“Kau suka padanya?” tanya Reizh membuyarkan anganku.
“Tidak!”
“Tapi, kenapa kau menatapnya begitu dalam…”
“Ah, perasaanmu saja….”
“Benarkah?” Reizh meledekku.
“Tapi, sepertinya dia juga suka padamu.” Lanjut Reizh tersenyum.
Di sepanjang tepian sungai Regus. Kedai dan kios sudah ramai berjejer menyediakan beraneka macam kebutuhan dalam menyambut musim semi tahun ini. Mulai dari pameran, penjual pakaian, mainan, hidangan kuliner, pernak pernik musim semi, hingga pedagang bunga turut memeriahkan acara festival tahunan di kampung kami, kampung Wedding. Pemukiman kecil di kota Berlin, Jerman. Kampung yang mayoritas di huni imigran dari Asia ini masih menyuguhkan ke-eksotisan pemandangan alamiah yang elegan nan permai. Jauh dari polusi udara tidak seperti di Jakarta dan kota-kota metropolitan lainnya yang polusi dan hingar bingar.
Wajah-wajah riang penuh rona seperti semburat merah mentari pagi terpancar alami di setiap raut penduduk kampung Wedding. Tak lain halnya denganku. Musim dingin di akhir Februari hingga Maret kemarin kini telah berlalu dan menjelma menjadi musim semi yang penuh suka cita. Gegap gempita. Musim menuai keberkahan. Mentari hangat terasa menyelimuti kulitku yang seakan telah membeku beberapa bulan lamanya dan kini mencair seperti lelehan lilin di malam hari.
Dulu, ketika musim dingin merambat dan mengacaukan kampungku. Tak banyak hal yang bisa ku lakukan, semua kegiatan seakan terhambat oleh dinginnya suhu yang mencapai minus derajat celcius. Bahkan, untuk sekedar berangkat ke kampus saja rasanya aras-arasen. Meski mantel tebal telah membalut tubuh kurusku, musim dingin sungguh membuatku jemu.
‘‘Wie die Sonne im Frühjahr. Dämmerung Herzen verwandelt Befestigung.’’ (Seperti mentari di musim semi. Senja menjelma penambat hati).
Tak berlebihan jika aku menyambut musim semi kali ini dengan sebuah senyuman penuh doa dalam tawa. Senyuman syukur atas karunia-Nya memperkenankanku menghirup udara semilir yang berhembus hangat, basah, dan nikmat. Karena tidak semua orang bisa menikmati musim semi di daerah-daerah nontropis atau dingin seperti tempat tinggalku ini. Apalagi jika sakit datang terlebih dahulu kemudian memanggil si empunya untuk beristirahat dan terpaksa menghabiskan musim semi dengan duduk di kursi goyang kemudian terdiam menatap pesta karnaval dari balik jendela kaca dan leher yang di lilit shal kesedihan. Seperti Jones bersaudara yang kini hanya bisa duduk manis di kursi mereka. Bersyukur? Itu yang aku perlu terus sematkan di dalam diri.
***
Dengan mengenakan sweater tebal aku berjalan seorang diri mengunjungi pasar karnaval sore ini. Beberapa anak kecil berdiri di depan penjual balon warna warni tampak girang memilih benda melayang itu. Aku tersenyum melihat anak kecil laki-laki yang genit menggoda gadis kecil sebaya di sebelahnya.
“Hei, Alfi! Apa kau mau minum Bir?” aku melengos ke arah seorang lelaki tua bertopi Jack di depan kios minuman beralkohol yang berdiri tak jauh dari sungai dangkal dan jernih bernama Ruges. Lelaki tua itu mengangkat gelas dan mengarahkan padaku. Tak perlu menjawab. Dengan tersenyum tulus dan berlalunya aku dari kedainya saat itu juga, ku rasa dia tahu, aku menolak. Aku tidak suka bir. Vater dan Frau-ku bilang, bir dan minuman ber-alkohol itu haram. Kami di larang agama untuk mendekati benda itu.
***
Aku berjalan mengelilingi pasar dengan pandangan mengitari sekeliling. Sengatan lembut sang mentari terasa mendamaikan jiwa. Untuk seorang etnis campuran sepertiku, tak perlu heran dengan suasana kampung Wedding yang di dominasi oleh penduduk dari Timur Tengah. Kebanyakan pedagang di sekitar sungai adalah warga Turki yang memang mendominasi pedagang di acara festival setiap tahunnya. Di tengah asiknya menikmati matahari, telingaku seketika terasa gatal sesaat setelah mendengar pasangan suami isteri yang cek cok di kedai roti mereka. Umpatan dan sumpah serapah yang keluar dari mulut pasutri itu tentu saja menarik begitu banyak perhatian pengunjung. Entah apa yang mereka ributkan. Sekilas aku menangkap, si istri meminta kebijakan suami agar bersedia memberi harga miring untuk seorang anak lelaki berpakaian kumal yang tampak kurus karena kelaparan yang berdiri di depan toko mereka.
