kendati dunia sebenarnya mampu memberi makan 12 milyar manusia (2 kali lipat dari penduduk dunia) tanpa masalah sedikit pun. (Shukor Rahman, New Straits of Malaysia Times, 2001).
Pada tahun 1997, hampir 10 juta orang AS yang terdiri atas 6,1 juta orang dewasa dan 3,3 juta anak-anak benar-benar dililit kelaparan. Sementara itu, pada tahun 1998, 10,5 juta rumah tangga di AS atau 31 juta orang tidak bisa memperoleh makanan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. (US Departement of Agriculture, Food Insecurity Report, 1999).
Jumlah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan gizinya diperkirakan bertambah besar hingga 3%, dari 1,1 milyar pada tahun 1998 menjadi 1,3 milyar orang pada tahun 2008. 2/3 penduduk Afrika Sub-Sahara dan 40% penduduk Asia akan mengalami kekurangan pangan pada tahun 2008. (US Departemen of Agriculture, Food Security Asessment, 1999).
Setiap hari 11 ribu anak mati kelaparan di seluruh dunia, sedangkan 200 juta anak menderita kekurangan gizi dan protein serta kalori. Lebih dari 800 juta menderita kelaparan di seluruh dunia dan 70% di antara mereka adalah wanita dan anak-anak. (Shukor Rahman, World Food Program, New Staits of Malaysia Times, 2001).
IMF membunuh umat manusia tidak dengan peluru ataupun rudal tetapi dengan wabah kelaparan. (Carlos Andres Perez, Mantan Presiden Venezuela, The Ecologist Report, Globalizing Poverty, 2000).
Itulah sekilas daya-data empiris tentang penderitaan umat manusia akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang lahir dari rahim sekularisme. Masihkah kita percaya pada kapitalisme? Pada sekularisme?
3.4.Sekularisme Bertentangan Dengan Islam
Kebatilan sekularisme di samping dapat dibuktikan secara dalil aqli, seperti diuraikan sebelumnya, juga dapat didasarkan pada dalil naqli, yaitu ditinjau dari segi-segi berikut:
A. Sekularisme Adalah Ide Kufur
Sekularisme adalah ide kufur yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah.*16) Segala sesuatu pemikiran tentang kehidupan yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah adalah kufur dan thaghut yang harus diingkari dan dihancurkan. Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. al-Maa'idah [5]: 44).
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu…” (Qs. an-Nisaa` [4]: 60).
B.Sekularisme Bertentangan Dengan Khilafah
Sekularisme jika diyakini dan diterapkan, akan dapat menghancurkan konsep Islam yang agung, yaitu Khilafah. Jadi sekularisme bertentangan dengan Khilafah. Sebab sekularisme melahirkan pemisahan agama dari politik dan negara. Ujungnya, agama hanya mengatur secuil aspek kehidupan, dan tidak mengatur segala aspek kehidupan. Padahal Islam mewajibkan penerapan Syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan, seperti aspek pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional, muamalah dalam negeri, dan peradilan. Tak ada pemisahan agama dari kehidupan dan negara dalam Islam. Karenanya wajarlah bila dalam Islam ada kewajiban mendirikan negara Khilafah Islamiyah. Sabda Rasulullah SAW:
“...dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” [HR. Muslim].*17)
Dari dalil yang seperti inilah, para imam mewajibkan eksistensi Khilafah. Abdurrahman Al Jaziri telah berkata:
“Para imam (Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad) –rahimahumulah— telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu, dan bahwa tidak boleh tidak kaum muslimin harus mempunyai seorang Imam (Khalifah)...”*18)
Maka, sekularisme jelas bertentangan dengan Khilafah. Siapa saja yang menganut sekularisme, pasti akan bersemangat untuk menghancurkan Khilafah. Jika sekularisme ini dianut oleh orang Islam, maka berarti dia telah memakai cara pandang musuh yang akan menyesatkannya. Inilah bunuh diri ideologis paling mengerikan yang banyak menimpa umat Islam sekarang.
Padahal, Rasulullah SAW sebenarnya telah mewanti-wanti agar tidak terjadi pemisahan kekuasaan dari Islam, atau keruntuhan Khilafah itu sendiri. Sabda Rasulullah :
[alaa innal kitaab was sulthoona sayaftariqooni falaa tufaariqul kitaaba]
“Ingatlah! Sesungguhnya Al Kitab (al-Qur`an) dan kekuasaan akan berpisah. Maka (jika hal itu terjadi) janganlah kalian berpisah dengan al Qur`an!” [HR. Ath Thabrani].*19)
Sabda Rasulullah SAW:
[latanqudhonna ‘urol islami ‘urwatan ‘urwatan fakullamaa intaqadhat ‘urwatun tasyabbatsan naasu billatii taliihaa fa-awwaluhunna naqdhon al hukmu wa aakhiruhunna ash sholaatu]
“Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu. Maka setiap kali satu simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan dengan simpul yang berikutnya (yang tersisa). Simpul yang pertama kali terurai adalah pemerintahan/kekuasaan. Sedang yang paling akhir adalah shalat.” [HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al Hakim].*20)
C. Umat Islam Menyerupai Kaum Kafir (tasyabbuh bi al kuffar)
Sekularisme mungkin saja dapat diterima dengan mudah oleh seorang beragama Kristen, sebab agama Kristen memang bukan merupakan sebuah sistem kehidupan (system of life). Perjanjian Baru sendiri memisahkan kehidupan dalam dua kategori, yaitu kehidupan untuk Tuhan (agama), dan kehidupan untuk Kaisar (negara). Disebutkan dalam Injil:
“"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan” (Matius 22 : 21).
Dengan demikian, seorang Kristen akan dapat menerima dengan penuh keikhlasan paham sekularisme tanpa hambatan apa pun, sebab hal itu memang sesuai dengan norma ajaran Kristen itu sendiri. Apalagi, orang Barat –khususnya orang Kristen-- juga mempunyai argumen rasional untuk mengutamakan pemerintahan sekular (secular regime) daripada pemerintahan berlandaskan agama (religious regime), sebab pengalaman mereka menerapkan religious regimes telah melahirkan berbagai berbagai dampak buruk, seperti kemandegan pemikiran dan ilmu pengetahuan, permusuhan terhadap para ilmuwan seperti Copernicus dan Galileo Galilei, dominasi absolut gereja Katolik (Paus) atas kekuasaan raja-raja Eropa, pengucilan anggota gereja yang dianggap sesat (excommunication), adanya surat pengampunan dosa (Afflatbriefen), dan lain-lain.*21)
Namun bagi seorang muslim, sesungguhnya tak mungkin secara ideologis menerima sekularisme. Karena Islam memang tak mengenal pemisahan agama dari negara. Seorang muslim yang ikhlas menerima sekularisme, ibaratnya bagaikan menerima paham asing keyakinan orang kafir, seperti kehalalan daging babi atau kehalalan khamr. Maka dari itu, ketika Khilafah dihancurkan, dan kemudian umat Islam menerima penerapan sekularisme dalam kehidupannya, berarti mereka telah terjatuh dalam dosa besar karena telah menyerupai orang kafir (tasyabbuh bi al kuffar).
Sabda Rasulullah SAW:
[man tasyabbaha bi qawmin fahuwa minhum]
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut.” [HR. Abu Dawud].*22)
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mengatakan dalam syarahnya mengenai hadits ini:
“Hadits tersebut paling sedikit mengandung tuntutan keharaman menyerupai (tasyabbuh) kepada orang kafir, walaupun zhahir dari hadits tersebut menetapkan kufurnya bertasyabbuh dengan mereka...”*23)
Dengan demikian, pada umat Islam menerapkan sekularisme dalam pemerintahannya, maka mereka berarti telah terjerumus dalam dosa karena telah menyerupai orang Kristen yang memisahkan urusan agama dari negara.*24) (Nauzhu billah min dzalik!)
4.Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa sekularime wajib ditolak oleh kaum muslimin, karena sekularisme tidak masuk akal, tidak sesuai fitrah manusia, melahirkan kemudharatan dalam praktiknya, serta bertentangan dengan Islam.
Sekularisme adalah ide kufur yang wajib dihancurkan oleh kaum muslimin. Sekulerisme adalah thaghut yang kita telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Sekulerisme wajib dihapuskan dari muka bumi, dalam segala bentuk dan manifestasinya. [ ]
Catatan Kaki:
1. Lihat
Larry E. Shinner, “The Concept of Secularization in Empirical Research”, dalam
William M. Newman, The Social Meanings of Religion, (Chicago : Rand McNally
College Publishing Company, 1974), hal. 304-324.
2. Lihat Eric S. Waterhouse, “Secularism”, Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol. XI, (New York : Charles Sribner’s Sons Sons, 1921), hal. 347-350.
3. Lihat “Islam Vs Secularism”, Al Jumuah, [The Friday Report], vol III, no. 10, (http://www.islaam.com.)
4. Lihat Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukm fi Al Islam, (Kuwait : Darul Buhuts Al Ilmiyah, 1980), hal. 73.
5. Ahmad Al Qashash, Bab II “Falsafah Ah Nahdhah”, Usus An Nahdhah Ar Rasyidah, (Beirut : Darul Ummah, 1995).
6. Taqiyuddin An-Nabhani, Nizhamul Islam, 2001, hal.28.
7. Ustadz Hafizh Shalih, “Al Aqidah wa Al Qa’idah Al Fikriyah”, An Nahdhah, (Beirut : Dar An Nahdhah Al Islamiyah, 1988), hal. 64-88; Ahmad Athiyat, “Ar Ra`sumaliyah Mabda`” Ath Thariq : Dirasah Fikriyah fi Kayfiyah Al Amal li Taghyir Waqi’ Al Ummah wa Inhadhiha, (Beirut : Darul Bayariq, 1996), hal.91-94.
8. Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al-Islam, 2001, hal.27.
9. Lihat Abdul Qadim Zallum, Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1990.
10. Ahmad Athiyat, Ath Thariq : Dirasah Fikriyah fi Kayfiyah Al Amal li Taghyir Waqi’ Al Ummah wa Inhadhiha, (Beirut : Darul Bayariq, 1996), hal. 121.
11. Adnin Armas, Menelusuri Jejak Sekularisasi, hal. 1, makalah Workshop Pemikiran dan Peradaban Islam, Jakarta, 27-29 Pebruari 2004.
12. Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), hlm. 84; lihat juga Dadang Kusmayadi & Pambudi Utomo, “Hukum Indonesia Menghalalkan Zina” http://www.hidayatullah.com/2001/06/khusus1.shtml; Topo Santoso, “Nasib Kartini dan TKI”, Media Indonesia, Senin 13 Maret 2000, hlm. 8.
13. Suparman & S. Malian, Ide-Ide Besar Sejarah Intelektual Amerika, (Yogyakarta : UII Press, 2003), hal. ix.
14. Ibid.
15. Sumber Data : The International Forum on Globalization, Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan, (Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003).
16. Muhammad Khayr Haikal, Al Jihad wal Qital fi Asy Siyasah Asy Syar’iyah, (Beirut : Darul Bayariq, 1996), I/131.
17. Hadits Shahih. Sahih Muslim, III/340, hadits. No. 1851.
18. Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, V/308.
19. Abdurrahman Al Baghdadi,. “Al Khulafa` Alladzina Hakamu Al ‘Alama fi Jami’i Ushuril Islam”, Al Khilafah Al Islamiyah, No.1. Th I (Sya’ban 1415 H / Januari 1995), hal. 14.
20. Abdurrahman Al Baghdadi, “Dzikra Hadmil Khilafah Al Islamiyah : Taqwidhul Khilafah Al Islamiyah”, Al Khilafah Al Islamiyah, No.1. Th I (Sya’ban 1415 H / Januari 1996), hal.13.
21. Yusuf Al Qaradhawi, Al Hulul Al Mustawradah wa Kayfa Ja`at ‘Ala Ummatina, hal. 113-114.
22. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. Lihat Ash Shan’ani, Subulus Salam, IV/175.
23. Ali Belhaj, Ad Damghah Al Qawiyyah li Nasfi Aqidah Ad Dimuqrathiyah, hal. 19.
24. Ash Shan’ani, Subulus Salam, IV/175.
2. Lihat Eric S. Waterhouse, “Secularism”, Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol. XI, (New York : Charles Sribner’s Sons Sons, 1921), hal. 347-350.
3. Lihat “Islam Vs Secularism”, Al Jumuah, [The Friday Report], vol III, no. 10, (http://www.islaam.com.)
4. Lihat Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukm fi Al Islam, (Kuwait : Darul Buhuts Al Ilmiyah, 1980), hal. 73.
5. Ahmad Al Qashash, Bab II “Falsafah Ah Nahdhah”, Usus An Nahdhah Ar Rasyidah, (Beirut : Darul Ummah, 1995).
6. Taqiyuddin An-Nabhani, Nizhamul Islam, 2001, hal.28.
7. Ustadz Hafizh Shalih, “Al Aqidah wa Al Qa’idah Al Fikriyah”, An Nahdhah, (Beirut : Dar An Nahdhah Al Islamiyah, 1988), hal. 64-88; Ahmad Athiyat, “Ar Ra`sumaliyah Mabda`” Ath Thariq : Dirasah Fikriyah fi Kayfiyah Al Amal li Taghyir Waqi’ Al Ummah wa Inhadhiha, (Beirut : Darul Bayariq, 1996), hal.91-94.
8. Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al-Islam, 2001, hal.27.
9. Lihat Abdul Qadim Zallum, Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1990.
10. Ahmad Athiyat, Ath Thariq : Dirasah Fikriyah fi Kayfiyah Al Amal li Taghyir Waqi’ Al Ummah wa Inhadhiha, (Beirut : Darul Bayariq, 1996), hal. 121.
11. Adnin Armas, Menelusuri Jejak Sekularisasi, hal. 1, makalah Workshop Pemikiran dan Peradaban Islam, Jakarta, 27-29 Pebruari 2004.
12. Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), hlm. 84; lihat juga Dadang Kusmayadi & Pambudi Utomo, “Hukum Indonesia Menghalalkan Zina” http://www.hidayatullah.com/2001/06/khusus1.shtml; Topo Santoso, “Nasib Kartini dan TKI”, Media Indonesia, Senin 13 Maret 2000, hlm. 8.
13. Suparman & S. Malian, Ide-Ide Besar Sejarah Intelektual Amerika, (Yogyakarta : UII Press, 2003), hal. ix.
14. Ibid.
15. Sumber Data : The International Forum on Globalization, Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan, (Yogyakarta : Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003).
16. Muhammad Khayr Haikal, Al Jihad wal Qital fi Asy Siyasah Asy Syar’iyah, (Beirut : Darul Bayariq, 1996), I/131.
17. Hadits Shahih. Sahih Muslim, III/340, hadits. No. 1851.
18. Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, V/308.
19. Abdurrahman Al Baghdadi,. “Al Khulafa` Alladzina Hakamu Al ‘Alama fi Jami’i Ushuril Islam”, Al Khilafah Al Islamiyah, No.1. Th I (Sya’ban 1415 H / Januari 1995), hal. 14.
20. Abdurrahman Al Baghdadi, “Dzikra Hadmil Khilafah Al Islamiyah : Taqwidhul Khilafah Al Islamiyah”, Al Khilafah Al Islamiyah, No.1. Th I (Sya’ban 1415 H / Januari 1996), hal.13.
21. Yusuf Al Qaradhawi, Al Hulul Al Mustawradah wa Kayfa Ja`at ‘Ala Ummatina, hal. 113-114.
22. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. Lihat Ash Shan’ani, Subulus Salam, IV/175.
23. Ali Belhaj, Ad Damghah Al Qawiyyah li Nasfi Aqidah Ad Dimuqrathiyah, hal. 19.
24. Ash Shan’ani, Subulus Salam, IV/175.
hayatulislam.net - Publikasi 25/04/2004
Menangkal Bahaya JIL
"Mereka
ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan
Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci."
(At-Taubah:32)
Alhamdulillahi
Rabbil 'alamien.
Shalawat
dan salam semoga tetap Allah curahkan atas Nabi Muhammad, keluarganya, para
sahabatnya, tabi'in, tabi'it tabi'in dan para pengikutnya yang setia dengan
baik sampai akhir zaman.
Amma
ba'du. Buku ini kami tulis berdua, dengan judul "Menangkal Bahaya JIL dan FLA". Isinya berupa
bantahan terhadap lontaran-lontaran aneh yang menyesatkan dari orang-orang
firqah liberal (JIL; Jaringan Islam Liberal, Paramadina -yayasan bentukan
Nurcholish Madjid cs kini dipimpin Azzumardi Azra rektor UIN/ Universitas Islam
Negeri Jakarta, sebagian orang NU -Nahdlatul Ulama, sebagian orang
Muhammadiyah, sebagian orang IAIN -Institut Agama Islam Negeri, dan lain-lain.
Juga bantahan terhadap isi buku "Fikih Lintas Agama" yang ditulis
oleh tim sembilan penulis Paramadina di Jakarta bekerjasama dengan yayasan
orang kafir, The Asia Foundation yang berpusat di Amerika.
Tim
penulis paramadina sembilan orang itu adalah; Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari
Noer, Komarudin Hidayat, Masdar F. Mas'udi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi,
Budhy Munawar-Rahman, Ahmad Gaus AF dan Mun'im A. Sirry. Mereka menulis buku
yang judul lengkapnya; "Fikih Lintas Agama Membangun Masyarakat
Inklusif-Pluralis". Cetakan: I, September 2003.
