Soetandyo Wignjosoebroto
Membicarakan hubungan antara negara dan masyarakat pada
hakikatnya adalah membicarakan suatu hubungan kekuasaan, ialah antara
yang berkekuasaan (pemerintah) dan yang dikuasai (warga). Dalam banyak
pembicaraan, ‘negara’ — yang terpersonifikasi dalam rupa para pejabat
penyelenggara kekuasaan negara (yang lebih populer disebut
‘pemerintah’, baik yang berkedudukan dalam jajaran yang sipil maupun
yang militer – itulah yang sering diidentifikasi sebagai sang
penguasa. Sementara itu, yang seringkali hendak diidentifikasi sebagai
pihak yang dikuasai tidaklah lain daripada si ‘masyarakat’, atau
tepatnya para ‘warga masyarakat’ (yang dalam banyak perbincangan
sehari-hari disebut ‘rakyat’). Hubungan akan disebut demokratik apabila
kebebasan warga masyarakat akan lebih dominan daripada kekuasaan para
pejabat pengemban kekuasaan negara, sedangkan hubungan akan disebut
totaliter apabila kekuasaan di tangan para pejabat pengemban kekuasaan
negara tersimak lebih dominan daripada kebebasan warga masyarakat, (yang
dalam kapasitasnya sebagai aktor politik disebut ‘warga negara’)..Mengkonsepkan negara casu quo para pejabatnya sebagai pihak yang berkekuasaan, dan mengkonsepkan warga masyarakat sebagai pihak yang berstatus dikuasai, memang tak dapat disalahkan begitu saja. Berabad-abad lamanya di manapun di seantero bumi ini kenyataan sejarah memang tersimak dan tercatat seperti itu, yang lebih memenuhi model hubungan yang totaliter daripada model hubungan yang demokratik. Dalam konsepnya yang klasik, para penguasa selalu mengklaim dirinya sebagai makhluk-makhluk khusus yang memperoleh kekuasaannya dari sumber-sumber kekuasaan yang supranatural. Akan tetapi perubahan konsep yang berlangsung sepanjang sejarah perkembangan pemikiran dan praktik politik di negeri-negeri Barat (tepatnya ‘negeri-negeri yang dulu terbilang kawasan Katolik Barat’), berhasil membalikkan konsep itu.
Sudah pada pada awal abad 19, ialah seusainya perang-perang Eropa yang dikobarkan oleh Napoleon pada peraliahan abad, di negeri-negeri Barat – yang kemudian disusul juga di negeri-negeri koloninya – konsep baru tentang hubungan kekuasaan antara (para pejabat) negara dan (warga) masyarakatnya mulai dicoba dipraktikkan. Inilah konsep baru dalam budaya politik yang dikenal – atau diperkenalkan kembali – di Amerika dan Perancis, ialah demokrasi yang bertandem dengan konsep komplementernya tentang eksistensi kodrati manusia sebagai penyandang hak-hak yang paling asasi. Hak-hak asasi ini dipahamkan sebagai seperangkat hak yang melekat secara kodrati pada diri setiap makhluk yang bersosok manusia, dan a contrario bukan sekali-kali berasal dari pemberian para penguasa manapun.
Konsep demokrasi — yang secara harafiah bermakna bahwa rakyat (demos) itulah yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi (kratein) – berkonsekuensi logis pada konsep bahwa sejak dalam statusnya yang di alam kodrati, sampaipun ke statusnya sebagai warga negara, manusia-manusia itu memiliki hak-hak yang karena sifatnya yang asasi tidak akan mungkin diambil-alih, diingkari dan/atau dilanggar (inalienable, inderogable, inviolable) oleh sesiapapun yang tengah berkuasa. Bahkan, para penguasa itulah yang harus dipandang sebagai pejabat-pejabat yang memperoleh kekuasaannya yang sah karena mandat para warga negara melalui suatu kontrak publik, suatu perjanjian luhur bangsa yang seluruh substansi kontraktualnya akan diwujudkan dalam bentuk konstitusi.
Dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang modern, tak pelak lagi yang umumnya hendak diturut di dalam ihwal hubungan kekuasaan antara negara dan masyarakat bukan lagi model klasik-otokratik (yang nyatanya telah kian kehilangan kepopulerannya) itu. Alih-alih, sepanjang sejarah dalam dua abad terakhir ini hubungan itu kian digeserkan ke model yang demokratik, dengan keyakinan bahwa bukan kekuasaan negara itu yang bersifat kodrati, melainkan hak-hak manusia individual warga negara itulah yang asasi dan asali.. Adalah proposisi paradigmatic model demokratik ini bahwasanya seluruh kekuasaan para pejabat negara itu adalah dan hanyalah derivat saja dari hak-hak asasi manusia warganya, yang oleh sebab itu haruslah diterima sebagai sesuatu yang limitatif sifatnya.
Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) : Sebuah Konsep Sine Qua Non Tentang
Hak-Hak Rakyat Dalam Kehidupan Bernegara Yang Demokratik
Hak-hak asasi manusia (HAM) — atau sebenarnya tepatnya harus disebut dengan istilah ‘hak-hak manusia’ (human rights) begitu saja — adalah hak-hak yang (seharusnya) diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Dikatakan ‘universal’ karena hak-hak ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, kohort usianya, latarbelakang kultural dan pula agama atau kepercayaan spiritualitasnya. Sementara itu dikatakan ‘melekat’ atau ‘inheren’ karena hak-hak itu dimiliki sesiapapun yang manusia berkat kodrat kelahirannya sebagai manusia dan bukan karena pemberian oleh suatu organisasi kekuasaan manapun. Karena dikatakan ‘melekat’ itu pulalah maka pada dasarnya hak-hak ini tidak sesaatpun boleh dirampas atau dicabut.