“Wir verkaufen. Nicht in der karitativen…!” tukas sang suami sengak. Yang artinya mereka sedang berjualan, bukan sedang bersedekah. Tidak peduli, si istri yang berhati mulia itu memberikan dua bungkus roti panasnya kepada anak laki-laki kumal dan memintanya segera berlari. Si suami tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kali ini ia mengalah. Si istri pun tidak ambil pusing dan langsung melayani pembeli yang tiba-tiba meludak. Hati si istri yakin, sedekah tidak akan mengurangi rezeki, justru menambah.
***
Darahku mengalir deras seiring berdesir mengiris vena dan arteri, jantungku berdegup kencang berdendang dentang. Nafasku seakan sesak demi melihat sosok seorang gadis berwajah inocent berjalan di bawah terik mentari senja dengan langkah indahnya. Wajahnya pendar berseri penuh cahaya. Pipinya merekah dan merona seperti buah apel yang mulai ranum. Ia berjalan anggun menuju kios bunga Hyacinth yang wanginya semerbak itu. Perhatianku tak lepas mengamati gerak-gerik gadis semampai yang kini tengah berbincang dengan penjaga kios bunga. Baru kali ini aku melihat gadis shalihah secantik dia di negara mayoritas nonmuslim. Apa dia seorang pendatang? Kalau benar. Berarti bukan dari daerah sini. Atau dia imigran? Atau dia sekedar berkunjung? Entahlah. Pertanyaan dan rasa penasaran mengalir begitu saja di dalam benakku. Wajahnya menyimpan sejuta misteri.
Aku melihat banyak sekali praduga garis keturunan yang telah melahirkan gadis itu ke dunia ini. Ada guratan dan perpaduan campuran wajah Asia dan Timur Tengah juga Eropa meski wajah Timur Tengahnya lebih menonjol. Dengan pakain sesopan sopannya wanita yang pernah aku lihat seumur hidup. Dan tatapan mata yang terjaga dari hal yang tidak perlu di lihat. Dia jauh lebih memukai cantiknya dari pesona dan aura seorang wanita penguasa Mesir pada masanya bernama Cleopatra. Dia lebih anggun dari putri Diana yang berjalan di karpet merah di depan altar kerajaan Inggris saat di persunting oleh Pangeran Charles, Putra Ratu Elisabeth penguasa kerajaan Britania Raya itu. Dan dia lebih karismatik dari first step-nya seorang pemenang Puteri Indonesia yang berjalan memukai saat mengenakan kebaya luxuris Anne Avantie. Bahkan, aku melihat gadis itu menyihirku dengan semua apa yang ia keluarkan atau lebih pantas di sebut, aura. Dia sempurna. Debar jantung ini pun terus berdentang keras tak terkendali. Perasaan apa ini?
***
“Kau suka padanya?” tanya Reizh membuyarkan anganku.
Aku diam. Kemudian berdusta berkata tidak.
“Tapi, kenapa kau menatapnya begitu dalam…”
“Ah, perasaanmu saja….”
“Benarkah?” Reizh meledekku.
Di bawah tenda kedai ice cream Turki. Reizh dan aku duduk di depan sebuah meja bundar. Tak jauh dari mengamati gadis berhidung mancung dan beralis tipis itu.
“Aku baru melihatnya…” kataku seiring menjilat pucuk ice rasa strawberry. Reizh melirik gadis itu.
“Dia memang cantik…”
Hatiku tidak perlu berdoa agar Reizh bukan rivalku untuk memikat gadis itu kali ini.
***
Hari kedua festival musim semi di gelar. Aku berharap masih bertemu dengan gadis yang sore itu gagal aku sambangi dengan alasan membeli bunga untuk kakakku. Aku tidak ingin kecewa untuk kedua kalinya. Tapi, kemana gadis itu pergi? Kenapa dia belum kelihatan juga? Ada pikiran cemas dan perasaan kecewa jika sore ini aku benar-benar tidak bisa bertemu dengannya. Aku akan menyesal yang waktu itu secara frontal jelas menyia-nyiakan kesempatan. Padahal Reizh cukup tegas memintaku tak berbasa basi demi mencari yang orang bilang, jati diri.
“Kau akan menyesal jika tidak mendekatinya. Tegurlah, atau minimal kau membeli bunga untuknya…”
“Secepat itu?” tanyaku lugu.