Mereka
itu secara terang-terangan mengusung keyakinan inklusif pluralis alias
menyamakan semua agama, dan secara blak-blakan memang mereka sengaja membuka
jati diri mereka bahwa meskipun mengaku Islam namun juga mengakui bahwa aqidah
mereka berbeda.
Kalau
mereka meyakini aqidah yang berbeda itu tanpa menyelewengkan pengertian
ayat-ayat Al-Qur'an, As-Sunnah (Hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa
Sallam), menghujat ulama, memelintir perkataan ulama, meninggikan tokoh-tokoh
non Islam bahkan anti agama, dan menggiring umat ke filsafat yang tak punya
landasan itu serta hanya untuk mereka 'nikmati' sendiri bukan dipropagandakan;
maka urusannya masih sebatas urusan mereka. Urusan orang-orang tertentu dan
terbatas yang lokasi kumpulnya di sekitar Ciputat, Pondok Indah, dan Utan Kayu
Jakarta. Namun "aqidah yang berbeda" itu mereka pasarkan dengan
cara-cara menyelewengkan pengertian ayat-ayat Al-Qur'an, As-Sunnah, menghujat
ulama, memelintir perkataan ulama, meninggikan kedudukan dan suara serta
tingkah tokoh-tokoh kafir bahkan sangat anti agama, mengekspose penyelewengan
sebagian tokoh dijadikan sample/ contoh untuk dicarikan jalan keluarnya berupa
penghalalannya, dan menggiring umat Islam untuk tidak meyakini Islam secara
semestinya.
"Aqidah
yang berbeda" itu memerlukan "Fikih yang berbeda" pula.
Mereka sendiri yang menyatakan itu, bahwa yang aqidahnya eksklusif maka
Fikihnya eksklusif pula, sedang mereka (kaum liberal) yang aqidahnya inklusif pluralis
alias menyamakan semua agama, maka memerlukan Fikih pluraris pula. Mereka
buatlah ramai-ramai (9 orang) sebuah buku setebal 274 halaman dengan judul
"Fikih Lintas Agama".
Sesuai
dengan sifatnya 'yang berbeda', maka Fikih Lintas Agama itu pun berbeda dengan
fikih hasil ijtihad para ulama. Di antara perbedaannya bisa disimplifikasikan/
disederhanakan sebagai berikut:
1. Dibiayai
oleh lembaga orang kafir dan duit lembaga pendana itu dari orang kafir.
2. Ditulis
oleh orang-orang yang latar belakang keilmuannya bukan ilmu fikih, namun
rata-rata menggeluti filsafat atau perbandingan agama, atau tasawuf, atau ilmu
kalam (bukan ilmu Tauhid). Kalau toh tadinya belajar ilmu fikih di Fakultas
Syari'ah seperti Masdar F Mas'udi (salah satu dari 9 orang tim Penulis FLA
Paramadina) pada perjalanan terkininya bukan lagi menekuni studi jurusan Fikih
tetapi filsafat.
3. Cara
ber-istidlal (mengambil dalil untuk menyimpulkan hukum) tidak ada konsistensi,
sehingga antagonistis, bertabrakan satu sama lain.
4.Tidak
jujur.
5. Memperlakukan
ayat-ayat Al-Qur'an semau mereka.
6. Pendapat
yang sangat lemah pun dijadikan hujjah, lalu disimpulkan satu ketentuan,
dan ketentuan yang berdasarkan pendapat sangat lemah itu kemudian untuk
menghukumi secara keseluruhan. Akibatnya, hukum dibalik-balik, yang haram jadi
halal.
7. Pembolak-balikan
itu untuk mempropagandakan "aqidah dan Fikih yang berbeda" yaitu
di antaranya:
Ulama
diposisikan sebagai orang durjana
Orang
kafir naik kedudukannya hingga suaranya bisa dijadikan hujjah untuk membantah ulama, bahkan bisa-bisa untuk membantah hadits
bahkan naik lagi bisa untuk membantah ayat Al-Qur'an.
Orang
kafir berhak nikah dengan Muslim dan Muslimat.
Orang
kafir berhak mendapatkan waris dari orang Muslim.
Orang
Muslim tidak boleh menegakkan syari'at Islam dalam kehidupan siyasah.
Orang
Muslim dalam kehidupannya hanya boleh diatur pakai selain syari'at Islam.
Muslim
dan kafir sama, namun jangan bawa-bawa agama untuk mengatur hidup ini. Ini
artinya, aturan dari orang kafir harus dipakai, sedang aturan dari Allah tak
boleh dipakai.
Itulah
"aqidah yang berbeda" maka memerlukan "Fikih yang berbeda"
pula. Dan itulah Fikih yang pembuatan dan penerbitannya dibiayai oleh orang
kafir.
Propaganda
kepentingan kafirin namun lewat jalur ilmu Islam praktis yakni Fikih inilah
sebenarnya persoalan dalam pembicaraan ini. Namun kalau hanya dikemukakan bahwa
itu upaya mengusung kepentingan orang kafir, lalu tidak disertai bukti-bukti
hujjah yang nyata, maka persoalannya bisa mereka balikkan. Bahkan
membalikkannya pun bisa pakai ayat atau hadits dengan disesuaikan dengan
kepentingan mereka. Lalu khalayak ramai, kafirin plus sebagian umat Islam yang
hatinya ada penyakitnya, bisa-bisa serta merta memberondongkan serangan yang
menyakitkan, bukan sekadar kepada orang yang mengecam Paramadina namun bisa
jadi terhadap Islam itu sendiri.
Oleh
karena itu saya mengajak seorang Ustadz Agus Hasan Bashori Lc, Mag, yang
bermukim di Malang Jawa Timur, untuk menulis bantahan terhadap buku Fikih
Lintas Agama itu.
Berhubung
yang mengusung aqidah rusak berupa paham pluralisme agama, menyamakan Islam
dengan agama-agama lain, itu bukan hanya tim 9 penulis FLA Paramadina, maka
pemikiran, lontaran-lontaran, dan beberapa hal yang berkaitan dengan penyebaran
paham pluralisme agama pun saya uraikan. Sehingga diharapkan buku ini akan bisa
menguak sepak terjang mereka serta pola pikir dan kelicikan mereka.
Untuk
lebih memudahkan pertanggungjawabannya, maka buku ini di bagian pertama adalah
tulisan saya, sedang bagian kedua tulisan Ustadz Hasan Bashori. Adapun kalau
pembahasannya ada yang sama, berarti masing-masing menganggap masalah itu
penting untuk disoroti. Namun apabila ada masalah yang sebenarnya penting
tetapi ternyata kami berdua sama-sama tidak membahasnya, itu kemungkinan saling
tidak mau melangkahi satu sama lain, tahu-tahu sama-sama tidak melangkah.
Kami
menyadari, yang kami bantah itu adalah buku yang mereka tulis ramai-ramai 9
orang, yang sebelum dibukukan pun diseminarkan di pergedungan dengan mengundang
atau didatangi pers. Entah kumpulan tulisan para penulis itu pesanan atau
'pengajuan' (untuk cari dana ke orang kafir), wallahua'lam, tetapi Zuhairi
Misrawi mengemukakan bahwa kerja mereka siang malam untuk mewujudkan buku FLA
itu. Sementara itu kami berdua untuk membantah buku FLA itu tidak pakai
kumpul-kumpul apalagi mengumpulkan orang untuk seminar membahas tulisan yang
akan dibukukan. Kami berdua (saya di Jakarta, Ustadz Hasan Bashori di Malang
Jawa Timur) hanya bertemu 3 kali dan bukan urusan untuk membicarakan tentang
tulisan ini tetapi sama-sama menghadiri pertemuan yang diadakan orang di Puncak
Bogor Jawa Barat dan Jakarta. Lalu saya katakan, tulislah apa yang Antum (Anda)
mau, dan saya juga akan tulis semau saya.
Ketika
beredar buku saya berjudul "Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agama",
Maret 2004, ada pertanyaan dari Ustadz Hasan Bashori lewat SMS, "Antum
sudah menerbitkan buku, jadi tulisan saya sama siapa nanti?" Saya jawab,
"Ya sama saya, kan buku "Mengkritisi Debat Fikih Lintas Agama" itu
baru manasi saja."
Alhamdulillah,
Allah memberikan kesempatan dan kesanggupan, sehingga bicara-bicara antara kami
berdua ketika ketemu itu kemudian bisa terwujud tulisan untuk membantah para
'jagoan' liberal tua dan muda (yang tua seperti Nurcholish Madjid sudah 64
tahun, yang muda seperti Zuhairi Misrawi bujangan umur 29-an tahun).
Kami
sangat berterimakasih kepada berbagai pihak yang secara langsung atau tidak
langsung memberikan semangat kepada kami untuk mewujudkan buku ini. Kunjungan
rombongan kiai dan ustadz yang menyempatkan untuk bertemu kami dan mengemukakan
keprihatinan mereka atas makin menjadi-jadinya kenekadan kelompok liberal
dengan menerbitkan buku nyleneh di antaranya "Fikih Lintas Agama",
merupakan dorongan tersendiri yang seakan meletakkan beban di pundak kami untuk
memikulnya. Sehingga dunia terasa sempit ketika tulisan ini belum jadi. Bukan
lantaran kami punya hutang budi, jasa, atau harta kepada orang kuat, lembaga
kuat, kelembagaan ataupun perorangan, sehingga harus menanggapi buku FLA. Namun
keresahan dan keprihatinan para da'i, para ustadz, para pengelola santri,
mahasiswa, dan masyarakat atas meruyaknya penyesatan di mana-mana yang
sistematis dan terprogram rapi itulah yang mengetuk hati kami untuk menyusun
buku ini.
Mudah-mudahan
sumbangan dorongan itu akan mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Berhubung
buku ini disusun dengan proses seperti yang telah saya uraikan itu, maka saran
dan kritik yang membangun dari pembaca budiman senantiasa kami nantikan.
Hanya
kepada Allah-lah kami menyembah, dan hanya kepada Allah pula kami minta
pertolongan. Semoga buku ini bermanfaat bagi umat Islam dan terutama bagi kami,
keluarga dan sanak kerabat Muslimin Muslimat. Amin.
Jakarta,
Selasa, 14 Rabi'ul Awwal 1425H / 4 Mei 2004
(Hartono
Ahmad Jaiz)
jika
harus ada sharing Fiqih Lintas Agama di Indonesia, tolong tunjukkan kepada kami
mana dan apa yang disebut dengan fiqih agama-agama lain di luar Islam?
Bahaya Firqah
Liberal
Mereka tidak
menyuarakan Islam yang diridhai oleh Allah ,
tetapi menyuarakan pemikiran-pemikiran yang diridhai oleh Iblis, Barat dan pan
Thaghut lainnya.
Mereka lebih menyukai
atribut-atribut fasik dari pada gelar-gelar keimanan
karena itu mereka benci kepada kata-kata jihad, sunnah, salaf dan lain-lainnya
dan mereka rela menyebut Islamnya dengan Islam Liberal.
Allah berfirman:
"Seburuk-buruk
panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman". (QS. Al-Hujurat 11)
Mereka beriman kepada
sebagian kandungan al-Qur'an dan meragukan kemudian menolak sebagian yang lain, supaya penolakan mereka terkesan sopan dan ilmiyah mereka
menciptakan "jalan baru" dalam menafsiri al-Qur'an.
Mereka menyebutnya dengan
Tafsir Kontekstual, Tafsir Hermeneutik, Tafsir Kritis dan Tafsir Liberal
Sebagai contoh, Musthofa Mahmud dalam kitabnya al-Tafsir al-Ashri 1i alQur'an
menafsiri ayat ( -Faq tho 'u aidiyahumaa- ) dengan "maka putuslah usaha
mencuri mereka dengan memberi santunan dan mencukupi kebutuhannya."
(Syeikh Mansyhur Hasan Salman, di Surabaya, Senin 4 Muharram 1423).
Dan tafsir seperti ini
juga diikuti juga di Indonesia.
Maka pantaslah mengapa rasulullah bersabda:
"Yang paling saya
khawatirkan atas adaalah orang munafik yang pandai bicara. Dia membantah dengan
Al-Qur'an."
Orang-orang yang seperti
inilah yang merusak agama ini. Mereka mengklaim diri mereka sebagai pembaharu
Islam padahal merekalah perusak Islam, mereka mengajak kepada kepada Al-Qur'an
padahal merekalah yang mencampakkan Al-Qur'an. Mengapa demikian ? Karena
mereka bodoh terhadap sunnah. (Lihat Ahmad Thn Umar al-Mahmashani: 388-389)
Mereka menolak paradigma
keilmuwan dan syarat-syarat ijtihad yang ada dalam Islam, karena mereka merasa rendah berhadapan dengan budaya barat, maka
mereka melihat Islam dengan hati dan otak orang Barat.
Mereka tidak mengikuti
jalan yang ditempuh oleh Nabi , para sahabatnya dan seluruh orang-orang mukmin. Bagi mereka pemahaman yang hanya mengandalkan pada ketentuan
teks-teks normatif agama serta pada bentuk-bentuk Formalisme Sejarah Islam
paling awal adalah kurang memadai dan agama ini akan menjadi agama yang
ahistoris dan eksklusif (Syamsul Arifin; Menakar Otentitas Islam LiberaL .Jawa
Pos 1-2-2002).
Mereka lupa bahwa sikap
seperti inilah yang diancam oleh Allah: "Dan barangsiapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruknya tempat kembali." (QS. An-Nisaa' 115).
Mereka tidak memiliki
ulama dan tidak percaya kepada ilmu ulama. Mereka
lebih percaya kepada nafsunya sendiri, sebab mereka mengaku sebagai
"pembaharu" bahkan "super pembaharu" yaitu neo modernis.
Allah berfirman: Dan bila
dikatakan kepada mereka, "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi," mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang
mengadakan perbaikan." Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang
yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Apabila dikatakan kepada
mereka, "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman,"
mereka menjawab, "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu
telah beriman." Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh,
tetapi mereka tidak tahu.(QS. Al-Baqarah 11-13).
Kesamaan cita-cita mereka
dengan cita-cita Amerika, yaitu menjadikan Turki
sebagai model bagi seluruh negara Islam. Prof. Dr. John L. Esposito menegaskan
bahwa Amerika tidak akan rela sebelum seluruh negara-negara Islam tampil
seperti Turki. Mereka memecah belah umat Islam karena gagasan mereka adalah
bid'ah dan setiap bid'ah pasti memecah belah.
Mereka memiliki basis
pendidikan yang banyak melahirkan pemikir-pemikir liberal, memiliki media yang
cukup dan jaringan internasional dan dana yang cukup.
Mereka tidak memiliki
manhaj yang jelas sehingga gagasannya terkesan "asbun" dan asal
"comot" Lihat saja buku Charless
Kurzman, Rasyid Ridha yang salafi (revivalis) itupun dimasukkan kedalam
kelompok liberal, begitu pula Muhammad Nashir (tokoh Masyumi) dan Yusuf
Qardhawi (tokoh Ikhwan al-Muslimin). Bahayanya adalah mereka tidak bisa diam,
padahal diam mereka adalah emas, memang begitu berat jihad menahan lisan. Tidak
akan mampu melakukannya kecuali seorang yang mukmin.
"Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mengucapkan yang baik
atau hendaklah ia diam." (HR. Bukhari dan Muslim)
(Lihat Husain
al-Uwaisyah: 9 dan seterusnya). Ahlul batil selain menghimpun kekuatan untuk
memusuhi ahlul haq. Allah ta'ala berfirman:
"Adapun orang-orang
yang kafir, sebagian mereka pelindung bagisebagian yang lain. JIka kamu (hai
para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu,
niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar."
(QS. Al-Anfaal 73).
Sementara itu Ustadz Hartono
Ahmad Jaiz menyebut mereka berbahaya sebab mereka itu "sederhana"
tidak memiliki landasan keilmuwan yang kuat dan tidak memiliki aqidah yang
mapan. (lihat Bahaya Islam Liberal: 40, 64-65)
Maraji': As Sunnah
04/VI/1423/2002
Islam Liberal : Hawa Nafsu Berkedok Ilmu
"Allah menciptakan malaikat dengan menyertakan akal tanpa hawa nafsu. Dan menciptakan binatang dengan menyertakan hawa nafsu tanpa akal. Sedangkan Allah menciptakan manusia dengan menyertakan akal dan hawa nafsu sekaligus. Maka barangsiapa yang ilmunya menguasai hawa nafsu maka dia lebih baik dari malaikat dan barangsiapa hawa nafsunya mengalahkan ilmunya maka dia lebih buruk dari binatang." Demikian Malik bin Dinar t mendudukkan manusia.
Jika malaikat senantiasa taat, itu karena mereka diciptakan tanpa disertai hawa nafsu yang menentangnya, tetapi manusia yang dititahkan disertai hawa nafsu lalu dia mampu menundukkan nafsu dengan ilmunya, maka dia manusia istimewa. Demikian pula halnya, menjadi kewajaran jika binatang hanya makan dan menuruti syahwatnya, karena memang mereka diciptakan tanpa diberi akal.
Tetapi manusia yang diberi akal lalu hanya memperturutkan hawa nafsunya maka binatang lebih baik darinya. Allah berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi." (al-A’raf: 179)
Ilmu VS Hawa Nafsu
Allah menghendaki agar manusia mau mengendalikan hawa nafsu dengan ilmunya, namun setan berusaha menggiring manusia untuk memperturutkan hawa nafsunya. Ilmu dan hawa nafsu senantiasa berebut untuk meraih hegemoni, selalu bertarung untuk dapat mendominasi jiwa manusia. Yang paling celaka adalah ketika hawa nafsu yang bertahta dalam jiwa manusia, menjadi raja yang menjadi sesembahannya:
"Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun." (al-Qashash: 50)
Pertarungan tersebut bukan saja terjadi pada masing-masing jiwa manusia, namun juga membumi. Jika hawa nafsu banyak menguasai mayoritas manusia di bumi, maka bisa jadi hawa nafsu yang memegang kendali dan merajai.