Pengakuan atas adanya hak-hak manusia yang asasi memberikan jaminan – secara moral maupun demi hukum — kepada setiap manusia untuk menikmati kebebasan dari segala bentuk perhambaan, penindasan, perampasan, penganiayaan atau perlakuan apapun lainnya yang menyebabkan manusia itu tak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan Allah. Berabad-abad lamanya manusia dalam jumlah massal hidup dalam keadaan tak diakui hak-haknya yang asasi demikian itu. Jutaan manusia dalam sejarah hidup dalam kedudukannya yang rendah sebagai ulur-ulur atau hamba-hamba. Banyak pula yang bahkan harus hidup sebagai budak-budak tawanan yang dapat diperjualbelikan oleh “para Gusti” yang mengklaim kekuasaannya sebagai kekuasaan yang berlegitimasi supranatural. Dalam keadaan seperti itu, berabad-abad lamanya manusia di banyak negeri, dalam jumlah massal, harus hidup dalam kondisi yang amat tak bermartabat, tidak mempunyai harta milik sebagai bekal hidup yang layak, dan bahkan tidak memiliki diri dan kepribadiannya sendiri.
Telah sejelas itu konsep dasar mengenai apa yang pada asasnya harus dimaksudkan dengan hak-hak manusia yang asasi serta apa pula yang mesti dimaksudkan dengan pengingkaran dan pelanggarannya, ternyata tak sejelas itu definisi mengenai batas-batas ruang lingkupnya. Wacana mengenai batas-batas ruang lingkupnya sampaipun kini masih terus berlangsung, seiring sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia itu sendiri dalam kebutuhannya yang tak kunjung berakhir untuk memperoleh imbangan yang jelas, namun juga luwes, antara kekuasaan atau kewenangan para pengelola pemerintahan dan kebebasan rakyat atau warga yang mengklaim dirinya sebagai sumber kedaulatan. Wacana menghasilkan berbagai kategori hak, baik menurut bidang substantifnya (seperti hak kebebasan warga dan hak untuk berpolitik, yang kedua-duanya terbilang hak-hak yang klasik dari generasi pertama, dan hak-hak ekonomi, sosial dan kultural, yang ketiganya terbilang hak-hak dari generasi kedua), maupun menurut kriteria kaum pengembannya (seperti misalanya hak-hak perempuan, hak-hak anak, hak-hak kaum minoritas dan/atau hak-hak penderita cacat).
Sementara itu, wacana juga berkembang berkenaan dengan apa yang harus dipahamkan bersama mengenai peran dan batas-batas peran serta kewenangan negara di hadapan hak-hak asasi rakyatnya. Di tengah eforia pengakuan akan sakralnya hak-hak sipil warga mengenai kebebasannya dan hak-hak mereka untuk secara bebas pula berpartisipasi dalam setiap proses politik, kewenangan para pejabat negara dalam pengawasan ketertiban kehidupan dikonstitusikan dalam jumlahnya yang minimum, sedangkan hak kebebasan wangsa dijaga pada tarafnya yang maksimum. Namun, dalam perkembangannya yang kemudian, tatkala hak-hak warga untuk berkebebasan dan berpolitik ternyata tidak menjamin terwujudnya hak-hak di bidang ekonomi, sosial dan budaya, kewenangan negara untuk lebih bertindak proaktif menjadi bisa diterima. Kalaupun tetap harus hands-off dalam persoalan menjaga hak kebebasan dan hak berpolitik para warga negara, negara kini bisa bekerja dengan kewenangan yang bisa dibenarkan untuk bertindak proaktif guna menciptakan situasi yang lebih kondusif bagi setiap manusia di bumi ini untuk merealisasi hak-haknya guna mengoptimalakan kesejahteraannya di bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Perkembangan Dalam Sejarah Tentang Konsep Terbatasnya Kekuasaan:
Batas Kekuasaan Raja di Hadapan Para Bangsawan
Apa yang disebut hak-hak asasi manusia ini adalah sebuah konsep yang mempunyai riwayat lama yang panjang, terolah dan tersempurnakan dalam — dan merupakan bagian dari — sejarah sosial-politik bangsa-bangsa dunia. Kalaupun kini ini konsep dan masalah hak-hak asasi manusia tersebut telah merupakan wacana dan isu global, haruslah dibenarkan bahwa menilik riwayatnya konsep ini berkecambah dan berkembang pada awal-mulanya di negeri-negeri Barat. Pada awalnya, yang dipersoalkan adalah batas-batas kekuasaan para raja dan para ulama gereja yang masing-masing mengklaim bahwa kekuasaannya bersifat mutlak dan segala titah-titahnya bersifat universal, mengikat sesiapapun namun tak pernah akan mengikat dirinya sendiri. Konflik memperebutkan kekuasaan tertinggi dalam penataan tertib dunia ini terjadi antara Paus Gregorius VII dan Kaisar Heinrich IV dari Sachsen (yang berakhir pada tahun 1122), yang dalam riwayatnya melahirkan untuk pertama kalinya konsep the rule of law untuk menggantikan the rule of man (kalaupun yang namanya the man ini adalah paus atau kaisar)..