“Perempuan seperti dia itu seperti mutiara. Siapa yang pertama melihat sinarnya, maka seolah dialah pemiliknya. Kau mau menyesal nanti?”
“Jodoh tidak kemana?”
“Tapi akan menjauh jika tidak berusaha…”
“Takdir Tuhan tidak ada yang bisa mencegah.” Aku percaya jodoh itu tak kemana.
“Tapi usaha awal mendekatkan takdir untuk menjadi nyata.”
“Kau bukan pujangga, Reizh. Kau hanya seorang anak keturunan Turki dan Jerman yang selain sekolah, tugasmu adalah membantu Vatermu menawarkan cone dan ice cream pada pengunjung. Jangan mengajariku. Bahkan nilai semestermu masih harus remedial untuk mendapat nilai C…”
“Ficker! Jangan bawa-bawa nilai dalam urusan cinta. Aku ahlinya…”
“Tapi aku sedang tidak butuh celotehanmu. Sang ahli cinta…”
“Kau memang angkuh, Alfi.” Reizh menyahut agak kesal.
“Ya. Aku memang angkuh di depanmu jika sedang terpaku melihat sang bidadari…”
“Dasar maniak!”
“Setidaknya lebih baik, atau jauh lebih terpuji dari pada harus menjadi seorang homo sepertimu.”
“Grrrrr!”
***
Di tengah-tengah meriahnya acara ferstival sore ini. Aku kelimpungan mencari sosok anggun bergamis biru muda yang tadi sempat membaur di tengah-tengah kerumunan gadis-gadis Jerman yang ramai mengenakan drindl, blus putih tipis sabrina yang di lapis dengan rompi pas badan, serta rok katun lengkap dengan celemeknya yang serasi itu. Dan aku semakin limbung mencari sosok orang yang sudah membuatku ‘falling in love at first sight’ atau orang Jerman bilang “Liebe auf den ersten Blick” saat gadis itu lenyap di tengah-tengah kerumunan pemuda yang tampak gagah dalam lederhosen, celana kulit selutut yang di variasikan dengan jaket, topi, dan bertelnya mereka. Pakaian tradional yang secara keseluruhan di sebt tracht memang tidak aku kenakan tidak seperti Reizh yang ku lihat tengah mengobrol bersama Davoch di kedainya. Mereka masih satu kelas denganku di kampus.
Berulang kali aku berusaha menerobos kerumunan yang sesak ini. Aku kehilangan senyum gadis itu ketika kemarin ia sempat berterima kasih padaku atas apa yang tanpa sengaja telah aku lakukan untuknya. Sebuah Lebkuchen yang mengantarku berkata “Ich Liebe Zahra”. Kue kering yang di hias dengan gula warna warni berbentuk jantung hati dengan di hiasi kata ich liebe dich (saya cinta kamu) mein libling (sayangku) dan lainnya. Konon, leb sendiri berasal di ambil dari kata liebe (cinta) leben (hidup) leib (tubuh) dan leb-honig madu kristalisasi istimewa yang juga bahan baku dalam membuat lebkuchen.
Kemarin sore, toko Lebkuchen kehabisan orderan pesanan kue yang ternyata kue itu hanya ada di musim semi dan musim gugur dan laku habis terjual. Gadis bernama Zahra itu sedih karena ibunya menyuruh ia membeli dua kotak lebkuchen untuk di nikmati malam hari bersama tamu dari Munich. Aku memberinya dua kotak lebkuchen yang tidak ku sangka gadis itu berterima kasih dan terkesan segan lalu tidak tahu harus melakukan apa untuk membalas kebaikanku. Kami sempat mengobrol dan menikmati kopi arabika asli dari Aceh, Indonesia. Sebuah Negeri maritim yang ingin aku kunjungi kelak untuk menikmati keindahan panoramanya yang eksotis itu. Terutama Paradise Island, Bali.
“Namaku Zahra Almahira. Ayahku dari Mesir, dan Ibuku asli orang Inggris. Kami tinggal di Munich. Dan ke Wedding hanya untuk menghabiskan musim semi bersama bibi Petunia. Aku tidak tahu harus mencari kemana lagi kue ini jika kau tidak memberiku lebkuchen itu padaku. Kau sangat menolongku. Sekali lagi aku ucapkan danke…” kelakar gadis itu menatapku tajam.
“Gleichermaßen…” sahutku kikuk.