Ibnu Mas’ud pernah berkata di hadapan sahabat dan tabi’in: "Sesungguhnya kalian hidup di suatu zaman di mana kebanaran yang menguasai hawa nafsu, namun kelak akan ada suatu zaman di mana hawa nafsu yang merajai kebenaran."
Rupanya zaman itu sudah sampai. Lihat saja, setiap kali terjadi perang opini, maka pemuja hawa nafsu lebih banyak pendukungnya, para pengumbar nafsu paling banyak dijadikan idola.
Hawa Nafsu Dikemas dengan Ilmu
Proyek meng’hawa-nafsu’kan dunia ditempuh setan dengan banyak cara sekaligus menunjuk arsitek dan para pekerjanya. Di antara cara tersebut adalah membungkus hawa nafsu dengan kedok ilmu. Tugas ini diemban oleh ‘syaithan nathiq’ (setan bicara) yang melegalkan hawa nafsu atas nama ilmu. Dengan kemasan ini, kampanye setan untuk menggolkan hawa nafsu sebagai penguasa sukses dengan kemenangan telak.
Kasus pornografi misalnya. Definisi dan batasan istilah ini diperdebatkan, namun hanya satu tujuan setan, memenangkan opini bahwa ‘tidak ada yang layak dikatakan porno’. Statemen yang paling efektif untuk ini adalah pernyataan bahwa ‘batasan pornorafi itu relatif.’
Cermatilah, bagaimana setan mengajari murid-muridnya untuk berargumen. Ketika seorang model yang suka tampil vulgar ditanya tentang sikap masyarakat yang memandang tabu dan mem’porno’kan gayanya, dia menjawab: "Terserah mereka, tinggal dari sisi mana mereka menilai. Kalau mereka ‘positif thinking’ (husnudzhon) ya mereka menganggapnya baik, tapi kalau sudah ‘negatif thinking’ (su’udzhon) duluan, ya...apa-apa dikatakan jelek." Inilah hawa nafsu yang dikemas dengan ‘ilmu’. Mereka hanya ingin berkelit dari hukum manusia, tetapi mereka tak mungkin bisa lari dari hukuman Allah.
Tidak jarang pula bahkan, orang-orang yang se-tipe dengannya menganggap masyarakat yang anti pornografi sebagai kaum munafik, ‘toh sebenarnya mereka juga demen’, katanya. Tetapi, munafik yang sebenarnya adalah mereka yang tidak mau taat kepada norma yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, bahkan menghalangi orang-orang darinya, firman Allah:
"Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (an-Nisa’: 61)
Dilegalkan Para Cendekiawan
Wajar jika pernyataan-pernyataan sumbang seperti beberapa contoh di atas muncul dari orang-orang yang notabene memang jauh dari bangku pondok pesantren, atau jarang mencicipi pengetahuan agama. Yang aneh adalah orang-orang yang ditokohkan dalam hal agama ikut-ikutan pula mempromosikan hawa nafsu berkedok ilmu. Tentunya dengan gaya yang lebih Islami, bumbu-bumbu dalil, ramuan ushul fikih plus argumentasi yang runtut.
Terutama mereka yang berada dalam jajaran Islam liberal. Untuk menghalalkan segala hal, mengkampanyekan budaya serba boleh dan ‘anti haram’, banyak ungkapan nyleneh yang dikuatkan dalil-dalil. Seperti pernyataan ‘Fikih islam tidak cukup untuk memahami seni’, atau ‘akal adalah rasul Allah di muka bumi’ atau menggunakan kebebasan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Namun yang dituju hanya satu ‘tidak ada yang haram’, karena menurut mereka keharaman itupun juga relatif, tinggal dari sisi mana orang melihat.
Al-Qur’an Sesuai di Setiap Waktu dan Tempat
"Kalimatul haq uriida biha al-bathil’, pernyataan yang benar namun dipakai untuk maksud yang bathil. Ungkapan ini sepertinya pas ditujukan untuk orang-orang Islam Liberal yang memiliki ‘track record’ menghalalkan yang sudah jelas haram dengan dalih Al-Qur’an sanggup menjawab persoalan di setiap zaman, atau Islam bisa sesuai dengan kondisi kapanpun.
Ungkapan ini benar, namun tuan-tuannya penganut JIL terbalik dalam terapannya. Mereka merubah alat ukur sebagai yang diukur, sedangkan yang mestinya diukur malah dijadikan alat ukur. Mereka justru memaksa Al-Qur’an untuk membolehkan sesuatu yang haram karena sudah terlanjur mengakar dan mengkondisi di masyarakat. Seakan mereka berkata ‘karena zaman sudah seperti ini, maka ini dan itu diperbolehkan’. Dalilnya? Islam cocok untuk setiap kondisi dan zaman, katanya.
Padahal posisi yang tepat untuk ungkapan tersebut adalah bahwa dalam kondisi apapun syari’at Islam secara komprehensip sesuai untuk diterapkan. Umat akan baik selagi mereka mau mengambil petunjuk darinya dalam setiap perkataan dan perbuatan. Inilah maksud hadits Nabi:
"Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selama, selagi berpe-gang dengan keduanya, yakni kitabullah dan sunnah Nabi-Nya." (HR Malik)
Ilmu yang Sebenarnya
Gaya bicara dan retorika berargumen jubir pemuja hawa nafsu memang membuat kita silau. Terkesan cerdas, logis dan ilmiah. Apalagi jika dalil Al-Qur’an sesekali menjadai alat legitimasi dari pendapatnya, gelaran cendikiawan muslim serta merta melekat di jidatnya. Fenomena ini telah digambarkan juga oleh Ibnu Mas’ud sekaligus solusi untuk menghadapinya. Beliau katakan: "Sesungguhnya kalian nanti akan mendapatkan suatu kaum yang mengaku menyeru kalian kepada Kitabullah padahal sesungguhnya mereka membuang Al-Qur’an di belakang punggung mereka, maka hendaknya kalian berpegang kepada ilmu…dan hendaknya kalian mengikuti para salaf (sahabat hingga tabi’ut tabi’in)."
Dengan ilmu, kita mengenali kecurangan orang yang hanya menjadikan Al-Qur’an sebagai alat legitimasi untuk melegalkan hawa nafsu sebagaiman kita mengenali kebenaran. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ‘ulumus syar’i al-muruts ‘anin Nabi’, ilmu syar’i yang diwariskan oleh Nabi saw. Sedangkan yang paling paham tentangnya adalah para sahabat Nabi, kemudian tabi’in, kemudian tabi’ut tabi’in dan ulama-ulama berikutnya yang setia dengan jalan yang telah ditempuh oleh mereka. Iniah jalan selamat dari tipu daya para ‘jurkam’ hawa nafsu, wallahul musta’an (Abu Umar Abdillah/ Majalah Ar-risalah)
Ushul Fikih Palsu Kaum Liberal
Ushul Fikih Kaum Liberal,
Memangnya Ada?
Oleh: M. Shiddiq al-Jawi
Apakah kaum liberal, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), mempunyai ushul fiqih? Pertanyaan ini harus dijawab dulu. Jangan-jangan setelah capek-capek mengkritik secara serius, ternyata mereka tidak memilikinya. Ini sama saja dengan memasak pepesan kosong.
Untuk itu, patut diketahui dulu pengertian ushul fikih serta apa saja yang menjadi cakupan studi ushul fikih. Menurut ulama ushul fikih mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, ushul fikih adalah kaidah-kaidah (qawâ’id) yang dapat mengantarkan pada penggalian (istinbâth) hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci (asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 3; Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jld. I, hlm. 23-24). Sedangkan menurut ulama mazhab Syafii, ushul fikih adalah pengetahuan mengenai dalil-dalil fikih yang bersifat global, tatacara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu, serta keadaan orang yang mengambil hukum (al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, jld. I, hlm. 10).
Dari berbagai definisi itu, topik (mawdhû’) ushul fikih menurut Muhammad Husain Abdullah (Abdullah, Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh, hlm. 29), meliputi 4 (empat) kajian, yaitu:
(1) Kajian tentang dalil-dalil hukum yang bersifat global (al-adillah al-ijmâliyyah), misalnya al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma, Qiyas, dan seterusnya.
(2) Kajian tentang hukum syariat (al-hukm asy-syar’î) dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti definisi hukum syariat dan macam-macamnya.
(3) Kajian tentang cara memahami dalil (fahm al-dalîl) atau pengertian kata (dalâlah al-alfâzh), misalnya tentang manthûq (makna eksplisit) dan mafhûm (makna implisit).
(4) Kajian tentang ijtihad dan taklid, termasuk tatacara melakukan tarjîh (analisis) untuk memilih yang terkuat dari sekian dalil yang tampak bertentangan (ta’ârudh).
Nah, kalau definisi ushul fikih dan cakupan kajiannya itu diterapkan pada ide-ide ushul fikih kaum liberal, apakah mereka memang punya ushul fikih sendiri?
Seorang pakar dan kritikus ide liberal, Dr. Busthami Muhammad Said, menyimpulkan, ijtihad dalam ushul fikih di kalangan kaum liberal —mulai dari Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Thaha Husain, dan lainnya— tidak lebih dari sekadar teori belaka, tanpa kenyataan (Said, Mafhûm Tajdîd ad-Dîn (terj.), hlm. 268). Jadi, kaum liberal sebenarnya tidak mempunyai ushul fikih, dalam definisi yang sesungguhnya.
Karya mereka tidak pernah menerangkan dengan jelas, apa sebenarnya dalil syariat (sumber hukum) itu. Buktinya, perilaku pejabat yang suka menghadiri perayaan hari raya non-Islam dijadikan dalil bagi bolehnya merayakan hari raya agama selain Islam (Madjid dkk., 2004: 85-88). Mereka juga tidak pernah menerangkan dengan tuntas, bagaimana metode penggalian hukum dari dalilnya, selain mengklaim bahwa metodenya adalah hermeneutika (Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, hlm. 35). Padahal metode ini aslinya adalah untuk menafsirkan Bible (Perjanjian Lama dan Baru); tentu tidak cocok untuk menafsirkan al-Qur’an, karena Bible dan al-Qur’an sangat jauh berbeda, seperti bumi dan langit. Tidak aneh jika Norman Daniel (Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, hlm. 53) menegaskan, “The Quran has no parallel outside Islam (Al-Qur’an tidak mempunyai kesejajaran dengan [kitab lainnya] di luar Islam).” (Adian Husaini, “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal”, www.insistnet.com).
Walhasil, ushul fikih kaum liberal sangat diragukan eksistensinya. Akan tetapi, barangkali ada yang bertanya, bukankah mereka kadang menyampaikan gagasan seputar ushul fikih? Hasan at-Turabi, misalnya, dikenal menyerukan pembaruan (tajdîd) di bidang ushul fikih (At-Turabi, Fiqih Demokratis, Bandung: Mizan, 2003). Jauh sebelum itu, pada 70-an, Jamaluddin Athiyah dalam Majalah Al-Muslim al-Mu’âshir edisi Nopember 1974, juga Ahmad Kamal Abul Majid, tokoh liberal lainnya, dalam majalah Al-‘Arabi edisi Mei 1977, telah mengajak umat Islam untuk berijtihad dalam ushul fikih, bukan hanya dalam fikh (Said, 1995: 266).
Kaum liberal Indonesia pun kadang menggembar-gemborkan ushul fikih baru. Nurcholish Madjid dkk, misalnya, pernah mengklaim mengikuti metode ushul fiqih Imam asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, ketika menggagas bukunya yang gagal, Fiqih Lintas Agama (2004). Abdul Moqsith Ghazali (aktivis JIL) mencetuskan beberapa kaidah ushul fikih ‘baru’, semisal:
(1) Al-‘Ibrah bi al-maqâshid lâ bi al-alfâzh (Yang menjadi patokan hukum adalah maksud/tujuan syariat, bukan ungkapannya [dalam teks]);
(2) Jawâz naskh nushûsh bi al-mashlahah (Boleh menghapus nash dengan maslahat);
(3) Tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik) (www.islamlib.com, publikasi 24/12/2003).
Bukankah ini adalah ushul fikih karya kaum liberal?
Jawabnya tegas: tidak. Sebab, meskipun dalam beberapa hal mereka seolah-olah membahas ushul fikih —seperti kaidah-kaidah ushul di atas— sebenarnya tujuannya sangat tendensius, yaitu menundukkan fikih Islam pada nilai-nilai peradaban Barat yang kufur; bukan untuk melahirkan fikih yang sahih agar bisa menjadi pedoman hidup masyarakat Islam, sebagaimana tujuan para ahli ushul fikih yang sesungguhnya. Jadi, kalau pun bisa disebut ushul fikih, karya kaum liberal itu bukanlah ushul fikih sejati, melainkan pseudo ushul fikih, alias ushul fikih palsu.
Paradigma Ushul Fikih Liberal
Mengapa ushul fikih mereka palsu? Sebab, paradigmanya bukan Islam, melainkan sekularisme, yang menjadi pangkal peradaban Barat; peradaban kaum penjajah. Ini tampak dalam upaya mereka menjadikan ushul fikih tunduk di bawah nilai-nilai peradaban Barat. Jadi, secara sengaja, ushul fikih diletakkan sebagai subordinat dari peradaban Barat yang sekular.
Karenanya, tidak aneh, Hasan at-Turabi menyerukan fikih demokratis, sebagai hasil dari adaptasi ushul fikih dengan nilai-nilai demokrasi. Abdul Moqsith Ghazali juga begitu. Kaidah baru yang diusulkannya, seperti tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi nash dengan akal [pendapat] publik), tidak lain berarti bahwa demokrasi (suara publik), harus menjadi standar bagi teks-teks ajaran Islam. Kalau suatu ayat atau hadis cocok dengan selera publik (baca: demokrasi), bolehlah diamalkan, tetapi kalau tidak cocok, bisa dibuang ke selokan.
Paradigma sekular ini memiliki akar sejarah panjang, bermula dari kondisi umat Islam yang memuncak kemundurannya pada abad ke-18 M lalu. Karena sangat mundur, Khilafah Utsmaniyah dan umat Islam saat itu mendapat julukan The Sick Man of Europe. Di sisi lain, Barat mengalami kebangkitan dengan sekularismenya.
Nah, untuk mengobati ‘si sakit’ itu, lalu muncul 2 (dua) macam upaya ‘penyembuhan’ dengan dua paradigma yang sangat berbeda:
Pertama, paradigma sekular, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Barat yang sekular. Itulah yang dilakukan oleh mereka yang disebut dengan kaum modernis atau kaum liberal, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, dan sebagainya (Busthami M. Said, 1995: 127-161). Mereka berpendapat, umat Islam akan bangkit dan sehat kembali jika meminum ‘obat’ peradaban Barat dan mengikuti nilai-nilainya, seperti sekularisme, liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme (Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, 2004: 19-dan seterusnya). Ajaran-ajaran Islam harus ditundukkan dan disesuaikan dengan nilai-nilai peradaban Barat (William Montgomery Watt, 1997: 147-256).
Kedua, paradigma Islam, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Islam. Itulah yang dilakukan oleh para aktivis kebangkitan dan revivalis Islam, seperti Hasan al-Banna, Abul A’la al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani, Sayyid Quthb, Baqir ash-Shadr, dan sebagainya (Hafizh M. al-Jabari, Gerakan Kebangkitan Islam, 1996: 115-dan seterusnya). Menurut mereka, kebangkitan umat Islam berarti kembali secara murni pada ideologi Islam, serta lepas dari ideologi Barat yang kufur. Dari pemetaan ini, tampak bahwa paradigma kaum liberal adalah paradigma sekular tersebut. Tujuannya sangat jelas, yaitu bagaimana agar Islam dapat diubah, diedit, dikoreksi, dan diadaptasikan agar tunduk di bawah hegemoni peradaban Barat sekular. Sekularisme dan ide-ide Barat lainnya seperti demokrasi, HAM, pluralisme, dan jender, dianggap mutlak benar dan dijadikan standar; tidak boleh diubah. Justru Islamlah yang harus diubah dan dihancurkan.
Sebenarnya, ini modus yang sangat jahat. Akan tetapi, kaum liberal sangat lihai menutupinya dan tidak menyampaikan dengan terus terang kepada umat, bahwa mereka ingin menghancurkan Islam. Agar umat terkelabui, modus mereka dikemas dengan berbagai istilah yang keren dan terkesan hebat, seperti reinterpretasi, dekonstruksi, reaktualisasi, dan bahkan ijtihad. Ketua Tim Pengarusutamaan Gender Depag, Siti Musdah Mulia, tanpa malu berani mengklaim bahwa draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) adalah hasil ijtihad (Tempo, 7/11/ 2004, hlm. 47).