Dalam konsep rule of law — yang memberikan status tertinggi kepada segala bentuk hukum yang dihasilkan oleh kesepakatan (the supreme lawstate) antar-pihak – ini tak seorangpun boleh mengingkari berlakunya hukum yang terlahir dari perjanjian dan kesepakatan pihak-pihak. Setinggi apapun kedudukannya dan sebesar apapun kekuasaannya, para pihak yang telah menyepakatkan berlakunya hukum tidaklah lagi punya kuasa untuk mengingkari berlakunya hukum yang semula telah disepakati itu. Di sini sang pembentuk atau pembuat hukum akan terikat oleh hukum yang telah ia buatnya itu. Maka, dalam konsep, hukum lalu seperti mempunyai kehidupannya sendiri, terobjektivisasi dan kemudian daripada itu juga tidak lagi berada di ranah subjektivitas para pembuatnya. Dikisahkan dari sejarah masa itu, untuk mengakhiri konflik-konfliknya, Paus dan Raja — yang telah mensepakatkan ruang lingkup yurisdiksi masing-masing (ialah antara mana yang terbilang hukum gereja dan mana yang terbilang hukum raja) — tidaklah lagi dapat berbuat semaunya untuk mengubah-ubah begitu saja aturan-aturan yang telah dibuatnya. Sekalipun aturan yang ia buat dan akan ubah itu termasuk dalam yurisdiksinya, tidaklah Paus itu bebas membuat perubahan tanpa persetujuan pihak Raja. Demikian sebaliknya.
Konsep law sebagai hasil kesepakatan — yang serta merta lalu berstatus (>state, staat) supremasi — ini terwujud kembali untuk menyelesaikan konflik kekuasaan, kali ini antara Raja John I dari Inggris dengan para baron yang beraliansi. Kesepakatan dicapai di Runnymede pada tahun 1215, yang hasil-hasilnya dituangkan ke dalam suatu piagam atau charter yang di namakan Magna Carta yang di kemudian hari dibilangkan sebagai suatu konstitusi yang berfungsi membatasi kekuasaan Raja. Magna Carta lahir karena desakan para bangsawan terhadap Raja yang di satu pihak secara semaunya menariki pajak dan di lain pihak mengucilkan para bangsawan ini dari kemungkinannya ikut serta dalam pemerintahan. Lebih lanjut, Magna Carta ini juga dimaksudkan untuk menjamin hak-hak feodal para baron, dan pula menjamin dihormati dan dilindunginya kelestarian berbagai hak, tidak hanya yang tegak atas dasar tradisi gereja akan tetapi juga yang berlaku sebagai tradisi para freemen yang berstatus sebagai warga kota (citesein> citizen).
Kalaupun mempunyai riwayat sebagai hasil tindakan kaum konservatif untuk melindungi hak-hak feodal, namun — karena juga memuat apa yang disebut habeas corpus (ialah aturan yang melarang penahanan tanpa batas) dan peradilan juri – Magna Carta ini kini ini telah diakui sebagai pendahulu yang merintiskan dibukanya jalan sejarah menuju apa yang kini disebut konstitusi. Ialah terlembagakannya suatu undang-undang yang secara mendasar dikonfigurasi berdasarakan prinsip bahwa kekuasaan pengemban kekuasaan negara itu sungguh terbatas karena harus selalu dikontrol oleh rakyat yang berdaulat dan yang karena itu juga merupakan subjek-subjek pengemban hak-hak manusia yang asasi. Itulah hak-hak kodrat yang tak bisa dcabut (inderogable) atau untuk dialihkan (inalienable) dan tak bisa pula
Perkembangan Dalam Sejarah Tentang Konsep Terbatasnya Kekuasaan:
Pembatasan Kekuasaan Para Penguasa di Hadapan Manusia Warga Negara
Kalaupun kini ini konsep dan masalah hak-hak manusia yang asasi itu telah berkenaan dengan berbagai kepentingan dalam berbagai bidang kehidupan, baik yang umum maupun yang dirasakan khusus oleh kaum tertentu, pada awal perkembangannya konsep dasarnya dibataskan pada hak-hak yang berkenaan dengan kebebasannya sebagai warga negara. Di sini, pada awal perkembangannya, apa yang disebut hak-hak asasi manusia itu merupakan produk pergulatan pemikiran dan perubahan-perubahan yang ditimbulkannya dalam perikehidupan sosial-politik. Konsep mengenai hak-hak manusia ini benar-benar merefleksikan dinamika sosial-politik dalam ihwal hubungan antara suatu institusi kekuasaan dan para subjek yang dikuasai. Inilah konsep yang mulai lantang mempertanyakan hak-hak manusia — dalam kedudukan mereka yang terkini sebagai warga negara — di hadapan kekuasaan negara dan para pejabatnya.
Ide dan konsep hak-hak manusia seperti ini lahir dan berkembang marak tatkala sejumlah pemikir Eropa Barat yang berpikiran cerah pada suatu zaman – khususnya sepanjang belahan akhir abad 18 — mulai mempertanyakan keabsahan kekuasaan para monarkh yang absolut berikut wawasan tradisionalnya yang amat diskriminatif dan memperbudak. Tatkala di negeri-negeri Barat — secara suksesif akan tetapi juga berdaya akumulatif — gagasan-gagasan baru itu mulai berpengaruh luas, gerakan revolusioner untuk merealisasi cita-cita kebebasan dan egalitarianisme (demi ketahanan dan kemakmuran bangsa!) menjadi tak dapat ditahan-tahan lagi. Komunitas-komunitas warga sebangsa, diorganisasi dalam wujud institusi politik baru yang memproklamasikan diri sebagai negara republik yang demokratik, lahir secara berturut-turut di benua Amerika (Negara Federal Amerika Serikat, 1776!) dan di benua Eropa (Negara Republik Perancis, 1789). Inilah dua revolusi yang menjadikan ide demokrasi (yang di tangan sang pencipta istilah, ialah Plato, dipandang model pemerintahan yang buruk!) sejak masa itu menjadi ide yang lebih terpilih dan populer. Inilah revolusi yang dimaksudkan untuk membangun komunitas-komunitas politik nasional yang modern, dengan para warganya yang memperoleh jaminan untuk dilindungi hak-haknya yang asasi sebagai warga negara.