“Namamu unik. Alfi Lichtner. Ada kata asing di sana…”
“Ya. Namaku memang memiliki beberapa pengertian. Kata Vater, Alfi itu di ambil dari bahasa Arab. Alif. Huruf hijayah pertama. Karena aku anak lelaki pertama yang di lahirkan di keluargaku. Karena kedua kakaku semuanya perempuan. Sedangakn Lichtner. Licht itu cahaya, sedangkan ner: schöner, artinya tampan. Kata mereka saat aku lahir. Aku memancarkan wajah yang tampan dan bercahaya. Maka, mereka menamaiku dengan nama itu. Tapi, sepenuhnya aku tidak percaya. Aku hanya mengilhami mereka memberiku nama dengan harapan yang ku sandang nantinya sesuai dengan apa yang mereka inginkan…”
“Sepertinya mereka tidak salah memberimu nama. Kau memang tampan…”
“?”
***
Musim semi nyaris menginggalkan kenangan. Waktu tidak mungkin mendengar meski aku menjerit di tengah gunung Alpen demi memintanya berhenti sejenak. Karena waktu itu tuli. Sama seperti siang dan malam yang pura-pura bisu dan buta. Mereka mempermainkan perasaanku sebagai manusia yang naif dan daif. Harapan yang tidak terwujud seolah menjadikan dunia ini tidak adil. Aku kesal. Aku kecewa. Kenapa di saat rasa itu aku yakin datang dan menyusup di dalam relung hatinya. Satu hal yang aku kira akan datang membawwa bahagia, justru malah membuatku tercekat dan nyaris merasakan langit jatuh meruntuhi tubuhku hingga aku tengelam dalam duka adalah, ketika dia bilang ada tamu penting yang harus di jamu.
“Lebkuchen ini sengaja ibuku pesan untuk menjamu mereka…”
Kata mereka itu yang membuatku lemas. Seakan langit yang cerah di ufuk barat yang menyemburatkan cahaya senja keemasan itu tiba-tiba berubah menjadi gelap berkabut dan pengap demi telingaku mendengar kata, mereka. Artinya, ada keluarga yang sedang di tunggu kehadirannya oleh keluarga Zahra. Bukan pertemuan slaturahmi keluarga biasa. Melainkan silaturahmu penyambung dua keluarga. Lamaran. Ya, Zahra akan di lamar oleh seorang dokter muda sepertinya. Lelaki yang memang tampan itu tampak berjalan mendekati kami sesaat setelah Zahra melambaikan tangannya pada lelaki berkacamata itu. Hatiku melebur. Jiwaku mencair. Ragaku mengempis. Batinku menangis. Kenapa timingnya tidak tepat? Teringat aku akan kata Reizh.
“Perempuan seperti dia itu ibarat mutiara. Siapa yang pertama melihat sinarnya, maka seolah dialah pemiliknya. Kau mau menyesal nanti?”
“Jodoh tidak kemana?”
“Tapi akan menjauh jika tidak berusaha…”
“Takdir Tuhan tidak ada yang bisa mencegah.” Aku percaya jodoh itu tak kemana.
“Tapi usaha awal mendekatkan takdir untuk menjadi nyata.”
“Kau bukan pujangga, Reizh. Kau hanyalah seorang anak keturunan Turki dan Jerman yang selain sekolah, tugasmu adalah membantu Vatermu menawarkan cone dan ice cream kalian kepada pengunjung. Jadi, jangan mengajariku. Bahkan nilai semestermu masih harus remedial untuk mendapat nilai C…”
***
Lebkuchenku tidak sia-sia. Matahari tidak buta. Bulan tidak bisu. Langit tidak tuli. Mereka menjadi saksinya. Dan Tuhan. Dialah yang lebih berkuasa. Lebkuchen adalah pernyataan kasih sayang yang biasanya digantung sebagai penghias rumah. Dalam wujudnya terkandung cinta, hidup dan bagian diri yang istimewa dari si pemberi. Zahra, kenapa kau baru menjelaskannya sekarang. Kau membuatku kesal.
“Tomy ini calon tunangan kakaku, Sofia. Dia mengantarku mencari lebkuchen untuk menjamu keluargnya yang akan datang dari Munich. Dia tadi menemui teman kuliahnya. Mereka aku tinggal saat aku harus mendapatkan kue ini. Jadi, bukan aku yang akan bertunangan…” jelas Zahra membuat bunga-bunga wangi semerbak seketika tampak bertebaran di sekelilingku. Cahaya mentari tersenyum melambaikan sentuhan hangatnya mengelus kulitku. Dan semilir angin senja berhembus sepoi-sepoi menyejukkan hatiku.
“Ich Liebe Zahra!” kataku saat kami akan berpisah. Gadi itu tersenyum dan meninggalkan bekas mendalam saat ia dan Tommy masuk ke dalam mobil mewah mereka.
Meski musim semi akan segera berlalu tanpa tercegah, lebkuchen mengkristalkan bagian terbaliknya. Sore itu janji suci antara aku dan Zahra tertorehkan. Langit senja yang menjadi saksinya. Jodoh tidak kemana.