Padahal draft tersebut —yang konon menggunakan ushul fikih alternatif— telah melahirkan sejumlah pasal yang justru bertentangan dengan Islam; misalnya mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris pria dan wanita (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam jangka waktu tertentu (pasal 28), menghalalkan perkawinan antaragama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya. Ini semua terjadi karena para penyusun CLD KHI telah menundukkan ushul fikih di bawah nilai-nilai peradaban Barat, yaitu konsep jender, pluralisme, HAM, dan demokrasi. Mengapa semua itu terjadi? Karena ushul fikih kaum liberal adalah ushul fikih palsu yang didasarkan pada paradigma sekular, mengikuti kaum penjajah yang kafir. Mungkin niatnya baik, tetapi mereka pada dasarnya telah melakukan kejahatan intelektual dan penyesatan opini yang luar biasa. Maksudnya memberi ‘obat’, tetapi sebenarnya memberikan racun. Akibatnya, ‘si sakit’ jelas tidak akan sembuh, tetapi malah akan segera masuk ke lubang kubur. Itulah perilaku kaum liberal yang sangat jahat.
Penutup
Secara intelektual, perilaku itu jelas menunjukkan betapa miskinnya pemikiran kaum liberal. Sebab, mereka tak percaya diri dengan warisan intelektual ulama salaf yang sangat kaya sehingga mereka lalu mengemis-ngemis pemikiran secara hina kepada Barat. Kalau Amien Rais menyebut bangsa ini sebagai beggar nation (bangsa pengemis) karena gemar utang luar negeri; bolehlah kaum liberal (seperti JIL) kita sebut beggar intelectual (intelektual pengemis). [Majalah al-wa’ie, Edisi 56]
Daftar Pustaka
1. Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq.
2. Adams, Ian. 2004. Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya (Political Ideology Today). Terjemahan oleh Ali Noerzaman. Yogyakarta: Qalam.
3. Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Juz I. Beirut: Darul Fikr.
4. Al-Ja’bary, Hafizh M. 1996. Gerakan Kebangkitan Islam (Harakah Al-Ba’ts Al-Islami). Terjemahan oleh Abu Ayyub Al-Anshari. Solo: Duta Rohmah.
5. Al-Turabi, Hasan. 2003. Fiqih Demokratis. Bandung: Mizan
6. Armas, Adnin. 2003. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Jakarta: Gema Insani Press.
7. Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl. Beirut: Darul Fikr.
8. Az-Zuhaili, Wahbah. 1998. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî. Juz I. Damaskus: Darul Fikr.
9. Ghazali, Abdul Moqsith. 2003. “Membangun Ushul Fiqih Alternatif.” www.islamlib.com
10. Husaini, Adian. 2004. “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal.” www.insistnet.com
11. Madjid, Nurcholish dkk. 2004. Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina & The Asia Foundation.
12. Said, Busthami M. 1995. Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhûm Tajdîduddîn). Terjemahan oleh Ibn Marjan dan Ibadurrahman. Bekasi: Wacanalazuardi Amanah.
13. Watt, William Montgomery.1997. Fundamentalisme Islam dan Modernitas (Islamic Fundamentalism and Modernity). Terjemahan oleh Taufik Adnan Amal. Jakarta: Rajagrafindo Persada
Oleh: M. Shiddiq al-Jawi
Apakah kaum liberal, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), mempunyai ushul fiqih? Pertanyaan ini harus dijawab dulu. Jangan-jangan setelah capek-capek mengkritik secara serius, ternyata mereka tidak memilikinya. Ini sama saja dengan memasak pepesan kosong.
Untuk itu, patut diketahui dulu pengertian ushul fikih serta apa saja yang menjadi cakupan studi ushul fikih. Menurut ulama ushul fikih mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, ushul fikih adalah kaidah-kaidah (qawâ’id) yang dapat mengantarkan pada penggalian (istinbâth) hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci (asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 3; Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jld. I, hlm. 23-24). Sedangkan menurut ulama mazhab Syafii, ushul fikih adalah pengetahuan mengenai dalil-dalil fikih yang bersifat global, tatacara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu, serta keadaan orang yang mengambil hukum (al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, jld. I, hlm. 10).
Dari berbagai definisi itu, topik (mawdhû’) ushul fikih menurut Muhammad Husain Abdullah (Abdullah, Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh, hlm. 29), meliputi 4 (empat) kajian, yaitu:
(1) Kajian tentang dalil-dalil hukum yang bersifat global (al-adillah al-ijmâliyyah), misalnya al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma, Qiyas, dan seterusnya.
(2) Kajian tentang hukum syariat (al-hukm asy-syar’î) dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti definisi hukum syariat dan macam-macamnya.
(3) Kajian tentang cara memahami dalil (fahm al-dalîl) atau pengertian kata (dalâlah al-alfâzh), misalnya tentang manthûq (makna eksplisit) dan mafhûm (makna implisit).
(4) Kajian tentang ijtihad dan taklid, termasuk tatacara melakukan tarjîh (analisis) untuk memilih yang terkuat dari sekian dalil yang tampak bertentangan (ta’ârudh).
Nah, kalau definisi ushul fikih dan cakupan kajiannya itu diterapkan pada ide-ide ushul fikih kaum liberal, apakah mereka memang punya ushul fikih sendiri?
Seorang pakar dan kritikus ide liberal, Dr. Busthami Muhammad Said, menyimpulkan, ijtihad dalam ushul fikih di kalangan kaum liberal —mulai dari Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Thaha Husain, dan lainnya— tidak lebih dari sekadar teori belaka, tanpa kenyataan (Said, Mafhûm Tajdîd ad-Dîn (terj.), hlm. 268). Jadi, kaum liberal sebenarnya tidak mempunyai ushul fikih, dalam definisi yang sesungguhnya.
Karya mereka tidak pernah menerangkan dengan jelas, apa sebenarnya dalil syariat (sumber hukum) itu. Buktinya, perilaku pejabat yang suka menghadiri perayaan hari raya non-Islam dijadikan dalil bagi bolehnya merayakan hari raya agama selain Islam (Madjid dkk., 2004: 85-88). Mereka juga tidak pernah menerangkan dengan tuntas, bagaimana metode penggalian hukum dari dalilnya, selain mengklaim bahwa metodenya adalah hermeneutika (Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, hlm. 35). Padahal metode ini aslinya adalah untuk menafsirkan Bible (Perjanjian Lama dan Baru); tentu tidak cocok untuk menafsirkan al-Qur’an, karena Bible dan al-Qur’an sangat jauh berbeda, seperti bumi dan langit. Tidak aneh jika Norman Daniel (Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, hlm. 53) menegaskan, “The Quran has no parallel outside Islam (Al-Qur’an tidak mempunyai kesejajaran dengan [kitab lainnya] di luar Islam).” (Adian Husaini, “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal”, www.insistnet.com).
Walhasil, ushul fikih kaum liberal sangat diragukan eksistensinya. Akan tetapi, barangkali ada yang bertanya, bukankah mereka kadang menyampaikan gagasan seputar ushul fikih? Hasan at-Turabi, misalnya, dikenal menyerukan pembaruan (tajdîd) di bidang ushul fikih (At-Turabi, Fiqih Demokratis, Bandung: Mizan, 2003). Jauh sebelum itu, pada 70-an, Jamaluddin Athiyah dalam Majalah Al-Muslim al-Mu’âshir edisi Nopember 1974, juga Ahmad Kamal Abul Majid, tokoh liberal lainnya, dalam majalah Al-‘Arabi edisi Mei 1977, telah mengajak umat Islam untuk berijtihad dalam ushul fikih, bukan hanya dalam fikh (Said, 1995: 266).
Kaum liberal Indonesia pun kadang menggembar-gemborkan ushul fikih baru. Nurcholish Madjid dkk, misalnya, pernah mengklaim mengikuti metode ushul fiqih Imam asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, ketika menggagas bukunya yang gagal, Fiqih Lintas Agama (2004). Abdul Moqsith Ghazali (aktivis JIL) mencetuskan beberapa kaidah ushul fikih ‘baru’, semisal:
(1) Al-‘Ibrah bi al-maqâshid lâ bi al-alfâzh (Yang menjadi patokan hukum adalah maksud/tujuan syariat, bukan ungkapannya [dalam teks]);
(2) Jawâz naskh nushûsh bi al-mashlahah (Boleh menghapus nash dengan maslahat);
(3) Tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik) (www.islamlib.com, publikasi 24/12/2003).
Bukankah ini adalah ushul fikih karya kaum liberal?
Jawabnya tegas: tidak. Sebab, meskipun dalam beberapa hal mereka seolah-olah membahas ushul fikih —seperti kaidah-kaidah ushul di atas— sebenarnya tujuannya sangat tendensius, yaitu menundukkan fikih Islam pada nilai-nilai peradaban Barat yang kufur; bukan untuk melahirkan fikih yang sahih agar bisa menjadi pedoman hidup masyarakat Islam, sebagaimana tujuan para ahli ushul fikih yang sesungguhnya. Jadi, kalau pun bisa disebut ushul fikih, karya kaum liberal itu bukanlah ushul fikih sejati, melainkan pseudo ushul fikih, alias ushul fikih palsu.
Paradigma Ushul Fikih Liberal
Mengapa ushul fikih mereka palsu? Sebab, paradigmanya bukan Islam, melainkan sekularisme, yang menjadi pangkal peradaban Barat; peradaban kaum penjajah. Ini tampak dalam upaya mereka menjadikan ushul fikih tunduk di bawah nilai-nilai peradaban Barat. Jadi, secara sengaja, ushul fikih diletakkan sebagai subordinat dari peradaban Barat yang sekular.
Karenanya, tidak aneh, Hasan at-Turabi menyerukan fikih demokratis, sebagai hasil dari adaptasi ushul fikih dengan nilai-nilai demokrasi. Abdul Moqsith Ghazali juga begitu. Kaidah baru yang diusulkannya, seperti tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi nash dengan akal [pendapat] publik), tidak lain berarti bahwa demokrasi (suara publik), harus menjadi standar bagi teks-teks ajaran Islam. Kalau suatu ayat atau hadis cocok dengan selera publik (baca: demokrasi), bolehlah diamalkan, tetapi kalau tidak cocok, bisa dibuang ke selokan.
Paradigma sekular ini memiliki akar sejarah panjang, bermula dari kondisi umat Islam yang memuncak kemundurannya pada abad ke-18 M lalu. Karena sangat mundur, Khilafah Utsmaniyah dan umat Islam saat itu mendapat julukan The Sick Man of Europe. Di sisi lain, Barat mengalami kebangkitan dengan sekularismenya.
Nah, untuk mengobati ‘si sakit’ itu, lalu muncul 2 (dua) macam upaya ‘penyembuhan’ dengan dua paradigma yang sangat berbeda:
Pertama, paradigma sekular, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Barat yang sekular. Itulah yang dilakukan oleh mereka yang disebut dengan kaum modernis atau kaum liberal, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, dan sebagainya (Busthami M. Said, 1995: 127-161). Mereka berpendapat, umat Islam akan bangkit dan sehat kembali jika meminum ‘obat’ peradaban Barat dan mengikuti nilai-nilainya, seperti sekularisme, liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme (Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, 2004: 19-dan seterusnya). Ajaran-ajaran Islam harus ditundukkan dan disesuaikan dengan nilai-nilai peradaban Barat (William Montgomery Watt, 1997: 147-256).
Kedua, paradigma Islam, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Islam. Itulah yang dilakukan oleh para aktivis kebangkitan dan revivalis Islam, seperti Hasan al-Banna, Abul A’la al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani, Sayyid Quthb, Baqir ash-Shadr, dan sebagainya (Hafizh M. al-Jabari, Gerakan Kebangkitan Islam, 1996: 115-dan seterusnya). Menurut mereka, kebangkitan umat Islam berarti kembali secara murni pada ideologi Islam, serta lepas dari ideologi Barat yang kufur. Dari pemetaan ini, tampak bahwa paradigma kaum liberal adalah paradigma sekular tersebut. Tujuannya sangat jelas, yaitu bagaimana agar Islam dapat diubah, diedit, dikoreksi, dan diadaptasikan agar tunduk di bawah hegemoni peradaban Barat sekular. Sekularisme dan ide-ide Barat lainnya seperti demokrasi, HAM, pluralisme, dan jender, dianggap mutlak benar dan dijadikan standar; tidak boleh diubah. Justru Islamlah yang harus diubah dan dihancurkan.
Sebenarnya, ini modus yang sangat jahat. Akan tetapi, kaum liberal sangat lihai menutupinya dan tidak menyampaikan dengan terus terang kepada umat, bahwa mereka ingin menghancurkan Islam. Agar umat terkelabui, modus mereka dikemas dengan berbagai istilah yang keren dan terkesan hebat, seperti reinterpretasi, dekonstruksi, reaktualisasi, dan bahkan ijtihad. Ketua Tim Pengarusutamaan Gender Depag, Siti Musdah Mulia, tanpa malu berani mengklaim bahwa draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) adalah hasil ijtihad (Tempo, 7/11/ 2004, hlm. 47).
Padahal draft tersebut —yang konon menggunakan ushul fikih alternatif— telah melahirkan sejumlah pasal yang justru bertentangan dengan Islam; misalnya mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris pria dan wanita (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam jangka waktu tertentu (pasal 28), menghalalkan perkawinan antaragama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya. Ini semua terjadi karena para penyusun CLD KHI telah menundukkan ushul fikih di bawah nilai-nilai peradaban Barat, yaitu konsep jender, pluralisme, HAM, dan demokrasi. Mengapa semua itu terjadi? Karena ushul fikih kaum liberal adalah ushul fikih palsu yang didasarkan pada paradigma sekular, mengikuti kaum penjajah yang kafir. Mungkin niatnya baik, tetapi mereka pada dasarnya telah melakukan kejahatan intelektual dan penyesatan opini yang luar biasa. Maksudnya memberi ‘obat’, tetapi sebenarnya memberikan racun. Akibatnya, ‘si sakit’ jelas tidak akan sembuh, tetapi malah akan segera masuk ke lubang kubur. Itulah perilaku kaum liberal yang sangat jahat.
Penutup
Secara intelektual, perilaku itu jelas menunjukkan betapa miskinnya pemikiran kaum liberal. Sebab, mereka tak percaya diri dengan warisan intelektual ulama salaf yang sangat kaya sehingga mereka lalu mengemis-ngemis pemikiran secara hina kepada Barat. Kalau Amien Rais menyebut bangsa ini sebagai beggar nation (bangsa pengemis) karena gemar utang luar negeri; bolehlah kaum liberal (seperti JIL) kita sebut beggar intelectual (intelektual pengemis). [Majalah al-wa’ie, Edisi 56]
Daftar Pustaka
1. Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq.
2. Adams, Ian. 2004. Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya (Political Ideology Today). Terjemahan oleh Ali Noerzaman. Yogyakarta: Qalam.
3. Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Juz I. Beirut: Darul Fikr.
4. Al-Ja’bary, Hafizh M. 1996. Gerakan Kebangkitan Islam (Harakah Al-Ba’ts Al-Islami). Terjemahan oleh Abu Ayyub Al-Anshari. Solo: Duta Rohmah.
5. Al-Turabi, Hasan. 2003. Fiqih Demokratis. Bandung: Mizan
6. Armas, Adnin. 2003. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Jakarta: Gema Insani Press.
7. Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushûl. Beirut: Darul Fikr.
8. Az-Zuhaili, Wahbah. 1998. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî. Juz I. Damaskus: Darul Fikr.
9. Ghazali, Abdul Moqsith. 2003. “Membangun Ushul Fiqih Alternatif.” www.islamlib.com
10. Husaini, Adian. 2004. “Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal.” www.insistnet.com
11. Madjid, Nurcholish dkk. 2004. Fiqih Lintas Agama. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina & The Asia Foundation.
12. Said, Busthami M. 1995. Gerakan Pembaruan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddin (Mafhûm Tajdîduddîn). Terjemahan oleh Ibn Marjan dan Ibadurrahman. Bekasi: Wacanalazuardi Amanah.
13. Watt, William Montgomery.1997. Fundamentalisme Islam dan Modernitas (Islamic Fundamentalism and Modernity). Terjemahan oleh Taufik Adnan Amal. Jakarta: Rajagrafindo Persada
Paham Liberal: Menjual Islam demi Dolar
Wawancara Prof Dr Hj Huzaemah Tahido Yanggo, MA , Pakar Perbandingan Mazhab Hukum Islam
Saya Tak Tega Al'Qur'an Diutak-Atik
Untuk menangkal paham liberal, umat Islam harus mampu melahirkan sebanyak-banyaknya cendekiawan Muslim.
Adalah Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Prof Dr Huzaemah Tahido Yanggo yang lantang mengemukakan hal ini. Peraih gelar doktor bidang fiqih dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir ini, tanpa beban, menyatakan ada kepentingan materi di balik munculnya berbagai paham liberal di masyarakat. Demi dolar, itu kata-kata yang tepat untuk sebuah paham yang mengusung liberalisme.
Setelah laporan dari wartawan-wartawan Sabili yang ditugasi mewawancarai sejumlah narasumber terkait paham liberal, masuk ke meja redaksi. Sejumlah fakta dan data dari nara sumber terkait soal dana menjadi jawaban kenapa para pengusung paham liberal acap kali melontarkan pemikiran-pemikiran nyeleneh.
Menurut penerima penghargaan atas prestasi kepemimpinan dan manajemen peningkatan peranan wanita dari menteri negara peranan wanita RI tahun 1999 ini, tangan-tangan asing menyokong para pengusung paham liberal itu di Indonesia untuk kepentingan mereka.
Berdasar pengamatan mantan anggota komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu, selama ini di lapangan, dukungan pihak asing tersebut dilakukan melalui berbagai proyek, seperti pengadaan buku-buku, seminar, lokakarya dan penelitian-penelitian, terutama yang mengusung pemikiran liberal. “Kalau tidak dari bantuan asing, darimana mereka mencetak buku-buku karyanya,” tandas ibu satu putra yang bernama Syarif Hidayatullah ini.