Ide dan konsep yang marak dan terus berkembang sebagai tradisi ketata- negaraan baru di negeri-negeri Barat ini merupakan reaksi atas praktik absolutisme yang tak tertahankan pada abad 17-18. Bersamaan dengan perkembangan negara bangsa yang teritorial dan mulai sekular itu, berkembanglah perlawanan terhadap pemikiran klasik yang menyatakan bahwa kemutlakan kekuasaan negara — yang juga kekuasaan raja — itu merupakan refleksi kemutlakan kekuasaan Tuhan. Perlawanan bertolak dari keyakinan baru bahwa kekuasaan pemerintahan mestilah dirujukkan ke kedaulatan rakyat, dan tidak laangsung ke kekuasaan Tuhan. Inilah kedaulatan manusia-manusia yang semula diperintah sebagai hamba-hamba oleh para raja yang pandai berkilah bahwa titah-titah mereka merupakan representasi kehendak Tuhan. Inilah kedaulatan rakyat awam yang kini telah mampu berartikulasi untuk menuntut pengakuan atas statusnya yang baru warga bebas pengemban hak yang kodrati, atas dasar keyakinan bahwa suara kolektif mereka adalah sesungguhnya suara Tuhan. Vox populi, vox Dei …..
Di sinilah bermulanya pemikiran ulang tentang batas-batas kewenangan raja di satu pihak dan luasnya hak dan kebebasan rakyat yang asasi di lain pihak. Dalam pemikiran baru ini, kuasa raja atau kepala-kepala negara beserta aparatnya itu kini tidak lagi boleh dikonsepkan sebagai refleksi kekuasaan Tuhan yang oleh sebab itu juga tak terbatas. Kekuasaan negara itu mestilah terbatas dan punya batas, dibatasi oleh dan berdasarkan perjanjiannya dengan rakyat. Kekuasaan negara di tangan penguasa-penguasa pemerintahan tidak lagi dikonsepkan sebagai kekuasaan yang berasal dari kuasa Tuhan, atas dasar perjanjian denganNya, entah itu Perjanjian Lama entah itu Perjanjian Baru. Demikian inilah yang diteorikan oleh para pemikir ketatanegaraan pada masa itu, antara lain oleh Jean J. Rousseau yang menulis Du Contrat Social pada tahun 1776. Rousseau inilah yang menteorikan suatu dasar pembenar moral falsafati bahwa rakyat — yang bukan lagi kawula, melainkan warga — itu, lewat proses-proses politik yang volunter dan sekaligus konstitusional, bersetuju untuk membatasi kebebasannya pada suatu waktu tertentu berkenaan dengan kasus-kasus tertentun demi dimungkinkannya terwujudnya kekuasaan pemerintahan pada waktu tertentu untuk urusan tertentu.
Konstitusi, Konstitusionalisme dan Hak-Hak Asasi Manusia
Berangkat dari konsep carta/carter sebagai tolok normatif pembatasan kekuasaan raja, konstitusi terkembang pada awal perkembangan kehidupan bernegara bangsa sebagai “perjanjian luhur” suatu bangsa untuk membangun suatu struktur atau tatanan kehidupan bernegara, di mana kewenangan didistribusikan dan luas-sempit-nya kebebasan warga di hadapan kekuasaan para pengemban kekuasaan negara didefinisikan. Dalam wacana konstitusional, kebebasan sebagai hak yang asasi dan kewenangan sebagai kekuasaan memerintah yang telah berlegitimasi akan dipandang sebagai fungsi yang akan saling melengkapi secara timbal-balik. Kekuasaan yang dibenarkan oleh hukum – nota bene oleh hukum, yang terbentuk sebagai hasil kesepakatan legislatif antara para wakil rakyat — secara konstitusional haruslah dikategorikan sebagai kewenangan. Hubungan fungsional antara kewenangan dan kebebasan akan tampak dalam hubungan berikut ini. Ialah bahwa kian besar kewe-nangan para pejabat pengemban kekuasaan negara akan berarti kian mengecilnya ruang kebebasan warga; dan sebaliknya, kian kecil kewenangan yang diberikan kepada para pejabat penyelenggaran kekuasaan negara ini akan kian luaslah ruang kebebasan para warga. Tarik ulur antara membesar-mengecilnya ruang kebebasan vis a vis ruang kekuasaan adalah suatu dinamika yang tak ada habis-habisnya dalam kehidupan politik, di dalam kehidupan yang demokratik sekalipun.