TAMAT
Cerpen karangan: Jibril
“Tidak!”
“Tapi, kenapa kau menatapnya begitu dalam…”
“Ah, perasaanmu saja….”
“Benarkah?” Reizh meledekku.
“Tapi, sepertinya dia juga suka padamu.” Lanjut Reizh tersenyum.
Di sepanjang tepian sungai Regus. Kedai dan kios sudah ramai berjejer menyediakan beraneka macam kebutuhan dalam menyambut musim semi tahun ini. Mulai dari pameran, penjual pakaian, mainan, hidangan kuliner, pernak pernik musim semi, hingga pedagang bunga turut memeriahkan acara festival tahunan di kampung kami, kampung Wedding. Pemukiman kecil di kota Berlin, Jerman. Kampung yang mayoritas di huni imigran dari Asia ini masih menyuguhkan ke-eksotisan pemandangan alamiah yang elegan nan permai. Jauh dari polusi udara tidak seperti di Jakarta dan kota-kota metropolitan lainnya yang polusi dan hingar bingar.
Wajah-wajah riang penuh rona seperti semburat merah mentari pagi terpancar alami di setiap raut penduduk kampung Wedding. Tak lain halnya denganku. Musim dingin di akhir Februari hingga Maret kemarin kini telah berlalu dan menjelma menjadi musim semi yang penuh suka cita. Gegap gempita. Musim menuai keberkahan. Mentari hangat terasa menyelimuti kulitku yang seakan telah membeku beberapa bulan lamanya dan kini mencair seperti lelehan lilin di malam hari.
Dulu, ketika musim dingin merambat dan mengacaukan kampungku. Tak banyak hal yang bisa ku lakukan, semua kegiatan seakan terhambat oleh dinginnya suhu yang mencapai minus derajat celcius. Bahkan, untuk sekedar berangkat ke kampus saja rasanya aras-arasen. Meski mantel tebal telah membalut tubuh kurusku, musim dingin sungguh membuatku jemu.
‘‘Wie die Sonne im Frühjahr. Dämmerung Herzen verwandelt Befestigung.’’ (Seperti mentari di musim semi. Senja menjelma penambat hati).
Tak berlebihan jika aku menyambut musim semi kali ini dengan sebuah senyuman penuh doa dalam tawa. Senyuman syukur atas karunia-Nya memperkenankanku menghirup udara semilir yang berhembus hangat, basah, dan nikmat. Karena tidak semua orang bisa menikmati musim semi di daerah-daerah nontropis atau dingin seperti tempat tinggalku ini. Apalagi jika sakit datang terlebih dahulu kemudian memanggil si empunya untuk beristirahat dan terpaksa menghabiskan musim semi dengan duduk di kursi goyang kemudian terdiam menatap pesta karnaval dari balik jendela kaca dan leher yang di lilit shal kesedihan. Seperti Jones bersaudara yang kini hanya bisa duduk manis di kursi mereka. Bersyukur? Itu yang aku perlu terus sematkan di dalam diri.
***
Dengan mengenakan sweater tebal aku berjalan seorang diri mengunjungi pasar karnaval sore ini. Beberapa anak kecil berdiri di depan penjual balon warna warni tampak girang memilih benda melayang itu. Aku tersenyum melihat anak kecil laki-laki yang genit menggoda gadis kecil sebaya di sebelahnya.
“Hei, Alfi! Apa kau mau minum Bir?” aku melengos ke arah seorang lelaki tua bertopi Jack di depan kios minuman beralkohol yang berdiri tak jauh dari sungai dangkal dan jernih bernama Ruges. Lelaki tua itu mengangkat gelas dan mengarahkan padaku. Tak perlu menjawab. Dengan tersenyum tulus dan berlalunya aku dari kedainya saat itu juga, ku rasa dia tahu, aku menolak. Aku tidak suka bir. Vater dan Frau-ku bilang, bir dan minuman ber-alkohol itu haram. Kami di larang agama untuk mendekati benda itu.
***
Aku berjalan mengelilingi pasar dengan pandangan mengitari sekeliling. Sengatan lembut sang mentari terasa mendamaikan jiwa. Untuk seorang etnis campuran sepertiku, tak perlu heran dengan suasana kampung Wedding yang di dominasi oleh penduduk dari Timur Tengah. Kebanyakan pedagang di sekitar sungai adalah warga Turki yang memang mendominasi pedagang di acara festival setiap tahunnya. Di tengah asiknya menikmati matahari, telingaku seketika terasa gatal sesaat setelah mendengar pasangan suami isteri yang cek cok di kedai roti mereka. Umpatan dan sumpah serapah yang keluar dari mulut pasutri itu tentu saja menarik begitu banyak perhatian pengunjung. Entah apa yang mereka ributkan. Sekilas aku menangkap, si istri meminta kebijakan suami agar bersedia memberi harga miring untuk seorang anak lelaki berpakaian kumal yang tampak kurus karena kelaparan yang berdiri di depan toko mereka.