Lain Prof Huzaemah, lain pula Ketua KISDI Adian Husaini. Cendekiawan Muslim yang baru saja meraih gelar doktor di salah satu universitas di Malaysia ini mengakui, umat Islam kadang terlambat merespon munculnya paham liberal karena kaum Muslimin menganggap pemikiran dan kajian ilmiah tidak lebih penting dari politik, ekonomi dan lainnya.
“Politik, ekonomi dan lainnya penting, tapi ilmu lebih penting sebab ilmu adalah landasan tegaknya iman. Jika ilmu rusak, akan lahir ulama rusak yang lebih bahaya daripada orang kafir yang rusak,” tandasnya.
Soal menjamurnya paham liberal, Adian mempunyai pandangan sendiri. Menurut Anggota Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini, paham bebas yang cenderung kebablasan ini akan terus muncul sepanjang masa, sebab ada pihak-pihak yang menjadi produsen, distributor, pengecer dan pengasongnya. Khusus di Indonesia, paham liberal ini mulai hidup sejak tiga puluh tahun lalu. Kalau saat ini paham liberal marak, sangat dapat dimaklumi sebab mereka sedang menuai hasilnya. “Para pendukung pemikiran nyeleneh ini bisa saja dari perorangan, lembaga, bahkan negara,” tandas pengamat politik Islam yang menjadi salah seorang garda terdepan dalam membantah pemikiran-pemikiran liberal ini.
Pendapat dua orang cendekiawan Muslim di atas bisa jadi mewakili sebagian pandangan umat Islam Indonesia. Perihal kepentingan uang di balik munculnya pemikiran-pemikiran liberal di Indonesia, dapat dicocokkan dengan sejumlah fakta di lapangan.
Pada kata pengantar Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) misalnya, secara gamblang, Tim Pengarusutamaan Gender (TPG) Pimpinan Musdah Mulia mengucapkan terima kasih pada The Asia Foundation (TAF), sebuah LSM internasional yang acap kali memberikan bantuan dana kepada para NGO lokal. Menurut sejumlah kalangan, sudah barang tentu ucapan terima kasih TPG kepada TAF itu bukan sekadar basa-basi, namun benar-benar ada maksudnya.
Hal ini diperkuat oleh pendapat salah seorang pejabat Departemen Agama yang tidak mau disebutkan namanya. Kepada SABILI, pejabat ini menyatakan, untuk mengegolkan CLD KHI, The Asia Foundation mengucurkan dana sebanyak enam miliar rupiah. Dana sebesar itu digunakan untuk melakukan penelitian lapangan ke sejumlah daerah. “Dana itu tidak ada yang gratisan,” tandas sumber SABILI itu.
Soal kucuran dana pihak asing tersebut juga diakui sendiri oleh Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla. Saat diwawancarai Majalah Hidayatullah Desember 2004 lalu, Ketua Lakpesdam NU ini mengaku dapat kucuran dana sebesar 1,4 miliar rupiah per tahun dari TAF untuk tujuan mendorong politik sekular di Indonesia.
Sayangnya SABILI tidak memperoleh tanggapan soal ini dari Ulil. Saat SABILI mengonfirmasi soal kebenaran dana di atas, pentolan kelompok JIL ini menolak diwawancara. Bahkan saat wartawan SABILI meminta waktu untuk wawancara, Ulil malah menjawab “Saya tidak bersedia diwawancarai SABILI”. Ketika SABILI balik bertanya kenapa ia tidak bersedia diwawancarai, Ulil balik menjawab serupa, “Begini, saya nggak mau diwawancarai SABILI.” Setelah Ulil menjawab itu, telepon pun terputus. Setelah itu, Ulil tidak pernah menjawab meski sekali pun telepon dan sms dari SABILI.
Seorang profesor hukum yang tidak bersedia namanya disebut memaparkan pengalamannya. Saat diundang anggota DPD memberikan masukan soal hukum Islam di DPR beberapa waktu lalu, ia merasakan adanya kepentingan asing di balik paham liberal. Menurut ceritanya, saat kasus revisi Kompilasi Hukum Islam (KHI) mencuat ke permukaan, sejumlah orang dari LSM asing tertentu mendatangi kediamannya. Mereka meminta sang profesor menulis pembaruan KHI dengan imbalan puluhan juta rupiah.
Namun dengan nada halus, sang profesor menolaknya. Tak berhenti sampai di situ. Besoknya, mereka kembali mendatangi sang profesor dan memintanya kembali menulis pembaruan KHI. Tentu saja mereka menyediakan imbalan yang lebih besar lagi. Namun profesor itu kembali menolaknya. Padahal, mereka sudah menyediakan sebuah secarik kertas sebagai kontrak penulisan. “Saya menolaknya karena mencium ada kepentingan tidak baik dalam kontrak tersebut,” katanya.
Kepada SABILI, pria yang pernah menikahkan pasangan beda agama Dedi Corbuzier dan Karlina ini menolak bila disebut sebagai anggota JIL pimpinan Ulil Abshar Abdalla. Saat diwawancarai SABILI, ia berkali-kali menolak disebut aktivis JIL. “Saya harus tegaskan dulu bahwa saya bukan aktivis JIL, tapi kalau saya diminta mengisi oleh JIL, sesuai latar belakang, saya akan mengisi,” kata Dosen UIN Syarif Hidayatullah ini.
Zainun juga menolak dianggap sektarian. Sebagai seorang akademisi, ia mengaku bisa saja berada di mana-mana, baik di DDII, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan lainnya. Bahkan jika para aktivis Ahmadiyah atau Syiah mengundangnya, ia bersedia menghadirinya. “Bukan berarti saya masuk kelompok mereka,” katanya.
Untuk menangkal serangan kelompok liberal tersebut, Adian Husaini mengatakan, yang menjadi prioritas utama adalah melahirkan sebanyak-banyaknya cendekiawan Muslim yang mampu menjawab tantangan pemikiran tersebut, mampu memahami Islam dengan baik dan memahami pemikiran Barat, Kristen, Yahudi dan pemikiran sesat lainnya.
Adian mengutip kisah Sayyidina Umar bin Khaththab ra. Umar menangis bahagia saat seseorang mengritiknya. Adian belum melihat budaya kritik mengritik ini tumbuh di internal umat Islam. Kritik kepada seseorang, menurutnya, masih dinilai sama dengan menjatuhkan. “Ini yang tidak benar. Tradisi kritik ini sulit berkembang jika budaya ilmu tidak berkembang,” tegasnya.
Adian boleh jadi benar. Kehancuran Islam bukan disebabkan kuatnya musuh-musuh Islam, tapi lebih disebabkan lemahnya ketahanan internal umat Islam sendiri. Jika umat Islam kokoh, serangan sedahsyat apapun yang datang dari musuh-musuh Islam, tidak akan mudah menjungkirbalikkan posisi umat. Jadi, sudah semestinya, umat Islam terus membentengi diri dengan akidah dan pemahaman Islam yang benar. (Sabili)
Rivai Hutapea
Saya Tak Tega Al'Qur'an Diutak-Atik
Wawancara Prof Dr Hj Huzaemah
Tahido Yanggo, MA
Pakar Perbandingan Mazhab Hukum Islam
Jaringan Islam Liberal (JIL) merayakan ulang tahunnya yang ke-4. Banyak orang dibuat geram sambil mengelus dada oleh pemikiran JIL. Mereka begitu berani menafsirkan ayat al-Qur’an sesuka hati. Salah satu kontroversinya adalah dalam kasus Counter Legal Draft-Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI).
Salah seorang yang merasa gelisah dengan pemikiran Islam Liberal adalah Prof Dr Hj Huzaemah Tahido Yanggo, MA. Pembantu Dekan I Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat ini mengaku sering berhadapan dengan mereka.
Kalau pas berada dalam acara-acara seminar atau diskusi ada orang melontarkan ide-ide nyeleneh itu, ia pun langsung membantah. Menurut ceritanya, dia pernah diundang dalam bedah buku Dr Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, di Pusat Studi Al-Qur’an. Apa yang dikatakan Musdah langsung disanggah dan tak ada satu pun yang dijawab. “Dia ketawa saja. Hanya pertanyaan audiens yang dia jawab.” Pertanyaan Huzaemah oleh Musdah—yang tak lain muridnya semasa kuliah di UIN—hanya dianggap sebagai masukan.
“Bohong kalau mereka diskusi mengutamakan pemikiran intelektual,” tegas Huzaemah. Baginya, apa yang dikerjakan orang-orang itu hanya faktor ekonomi dan cari nama belaka. Tak ada sangkut pautnya dengan perkembangan pemikiran. Benarkah?
Berikut petikan perbincangan Afriadi dan Eman Mulyatman dari SABILI bersama doktor fiqih perbandingan dari Universitas Al-Azhar, Mesir, yang lulus dengan predikat cumlaude ini:
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dipermasalahkan?
Iya, memang. Ketuanya Siti Musdah Mulia.
Kita diundang sebagai dewan pakar.
Bagaimana bisa terjadi?
Saya tidak tahu bagaimana bisa terjadi.
Mereka itu kan maqashid syari’ah (tujuan syariah)nya: pluralisme, demokrasi,
gender dan HAM. Kalau kita kan maqashidus syaria’ah-nya: hifdz ad-dien, hifdz
an-nas, hifdz al-aql, hifdz an-nafs, dan hifdz al-maal (menjaga agama,
kemanusiaan, akal, jiwa dan harta benda).
Soal gender?
Saya juga mendukung. Saya dulu Ketua PSW
(Pusat Studi Wanita) UIN Syarif Hidayatullah. Persamaan hak itu tidak selalu
menguntungkan, bisa merugikan perempuan sendiri. Itu saya tidak sependapat,
apalagi sampai bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Bagaimana dengan kaum feminis yang memperjuangan persamaan gender?
Saya termasuk orang yang memperjuangkan hak perempuan yang belum diberikan. Tapi bukan kita mengada-ada. Jangan yang tidak ada dalam ajaran agama atau yang bertentangan dengan ajaran agama, kita perjuangkan. Misalnya seorang istri yang dicerai talak tiga oleh suaminya, dia harus menikah dulu dengan yang lain baru boleh suaminya balik lagi. Lalu, mereka, dengan alasan persamaan hak, mengharuskan laki-laki kawin dulu dengan perempuan lain baru boleh balik sama istrinya. Mereka (JIL-red) tidak sadar, mereka sendiri yang mengharamkan poligami, secara tidak langsung membolehkan poligami. Mereka memikirkan atau tidak, itu malah menambah beban suaminya nanti. Kalau balik sama dia (istri pertama, red) kan tambah lagi istri, tambah lagi anaknya. Mungkin ada anak tiri. Tambah sakit hati lagi. Katanya, mengangkat derajat perempuan?
Bagaimana dengan kaum feminis yang memperjuangan persamaan gender?
Saya termasuk orang yang memperjuangkan hak perempuan yang belum diberikan. Tapi bukan kita mengada-ada. Jangan yang tidak ada dalam ajaran agama atau yang bertentangan dengan ajaran agama, kita perjuangkan. Misalnya seorang istri yang dicerai talak tiga oleh suaminya, dia harus menikah dulu dengan yang lain baru boleh suaminya balik lagi. Lalu, mereka, dengan alasan persamaan hak, mengharuskan laki-laki kawin dulu dengan perempuan lain baru boleh balik sama istrinya. Mereka (JIL-red) tidak sadar, mereka sendiri yang mengharamkan poligami, secara tidak langsung membolehkan poligami. Mereka memikirkan atau tidak, itu malah menambah beban suaminya nanti. Kalau balik sama dia (istri pertama, red) kan tambah lagi istri, tambah lagi anaknya. Mungkin ada anak tiri. Tambah sakit hati lagi. Katanya, mengangkat derajat perempuan?
Tidak selamanya kesetaraan itu menguntungkan wanita?
Iya, bimaa fadhdhalallaahu ba’dhahum ‘alaa
ba’dhin (Karena Allah telah memuliakan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (perempuan) (QS an-Nisaa’: 34). Masing-masing ada perannya.
Seperti mencari nafkah. Mereka bilang mencari nafkah itu juga wajib bagi
perempuan. Padahal kalau perempuan memberikan nafkah ke keluarga, itu kan hanya
sebagai tabarru’ (sumbangan) saja. Jadi kewajiban tetap di pihak laki-laki.
Itu sudah sesat atau bagaimana?
Bisa dikatakan seperti itu.
Lalu Ibu menyusun buku bersama Ibu Prof Zakiah Daradjat?
Ndak dengan Ibu Zakiah, saya sendiri yang
menulisnya. Wartawan saja yang bilang buku itu disusun bertiga. Yang benar saya
menulisnya sendiri.
Apa latar belakang menulis buku itu?
Ya, dorongan untuk mempertahankan agama.
Misalnya perkawinan beda agama boleh, laki-laki kalau cerai dengan istrinya
harus ber’iddah. Itu kan bertentangan dengan al-Qur’an. Perempuan juga wajib
bayar mahar sesuai dengan budaya setempat, contohnya Sumatera Barat. Padahal
Sumatera Barat itu bukan mahar yang dikasih oleh perempuan, tapi itu uang
jemputan. Mahar tetap dibayar. Tidak semua orang Minang melaksanakannya, hanya
sedikit saja.
Pokoknya kita itu harus kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah karena Nabi mengatakan taraqtu fi kum amraini lan tadhillu maa intamassaktum bihi ma abadan kitaballahi wa sunnata rasulihi (Aku telah meninggalkan dua hal. Jika kamu berpegang kepadanya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul).
Pokoknya kita itu harus kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah karena Nabi mengatakan taraqtu fi kum amraini lan tadhillu maa intamassaktum bihi ma abadan kitaballahi wa sunnata rasulihi (Aku telah meninggalkan dua hal. Jika kamu berpegang kepadanya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul).
Kelemahan JIL apa?
Mereka itu meninggalkan nash dan hanya
melihat masalah sosial budaya. Budaya itu kalau sesuai dengan syariat kita
pakai. Budaya itu kalau dalam Ushul Fiqih disebut al-‘urf. ‘Urf itu terbagi
dua: ‘urf shahih dan ‘urf bathil. ‘Urf shahih itu tidak bertentangan dengan
al-Qur’an dan Sunnah. Kalau al-’urf bathil adalah yang bertentangan dengan
al-Qur’an dan Sunnah. Apakah al-Qur’an dan Sunnah mengikuti budaya atau budaya
yang mengikuti al-Qur’an dan Sunnah? Susah kalau kita tidak mengikuti pegangan
umat Islam.
Mereka itu mengutamakan budaya dan alergi terhadap syariah?
Kita menghargai orang berijtihad. Silakan
saja berijtihad. Tapi, bila kita berijtihad jangan menyalahi aturan-aturan yang
telah ada, bahkan yang telah dikenal oleh ulama-ulama Islam sedunia.
Indonesia dikatakan tempat subur bagi perkembangan Islam liberal?
Susahnya, umat Islam sendiri yang
melemahkan umat Islam yang lain. Mestinya kita yang mempertahankan ajaran
Islam. Ini malah kita sendiri yang mengikuti pemikiran-pemikiran liberal
semacam itu.
Apakah ini upaya Barat untuk melemahkan Islam?
Bisa saja.
Sejauh mana pengamatan Ibu bahwa ini adalah trik barat ?
Dugaan kita seperti itu. Barat menuduh
orang Islam itu teroris. Padahal tidak ada ajaran Islam yang menghendaki
seperti itu. Nabi saja kalau mengirim sahabat untuk peperangan selalu
menasihatkan: Jangan kalian memerangi orang tua, perempuan, jangan menebang
pohon-pohon.
Bagaimana bentuk dukungan Barat terhadap upaya penyesatan itu?
Iya, contohnya mencetak buku itu, dananya
dari Asia Foundation. Selalu mangadakan seminar dan penelitian. Katanya, buku
yang mereka buat, Counter Legal Draft (CLD) KHI itu, dananya tujuh miliar dari
Asia Foudation.
Bagimana dengan UU kekerasan dalam rumah tangga?
Iya, kecolongan lagi. Sebenarnya dalam
perkawinan itu ada huquq az-zaujiyah. Namanya hak suami memberi nafkah,
melindungi, menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Pemimpin dalam hal ini artinya
mengayomi. Dalam al-Qur’an, laki–laki atau suami diserukan wa asyiruhunna bil
ma’ruf, pergaulilah istri-istrimu dengan cara yang ma’ruf, yang patut.
Ribut-ribut soal KHI, Ibu sendiri bagaimana melihatnya?
Kalau dulu, sebelum ada KHI, = sering
antara satu pengadilan dengan pengadilan agama yang lain dalam masalah yang
sama, = kadang-kadang berbeda putusannya. Setelah ada, ini bisa menjadi pedoman
bagi mereka, walaupun masih ada kekurangan-kekurangannya. Pemerintah sudah
mengusulkan secara resmi ke DPR untuk menjadikannya sebagai undang-undang hukum
terapan peradilan agama. Tahu-tahu nongol CLD-nya Musdah Mulia.
KHI ini lebih dulu dari CLD, sudah diseminarkan berkali-kali. KHI itu resmi dibuat oleh pemerintah, diajukan ke DPR. Kalau yang ini (CLD), Departemen Agama kecolongan, karena pengaruh persamaan gender di belakangnya. Karena mengatasnamakan Depag, orang terkecoh. Dia (Musdah Mulia=red) memang tim persamaan gender. Tapi bukan untuk membuat undang-undang, melainkan untuk mengkaji masalah wanita. Malah dalam pembahasannya, diundang orang dari agama lain.