Dalam kajian-kajian lanjutan, apa yang disebut ‘konstitusi’ itu sesungguhnya bukanlah cuma harus dimengerti sebagai keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang secara fundamental menggariskan norma-norma positif yang berkenaan dengan sifat, fungsi dan batas-batas kewenangan dan/atau batas-batas kebebasan warga. Menurut konsepnya yang formal, konstitusi memang dapat didefinisikan sebagai sejumlah ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang disusun secara sistematik untuk menata pada pokoknya struktur dan fungsi berbagai institusi pemerintahan. Inilah yang wujud formal suatu konstitusi yang di Indonesia di sebut juga undang-undang dasar (sebagai terjemahan dari apa yang diistilahi grondwet dalam bahasa Belanda). Dalam aturan formal undang-undang dasar ini diaturlah macam dan batas kewenangan yang diperlukan demi berlangsungnya kehidupan suatu komunitas politik dalam skala dan formatnya yang nasional.
Manakala konstitusi tidak harus cuma dimengerti sebagai ketentuan perundang-undangan dengan norma-norma deklaraturnya yang serba positif dan normal itu saja, melainkan juga sebagai suatu hasil ekspresi suatu doktrin, maka akan terkajilah di situ hadirnya suatu prinsip tentang pembebasan dan kebebasan manusia yang tidak lagi berstatus sebagai kawula melainkan sebagai warga. Maka, konstitusi adalah juga suatu ‘isme’, disebut ‘konstitusionalisme’, yang mengajarkan dengan penuh keyakinan bahwa kekuasaan itu hanyalah fungsi kebebasan, dan tidak sebalik-nya. Inilah ‘isme’ yang mengajarkan bahwa kebebasan itulah yang menjadi deter-minan kewenangan, dan tidak sebaliknya, bahwa kewenangan itu yang menentukan luas-sempitnya ruang kebebasan warga. Maka, membaca konstitusi itu orang tidaklah cukup kalau hanya membaca apa yang tersurat saja. Alih-alih, orang tidaklah sekali-kali boleh mengabaikan ide dan ideologi yang tersirat di dalamnya.
Ide konstitusionalisme yang dijadikan tumpuan kehidupan bernegara dan berhukum yang berstatus supreme di suatu kehidupan yang demokratik itu sesungguh-nya dapat dipulangkan ke esensi doktrinalnya yang berjumlah dua. Yang pertama ialah doktrin kebebasan sebagai hak manusia yang tak hanya asasi akan tetapi juga kodrati, yang karena itu juga bukan hak hasil pemberian para penguasa. Karena itu pula hak-hak ini harus dibilangkan sebagai hak-hak yang – seperti telah dikatakan di muka – bersifat inderogable dan inalienable, serta pula harus selalu dijaga dan dipertahankan eksistensinya agar tetap in tact, utuh dan tak bercacat cela karena terjadinya pelanggaran-pelanggaran. Adapun esensi doktrinal konstitusionalisme yang kedua ialah doktrin rule of law yang terpulang pokok pada ide dasar kedudukan hukum yang tertinggi di antara norma apapun di dalam kehidupan bernegara bangsa ini. Inilah doktrin yang sekalipun telah beriwayat sejak abad 11-12 toh dalam perkembangannya di dalam kehidupan bernegara modern selalu dihubung-hubungkan dengan model kehiduopan yang demokratik, dengan pengakuan yang sine qua non akan adanya hak-hak asasi dan kodrati pada setiap manusia warga negara.
.
Hak Warganegara Yang Asasi dan Konstitusional Untuk
Berkebebasan (Civil Rights) Dan Untuk Berpolitik (Political Rights)
Perjuangan hak-hak asasi manusia pada abad 18 — yang berkemuncak dengan pecahnya dua revolusi kerakyatan di Amerika dan di Perancis – itu berpusar di seputar dua konsep hak. Yang pertama adalah hak manusia untuk berkebebasan dalam status mereka yang baru sebagai warganegara (yang bukan lagi kawula raja), dan yang kedua adalah hak manusia yang juga asasi untuk mengambil bagian dalam setiap proses pengambilan keputusan politik. Itulah dua set hak-hak asasi yang masing-masing sanmpaipun kini dikenal dengan sebutan hak-hak sipil (civil rights) dan hak-hak politik (political rights). Bahwa kedua set hak asasi itu yang mengedepan sepanjang pergulatan pemikiran dan perjuangan fisik pada masa itu dapatlah dimengerti manakala diiingat bahwa sejak abad 12 para pemikir dan para negarawan Barat membuka diri untuk mewacanakan hakikat dan/atau dasar-dasar pembenar setiap kekuasaan yang harus diperhadapkan secara normatif ke rasio indeterminisme manusia-manusia individu.
Hak sipil adalah hak seseorang warga (civil<civis) untuk menikmati kebebas-an dalam berbagai hal, antara lain – sebagai contoh — untuk bergerak pindah secara bebas tanpa dibatasi oleh keputusan pemerintah, untuk dijamin kemerdekaannya dan keselamatan dirinya (dari penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang dan dari penyiksaan-penyiksaan oleh aparat negara), atau pula untuk tidak dihukum tanpa proses peradilan yang jujur dan tak memihak. Hak untuk berserikat (guna memper-joangkan ide-ide politik) dan hak untuk mengeluarkan dan menyiarkan pendapat yang dimaksudkan untuk mempengaruhi secara penuh kritik setiap kebijakan dan keputusan pemerintah, adalah dua dari sekian banayak contoh menegenai hak-hak asasi manusia dalam kehidupan politik.
Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang diproklamasikan pada bulan Juli 1776 merupakan dokumen yang amat revolusioner menurut ukuran zamannya mengenai kedua macam hak itu,, sekalipun ide yang terkandung di dalamnya itu bukanlah ide yang muncul begitu saja secara tiba-tiba, melainkan merupakan akumulasi berbagai ide dan ideologi sebelumnya tentang kebebasan manusia. Itulah dokumen yang berisi cabaran untuk pertamakalinya terhadap doktrin abad pertengahan bahwa suatu kelas teretentu dalam masyarakat memperoleh karunia dan pembenaran Illahi untuk menguasai dan memerintah kelas-kelas lain yang awam. Pernyataan dalam deklarasi tahun 1776 berikut ini benar-benar dengan tegas menolak doktrin seperti itu. Dinyatakan dalam deklarasi itu bahwa ‘all men are created equal … and have unalienable rights ….’, dan bahwa ‘to secure these rights, governments are instituted … deriving their powers from the consent of the governed’.
Lepas sepuluh tahun setelah diproklamasikannya Deklarasi Kemerdekaan dari tahun 1776 itu, Konstitusi Amerika ditandatangani di Philadelphia pada tahun 1787. Inilah konstitusi suatu pemerintahan republik modern yang pertama di dunia, yang – demi terjaganya kehidupan demokrasi dan hak asasi warganegara – memisahkan kekuasaan pemerintahan ke dalam tiga lembaga, sesuai dengan ajaran Trias Politica de Montesquieu. Empat tahun kemudian, konstitusi itu diamandemen untuk menyatakan adanya jaminan akan hak-hak manusia warganegara untuk berkebebasan dalam ihwal berbicara dan memeluk agama yang diyakininya. Amandemen yang diperkenalkan sebagai The American Bill of Rights dari tahun 1791 ini juga menjamin kebebasan pers dan hak untuk memperoleh perlindungan dari penghukuman yang tak lazim dan pula dari tindak penggeledahan dan/atau penyitaan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan secara tidak sepatutnya.
Bersamaan sedarsawarsa dua dasawarsa dengan masa-masa revolusi pemerin-tahan dan perundang-undangan yang relevan dengan persoalan hak-hak individu warganegara di Amerika ini, pergolakan serupa pun – bahkan lebih berdarah-darah – terjadi pula di benua Eropa. Kali ini di Perancis, suatu negeri tempat lahir dan berkecambahnya pemikiran-pemikiran besar tentang hak-hak asasi manusia (yang realisasinya justru lterjadi ebih dahulu di luar negeri ini, ialah di benua seberang Samudera Atlantik yang bernama Amerika). Le peuple mengobarkan revolusi kerakyatan yang meruntuhkan kekuasaan ancien regime dari dinasti Boubon, yang segera setelah memproklamasikan La Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen – yang “menduplikasi” cita-cita revolusi kemerdekaan Amerika juga mencanangkan cita-cita kebebasan (liberte) dan persamaan hak (egalite) di antara sesama manusia.
Konstitusi yang memberikan jaminan kebebasan dan hak-hak para citoyen ini dijabarkan lebih lanjut ke dalam 3 kitab undang-undang yang diundangkan pada tahun 1804, yang terkenal kemudian dengan nama ‘Kodifikasi Napoleon’. Dalam Code Penal dijamin perlindungan atas kebebasan manusia, ialah untuk tidak dibatalkan kebebasannya itu, apapun perbuatan yang telah dilakukan olehnya, kecuali atas dasar undang-undang yang telah ada sebelumnya. Code Civil menjamin kebebasan para manusia warganegara untuk memiliki dan mengelola atau pula memindahtangankan miliknya itu. Kalaupun satu setengah abad kemudian sebagian dari hak-hak semacam itu dikonsepkan sebagai bagian dari hak-hak ekonomi yang asasi, pada masa itu –baik di Amerika maupun di Perancis – hak-hak semacam itu lebih dimaknakan sebagai hak-hak kebebasan individu warganegara yang harus dilindungi agar secara bebas berleluasa to pursuit happiness.
Siapa Yang Pada Mulanya Harus Dikonsepkan
Sebagai ‘Manusia Penyandang Hak Yang Asasi’ Itu?
Tak pelak lagi, hak-hak aasasi manusia pada konsepnya yang paling awal ini adalah hak-hak rakyat dalam kedudukan mereka sebagai manusia warga negara yang berkebebasan dalam suatu kehidupan bernegara bangsa yang demokratik. Akan tetapi yang masih menjadi pertaanyaan setakat itu ialah, siapakah yang harus dibilangkan ke dalam golongan manusia warga negara yang harus diakui mempunyai hak yang asasi untuk berkekbebasan itu? Kalaupun sekarang ini pada asasnya dalam konsepnya yang sekarang apa ini yang dibilangkan manusia itu adalah semua saja yang bersosok biolotgik sebagai manusia, akan tetapi pada awalnya yang diakui sebagai manusia pengemban hak yang asasi itu barulah mereka yang di dalam kehidupan bernegara dan berbangsa berstatus warganegara saja, dan mereka ini hanyalah yang berjenis kelamin lelaki saja. Deklarasi Perancis dari tahun 1789 berbunyi Declaration des droits de l’lhomme et …, dan kata l’homme dalam bahasa Perancis itu secara harafiah akan juga berarti ‘manusia lelaki’.