“Wir verkaufen. Nicht in der karitativen…!” tukas sang suami sengak. Yang artinya mereka sedang berjualan, bukan sedang bersedekah. Tidak peduli, si istri yang berhati mulia itu memberikan dua bungkus roti panasnya kepada anak laki-laki kumal dan memintanya segera berlari. Si suami tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kali ini ia mengalah. Si istri pun tidak ambil pusing dan langsung melayani pembeli yang tiba-tiba meludak. Hati si istri yakin, sedekah tidak akan mengurangi rezeki, justru menambah.
***
Darahku mengalir deras seiring berdesir mengiris vena dan arteri, jantungku berdegup kencang berdendang dentang. Nafasku seakan sesak demi melihat sosok seorang gadis berwajah inocent berjalan di bawah terik mentari senja dengan langkah indahnya. Wajahnya pendar berseri penuh cahaya. Pipinya merekah dan merona seperti buah apel yang mulai ranum. Ia berjalan anggun menuju kios bunga Hyacinth yang wanginya semerbak itu. Perhatianku tak lepas mengamati gerak-gerik gadis semampai yang kini tengah berbincang dengan penjaga kios bunga. Baru kali ini aku melihat gadis shalihah secantik dia di negara mayoritas nonmuslim. Apa dia seorang pendatang? Kalau benar. Berarti bukan dari daerah sini. Atau dia imigran? Atau dia sekedar berkunjung? Entahlah. Pertanyaan dan rasa penasaran mengalir begitu saja di dalam benakku. Wajahnya menyimpan sejuta misteri.
Aku melihat banyak sekali praduga garis keturunan yang telah melahirkan gadis itu ke dunia ini. Ada guratan dan perpaduan campuran wajah Asia dan Timur Tengah juga Eropa meski wajah Timur Tengahnya lebih menonjol. Dengan pakain sesopan sopannya wanita yang pernah aku lihat seumur hidup. Dan tatapan mata yang terjaga dari hal yang tidak perlu di lihat. Dia jauh lebih memukai cantiknya dari pesona dan aura seorang wanita penguasa Mesir pada masanya bernama Cleopatra. Dia lebih anggun dari putri Diana yang berjalan di karpet merah di depan altar kerajaan Inggris saat di persunting oleh Pangeran Charles, Putra Ratu Elisabeth penguasa kerajaan Britania Raya itu. Dan dia lebih karismatik dari first step-nya seorang pemenang Puteri Indonesia yang berjalan memukai saat mengenakan kebaya luxuris Anne Avantie. Bahkan, aku melihat gadis itu menyihirku dengan semua apa yang ia keluarkan atau lebih pantas di sebut, aura. Dia sempurna. Debar jantung ini pun terus berdentang keras tak terkendali. Perasaan apa ini?
***
“Kau suka padanya?” tanya Reizh membuyarkan anganku.
Aku diam. Kemudian berdusta berkata tidak.
“Tapi, kenapa kau menatapnya begitu dalam…”
“Ah, perasaanmu saja….”
“Benarkah?” Reizh meledekku.
Di bawah tenda kedai ice cream Turki. Reizh dan aku duduk di depan sebuah meja bundar. Tak jauh dari mengamati gadis berhidung mancung dan beralis tipis itu.
“Aku baru melihatnya…” kataku seiring menjilat pucuk ice rasa strawberry. Reizh melirik gadis itu.
“Dia memang cantik…”
Hatiku tidak perlu berdoa agar Reizh bukan rivalku untuk memikat gadis itu kali ini.
***
Hari kedua festival musim semi di gelar. Aku berharap masih bertemu dengan gadis yang sore itu gagal aku sambangi dengan alasan membeli bunga untuk kakakku. Aku tidak ingin kecewa untuk kedua kalinya. Tapi, kemana gadis itu pergi? Kenapa dia belum kelihatan juga? Ada pikiran cemas dan perasaan kecewa jika sore ini aku benar-benar tidak bisa bertemu dengannya. Aku akan menyesal yang waktu itu secara frontal jelas menyia-nyiakan kesempatan. Padahal Reizh cukup tegas memintaku tak berbasa basi demi mencari yang orang bilang, jati diri.
“Kau akan menyesal jika tidak mendekatinya. Tegurlah, atau minimal kau membeli bunga untuknya…”
“Secepat itu?” tanyaku lugu.
“Perempuan seperti dia itu seperti mutiara. Siapa yang pertama melihat sinarnya, maka seolah dialah pemiliknya. Kau mau menyesal nanti?”