KHI ini lebih dulu dari CLD, sudah diseminarkan berkali-kali. KHI itu resmi dibuat oleh pemerintah, diajukan ke DPR. Kalau yang ini (CLD), Departemen Agama kecolongan, karena pengaruh persamaan gender di belakangnya. Karena mengatasnamakan Depag, orang terkecoh. Dia (Musdah Mulia=red) memang tim persamaan gender. Tapi bukan untuk membuat undang-undang, melainkan untuk mengkaji masalah wanita. Malah dalam pembahasannya, diundang orang dari agama lain.
Dananya besar ya?
Dari Asia Foundation. Misalnya buku Bu
Musdah baru-baru ini diterbitkan, judulnya Muslimah Reformis. Makanya kata Pak
Ali Yafie pada waktu bedah buku saya, “Jangan menyangka bahwa dengan terbitnya
buku Ibu ini nanti mereka berhenti. Nanti mereka terbit dengan versi lain
lagi.”
Betul, seminggu atau dua minggu muncul lagi buku mereka. Bukunya besar dan luks. Sedangkan kita, dengan uang saku sendiri. Buku itu kita keluarkan hanya karena tidak tahan melihat apa yang terjadi, karena tidak tega kalau al-Qur’an dan Hadits diutak-atik.
Betul, seminggu atau dua minggu muncul lagi buku mereka. Bukunya besar dan luks. Sedangkan kita, dengan uang saku sendiri. Buku itu kita keluarkan hanya karena tidak tahan melihat apa yang terjadi, karena tidak tega kalau al-Qur’an dan Hadits diutak-atik.
Apa benar yang dibawa Ulil atau Bu Musdah sesuatu yang baru?
Sesuatu yang baru? Ada juga yang
sebelumnya. Misalnya pendapat Abu Zaid yang banyak diangkatnya. Abu Zaid itu
kan sekarang ngajar di Yogya. Dulu dia di Mesir, sudah diputuskan di mahkamah
Mesir, murtad. Lalu lari ke Belanda. Karena dia orang “pintar”, diangkat jadi
dosen di sana. Nggak tahu gimana, dosen dari Belanda dipakai lagi untuk kerja
sama dengan UIN Yogya, jadi dosen UIN Yogya.
Ada ancaman mati terhadap Ulil, ada pula Masdar di Mesir yang mau dibunuh di sana?
Kalau itu saya tidak setuju. Tidak boleh
main hakim sendiri.
Mereka malah makin berani...
Mudah-mudahan mereka sadar. Nabi saja bahkan dengan macam-macam cobaan dari kaumnya yang waktu itu belum beriman, menyiksa, mengejek. Beliau doakan, “Wahai Tuhan! Berikanlah petunjuk pada kaumku karena mereka belum mengetahui.” Mudah-mudahan nanti akan sadar, insya Allah. Kita doakan saja.
Mereka malah makin berani...
Mudah-mudahan mereka sadar. Nabi saja bahkan dengan macam-macam cobaan dari kaumnya yang waktu itu belum beriman, menyiksa, mengejek. Beliau doakan, “Wahai Tuhan! Berikanlah petunjuk pada kaumku karena mereka belum mengetahui.” Mudah-mudahan nanti akan sadar, insya Allah. Kita doakan saja.
Kenapa di Indonesia pemikiran liberal menjadi subur?
Ada juga yang karena masalah pribadi. Ada
juga karena dorongan ekonomi. Dapat uang misalnya. Karena dapat uang seperti
tadi, menulis nanti dapat uang.
Ada faktanya?
Kan kenyataan, itu yang dicetak ongkosnya
sampai tujuh miliar. Ada satu orang, saya tidak mau menyebutkan namanya,
seorang pakar dari bidang KHI yang resmi dipakai, sekarang mendapat tawaran
menulis. Kalau dia mau menulis tentang pembaruan kompilasi hukum Islam yang
ada, yang dipakai berjalan sekarang, dikasih 40 juta rupiah. Tapi tidak mau.
Pakar tersebut berkata, untuk apa saya menjual akidah saya.
Jadi benar bahwa perkembangan Islam Liberal di Indonesia bukan karena perkembangan pemikiran?
Karena ekonomi, juga karena cari nama.
Islam liberal subur di NU?
Tidak juga. Di Muhammadiyah juga ada Pak
Zainun (Zainun Kamal, red). Itu kan Muhammadiyah. Kalau dari NU banyak yang ke
JIL. Kalau dari Muhammadiyah banyak ke JIM (Jaringan Intelektual Muda, red).
Itu kan pemikiran liberal semua. Jadi dari dua organisasi besar ini, ada anak
mudanya ikut seperti itu.
Sejauh mana bahayanya pemikiran ini?
Berbahaya, mengancam agama, meresahkan
masyarakat. Makanya Menteri Agama waktu peluncuran buku saya mengatakan, “Saya
sudah batalkan! Saya sudah batalkan!” Maksudnya CLD-KHI itu sudah dia batalkan.
Bagaimana jika pemikiran semacam ini didiamkan, katakanlah 10 tahun ke depan, apakah akan semakin berkembang?
Walaupun ada pemikiran seperti itu,
mayoritas belum setuju dengan pendapat begitu. Sebetulnya yang ada begitu
sedikit, hanya beberapa orang. Wartawan juga yang bikin mereka terkenal.
Orang-orang kebanyakan malah semua nggak senang, resah.
Kenapa tidak ditindak tegas?
Soalnya yang lainnya nggak kompak.
Mengcounter hanya sendiri-sendiri. Coba kalau ramai-ramai.
(Sabili)
KELOMPOK LIBERAL ITU AGEN PENJAJAH
KH. M. Shiddiq al-Jawi:
Saat ini di tengah kita muncul kelompok liberal. Mereka menyerukan ide-ide liberal yang dibungkus dengan nama Islam. Tidak jarang mereka mengutip dalil dan pernyataan para ulama untuk mendukung ide mereka. Hal itu akan dapat membingungkan umat dan bisa membawa mereka ke alam pemikiran liberal. Namun, sayang, sebagian dari umat masih belum menyadari bahaya itu, dan belum mengenali jatidiri, motif, tujuan dan hal-hal berkaitan dengan kalangan liberal dan agenda mereka.
Untuk mengupas masalah ini, kami menghadirkan wawancara singkat dengan KH. M. Shiddiq al-Jawi, Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPD I HTI Proprinsi DIY.
Ustadz, belakangan muncul kelompok liberal semisal JIL yang getol menyerukan ide-ide liberalisasi Islam. Bagaimana Ustadz memandang fenomena ini?
Menurut saya, fenomena ini harus dipandang dari dua sisi, sisi ideologis dan politis. Secara ideologis, kaum liberal bertujuan menundukkan Islam pada peradaban dan ideologi Barat. Ini dari perspektif ideologis. Kalau dari sisi politis, JIL dan semacamnya adalah alat politik Barat untuk mendominasi umat Islam. Mengapa bisa begitu? Sebab, faktanya, kekuatan politik yang mendominasi dunia adalah Barat yang sekular, sedangkan JIL itu kan ideologinya juga sekular. Klop, kan? Kesamaan ideologi ini jelas akan memunculkan kesamaan visi, misi, dan agenda. Di posisi ini kaum liberal itu sebenarnya adalah agen penjajah. Mengapa? Sebab, penjajah selalu ingin agar umat Islam mengikuti Barat dalam segala hal. Tapi, itu sulit terjadi karena bagaimanapun merosotnya, umat Islam masih tidak mau mempraktikkan sesuatu kalau tidak mendapat pengesahan agama. Maka di sinilah, kaum liberal datang untuk membujuk umat agar mau mengikuti peradaban Barat itu, dengan memperalat agama Islam sebagai landasan pembenarannya. Itulah kerjaan kaum liberal.
Mengapa bisa muncul kelompok semacam ini di tengah-tengah umat ini, Ustadz?
Masyarakat kita sekarang ini kan cenderung sekular dan liberal. Maka kalau ‘habitat’-nya demikian, wajar kalau lahir kaum liberal. Maksud saya, dalam konteks sekarang, kemunculan kelompok liberal justru banyak difasilitasi dan dipicu oleh sistem yang ada, seperti sistem politik, ekonomi, dan pendidikan. Semuanya adalah impor dari Barat sekular. Masalahnya, semua sistem itu tak akan bisa berjalan baik tanpa budaya yang sekular juga. Nah, yang ada dalam sistem-sistem itu baru prosedur formalnya, tanpa budaya sekularnya. Di sinilah kaum liberal lalu lahir guna menanamkan budaya sekular agar sistem sekular itu bisa berjalan baik. Dalam bahasa mereka, sekarang ini yang ada baru ‘demokrasi prosedural’ semisal tahapan Pemilu, belum disertai ‘demokrasi substansial’ seperti kebebasan berpendapat. Nah, kaum liberal ingin agar sistem sekular yang ada menjadi kâffah, yaitu bukan sekular sebatas prosedur formal, tapi juga disertai budayanya. Itulah hakikat demokratisasi yang jadi tujuan mereka.
Dalam sejarah, untuk menghancurkan Khilafah dan menghadang Islam, Barat sering menggunakan antek-antek mereka dari kalangan kaum Muslim sendiri. Apakah kemunculan kelompok Muslim liberal ada hubungannya dengan makar Barat itu, Ustadz?
Hubungannya jelas ada. Begini. Pada prinsipnya, kan Barat itu punya satu metode khas untuk menyebarkan ideologinya di negeri-negeri Islam, yaitu penjajahan; bisa militer, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Setelah menjajah, mereka mengeksploitasi. Itu pasti. Untuk masing-masing bidang penjajahan itu, Barat punya agennya sendiri-sendiri dari kalangan umat Islam yang berkhianat. Nah, kaum liberal itu adalah agen Barat di bidang budaya (tsaqâfah) yang bergerak di bidang pemikiran atau ideologi. Tujuannya adalah menghancurkan Islam di satu sisi dan memenangkan sekularisme di sisi lain.
Ada penelusuran dari sebagian pihak bahwa di balik fenomena Muslim liberal itu kental unsur uang (materi). Menurut Ustadz, apa motif mereka?
Saya kira benar. Konon draft CLD KHI dibiayai The Asia Foundation sebesar Rp 6 miliar. JIL sendiri mendapat support dana The Asia Foundation sebesar Rp 14 miliar pertahun. Jadi, ada simbiose mutualisme di sini. Sebab, Barat itu kan ingin mensekularkan umat Islam. Lagi pula, mereka punya banyak uang hasil dari mengeksploitasi umat Islam. Tapi, saya kira, uang bukan satu-satunya motif. Ada motif lainnya, semisal motif ketenaran, motif ilmiah, dan mungkin, motif spiritual. Ulil Abshar Abdalla pernah menyatakan, JIL ingin mewujudkan “sekularisme yang mantap dan spiritual yang kokoh.” Saya pikir, ini cukup menggelikan dan agak gila. Sebab, spiritualitas macam apa yang bisa diwujudkan dalam tatanan sekularisme? Di Barat yang sekular saja banyak kaum muda yang tidak pernah ke gereja.
Menurut saya, motif utama kaum Muslim liberal itu adalah motif ideologis. Sebab, ideologi Kapitalisme sekular tampaknya memang telah merasuk ke dalam jiwa mereka. Contohnya isu sekularisme. Kaum liberal sangat fanatik dan tergila-gila dengan sekularisme. Bahkan, di situs mereka dikatakan bahwa sekularisme itu berkah bagi agama-agama, karena, katanya, sekularisme bisa meredakan berbagai ekses jika agama dan negara menyatu. Padahal setelah menjadi sekular, Barat tidak menjadi lebih baik. Sains dan teknologi Barat memang lebih maju. Akan tetapi, secara moral, apa lebih baik? Secara spiritual, apa lebih hebat? Nggak, kan. Setelah ada sekularisme, dunia makin mengerikan dan hancur-hancuran, karena ada imperialisme, Perang Dunia I dan II, pemboman Hiroshima dan Nagasaki, dan sekarang kebijakan unilateral (satu kutub, red.) AS yang arogan di Afghanistan dan Irak. Apa itu lebih baik? Kaum liberal pura-pura tak tahu semua itu, dan karena fanatik, seenaknya berkata, “Sekularisme berkah bagi agama.” Nah, fanatisme yang ekstrem terhadap sekularisme inilah yang hendak mereka tularkan kepada generasi muda Islam. Saya lihat ini motif utamanya.
Apakah mereka itu sudah bisa dikategorikan pengemban ide Barat dan ideologi Kapitalisme, Ustadz?
Saya kira, benar. Mereka bisa digolongkan sebagai pengemban ideologi Kapitalisme, bukan pengemban ideologi Islam. Islam hanya dijadikan ‘kosmetik luar’ saja. Di bagian dalamnya adalah ideologi Barat. Jadi, segala macam pemikiran kaum liberal harus dikategorikan sebagai pemikiran bukan Islam. Sangat tidak betul kalau ada anggapan ide-ide mereka merupakan bagian dari khazanah pemikiran atau pemahaman Islam. Sebab, berbagai mazhab atau aliran dalam Islam, walau pun berbeda-beda pemahaman cabangnya, tetap sepakat akan hal-hal pokok dalam akidah dan syariat Islam. Kaum liberal seperti JIL tidak sepakat. Dalam masalah akidah, mereka mengadopsi teologi inklusif yang mengatakan semua agama benar. Apa itu masih bisa dianggap akidah Islam? Dalam hal syariat Islam, JIL secara ekstrem dan sombong mengatakan, syariat Islam itu tidak ada. Syariah hanya karangan ulama belaka, atau yang ada hanya sunnatullah (hukum alam, red.). Subhanallâh...Coba, apa ada mazhab yang menolak eksistensi syariat Islam seperti itu? Nggak ada, kan?
Ustadz, ada dari mereka yang alumni pesantren, Perguruan Tinggi Islam, bahkan sebagian mereka lulusan Timur-Tengah, di antaranya Al-Azhar. Menurut Ustadz, mengapa mereka bisa terpeleset seperti itu?
Dalam hal ini, kaum liberal memang ada yang sebelumnya mempunyai pengetahuan Islam yang luas. Ilmu kalam, fikih, tasawuf, tafsir, hadis, dan macam-macam lah. Tapi, semua itu dipelajari secara dogmatis, tanpa daya pikir kritis, dan cenderung dalam bentuk hapalan. Akibatnya, hati sebenarnya tidak puas. Sebaliknya, ketika bersentuhan dengan ide Barat, mereka memikirkannya secara sadar, tahu benar berbagai argumentasinya, latar belakangnya, dan seterusnya; lalu mereka mengadopsinya secara sepenuh hati. Maka di sinilah, mereka terpeleset. Lalu terjerembab.
Apakah ada yang salah dalam proses pembelajaran Islam mereka? Lalu proses pembelajaran Islam itu seharusnya bagaimana, Ustadz?
Ya, ada yang salah. Sebab, mereka menerima Islam bukan secara rasional, tetapi secara dogmatis. Ketika belajar Islam, proses berpikir yang cerdas tidak difungsikan. Mungkin karena literatur Islam yang mereka baca tidak cukup argumentatif. Sebaliknya, mereka menerima ideologi Barat secara sadar, melalui proses berpikir yang rasional. Menurut saya, pembelajaran Islam harus memenuhi 3 aspek. Pertama, harus rasional, maksudnya pengkajian materi ajaran Islam harus melibatkan proses berpikir bagi pengkajinya, bukan bersifat dogmatis atau doktriner. Kedua, harus ada pembenaran terhadap materi yang dikaji itu. Artinya, materi yang dikaji hendaknya menjadi keyakinan, bukan sekadar pengetahuan. Ketiga, materi yang dikaji harus praktis, bukan teoretis yang tidak ada faktanya dalam kenyataan empiris.
Menurut Ustadz, keberadaan kelompok Muslim liberal itu bermanfaat atau justru berbahaya bagi umat?
Mungkin pertanyaan yang tepat begini: seberapa jauhkah bahaya kelompok liberal bagi umat? Begitu. Jadi, tidak relevan membicarakan manfaat kaum liberal bagi umat. Sebab, apa manfaatnya ide-ide mereka yang justru hendak menghancurkan akidah dan syariat Islam? Nggak ada, kan? Pemikiran mereka itu seperti ‘kanker ganas’ dalam tubuh umat Islam. Kanker itu sangat berbahaya, nggak ada gunanya sama sekali.
Lalu bagaimana kita meng-counter pemikiran kalangan liberal dan ide-ide mereka itu?
Untuk menghadapi mereka, saya pikir ada dua langkah. Pertama, melakukan pergolakan pemikiran (ash-shirâ’ al-fikrî) untuk menentang ide mereka dan menyadarkan umat. Intinya, ide mereka dalam satu masalah harus dibongkar kebobrokannya, dan di sisi lain harus dijelaskan bagaimana konsep Islam yang sahih dalam masalah itu. Kedua, melakukan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî) untuk membongkar posisi mereka sebagai antek-antek penjajah yang bertujuan untuk menghancurkan Islam dan mengokohkan sekularisme di Dunia Islam. Umat harus tahu dan sadar, kaum liberal itu bergerak untuk kepentingan penjajah, bukan demi kemaslahatan Islam. Kalau kaum liberal mengklaim mereka hendak memajukan Islam dan umat Islam, itu adalah omong-kosong dan hanya bualan saja. Dengan dua langkah itu, umat akan tahu apa dan bagaimana pemikiran kaum liberal itu, sekaligus tahu siapa-siapa mereka itu. Dengan begitu, umat bisa memblokir ide-ide mereka, dan mengucilkan para pengembannya. Dua langkah tersebut harus kita lakukan sejak sekarang.