Deklarasi Kemerdekaan Amerika dari tahun 1776 pun menggunakan sebutan jender lelaki (men) dalam berbagai frase pernyataannya. Dinyatakan di situ antara lain bahwa “… all Men are created equal..” dan bahwa demi terjaminnya hak-haknya yang asasi maka “…. Government are instituted among Men …”. Sekalipun pada masa itu isteri John Adams, seorang anggota Kongres yang kemudian menjadi Presiden Amerika yang ke-2, sudah merasa perlu untuk menitipkan pesan kepada suaminya agar para anggota Kongres, yang tengah menyiapkan konstitusi Amerika sukalah selalu “.. remember the ladies ..”, namun kepentingan dan minat kaum perempuan untuk ikut berpolitik, dan memperoleh jaminan hak-hak politiknya yang asasi di bidang ini sebagai warga negara, tidaklah pada masa itu serta merta memper-oleh perhatian.
Maka di sini – baik dalam Deklarasi Amerika maupun dalam Deklarasi Perancis — kalaupun perempuan-perempuan itu secara biologik harus disebut pula dibilangkan sebagai manusia, menurut konsep yang awal ini mereka itu tidaklah hendak disebut dan digolongkan sebagai manusia warga negara. Perempuan-perempauan adalah makhluk domestik, sedangkan hak-hak yang diakukan kepada manusia adalah hak-hak dalam kehidupan publik yang hanya diakukan kepada mereka yang lelaki saja. Digolongkan sebagai makhluk domestik dan tidak sepatutnya secara lancang berperan di ranah publik, perempuan-perempuan pada masa-masa awal itu tidaklah memperoleh pengakuan atas hak-hak politik mereka. Mereka tidak diserta-kan dalam kehidupan publik untuk memilih dan dipilih, dan sehubungan dengan hal itu merekapun pada masa-masa awal pertumbuhan konsep hak-hak asasi manusia itupun, di pihak lain, juga tidak dibebani kewajiban untuk membayar pajak..
Karena hak-hak asasi manusia pada awal pertumbuhannya itu dikonsepkan sebagai hak manusia yang berkualifikasi sebagai warga dalam kehidupan bernegara bangsa, maka konsekuensinya ialah, bahwa sesiapapun yang warga dalam kehidupan bernegara bangsa dan berpolitik itu mesti berkewajiban pula membayar pajak guna menjamin tersedianya dana publik yang cukup untuk kepentingan bersama. Di sinilah letak alasannya mengapa perempuan yang makhluk domestik itu tidaklah dipandang perlu untuk memperoleh jaminan hak-hak yang asasi bagi kehidpan publik yang non-domestik. Hak-hak (dan kewajiban) perempuan dikembalikan ke berbagai askripsi yang melekat secara normatif pada peran-peran tradisional mereka, yang lebih bersifat privat-domestik yang patriarkik daripada bersifat publik yang demokratik. Dengan ungkapan Eropa, askripsi perempuan hanyalah untuk mengurusi ‘Kinder und Kueche’, dan — manakala perempuan-perempuan ini ingin keluar dari ranah domestik – di luar askripsi itu tempat yang paling tepat bagi mereka hanyalah ke gereja atau biara, atau …… ke bordil.
Demikian juga halnya dengan mereka – baik yang perempuan maupun yang lelaki – yang berstatus budak-budak dan ulur-ulur yang karena itu tidak terbilang sebagai freeman. Maka, mengingat kenyataan bahwa orang-orang kulit berwarna pada masa itu tak ada yang berstatus sebagai freemen melainkan boleh dibilang semuanya adalah budak-budak, pada akhirnya mereka yang terbilang manusia pengemban hak-hak asasi itu tidaklah kurang dan tidaklah lebih hanyalah mereka yang lelaki dan berkulit putih saja. Perubahan-perubahan untuk memperluas konsep manusia penyandang hak-hak yang asasi, sebagaimana yang tercatat dalam sejarah perkembangan hak-hak asasi di Amerika, barulah terjadi lebih dari setengah sampai seabad kemudian. Di Amerika perubahan konsep mengenai siapa yang harus dibilangkan ke dalam golongan manusia pengemban hak yang asasi dilakukan dengan melakukan amandemen-amandemen pada konstitusinya. Inilah amandemen-amandemen yang melepaskan golongan masyarakat tertentu dari askripsi-askripsi mereka yang kuno dan berefek mengucilkan, ialah para budak yang semula terkurung dalam institusi pertuanan dan kaum perempuan yang semula tertambat dalam ranahnya yang domestik dan patriarkik.
Konsep Hak Asasi Manusia Sebagai Konsep Emansipatif
Hak-hak asasi manusia pada generasinya yang pertama sepanjang belahan pertama abad 19 memang mula-mula dikonsepkan untuk lebih menonjolkan hak-hak manusia individual yang lelaki dalam status mereka sebagai warganegara (civil rights) di dalam kehidupan politik, yang mengisyaratkan pengakuan akan political rights mereka. Kalaupun pada awalnya konsep seperti itu boleh disebut lebih bersifat segregatif daripada diskriminatif, sudah pada pertengahan abad 19 – sekira setengah abad setelah diundangkannya Bill of Rights Amerika (1791) dan Droits de l’Homme et du Citoyen Perancis (1789) – konsep ‘manusia penyandang hak’ diakukan juga kepada mereka yang selama ini tidak terbilang sebagai freeman. Mereka ini adalah budak-budak ataun ulur-ulur yang tidak free dan mereka yang perempuan yang sekalipun berstatus free akan tetapi tidak tergolong men.