“Jodoh tidak kemana?”
“Tapi akan menjauh jika tidak berusaha…”
“Takdir Tuhan tidak ada yang bisa mencegah.” Aku percaya jodoh itu tak kemana.
“Tapi usaha awal mendekatkan takdir untuk menjadi nyata.”
“Kau bukan pujangga, Reizh. Kau hanya seorang anak keturunan Turki dan Jerman yang selain sekolah, tugasmu adalah membantu Vatermu menawarkan cone dan ice cream pada pengunjung. Jangan mengajariku. Bahkan nilai semestermu masih harus remedial untuk mendapat nilai C…”
“Ficker! Jangan bawa-bawa nilai dalam urusan cinta. Aku ahlinya…”
“Tapi aku sedang tidak butuh celotehanmu. Sang ahli cinta…”
“Kau memang angkuh, Alfi.” Reizh menyahut agak kesal.
“Ya. Aku memang angkuh di depanmu jika sedang terpaku melihat sang bidadari…”
“Dasar maniak!”
“Setidaknya lebih baik, atau jauh lebih terpuji dari pada harus menjadi seorang homo sepertimu.”
“Grrrrr!”
***
Di tengah-tengah meriahnya acara ferstival sore ini. Aku kelimpungan mencari sosok anggun bergamis biru muda yang tadi sempat membaur di tengah-tengah kerumunan gadis-gadis Jerman yang ramai mengenakan drindl, blus putih tipis sabrina yang di lapis dengan rompi pas badan, serta rok katun lengkap dengan celemeknya yang serasi itu. Dan aku semakin limbung mencari sosok orang yang sudah membuatku ‘falling in love at first sight’ atau orang Jerman bilang “Liebe auf den ersten Blick” saat gadis itu lenyap di tengah-tengah kerumunan pemuda yang tampak gagah dalam lederhosen, celana kulit selutut yang di variasikan dengan jaket, topi, dan bertelnya mereka. Pakaian tradional yang secara keseluruhan di sebt tracht memang tidak aku kenakan tidak seperti Reizh yang ku lihat tengah mengobrol bersama Davoch di kedainya. Mereka masih satu kelas denganku di kampus.
Berulang kali aku berusaha menerobos kerumunan yang sesak ini. Aku kehilangan senyum gadis itu ketika kemarin ia sempat berterima kasih padaku atas apa yang tanpa sengaja telah aku lakukan untuknya. Sebuah Lebkuchen yang mengantarku berkata “Ich Liebe Zahra”. Kue kering yang di hias dengan gula warna warni berbentuk jantung hati dengan di hiasi kata ich liebe dich (saya cinta kamu) mein libling (sayangku) dan lainnya. Konon, leb sendiri berasal di ambil dari kata liebe (cinta) leben (hidup) leib (tubuh) dan leb-honig madu kristalisasi istimewa yang juga bahan baku dalam membuat lebkuchen.
Kemarin sore, toko Lebkuchen kehabisan orderan pesanan kue yang ternyata kue itu hanya ada di musim semi dan musim gugur dan laku habis terjual. Gadis bernama Zahra itu sedih karena ibunya menyuruh ia membeli dua kotak lebkuchen untuk di nikmati malam hari bersama tamu dari Munich. Aku memberinya dua kotak lebkuchen yang tidak ku sangka gadis itu berterima kasih dan terkesan segan lalu tidak tahu harus melakukan apa untuk membalas kebaikanku. Kami sempat mengobrol dan menikmati kopi arabika asli dari Aceh, Indonesia. Sebuah Negeri maritim yang ingin aku kunjungi kelak untuk menikmati keindahan panoramanya yang eksotis itu. Terutama Paradise Island, Bali.
“Namaku Zahra Almahira. Ayahku dari Mesir, dan Ibuku asli orang Inggris. Kami tinggal di Munich. Dan ke Wedding hanya untuk menghabiskan musim semi bersama bibi Petunia. Aku tidak tahu harus mencari kemana lagi kue ini jika kau tidak memberiku lebkuchen itu padaku. Kau sangat menolongku. Sekali lagi aku ucapkan danke…” kelakar gadis itu menatapku tajam.
“Gleichermaßen…” sahutku kikuk.
“Namamu unik. Alfi Lichtner. Ada kata asing di sana…”
“Ya. Namaku memang memiliki beberapa pengertian. Kata Vater, Alfi itu di ambil dari bahasa Arab. Alif. Huruf hijayah pertama. Karena aku anak lelaki pertama yang di lahirkan di keluargaku. Karena kedua kakaku semuanya perempuan. Sedangakn Lichtner. Licht itu cahaya, sedangkan ner: schöner, artinya tampan. Kata mereka saat aku lahir. Aku memancarkan wajah yang tampan dan bercahaya. Maka, mereka menamaiku dengan nama itu. Tapi, sepenuhnya aku tidak percaya. Aku hanya mengilhami mereka memberiku nama dengan harapan yang ku sandang nantinya sesuai dengan apa yang mereka inginkan…”
“Sepertinya mereka tidak salah memberimu nama. Kau memang tampan…”
“?”