Bagaimana kita menyelesaikan masalah ini secara tuntas, Ustadz?
Agar tuntas, dua langkah tadi harus ditambah satu lagi, yaitu jalur hukum (al-qadhâ‘). Maksudnya, jalur peradilan dalam negara Khilafah nantinya. Kalau mereka tidak mau berhenti, mereka bisa diadukan kepada hakim sebagai komplotan yang menyebarkan kekafiran, mengajak orang murtad, dan berkolaborator dengan penjajah. Peradilan nanti yang akan mengambil sanksi tegas datas mereka.
Biodata:
M. Shiddiq Al-Jawi, lahir di Grobogan (Jateng) 31 Mei 1969. Setelah lulus SMA 1 Pekalongan 1988, beliau masuk IPB tanpa test (PMDK). Pernah nyantri di Pondok Pesantren Nurul Imdad (1989-1991) dan Pondok Pesantren Al-Azhar Bogor (1992-1994). Pada periode 1990-1991 beliau menjadi Ketua Umum Badan Kerohanian Islam (BKI) IPB. Setelah lulus IPB 1997, beliau terjun di bidang pendidikan, penulisan, dan penerjemahan. Pada 1997-1998 dan 1999-2000 beliau menjadi staf pengajar almamaternya; Pondok Pesantren Al-Azhar Bogor. Sejak tahun 1999 menjadi staf peneliti Shariah Economic and Management (SEM) Institute Jakarta. Beliau telah menghasilkan sekitar 150 artikel keislaman, 4 buku, 10 karya terjemahan, dan 5 karya editan. Saat ini bekerja sebagai dosen STEI Hamfara dan LPI (Lembaga Pendidikan Insani) Yogyakarta, sambil menyelesaikan tesis pada program pascasarjana Magister Studi Islam UII, Yogyakarta. Di HTI, ia menjadi Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPD I HTI Proprinsi DIY. Beliau menikah dengan Ir. Lusiani Udjianita dan dikaruniai dua anak: Atina Fahma Rosyada dan Fauzi Saifurrahman. (HT Hiwar Al-Waie 58)
SS
Proyek Islam Liberal: Memprotestankan Islam
Luthfi asy Syaukani, tokoh
ISLIB (baca: Islam Liberal) yang menjadi moderator di e-group pernah
mengutarakan (tanggal 13-03-2001,
1: 45 A.W) tentang tujuan
berdirinya ISLIB: "Saya melihat bahwa mayoritas umat Islam yang ada
sekarang adalah Islam ortodoks, baik dalam wajahnya yang fundamentalis (dalam
sikap politis) maupun konservatif (dalam pemahaman keagamaan). Islam liberal
datang sebagai sebuah bentuk protes dan perlawanan terhadap dominasi itu.
Ketika kita mengatakan "bebas dari" dan "bebas untuk", kita memposisikan diri menjadi seorang "protestan" yang berusaha mencari hal-hal-hal yang baik dari warisan agama dan membuang hal-hal yang buruk.
Saya membayangkan semangat protestanisme itu adalah semangat yang seluruhnya bersifat positif, seperti yang dijelaskan dengan sangat bagus oleh Weber.
Dalam bayangan saya, "Islam Liberal" adalah sebuah gerakan reformasi (bukan dalam pengertian mahasiswa, tapi pengertian semangat protestanisme klasik) yang berusaha memperbaiki kehidupan umat Islam, baik menyangkut pemahaman keberagaman mereka maupun persoalan-persoalan lainnya (ekonomi, politik, budaya, etc)."
Jelaslah bahwa tujuan ISLIB adalah memprotestankan Islam sebagaimana Marthin Luther memprotestankan Kristen Katholik di Barat.
Ketika kita mengatakan "bebas dari" dan "bebas untuk", kita memposisikan diri menjadi seorang "protestan" yang berusaha mencari hal-hal-hal yang baik dari warisan agama dan membuang hal-hal yang buruk.
Saya membayangkan semangat protestanisme itu adalah semangat yang seluruhnya bersifat positif, seperti yang dijelaskan dengan sangat bagus oleh Weber.
Dalam bayangan saya, "Islam Liberal" adalah sebuah gerakan reformasi (bukan dalam pengertian mahasiswa, tapi pengertian semangat protestanisme klasik) yang berusaha memperbaiki kehidupan umat Islam, baik menyangkut pemahaman keberagaman mereka maupun persoalan-persoalan lainnya (ekonomi, politik, budaya, etc)."
Jelaslah bahwa tujuan ISLIB adalah memprotestankan Islam sebagaimana Marthin Luther memprotestankan Kristen Katholik di Barat.
Qur’an Edisi Kritis
Untuk mewujudkan impian
tersebut, wajar saja jika mereka menyambut baik usulan salah seorang dari
mereka yang bernama Taufik Adnan Amal untuk membuat Qur’an Edisi Kritis, yakni
Al-Qur’an edisi revisi. Luar biasa, bukan hanya terjemahnya yang hendak diubah,
tapi nash Arabnya. Bahkan ada pembeo mereka yang fanatik mengusulkan agar
segera dirampungkan supaya bisa dipakai untuk tadarusan Ramadhan mendatang.
Rupanya mereka berdiri sebagai penjawab tantangan Allah:
"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir." (al-Baqarah: 23-24)
Hal serupa pernah dilakukan oleh guru moyangnya ISLIB, Musailamah al-Kadzdzab yang hendak menandingi Al-Qur’an. Usaha ini telah ditempuh pula oleh para orientalis pendahulu ISLIB yang dengan susah payah mengumpulkan hingga 30.000 manuskrip
lembaran yang konon berisi ayat-ayat Al-Qur’an untuk membuktikan bahwa mushhaf Utsmani (yang kita baca hari ini) tidak layak diyakini keabsahannya. Namun Allah menggagalkan tipu daya busuk mereka. Disebutkan oleh Gerd-R Puin dalam "The Qur’an as text":
""Rencana Bergstrasser, Jeffery and Pretzl untuk mempersiapkan Quran edisi kritik tidak terwujud, dan kumpulan berbagai variannya yang diperoleh dari manuskrips lamanya telah hancur karena bom pada perang Dunia II.
Apa yang akan dilakukan oleh Taufik pun akan mengalami kegagalan. Abu Ubaid Al-Qasim berkata: "Usaha Utsman rdl mengumpulkan Al-Qur’an akan tetap dan senantiasa dijunjung tinggi, karena hal itu merupakan andilnya yang paling besar. Memang di kalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun kecacatan merekalah yang tersingkap dan maksud buruk merekalah yang akan terdedah." (Al-Jami’ lil Ahkam Al-Qur’an, Al-Qurthubi)
Semoga Allah segera menunjukkan belang mereka dan menjauhkan umat ini dari tipu daya iblis dan antek-anteknya.
"Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir." (al-Baqarah: 23-24)
Hal serupa pernah dilakukan oleh guru moyangnya ISLIB, Musailamah al-Kadzdzab yang hendak menandingi Al-Qur’an. Usaha ini telah ditempuh pula oleh para orientalis pendahulu ISLIB yang dengan susah payah mengumpulkan hingga 30.000 manuskrip
lembaran yang konon berisi ayat-ayat Al-Qur’an untuk membuktikan bahwa mushhaf Utsmani (yang kita baca hari ini) tidak layak diyakini keabsahannya. Namun Allah menggagalkan tipu daya busuk mereka. Disebutkan oleh Gerd-R Puin dalam "The Qur’an as text":
""Rencana Bergstrasser, Jeffery and Pretzl untuk mempersiapkan Quran edisi kritik tidak terwujud, dan kumpulan berbagai variannya yang diperoleh dari manuskrips lamanya telah hancur karena bom pada perang Dunia II.
Apa yang akan dilakukan oleh Taufik pun akan mengalami kegagalan. Abu Ubaid Al-Qasim berkata: "Usaha Utsman rdl mengumpulkan Al-Qur’an akan tetap dan senantiasa dijunjung tinggi, karena hal itu merupakan andilnya yang paling besar. Memang di kalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun kecacatan merekalah yang tersingkap dan maksud buruk merekalah yang akan terdedah." (Al-Jami’ lil Ahkam Al-Qur’an, Al-Qurthubi)
Semoga Allah segera menunjukkan belang mereka dan menjauhkan umat ini dari tipu daya iblis dan antek-anteknya.
Tiga Jurus Menyerang Al-Qur’an
Serangan terhadap Al-Qur’an
dilakukan oleh kaum orientalis dengan tiga jurus. Pertama, melalui jalur periwayatan,
kedua manggado-gadokan dengan penemuan manuskrip lama dan ketiga dengan
tafsiran dan kekuatan intelektual (menurut mereka).
Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris berkata: "Sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (Buletin of the Jahn Rylands Library Manchester, 1927, XI:77)
Perkataan tersebut diamini dan ditindaklanjuti oleh para tokoh Islam Liberal. Bandingkanlah dengan tulisan Luthfi Syaukani, dosen Universitas Paramadina di www.islamlib.com tanggal 17-11-2004 berjudul "Merenungkan Sejarah Al-Qur’an": "Sebagian besar kaum muslim meyakini bahwa al Quran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafzhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum muslim juga meyakini bahwa al Quran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal ad-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan al Quran sendiri sesungguhnya penuh dengan nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik dan rekayasa."
Sepantasnya kita jawab: "Ya...kaum muslim memang meyakini bahwa al Quran yang kita baca adalah al Quran yang diturunkan oleh Nabi, adapun kaum kafir, mereka tidak meyakininya."
Mereka mengotak-atik sesuatu yang telah baku dan menjadi ijma’ para ulama sejak dahulu. Target mereka adalah agar umat Islam ragu akan keabsahan dan orisinalitas mushaf al Quran yang berada di tangan mereka. Tetapi, untuk kesekian kali usaha mereka akan gagal, karena mereka sedang berhadapan dengan Allah yang berfirman:
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya."(al-Hijr: 9)
Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris berkata: "Sudah tiba saatnya untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (Buletin of the Jahn Rylands Library Manchester, 1927, XI:77)
Perkataan tersebut diamini dan ditindaklanjuti oleh para tokoh Islam Liberal. Bandingkanlah dengan tulisan Luthfi Syaukani, dosen Universitas Paramadina di www.islamlib.com tanggal 17-11-2004 berjudul "Merenungkan Sejarah Al-Qur’an": "Sebagian besar kaum muslim meyakini bahwa al Quran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafzhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum muslim juga meyakini bahwa al Quran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal ad-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan al Quran sendiri sesungguhnya penuh dengan nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik dan rekayasa."
Sepantasnya kita jawab: "Ya...kaum muslim memang meyakini bahwa al Quran yang kita baca adalah al Quran yang diturunkan oleh Nabi, adapun kaum kafir, mereka tidak meyakininya."
Mereka mengotak-atik sesuatu yang telah baku dan menjadi ijma’ para ulama sejak dahulu. Target mereka adalah agar umat Islam ragu akan keabsahan dan orisinalitas mushaf al Quran yang berada di tangan mereka. Tetapi, untuk kesekian kali usaha mereka akan gagal, karena mereka sedang berhadapan dengan Allah yang berfirman:
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya."(al-Hijr: 9)
Tafsir Hermeneutika, Usang yang Dianggap Modern
Mereka tidak hanya
mengobok-obok nash al Quran, tetapi juga merusak tafsirannya. Dengan dalih
mengedepankan ‘kemanusiaan’, beragama untuk manusia, maka tafsiran al Qur’an
harus ditinjau dari sisi kemanusiaan. Maka tafsirnya harus diambil dari
orang-orang yang (menurut mereka) ahli dalam urusan kemanusiaan. Siapa
tokoh-tokoh itu? Yakni Socrates, Plato, Arostoteles dan bahkan Karl Mark
yang nota bene atheis, ajiib..aneh! Tafsir al Quran yang suci diambil
dari seorang atheis, la haula walaa quwwata illa billah. Apakah mereka
mengira orang-orang kafir itu lebih manusiawi dari para sahabat Nabi? Lebih
manusiawi dari Nabi saw? Bahkan dari Allah l, sehingga tafsir ayat dengan
ayat, tafsir ayat dengan hadits dan tafsir dengan pendapat para sahabat yang
menjadi pakem ulama salaf tidak dipakai?
Mereka juga menggembar-gemborkan tafsir model hermeunetika. Cara tafsir usang yang dianggap modern. Istilah ini berasal dari kata ‘hermen’ nama seseorang yang dalam mitologi Yunani bertugas menyampaikan dan menafsirkan pesan-pesan dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. (Fx. Muji Sutrisno F. Budi Hardiman, 1992:74)
Pada akhirnya istilah hermeneutika berubah menjadi makna teologi. Hal itu bermula ketika para teolog Yahudi dan Kristen menghadapi sejumlah masalah yang berhubungan dengan teks-teks kitab suci mereka yang saling kontradiksi satu sama lain. Encyclopedia Britannia menyebutkan bahwa tujuan utama hermeneutika bagi mereka tidak lain untuk mencari nilai kebenaran Bibel. Karena Bibel ditulis oleh beberapa penulis seperti Markus, Matius, Lukas dan Yahya. Mereka mengakui juga bahwa dalam keempat injil tersebut memang terdapat banyak pertentangan. Lalu para teolog menggunakan teori hermeneutika untak memahaminya.
Nah, para orientalis termasuk liberal menginginkan al Quran bernasib sama, atau dianggap sama dengan Bibel. Dengan semangat inilah penganut liberal sampai pada kesimpulan al Quran adalah produk lokal, atau ‘produk bersama’ dan lain-lain.
Akankah kita berdiam diri terhadap serangan yang dilancarkan mulut-mulut kotor itu? Inilah ajang untuk menunjukkan, siapakah mereka yang berani membela Allah. Wallahu waliyut taufiq
(Abu Umar Abdillah)
Referensi:
www.islamlib.com
Ahlul Bida’ Menggugat Otoritas Mushaf Utsmani dan Tafsir Qath’I, DR. Ugi Suharto (Asisten Profesor di ISTAC Malaysia), disampaikan pada acara Seminar Nasional bertajuk "Pemikiran Islam Muhammadiyah: Respon Terhadap Fenomena Liberalisme Islam", di UMS tanggal 1-2 Maret 2004.
Antara Hermeneutika dan Bibel, Adian Husaini M.A dan lain-lain
Sumber Majalah : Ar-Risalah -No.34 / Th. 3 shafar 1425 H / April 2004 M
Mereka juga menggembar-gemborkan tafsir model hermeunetika. Cara tafsir usang yang dianggap modern. Istilah ini berasal dari kata ‘hermen’ nama seseorang yang dalam mitologi Yunani bertugas menyampaikan dan menafsirkan pesan-pesan dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. (Fx. Muji Sutrisno F. Budi Hardiman, 1992:74)
Pada akhirnya istilah hermeneutika berubah menjadi makna teologi. Hal itu bermula ketika para teolog Yahudi dan Kristen menghadapi sejumlah masalah yang berhubungan dengan teks-teks kitab suci mereka yang saling kontradiksi satu sama lain. Encyclopedia Britannia menyebutkan bahwa tujuan utama hermeneutika bagi mereka tidak lain untuk mencari nilai kebenaran Bibel. Karena Bibel ditulis oleh beberapa penulis seperti Markus, Matius, Lukas dan Yahya. Mereka mengakui juga bahwa dalam keempat injil tersebut memang terdapat banyak pertentangan. Lalu para teolog menggunakan teori hermeneutika untak memahaminya.
Nah, para orientalis termasuk liberal menginginkan al Quran bernasib sama, atau dianggap sama dengan Bibel. Dengan semangat inilah penganut liberal sampai pada kesimpulan al Quran adalah produk lokal, atau ‘produk bersama’ dan lain-lain.
Akankah kita berdiam diri terhadap serangan yang dilancarkan mulut-mulut kotor itu? Inilah ajang untuk menunjukkan, siapakah mereka yang berani membela Allah. Wallahu waliyut taufiq
(Abu Umar Abdillah)
Referensi:
www.islamlib.com
Ahlul Bida’ Menggugat Otoritas Mushaf Utsmani dan Tafsir Qath’I, DR. Ugi Suharto (Asisten Profesor di ISTAC Malaysia), disampaikan pada acara Seminar Nasional bertajuk "Pemikiran Islam Muhammadiyah: Respon Terhadap Fenomena Liberalisme Islam", di UMS tanggal 1-2 Maret 2004.
Antara Hermeneutika dan Bibel, Adian Husaini M.A dan lain-lain
Sumber Majalah : Ar-Risalah -No.34 / Th. 3 shafar 1425 H / April 2004 M
Dalang Dibalik Gerakan Islam Liberal di Berbagai Negeri Muslim
Saat Ini
Counter Liberalisme Oleh : Redaksi 23 Aug 2004 - 10:33 am
Khalif Mu'ammar
Gerakan liberalisasi pemikiran Islam yang marak akhir-akhir ini (bahkan di Jakarta mereka membentuk JIL = Jaringan Islam Liberal), sebenarnya lebih berunsur pengaruh eksternal ketimbang perkembangan alami dari dalam tradisi pemikiran Islam sendiri. Leornard Binder, diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannya pada era 80-an, telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Dalam buku tersebut ia menjelaskan premis dan titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebar luaskan. Selain rational discourse yang merupakan tonggak utamanya, gerakan ternyata tidak lebih daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan Liberal ala Barat (AS dan Eropa). Antek Yahudi dan Barat bentuk lainnya?