Maka manakala deklarasi-deklarasi dari tahun-tahun 1770-1780an di negeri-negeri bertradisi Barat itu boleh disebut sebagai deklarasi-deklarasi yang liberating menuruti konsep kaum liberal (yang mendambakan pembebasan manusia dari segala bentuk kekuasaan otokratik), deklarasi dari tahun 1850-1860an bolehlah disebut sebagai deklarasi-deklarasi yang emancipating (yang berkebijakan untuk melepaskan sebagian penduduk negeri dari statusnya yang terdiskriminasi ke statusnya yang baru sebagai homo Equalis (alias manusia berkesetaraan). Pada tahun-tahun itu kebijakan abolisi yang bermaksud membebaskan jutaan manusia dari rantai perbudakan diper-juangkan, sekalipun – seperti misalnya di Amerika, dengan amandemen konstitusinya yang ke-13 pada tahun 1863 – kebijakan seperti itu sampai-sampai dipandang terlampau jauh dan tidak hanya mengundang perlawanan politik negara-negara bagian selatan melainkan juga mengundang datangnya perang saudara.
Kebijakan nasional untuk memberikan kesempatan manusia-manusia perempuan untuk juga menikmati hak-hak yang asasi sebagai warga negara berikut hak-hak politik mereka berlangsung melalui berakan-gerakan sosial-politik yang memakan waktu lebih lama. Mengemansipasikan perempuan dari ikatan-ikatan domestik yang askriptif rupanya memerlukan rentang waktu yang lebih lama. Agaknya karena prosesnya lebih menuntut karakter yang lebih bersifat transformatif daripada transplantatif. Keberhasilannya tidak hanya diprasyarati oleh lahirnya prakarsa-prakarsa para elit yang memegang kontrol politik di berbagai institusi pemerintahan, melainkan juga harus “menunggu” terbebaskannya perempuan-perempuan itu dari tugas-tugas domestik, khususnya tugas reproduksi. Tatkala teknologi reproduksi yang mampu membantu pengendalian kelahiran berhasil diciptakan, dan sementara itu — dengan mengatasi keberatan moral dan kultural — bisa diterima khalayak ramai, proses emansipasi yang memungkinkan perempuan-perempuan mengefektifkan hak-haknya yang asasi sebagai warga negara, dan pula untuk merealisasi hak-hak politiknya di ranah publik, dengan segera menjadi kenyataan.
Akan tetapi tidaklah itu berarti bahwa upaya untuk memperjuangkan terealisasinya hak-hak politik oleh kaum perempuan di negeri yang dibangun sebagai suatu Republik yang demokratik itu tidak signifikan. Pada tahun 1848 pergerakan perempuan di negeri itu melantangkan suatu pernyataan publik yang dikenal dengan penamaan Declaration of Sentiments. Dinyatakan di dalam deklarasi itu, antara lain, bahwa kaum perempuan sepakat untuk ‘hold the truths to be self-evident that all men and women are created equal, that they are endowed by their Creator with certain inalienable rights, that among these are life, liberty and the pursuit of happiness …’, dan seterusnya, yang – manakala diperhatikan dengan baik-baik – pernyataan itu mengulang saja frase-frase yang telah ada sebelumnya dalam Declaration of Indepen-dence 70 tahun sebelumnya.
Hak perempuan untuk dibilangkan sebagai warga negara dalam kehidupan politik diperlambangkan dalam wujud kemenangannya – atas dasar hak-hak konstitusionalnya – untuk ikut memberikan suara dalam pemilihan umum. Jaminan konstitusional ini baru diperoleh pada tahun 1920 dengan dimasukkannya amandemen ke-19 di dalam konstitusi Amerika Serikat, sekalipun rancangan amandemen itu sebenarnya telah selesai dipersiapkan pada tahun 1878. Sebelum tahun itu, persoalan berhak tidaknya perempuan-perempuan ikut memberikan suara dalam pemilihan umum diserahkan sebagai kewenangan negara bagian. Tetapi, nyatanya setiap negara bagian itu sejak diproklamasikannya kemerdekaan Amerika pada tahun 1776 – kecuali negara bagian New Jersey (sekalipun cuma beberapa tahun saja) – selalu menolak pemberian hak suara itu kepada warganegara yang perempuan. Dengan disahkannya amandemen ke-19 dalam konstitusi Amerika pada tahun 1920 itu, terputuskanlah sudah kontroversi mengenai hak-hak perempuan untuk ikut berpolitik dalam setiap pemilihan umum.
Di negeri-negeri Eropa Barat, keputusan konstitusional menenai hak politik perempuan untuk ikut memilih dan dipilih pada umumnya juga terjadi pada sekitar tahun-tahun 1920 itu juga. Sekalipun amat terlambat tetapi pada akhirnya terjadi jugalah perluasan konsep mengenai siapa saja yang seharusnya dibilangkan sebagai manusia pengemban hak yang asasi: hak untuk berpolitik, tidak hanya untuk para lelaki akan tetapi juga untuk mereka yang perempuan. Berseiring dengan apa yang terjadi di Eropa ini, pada dasawarsa-dasawarsa yang sama itu juga penggerakan dan pergerakan untuk memberikan pengakuan hak-hak yang asasi kepada perempuan terjadi juga di negeri-negeri jajahan. Di Indonesia, pada dsasawarsa-dasawarsa itu pemerintah kolonial telah memanfaatkan situasi yang telah kondusif itu untuk juga memajukan keterpelajaran perempuan-perempuan pribumi dengan membuka sekolahan-sekolahan untuk anak-anak perempuan. Di Indonesia pula, nama Raden Ajeng Kartini dan Dewi Sartika dikenal dan diperkenalkan pada dasawarsa-dasawarsa itu juga oleh pemerintah kolonial..