***
Musim semi nyaris menginggalkan kenangan. Waktu tidak mungkin mendengar meski aku menjerit di tengah gunung Alpen demi memintanya berhenti sejenak. Karena waktu itu tuli. Sama seperti siang dan malam yang pura-pura bisu dan buta. Mereka mempermainkan perasaanku sebagai manusia yang naif dan daif. Harapan yang tidak terwujud seolah menjadikan dunia ini tidak adil. Aku kesal. Aku kecewa. Kenapa di saat rasa itu aku yakin datang dan menyusup di dalam relung hatinya. Satu hal yang aku kira akan datang membawwa bahagia, justru malah membuatku tercekat dan nyaris merasakan langit jatuh meruntuhi tubuhku hingga aku tengelam dalam duka adalah, ketika dia bilang ada tamu penting yang harus di jamu.
“Lebkuchen ini sengaja ibuku pesan untuk menjamu mereka…”
Kata mereka itu yang membuatku lemas. Seakan langit yang cerah di ufuk barat yang menyemburatkan cahaya senja keemasan itu tiba-tiba berubah menjadi gelap berkabut dan pengap demi telingaku mendengar kata, mereka. Artinya, ada keluarga yang sedang di tunggu kehadirannya oleh keluarga Zahra. Bukan pertemuan slaturahmi keluarga biasa. Melainkan silaturahmu penyambung dua keluarga. Lamaran. Ya, Zahra akan di lamar oleh seorang dokter muda sepertinya. Lelaki yang memang tampan itu tampak berjalan mendekati kami sesaat setelah Zahra melambaikan tangannya pada lelaki berkacamata itu. Hatiku melebur. Jiwaku mencair. Ragaku mengempis. Batinku menangis. Kenapa timingnya tidak tepat? Teringat aku akan kata Reizh.
“Perempuan seperti dia itu ibarat mutiara. Siapa yang pertama melihat sinarnya, maka seolah dialah pemiliknya. Kau mau menyesal nanti?”
“Jodoh tidak kemana?”
“Tapi akan menjauh jika tidak berusaha…”
“Takdir Tuhan tidak ada yang bisa mencegah.” Aku percaya jodoh itu tak kemana.
“Tapi usaha awal mendekatkan takdir untuk menjadi nyata.”
“Kau bukan pujangga, Reizh. Kau hanyalah seorang anak keturunan Turki dan Jerman yang selain sekolah, tugasmu adalah membantu Vatermu menawarkan cone dan ice cream kalian kepada pengunjung. Jadi, jangan mengajariku. Bahkan nilai semestermu masih harus remedial untuk mendapat nilai C…”
***
Lebkuchenku tidak sia-sia. Matahari tidak buta. Bulan tidak bisu. Langit tidak tuli. Mereka menjadi saksinya. Dan Tuhan. Dialah yang lebih berkuasa. Lebkuchen adalah pernyataan kasih sayang yang biasanya digantung sebagai penghias rumah. Dalam wujudnya terkandung cinta, hidup dan bagian diri yang istimewa dari si pemberi. Zahra, kenapa kau baru menjelaskannya sekarang. Kau membuatku kesal.
“Tomy ini calon tunangan kakaku, Sofia. Dia mengantarku mencari lebkuchen untuk menjamu keluargnya yang akan datang dari Munich. Dia tadi menemui teman kuliahnya. Mereka aku tinggal saat aku harus mendapatkan kue ini. Jadi, bukan aku yang akan bertunangan…” jelas Zahra membuat bunga-bunga wangi semerbak seketika tampak bertebaran di sekelilingku. Cahaya mentari tersenyum melambaikan sentuhan hangatnya mengelus kulitku. Dan semilir angin senja berhembus sepoi-sepoi menyejukkan hatiku.
“Ich Liebe Zahra!” kataku saat kami akan berpisah. Gadi itu tersenyum dan meninggalkan bekas mendalam saat ia dan Tommy masuk ke dalam mobil mewah mereka.
Meski musim semi akan segera berlalu tanpa tercegah, lebkuchen mengkristalkan bagian terbaliknya. Sore itu janji suci antara aku dan Zahra tertorehkan. Langit senja yang menjadi saksinya. Jodoh tidak kemana.
TAMAT
Cerpen karangan: Jibril