Pengaruh eksternal itu dengan mudah dapat ditelusur dari trend pemikiran liberal di Barat dan dalam tradisi keagamaan Kristen. Leornard Binder, diantara sarjana Barat keturunan Yahudi yang bertanggungjawab mencetuskan pergerakan Islam liberal dan mengorbitkannnya pada era 80-an, telah memerinci agenda-agenda penting Islam Liberal dalam bukunya Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Dalam buku tersebut ia menjelaskan premis dan titik tolak perlunya pergerakan Islam Liberal didukung dan di sebar luaskan. Selain rational discourse yang merupakan tonggak utamaya, gerakan ternyata tidak lebih daripada alat untuk mencapai tujuan politik yaitu menciptakan pemerintahan liberal. Binder menjelaskan: “ Liberal government is the product of a continuous process of rational discourse…. Political Liberalism in this sense, is indivisible. It will either prevail worldwide, or it will have to be defended by nondiscursive action .” (Leonard Binder, 1988) Fakta ini didukung oleh seorang lagi penulis dan pendukung Islam Liberal, Greg Barton, dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Barton menggariskan prinsip dasar yang dipegang oleh kelompok Islam liberal yaitu: (a) Pentingnya kontekstualisasi ijtihad; (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan (agama); (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama; (d) Pemisahan agama dari parti politik dan kedudukan negara yang nonsektarian. (Greg Barton, 1999)
Liberalisme dan ‘Fundamentalisme'
Sebagaimana watak pemikiran postmodernis yang selalu mengkaitkan permikiran dengan kekuasaan, gerakan Islam liberal nampaknya tidak jauh dari trend itu. Maka dari itu dalam pemikiran Islam liberal, politik adalah salah satu agenda terpenting. Terbukti ketika pemikiran Islam liberal memulai gerakannya apa yang menjadi concern utamanya adalah membendung kekuatan arus pemikiran yang dinamakan ‘fundamentalis'. Cara-cara gerakan ini menghadang kelompok ini lebih cenderung frontal dan konfrontatif daripada persuasive. Tokoh-tokoh pemikir liberal di kalangan masyarakat Muslim, seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Fatimah Mernisi, Aminah Wadud, Arkoun, al-Jabiri, Abdullah al-Naim dll, muncul dengan ide-ide yang secara mencurigakan menyerang pemikiran mainstream ummat Islam . Pandangan-pandangan mereka terhadap kelompok muslim kaffah yang mereka anggap fundamentalis lebih keras daripada kritik mereka terhadap Barat. Juga karena ide pluralisme agama kritik mereka terhadap Islam dan ummat Islam lebih keras daripada kritik mereka terhadap agama lain. Gejala ini perlu dicermati dengan seksama.
Perkataan fundamentalisme muncul pertama kali pada tahun 1920 oleh Curtis Lee Laws dengan merujuk kepada golongan Kristen, American Protestant , yang menentang modernisme dan liberalisme khususnya Darwinisme. Fanatisme mereka terhadap Christianity dan penentangan terhadap pembaharuan ini menjadi ciri utama fundamentalisme golongan Kristian tersebut. Oleh karena itu, istilah fundamentalis ini sinonim dengan fanatik, ekstrimis, dan militant. Maka perkataan tersebut membawa konotasi yang negatif, dan memberi makna yang mencemooh dan memojokkan.
Penggunaan Istilah tersebut dalam Islam muncul dan menjadi popular setelah terjadi revolusi Iran, yaitu sebutan yang merujuk kepada aktifis militan golongan Shi'ah di Iran, yang memprotes segala aktivitas Barat dan mempromosikan penentangan terhadap Barat dan kepentingan Barat. Bahkan kemudia fundamentalisme dikaitkan dengan aksi-aksi terrorisme. Menurut James Veitch istilah fundamentalisme telah digunakan dengan sewenang-wenangnya oleh media Barat dan penulis-penulis Barat sehingga tidak hanya melingkupi golongan radikal dan ekstrim tetapi juga golongan yang dinamakan reformis atau revivalis. (James Veitch, 1993)
Senada dengan James, Khurshid Ahmad menyangkal dimasukkanya gerakan revivalis kedalam kategori Fundamentalis, fanatik dan militan. Karena gerakan-gerakan tersebut tidak bersifat demikian. Beliau menjelaskan:
The West has failed to see the strength and potential of the Islamic movement. It has chosen to dub it as fundamentalist, as fanatic, as anti- Western, as anachronistic…Nothing could be farther from the truth. It appears that the West is once again committing the fatal mistake of looking upon others as belonging to a different paradigm, from the prism of its own distorted categories of thought and history. (Khurshid Ahmad. “The Nature of the Islamic Resurgence”, ed. John L. Esposito, Voices of Resuregent Islam , 225).
Richard Nixon Bekas presiden Amerika telah menulis sebuah buku yang berjudul Seize the Moment . Buku ini menjadi rujukan utama dalam menentukan dasar kebijaksanaan Luar negeri Amerika. Dalam buku tersebut Nixon memberikan lima kreteria seorang fundamentalis Muslim. Pertama: Orang yang membenci Barat. Kedua: orang yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dan negara. Ketiga: orang yang ingin melaksanakan Syari'at Islam. Keempat: orang yang ingin membina kembali peradaban Islam. Kelima orang yang beranggapan bahwa penyelesaian bagi Umat Islam adalah dengan kembali kepada masa lampau (ajaran Islam yang benar).
Mafhum mukhalafah dari kriteria ini jelas bahwa orang yang tidak fundamentalis bagi Barat adalah orang Islam yang meninggalkan syariat Islam, tidak concern dengan masalah umat Islam, dan tidak bercita-cita membangun kembali kegemilangan Islam. Jadi sejatinya yang menjadi ancaman bagi Barat bukan Muslim “fundamentalis”, tapi kebangkitan Islam itu sendiri.
Sekularisasi dan Depolitisasi Islam
Di Barat, sekularisme, modernisme dan liberalisme berjalan seiring. Ketiga-tiga pemikiran ini adalah solusi bagi masyarakat Barat untuk maju dan modern. Itu disebabkan, mereka telah menderita akibat pemerintahan kuku besi Gereja yang telah membunuh sekitar 430.000 orang dan membakar hidup-hidup sekitar 32.000 orang atas alasan menentang kehendak tuhan. Galileo, Bruno dan Copernicus adalah diantara saintis-saintis yang malang karena melontarkan idea yang bertentangan dengan idea Gereja yang kononnya berasal daripada Tuhan.
Untuk melestarikan kekuasaannya, gereja membentuk satu institusi pengadilan yang dikenal paling brutal di dunia, yaitu Mahkamah Inkuisisi. Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today's World, (1991:456) menyatakan: “ Most of us would agree that one of the most evil of all Christian institutions was the Inquisition, which was an instrument of terror in the Catholic Church until the end of seventeenth century.” Despotisme Gereja ini mengakibatkan pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja. Konflik tersebut berakhir dengan kemenangan bagi filsafat dan Sains.
Sudah menjadi sunnatullah aksi yang kuat akan menghasilkan reaksi yang kuat, setelah kekuasaan berada pada filsafat dan Sains, maka agama (Kristen) kemudian menjadi korban tekanan dan pembatasan. Pemikiran sekularisme, modernisme dan liberalisme ternyata adalah obat yang mujarrab yang telah berhasil membawa masyarakat Barat dari era kegelapan ( the dark age ) ke era kebangkitan ( renaissance ) dan kemajuan.
Persoalannya adalah apakah konsep-konsep sekularisme, modernisme, liberalisme dari Barat itu dapat dipakai untuk menyembuhkan penyakit umat Islam? Jawabnya tentu negatif, sebab penyakit yang diderita Umat Islam amat berbeda dari penyakit yang diderita masyarakat Barat. Umat Islam tidak pernah mengalami pemerintahan kuku besi yang dilakukan oleh ‘clergy'; ulama tidak pernah memerintah dan tidak berambisi memerintah. Sebab, Islam tidak mengenal “institusi gereja” yang mengaku mendapatkan mandat dari Tuhan untuk berkuasa.
Ternyata, konsep-konsep sekularisasi dan liberalisasi itu berdampak pada penelanjangan politik (depolitisasi) ummat Islam. Dan ini telah dilakukan sejak awal abad keduapuluhan yaitu bersamaan dengan kejatuhan Khilafah Uthmaniyyah (1924). Pada tahun tahun ini muncul beberapa tokoh kontroversi seperti Kamal Attaturk di Turki yang telah bertanggungjawab menghapuskan Khilafah Utmaniyyah dan menggantikannya dengan negara sekular. Secara intelektual, muncul nama ‘Ali ‘Abd al-Raziq di Mesir, seorang qadi Shar'i yang mendapat Ijazah doktor di London dengan bimbingan T.W. Arnold, seorang orientalis terkenal. ‘Ali ‘Abd al-Raziq mungkin sarjana Muslim yang pertama yang mendukung penghapusan Khilafah . Menurutnya, Islam dan Rasulullah SAW sendiri memisahkan antara agama dengan politik. Karena itu, sistem Khilafah adalah ciptaan manusia: pemerintah dan kerajaan pada masa itu yang menjustifikasikan pemerintahan mereka dengan memperalat agama (‘Ali Abdul Raziq, tt. Al-Islam wa Usul al-Hukm ). Sebaliknya Islam hendaknya hanya dilihat dari sisi kerohaniannya saja ( spirituality ) yang tidak memerlukan kekuasaan dan percaturan politik. (Buku ‘Ali Abdul Raziq mendapat tentangan yang hebat daripada kebanyakan ulama pada masa itu, berpuluh-puluh buku telah ditulis untuk menjawab buku tersebut diantaranya buku-buku yang ditulis oleh: Muhammad Bakhit al-Mutii, Muhammad Khadr Husayn, Diya al-Din al-Rayyis dan lain-lain).
Setelah ‘Ali ‘Abd al-Raziq, muncullah kemudian orang-orang yang lebih berani lagi mempersoalkan masalah-masalah pokok dalam Islam dengan kritikan terhadap ajaran Islam, institusi Ulama, dan Rasulullah SAW. Golongan ini di Mesir lebih dikenali dengan golongan al-‘almaniyyun (sekularis).
Ketika terjadi perdebatan tentang penegakan hukum Islam di negara-negara Islam kelompok Islam liberal adalah golongan yang paling lantang menentangnya. Faraj Fawdah, salah seorang dari mereka mengatakan bahwa “melaksanakan Shari‘at Islam adalah bermakna menegakkan negara theokrasi, negara yang diperintah oleh golongan agama ( rijal al-Din ) yang memerintah atas nama Tuhan”. Wahid Ra'fat menambahkan, orang-orang yang ingin menegakkan Shari‘at sebenarnya ingin menjadi golongan kahanah ( clergy ), institusi yang mewakili Tuhan dan berkuasa penuh menentukan kehidupan manusia, sebab mereka saja yang akan mempunyai hak untuk menafsirkan Shari‘ah. Muhammad Sa‘id al-‘Ashmawi menolak campurtangan Islam dalam politik, ini karena al-Qur'an tidak pernah membincangkan pemerintahan atau menjelaskan bentuknya. Ashmawi juga mengatakan bahwa orang Islam yang menyeru penegakan hukum Islam sebenarnya tidak mengetahui apa yang dimaksudkan dengan hukum Islam. Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa apa yang diperjuangkan oleh Mawdudi adalah pentafsiran beliau sendiri terhadap agama dan Shari‘at, dan bukannnya Islam ataupun Shari‘at Islam. Sebab, menurut Engineer, tidak ada definisi yang disepakati apa yang dimaksudkan dengan Shari‘ah. Asghar berkesimpulan bahwa negara yang ingin ditubuhkan oleh Mawdudi adalah negara theokrasi dan authoritarian, dimana golongan agama akan memerintah dengan kuku besi (Untuk jawaban yang lebih terperinci terhadap kritikan Asghar ‘Ali Engineer dan Nasr Hamid Abu Zaid lihat Thesis Master penulis yang tidak diterbitkan bertajuk The Concept of al-Hakimiyyah (the Sovereignty of God ) in Contemporary Islamic Political Thought . ISTAC, UIAM, 2003) :
Mawlana Mawdudi tries to explain the necessity for an Islamic state. He says that according to the Qur'an God is the Master of the world..Mawdudi maintains that over His own creation, over His own world, no one else has any right to rule; it will be fundamentally wrong. …We have already seen that even on matters of Shari‘ah there is no unanimity of opinion. It would therefore be very difficult to maintain that this is the meaning of the Qur'anic injunction and hence the Islamic state law in its light has to be so framed. Then there are those Muslim thinkers like Mawlana Azad who feel, not without justification from the Qur'an itself, that the Shari‘ah is not an integral part of the religious faith i.e. Din. If it is so one can hardly maintain that the Islamic state has to be based on Shari‘ah and that God's rule means enforcing Islamic Shari‘ah as formulated in the early Islamic period. And this is exactly what Mawlana Mawdudi means when he talks of God's rule being established on earth. God's rule in that case would mean Islamic Shari‘ah as formulated by Imam Abu Hanifah and as interpreted by Mawdudi or his lieutenants. In fact Mawdudi's approach is so rigid and his attitude so authoritarian that any state founded on his ideas would be a medieval dictatorship. (Asghar Ali Engineer, The Islamic State, 134-135).
Tudingan-tudingan kaum liberal seperti itu bisa dipahami dalam perspektif, bahwa mereka memang menjadi kepanjangan tangan Barat untuk menjalankan agenda Barat terhadap dunia Islam. Sebab, bagi Barat yang imperialistik, Islam – aqidah dan syariahnya — dipandang sebagai ancaman. Jika aqidah dan syariah Islam tegak di muka bumi, maka ideologi, pemikiran, sistem hukum, dan dominasi ekonomi Barat, otomatis akan goncang. Karena itulah, Barat mau membangun pusat-pusat studi Islam yang canggih dan membiayai sarjana-sarjana Muslim menimba ilmu di sana. Barat juga bersemangat membiayai kelompok-kelompok liberal Islam, di mana pun berada. Untuk apa? Jelas niat utamanya adalah untuk mengokohkan hegemoni mereka. Namun, itu adalah urusan Barat. Yang lebih penting adalah bagaimana kaum Muslim memahami agenda-agenda Barat dan kaum liberal pro-Barat, agar tidak terkecoh dan terjebak oleh agenda-agenda imperialis itu. Biasanya, mereka pintar membuat jargon-jargon dan istilah-istilah yang indah, yang seolah-olah untuk memajukan Islam. Padahal, justru menikam dari dalam dan meruntuhkan bangunan Islam itu sendiri. Namun, kita tidak perlu apriori dengan Barat, tetapi harus lebih cerdik dan lebih pintar dari Barat. Berbagai kemajuan yang dicapai Barat perlu dipelajari dengan sikap kritis, tanpa perlu membebek terhadap ideologi dan cara berpikir yang materialistik, sekularistik, liberalistik, dan hedonistik. Wallahu a'lam . nisa@yahoo.com
Oleh : Khalif Mu'ammar Penulis artikel ini adalah mahasiswa PhD ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, Malaysia. Tulisan diambil dari INSISTNET.COM
MICHAIL HUDA, adalah nama pena dari M.Huda, lahir di kota tahu yang indah, 15
maret , 23 tahun silam. Sudah terbiasa menulis sejak duduk dibangku tsanawiyah,
bahkan saat duduk di tingkat aliyah menjadi anggota jurnalis sekolah. Belajar
menulis secara otodidak menjadikan tulisannya sudah dimuat dibeberapa media
masa.
Saat
ini masih duduk di semester 8 di IAIT Kediri, dan sudah siap-siap mengikuti sidang
ujian skripsi. Pernah menjadi wartawan Koran rakyat Jakarta di kediri selama
setahun, pernah ikut membantu menjadi pengajar di beberapa madrasah.
Bujang yang hobi shoping buku
ini memang gila baca sejak kecil, bahkan di rumahnya kini berjejer buku-buku
dari berbagai disiplin ilmu, namun cerita fiksi juga tak ketinggalan dilahap.
Bahkan cerpen-cerpen yang ditulisnya pernah menghiasi bulletin kosmada
sewaktu menjadi pimred bulletin di
program PGSD/MI di kampus yang sama.
Bercita-cita memiliki perpustakaan
sendiri yang menampung berbagai buku disiplin ilmu, memang sering mengumpulkan
tulisan-tulisan dari berbagai media dengan bendel sederhana. Penyuka traveling
ini juga pernah menjadi pimred di El Fath, mingguan yang diterbitkan yapista.
Pernah bergabung dengan Bumi Putra syariah namun tidak tahan dengan system
kerjanya, lalu keluar dan melanjutkan kegiatan memabca dan menulisnya, di
sela-sela kegiatan mengajarnya.
Beberapa buku yang diterbitkan
secara independent akan segera dilahirkan, menyusul dua buku yang sudah di
lahirkan ke dunia. Kendati demikian obsesi terbesarnya adalah menjadi seorang
penulis dan semua orang bisa menikmati buku-buku secara murah dan mudah. Karena
saat ini harga buku-buku hanya bisa dijangkau mereka yang berduit, dan budaya
membaca memang sangat jauh menajdi kebiasaan generasi muda islam.
Bersama beberapa teman satu geng
pernah mendirikan YeARCE, semacam LSM
bidang pendidikan yang konsen pada penelaah buku-buku ajar, dan membantu
mendistribusikan buku-buku layak baca bagi mereka yang tidak mampu. Kedepannya
ingin memilikii penerbitan sendiri yang konsen untuk membantu mereka yang ingin
menjadi penulis-penulis muda berbakat dan selalu berjuang untuk agama Allah.